Laksamana Cheng Ho (1371-1433), pelaut besar Muslim asal negeri Cina mungkin tidak asing bagi sebagian orang. Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia sebanyak tujuh kali. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu meninggalkan jejak di negeri ini. Di Samudera Pasai, ketika berkunjung ke sana, ia memberi lonceng raksasa Cakra Donya kepada Sultan Aceh. Kenang-kenangan itu kini disimpan di museum Banda Aceh. Laksamana Cheng Ho juga memberikan beberapa cidera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon ketika berkunjung ke kerajaan itu tahun 1415. Salah satu cindera mata itu adalah sebuah piring bertuliskan ayat Kursi yang hingga kini masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi berpendapat bahwa orang-orang Cina Muslim juga berjasa dalam menyebarkan agama Islam di masa lalu. Hasyim mengatakan hal itu dalam seminar internasional bertajuk Budaya Islam Nusantara-Tiongkok yang diselenggarakan oleh Indonesia Marketing Assosiation dan PBNU di Jakarta akhir Mei 2008. Menurut Hasyim, saat Islam dating, Indonesia pada waktu itu bukan wilayah yang "kosong" agama. Sudah ada agama lain yang datang sebelumnya. Dakwah dilakukan dengan menyerap nilai-nilai yang baik yang ada pada agama sebelumnya dan perbaikan nilai agar bisa disesuaikan dengan prinsip Islam.
Namun Laksamana Cheng Ho bukanlah Muslim Cina pertama yang ikut menyebarkan Islam dan meninggalkan jejak keislaman di Indonesia. Sebelumnya sudah ada komunitas Muslim asal Cina yang hidup di nusantara. Prof dr M Ikhsan Tanggok Msi, guru besar Antropologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta menyatakan hal itu.
Menurutnya, banyak fakta sejarah yang menyebutkan Muslim Tionghoa sudah ada di Indonesia sebelum kedatangan sang laksamana. Ikhsan menambahkan, kehadiran orang-orang Cina di Indonesia, terutama yang beragama Islam di masa lampau, bukanlah semata-mata untuk penyebaran agama Islam. Mereka membawa misi mengembangkan dunia perdagangan antar negara yang dimulai dengan kontak diplomatik. Perkawinan antara Muslim Cina dengan masyarakat pribumi dan menetapnya sebagian perantau Muslim Cina ini di tanah perantauan, juga memberikan pengaruh yang amat besar bagi perkembangan agama Islam di Indonesia.
Ikhsan meyakini bahwa orang-orang Cina sejak abad 7 Masehi sudah datang ke Indonesia. Dan sangat mungkin sejak lama pula Muslim Cina sudah menjejakkan kaki di bumi nusantara. Salah satu tujuannya adalah untuk berdagang. Apalagi konon, Islam sudah masuk ke daratan Cina sejak abad pertama hijriyah. Karena itu tak salah jika dikatakan penyebaran Islam di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Arab dan Persia melalui laut India, tapi juga dilakukan oleh orang-orang Muslim dari daratan India dan Cina.
Jika Laksamana Cheng Ho pertama kali mendarat di Jawa bersama pasukan yang dipimpinnya pada tahun 1405, di Sambas, Kalimantan pada tahun 1407 sudah berdiri kelompok Muslim Cina. Organisasi serupa, kata Ikhsan, juga berdiri di Palembang. Hal ini membuktikan keberadaan Muslim Cina di Indonesia sebelum Laksamana Muslim yang taat itu datang.
Berikut adalah kisah hidup Laksamana Cheng Ho, Asal Usul Sam Po Kong. Terbit dwi mingguan setiap Selasa. Eksklusif, hanya di HSG!!
Salam HSG
BAGIAN 1
Setelah berjam-jam melaju di jalanan panjang yang lumayan meletihkan, akhirnya bus carteran yang membawa anak-anak sekolah dari kawasan Grogol, Jakarta Barat, tiba di Simongan, Semarang. Bus itu berhenti di halaman muka kelenteng Sam Po Kong.
Seorang lelaki berambut panjang, yang oleh anak-anak sekolah itu dijuluki Tukcer, singkatan Tukang Cerita, adalah guru sejarah yang memimpin rombongan itu. Dia berhenti di bangunan pertama di mulut kelenteng.
"Nah, anak-anak, inilah kelenteng Sam Po Kong. Kalian boleh terkejut. Tapi aku minta kalian percaya pada ceritaku, bahwa tempat ini dipercaya banyak orang dari abad ke abad sebagai makam bahariwan Muslim, Ceng Ho. Dia diutus oleh Kaisar Ming ke sini dan dalam pelayaran yang terakhir, kapalnya karam di sini, dan selanjutnya wafat di sini," kata Tukcer.
Anak-anak itu melihat ke sana ke mari, kemudian duduk bersila mengelilingi Tukcer.
"Tokoh Ceng Ho, yang sering juga disebut dengan banyak nama, misalnya Sam Po Tay Jin, Sam Pao Toa Ren, dan lain-lain, termasuk yang paling populer Sam Po Kong, ini harus diakui, sangat unik," kata Tukcer.
Seorang anak yang dari tadi menggigit-gigit permen karet menepuk lutut sang Tukcer. Tampaknya dia yang paling berminat mengetahui cerita tentang Ceng Ho yang Sam Po Kong itu. Sambil menepuk lutut Tukcer, dia berkata, "Uniknya bagaimana, Pak Tukcer?"
"Begini," kata Tukcer, menghela nafas terlebih dulu, lalu mengembusnya. "Ceritaku tentang Sam Po Kong ini berbeda dari sejarah yang ditulis oleh beberapa ahli sejarah, baik yang ahli sejarah Belanda, Prancis, maupun Cina. Oleh sebab itu, kalau kalian ingin mengetahui ceritaku tentang Sam Po Kong, pertama, aku minta kalian harus berpihak dulu pada kebenaran yang aku tawarkan. Menurut penelitian sejarah yang paling akhir, Ceng Ho tidak pernah ke Semarang. Padahal menurut sumber sejarah yang lain, disebut dengan jelas bahwa Ceng Hong pernah memimpin salat Jumat di sini. Nah, itulah uniknya."
Anak yang bertanya tadi, kembali bertanya, "Yang sebenarnya bagaimana, Pak Tukcer?"
Tukcer tertawa pendek. Katanya, "Cerita sejarah tidak ada yang disebut paling benar. Sebab, semua cerita sejarah dibuat berdasarkan kemauan untuk membuat orang percaya pada kebenaran yang hendak diacu. Makanya, bisa juga dibilang, sebuah cerita sejarah, bagi pihak yang tidak percaya, dianggap tidak benar.
Yang penting dari sikap kalian sekarang terhadap cerita yang aku tawarkan ini, adalah percaya bahwa sebuah cerita sejarah harus selalu berpihak. Cerita sejarah tidak sama seperti buku telepon di mana semua nama dihadirkan dengan kedudukan sama penting. Dalam cerita sejarah, ada nama yang baik, ada juga nama yang jahat, dan banyak pula nama yang harus hilang sebab dianggap tidak penting menentukan bagan: bagan dalam prosa disebut "plot" bagan dalam film diejawantahkan melalui konsep "gambar bergerak."
"Tunggu, Pak Tukcer," kata anak yang paling serius menguping cerita sang Tukcer. "Sekarang kalau menurut Pak Tukcer, Ceng Ho ini nama yang baik atau jahat?"
Lagi Tukcer tertawa pendek. Tapi dia menjawab dengan sikap yang sangat madya. "O, sudah tentu, menurutku, dalam plus-minusnya-sebab manusia sejati tidak bisa terus-menerus plus dan tidak bisa pula terus-menerus minus-harus dibilang manusia Ceng Ho itu sangat luar biasa. Ini termasuk cara generasi penerus memberi apresiasi kepada cerita-cerita sejarah. Yaitu, harus dikatakan: Ceng Ho itu sakti, cerdik-cendekia, bijak-bestari, kemudian jangan lupa dia pendekar dan dia kasim. Kalau tidak begitu, mana mungkin Zhu Di, kaisar Ming, memilihnya untuk memimpin ekspedisi pelayaran ke sini demi kebesaran Dinasti Ming."
Dan, Tukcer menutupkan mata, mengajak anak-anak sekolah itu membayangkan Ceng Ho. Dan, hadirlah gambaran-gambaran hidup dalam imajinasi mereka, mundur sekian abad, dimulai dari tahun 1400-an nun di negeri Cina sana.
***
Malam itu Ceng Ho sedang sujud di Masjid Jing Jue di Nan Jing menunaikan salat isya. Sebagai keluarga muslim taat, Ceng Ho yang putra Mi Jin berjuluk Ma Ha Ji atau Haji Ma, tak pernah mengabaikan salat.
Kini, ketika dia sedang melakukan salat di masjid, tak dia ketahui dua pasang mata dari luar masjid sedang mengintai, disuruh oleh seseorang yang belum diketahui.
Maka tanpa beban, dan tanpa menaruh curiga, walaupun itu tidak berarti dengannya ia kehilangan kewaspadaan, seusai sembahyang Ceng Ho leluasa keluar dari masjid, berjalan di tengah gelap menuju pulang.
Sekonyong-konyong ia terjaga. Dua orang yang tadi mengintai itu kini berada di depan jalannya, di bagian yang amat pekat, karena malam tiada berbintang, mengadang di situ dan siap menyerang Ceng Ho dengan pedang-pedang terhunus.
Ceng Ho segera waspada, menghitung gerakan yang paling kecil sekalipun, untuk menghadapi orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Matanya tajam. Dia menunggu. Dia mungkin mengira bahwa tidak mungkin hanya dua orang itu saja yang berada di sekitar jalanan gelap ini. Pasti ada orang-orang lain. Dan, sangkanya tidak meleset. Memang masih ada orang-orang lain yang sudah menghunus pedang mereka, yang akan mengeroyok Ceng Ho. Tiga orang muncul berbarengan di belakang Ceng Ho.
Tak berapa lama, hanya hitungan detik, setelah kaki-kaki mereka benar-benar merasa tegak di tanah, serempak dari arahnya masing-masing mereka menyerang Ceng Ho. Dengan tangan kosong, berhubung Ceng Ho baru pergi ke rumah ibadah, ditangkisnya serangan tikus-tikus itu. Dan, memang, karena orang-orang itu hanya pendekar kelas tikus got, satu persatu mereka berhasil dikalahkan oleh Ceng Ho. Satu per satu Ceng Ho menangkap dan menotok tak berkutik.
Salah seorang berusaha lari. Melihat yang empat keok, tewas mengenaskan dan konyol, maka yang satu terakhir ini cepat-cepat mengambil langkah seribu: berlari. Tapi Ceng Ho meloncat seperti terbang, kedua kaki terangkat dari bumi, kemudian di jarak yang jauh di depan, di muka orang itu, Ceng Ho berdiri mengadang. Dengan sekali bergerak, yaitu melalui perhitungan jitu, Ceng Ho berhasil pula menangkap tikus got yang satu ini. Dengan suatu keterampilan yang alih-alih Ceng Ho memutar tangan orang itu, siap hendak mematahkannya. Orang itu berteriak ketakutan, meminta ampun, putus asa.
"Ampun, Tuan, ampun," katanya gemetar, setengah menangis setengah menyembah. "Jangan bunuh aku, Tuan Ceng Ho."
Ceng Ho tak melepaskan. "Siapa kalian?"
"Kami bukan siapa-siapa," jawab orang itu.
Ceng Ho menariknya. "Dari mana kamu tahu namaku?"
"Kami hanya disuruh."
"Siapa yang menyuruhmu."
"Kami sendiri tidak kenal orangnya."
"Bohong!" Ceng Ho membentak, mengencangkan tangannya.
Orang itu mengaduh-aduh. "Betul, Tuang Ceng Ho. Betul, Ampuni aku."
"Baik," kata Ceng Ho menghempas, dan orang itu berpelanting ke tanah. "Kalau begitu, bilang, siapa nama orang yang menyuruh kalian."
Orang itu kelihatan sangat ketakutan, merinding, namun juga mencoba tulus dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dia komat-kamit hendak mengatakan sesuatu, memandang ke kiri ke kanan yang gelita karena malam kian merangkak.
Tiba-tiba, dalam, keadaan seperti bingung, tanpa diketahui siapa pun, sebuah senjata pipih dan kecil, terbang dari kegelapan, langsung mengena leher orang itu. Sekejap saja orang itu mati terkulai di tanah.
Ceng Ho terkesiap. Jengkel. Geregetan. Dia memandang ke kanan, ke bagian yang gelap sangat, tapi yang menurut nalarnya merupakan tempat dilemparkannya senjata pipih yang mematikan itu. Dia berteriak keras, nyaring, mengumpat ke arah itu.
"Hei, setan!" katanya. "Siap kamu?! Keluar kamu dari situ."
Tiada jawaban. Tiada tanda-tanda akan kemungkinan seseorang yang berjiwa jantan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
* * *
Beberapa saat kemudian, Wan San masuk tergopoh-gopoh ke sebuah rumah. Siapa Wan San? Dialah orang yang melemparkan senjata hebat itu. Dia datang menemui tuannya: tuan yang mengupahnya melakukan pekerjaan tak jantan. Tuannya itu Dang Zhua. Sang tuan sedang duduk menunggu berita dengan perasaan tidak tenang. Di hadapannya duduk pula Hua Xiong.
Begitu Wan San masuk, Dang Zhua berdiri. Kelihatan sekali keadaan dirinya yang tak sabar menunggu jawaban Wan San. Kata pertama yang diucapkannya adalah keinginannya untuk memperoleh jawaban yang menyenangkan.
"Berhasil?" tanya Dan Zhua.
Wan San sulit menjawab. Kalaupun dia tidak menjawab yang benar berikut ini, Dang Zhua dapat menduganya. Katanya, "Maaf. Mereka tidak berhasil."
Dang Zhua geram. "Apa maksudmu mereka tidak berhasil? Katakan!"
"Ya," jawab Wan San dengan sulit, namun terucapkan pula dengan jelas. "Mereka tidak berhasil menyingkirkan Ceng Ho."
Dang Zhua menghardik keras. "Gila!" katanya. "Mereka itu lima orang. Ditambah dengan kamu, seluruhnya setengah lusin. Mana bisa enam orang kalah hanya oleh satu orang."
Wan San pelegak-peleguk. Dia mengakui kenyataan ini dengan sangat pahit. "Tapi Ceng Ho memang sakti."
Dang Zhua menjadi kampungan. Dia meludah. "Cuh! Kalian pendekar apa? Bagaimana mungkin enam orang pendekar kalah pada satu orang thay chien *) dari Yuan Nan?"
Didorongnyan dada Wan San. "Pendekar macam apa kalian? Benar-benar gila. Apa yang harus aku katakan pada Menteri Liu?"
Dengan kepercayaan diri yang tidak terlalu utuh, Wan San coba menyakinkan sesuatu yang sebetulnya dia sendiri tak yakin. Katanya, "Tidak perlu pesimistis, Tuan. Kalau saya berkata tidak berhasil, itu tidaklah otomatis berarti gagal". Masih ada besok yang lebih baik. Saya bersumpah, besok, dengan melipatgandakan pendekar yang lebih tangguh, saya jamin thay chien dari Yun Nan itu akan lewat, selesai, habis."
"Tidak bisa," kata Dang Zhua. "Besok pagi kaisar akan mengumumkan keputusannya untuk menugaskan Ceng Ho sebagai laksamana yang akan memimpin misi pelayaran muhibah ke negeri-negeri selatan, Campa, Jawa, dan terus ke India, Arab."
Seraya membungkuk dengan sikap sembah dan takzim Wan San berkata, "Kalau begitu, saya atur sekarang juga, Tuan. Tuan akan mendengar kabar langsung dari mulut saya sebelum matahari terbit pagi nanti."
Dang Zhua melemparkan pandangan kepada Hua Xiong, lalu berdiri berkacak pinggang di muka Wan San. Suaranya menumpul. Katanya. "Apa kamu yakin?"
"Yakin, Tuan Dang Zhua," jawab Wan San. "Saya bertaruh mati untuk tuan kalau saya gagal."
"Kalau begitu, cepat, laksanakan," kata Dang Zhua.
"Baik, Tuan," kata Wan San, memberi hormat kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Wan San meninggalkan rumah Dang Zhua, melaksanakan perintah itu. Hua Xiong pergi ke rumah Menteri Liu yang tadi sudah disebut oleh Dang Zhua. Malam makin malam.
Yang disebut Menteri Liu, tak lain dan tak bukan adalah Liu Ta Xia, menteri ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan Zhu Di, sang kaisar.
Liu Ta Xia tampak tegang. Ketegangannya terlihat pada sikapnya yang mondar-mandir di ruangan besar rumahnya. Melihat itu Hua Xiong menenangkannya, berlaku sok arif, dan hal itu sebetulnya tidak pas untuk manusia sekelas cecunguk.
"Tenanglah, Tuan Menteri," kata Hua Xiong. "Sebentar lagi Dang Xhua akan hadir di sini memberikan laporan keberhasilan pendekar-pendekar upahannya. Mereka itu orang-orang yang paling canggih bergerak dalam gelap, menjalankan tugas menghentikan manusia dari kodratnya."
Liu Ta Xia menarik baju Hua Xiong. "Jangan berkicau. Buktikan lebih dulu."
"Percayalah, Tuan Menteri," kata Hua Xiong.
Liu Ta Xia mengempaskan Hua Xiong. "Kamu harus tahu, ini masalah besar: masalah yang menyangkut ribuan manusia, termasuk aku, kamu, dan seluruh negeri akan terkena batu akibat anggaran belanja negara yang terisap dan kebobolan demi ambisi kaisar yang tidak jelas. Supaya ambisi itu padam, sumbunya, Ceng Ho harus dihabiskan. Kamu mengerti?"
Hua Xiong menghormat. "Tenanglah, Tuan Menteri."
"Jangan asal buka mulut kamu," kata Liu Ta Xia. "Apa yang membuatmu yakin?"
"Maaf, Tuan Menteri," kata Hua Xiong. "Dang Xhua tidak mungkin keliru memilih ular. Dia sendiri pandai menjadi tikus."
Lalu, sekonyong-konyong terdengar seseorang membuka pintu. Kedua orang, baik menteri maupun Hua Xiong serta-merta menoleh ke pintu itu. Di situ muncul Dang Zhua tergopoh-gopoh. Keringat berbintik di dahinya. Dia berdiri bingung.
Liu Ta Xia melihat sesuatu yang mungkin membuat hatinya tawar. Maka dia maju mendekati Dang Xhua, menjejalkan pertanyaan yang menunjukkan keinginannya untuk memperoleh jawaban yang semoga menggirangkan hati. Dia tarik baju Dang Xhua.
"Jangan bilang tugasmu gagal," kata Liu Ta Xia. "Dari sikapmu yang persis seperti tikus basah, sudah kelihatan gambaran sial, cialat. Ayo, katakan."
Dang Xhua berusaha menegakkan benang basah. Kalimatnya tidak lancar mengalir dari mulutnya. Katanya, "Bukan gagal, Tuan Menteri. Ini hanya persoalan waktu. Dalam banyak waktu, ada satu waktu di mana keberhasilan masih tertunda."
Liu Ta Xia menarik baju Dang Xhua. Dia menekan. "Tidak usah berbelit," kata dia. "Berbicara yang sebenarnya. Apa yang terjadi?"
"Maaf, Tuan Meteri. Seperti yang baru saya katakan, malam yang sedang berjalan ini keberhasilan belum tercapai. Tapi, malam ini belum mendekati pagi. Malam ini masih malam. Percayalah, Tuan Menteri, sebelum matahari terbit di ujung malam, ular yang melaksanakan perintah rahasia ini akan menyelesaikan tugasnya dengan sukses. Sebelum fajar, Wan San sudah akan mengabarkan kepada kita tentang kematian Ceng Ho."
Liu Ta Xia memandang nanar ke wajah Dang Zhua. Ada asap di kepalanya yang membuatnya gusar. Sementara di hatinya kelihatannya ada magma yang terus-menerus hendak melanda siapa saja yang dianggapnya musuh.
Benih-benih pikiran dan perasaan yang membuat Liu Ta Xia menjadi begini, asalnya semata karena dia tidak setuju gagasan sang kaisar, Zhu Di, mengutus pelayaran muhibah ke selatan dan terus ke timur yang dipimpin oleh Ceng Ho. Selalu dia berkata di belakang sang kaisar: "Kalau benar Zhu Di hanya bermaksud mengutus Ceng Ho ke negeri selatan sebagai utusan muhibah, mengapa negara harus mengeluarkan anggaran begini besar, membuat 208 kapal, armada, dan orang bersenjata 28.000 orang, dan dana pelayaran untuk 7 kali mengarungi laut dari Laut Cina Selatan sampai ke Jawa?"
Karena tak setuju pada gagasan Kaisar Ming itu, Liu Ta Xia diam-diam melakukan gerakan rahasia untuk menyingkirkan Ceng Ho. Dia berpikir, kalau Ceng Ho yang selama ini sangat dipercaya oleh Zhu Di mati, selesailah gagasan sang kaisar untuk melaksanakan misi muhibah yang aneh itu. Dia memercayakan tugas gelapnya itu kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, sebab kedua orang ini adalah abdi-abdi yang bekerja padanya dengan kepatuhan yang melebihi batas absurd.
****
Demikianlah Wan San yang dipercaya oleh Dang Zhua dan Hua Xiong, kini, di malam yang merangkak menuju larut, telah berhasil mengumpulkan pendekar-pendekar bayaran, sejumlah dua belas orang, berangkat ke rumah Ceng Ho untuk melaksanakan tugas rahasia itu.
Kedua belas orang itu mengendap-endap di dalam gelap. Mereka membagi diri dalam empat kelompok, muncul ke situ dari arah utara, selatan, barat, timur. Wan San terbang dengan gesit ke atas atap. Dia satu-satunya di antara semuanya yang mengenakan tutup hitam di mukanya.
Mereka mengintai. Mata Wan San tak berkedip melihat ke bawah, ke ruang tidur Ceng Ho. Di situ Ceng Ho tidur tak nyenyak, memikir-mikir tentang serangan hampir tiga jam yang lalu. Dia curiga, jangan-jangan salah seorang yang melarikan diri tadi itu akan kembali lagi. Pikiran ini yang membuatnya tak nyenyak begini. Selalu, ketika pikirannya tak tenang, tidurnya pun menjadi terganggu.
Dalam keadaan begitu, dia merasakan sesuatu. Bunyi yang tak bergetar di atas atap rumahnya cukup terekam dalam telinganya. Keruan dia terjaga. Matanya terbuka lebar. Dia pun segera waspada. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan ke depan.
Dia terkejut, walaupun ini tidak berarti dia terguncang, sebab ternyata sudah ada empat orang di dalam rumahnya. Keempat orang itu langsung menyerangnya dengan pedang-pedangnya. Mula-mula Ceng Ho menangkis hanya dengan menggunakan tangan kosong. Dan, dia memang sangat piawai melakukan itu, sehingga keempat orang itu merasa tak percaya diri selain mata-mata naluri untuk membunuh belaka.
Tetapi kemudian muncul lagi empat orang ke dalam serambi dan menyerang Ceng Ho dengan sangat liar. Akhirnya, menanggapi dengan perbuatan dan perhitungan, Ceng Ho pun mengambil pedang, lalu melayani kedelapan orang itu. Perkelahian pun berlangsung seru. Namun sudah suratan kedelapan orang pendekar bayaran itu tumbang, tewas, satu per satu tergeletak sia-sia di lantai.
Empat orang yang tersisa yang tergolong lebih cekatan dan lebih sangar menyerang Ceng Ho dan menggiring ke halaman. Agak lama perkelahian di luar ini. Sebab keempat orang terakhir, dengan satu orang yang menutup muka sebagai pemimpin, berkelahi dengan ilmu tinggi. Sungguhpun begitu akhirnya mereka semua kalah oleh Ceng Ho. Satu per satu pula keempat pendekar tangguh itu dikalahkan Ceng Ho. Mereka tumbang di tanah.
Kini tinggal satu orang yang menutup muka tersebut. Dengan kelincahan yang hebat Wan San membuat Ceng Ho terpesona pada kemampuannya berkelahi dengan pedang. Namun harus sekali lagi dikatakan, pendekar hebat pada giliran terakhir ini harus juga mengakui keunggulan Ceng Ho. Dia harus mengaku bukan dengan kata-kata, melainkan menerima kekalahan yang tak sempat terucapkan. Dia tidak bisa berkata apa-apa, sebab di ujung perkelahian itu pedang Ceng Ho telah menebas perut dan dia pun mati konyol di situ. Apabila ingin bicara, dia bicara sebelum mengembuskan nafas terakhir.
Mula-mula Ceng Ho memotong kain hitam yang menutup mukanya dengan ujung pedang yang tajam dan lancip. Begitu kain tersingkap, Ceng Ho terkejut memandang muka orang itu.
"Wan San?" desisnya, hampir tak percaya. "Apa maksudmu hendak membunuhku?"
Wan San menceracau. "Terkutuk kamu oleh Dewi Penguasa Langit Barat dan Langit Timur: Xi Wang Mu dan Dong Wang Gong."
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Ceng Ho.
"Jangan harap rahasia ini kamu ketahui," ucap Wan San ketus, menyeringai sehingga gigi-giginya tampak seperti gigi hewan pemangsa. "Rahasia ini akan kubawa bersama kematianku." Dan, dia balikkan arah pedang dan menikam perut dalam-dalam. Ceng Ho termangu. Apa boleh buat. Rahasia itu tetap rahasia.
***
Dang Zhua dan Hua Xiong pasti kecele.
Tetapi mereka juga tegang. Setidaknya Liu Ta Xia akan mendamprat mereka sebab Wan San tidak muncul sampai fajar menyingsing di ufuk yang sama dengan kemarin.
Dang Zhua dan Hua Xiong menunggu di depan rumah Liu Ta Xia dengan gugup dari menit ke menit. Begitu matahari menerangi bumi, berangsur-angsur mereka yakin telah terjadi sesuatu di luar rencana. Risiko paling buruk pun sudah terlintas sebagai gambar aneh dalam pikiran mereka.
Ketika ufuk timur mengabu-abu, Liu Ta Xia mondar-mandir di serambi besarnya, lantas menuding Dang Zhua dan Hua Xiong di kursi mereka. Katanya antara cemas dan geram, "Sebentar lagi matahari keluar di sana. Lantas apa yang mau kalian katakan sekarang? Mana berita tentang keberhasilan orang kalian?"
"Maaf, Tuan Menteri," ujar Dang Zhua. Hanya itu yang sempat terkatakan lewat mulutnya.
Liu Ta Xia kini tampak lebih cemas daripada tadi. Katanya, "Lima pukul waktu setelah matahari keluar, Kaisar akan memberikan sabda tentang Ceng Ho yang akan memimpin pelayaran muhibah yang memboroskan keuangan negara."
Dang Zhua memberanikan diri memberikan saran, "Setidaknya lima jam cukup untuk merancang gagasan baru, Tuan Menteri." Liu Ta Xia marah. "Lancang!" katanya, "Jangan bermain-main dengan waktu. Hukum alam atas hadir atau tersingkir sangat ditentukan oleh kemampuan manusia memanfaatkan waktu."
Hua Xiong lebih tegas keberaniannya memberikan pendapat pada sang menteri. Katanya, "Tenanglah, Tuan Menteri. Sudah saya katakan Dang Zhua tidak mungkin salah memilih ular. Ular yang mengemban tugas rahasia ini pasti berhasil. Cepat atau lambat kita akan masuk ke dalam waktu yang membuat kita memikirkan tindakan selanjutnya."
"Wan San ular yang tidak terlacak," kata Dang Zhua. "Dia pasti memegang rahasia."
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Sebab, waktu memang sangat perkasa, Tuan Menteri. Siapa tahu sang waktu menghendaki lain."
Liu Ta Xia berteriak. Dia marah betul. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Dang Zhua. "Jangan main-main kamu!" katanya. "Fajar sudah menyingsing. Apa kamu mau bilang ularmu itu gagal?"
"Kalau ular gagal, setidaknya tikus masih tetap sanggup bermain pada malam gelap?"
"Besok masih ada malam, Tuan Menteri," kata Dang Zhua. "Tikus tidak pernah berhenti bermain dalam gelap. Tikus pun sanggup bermain di comberan sekalipun. Akulah tikus, Tuan Menteri."
Liu Ta Xia cemberut. Sulit bagi dia menerima berita buruk yang mungkin saja datang sekejap lagi.
Sang waktu jua yang akan menjawab.
***
Dang Zhua, Hua Xiong, dan Liu Ta Xia tinggal menunggu waktu itu. Berita yang menggemparkan. Dan, mereka tidak tahu Ceng Ho yang membuat itu.
Apa yang diperbuat Ceng Ho?
Tadi, ketika malam masih hitam, sehabis mengalahkan dan mematikan semua begundal yang diupah Dang Zhua dan Hua Xiong, Ceng Ho menyeret dan membawa semua mayat mereka ke jalanan menuju ke pasar dan memberdirikan mayat-mayat itu di sana. Seluruh mayat berjumlah 18 sosok. Mereka adalah orang-orang yang mati di jalanan menuju ke rumah Ceng Ho dari perjalanan sehabis salat isya tadi dan yang mati di dalam rumah dan halaman rumahnya. Mayat-mayat itu dia buat seperti orang-orang yang berdiri bersandar di tembok. Setelah melakukan itu, Ceng Ho kembali melanjutkan tidur.
******
Kini, di pagi hari, terjadi kegemparan. Mulut sambung-menyambung dari jalanan ke pasar sampai ke rumah Liu Ta Xia, memberitakan tentang mayat-mayat tersandar di tembok jalan menuju ke pasar. Pembantu-pembantu di rumah Liu Ta Xia pun gaduh menggunjingkan mayat-mayat itu.
Pada waktu itu Liu Ta Xia baru saja hendak tertidur karena letih melek sampai fajar. Dua orang dekatnya, Dang Zhua dan Hua Xiong, malah sudah tertidur di kursi depan serambi rumah Liu Ta Xia. Mendengar kegaduhan itu Liu Ta Xia terjaga.
"Ada apa itu?" tanya dia ke pembantu rumahnya.
"Orang-orang di pasar geger, Tuan Menteri."
"Kenapa?" tanya Liu Ta Xia.
"Ada delapan belas mayat diberdirikan di tembok jalan menuju pasar, Tuan Menteri."
"Apa katamu?"
"Saya tidak bohong, Tuan Menteri. Saya pun baru dari sana, melihat dengan mata kepala sendiri."
Liu Ta Xia berteriak marah, "Sudah, diam!"
Dan dia berputar-putar dalam serambi. Saat melihat Dang Zhua dan Hua Xiong masih tertidur di kursi, dia mengambil seember air, lalu membanjurkan ke muka Dang Zhua dan Hua Xiong. Keduanya terbangun, kaget, dan akhirnya melompat. Kata Liu Ta Xia dengan geram, "Kalian semua cuma burung-burung hwa-mei, berkicau tanpa bukti."
= = = =
Antara percaya dan penasaran, akhirnya Liu Ta Xia berjalan cepat ke jalanan yang menuju ke pasar tersebut. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti juga. Sebagai orang besar, menteri, keruan dia mendapat hormat dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Setelah tiba di tempat kedelapaan belas mayat yang diberdirikan di tembok itu, wajah Liu Ta Xia berubah dari merah ke putih. Dia menarik baju Dang Zhua, tetapi kemudian melepaskan kembali, menyadari kalau-kalau orang akan memperhatikan tindakannya. Meski mengendurkan tangan, tidak surut panas hatinya terhadap Dang Zhua.
"Huh, tikus macam apa kamu ini?" kata Liu Ta Xia. "Pandir, tolol, dungu. Jangan pula kamu mengaku ularmu itu cerdik."
Dang Zhua tak membantah. Dia menundukkan kepala sebagai orang yang kalah, rugi, dan sial. Begitu juga Hua Xiong.
"Sekarang terserah nasib," kata Liu Ta Xia, "kalian hanya tikus-tikus got yang buruk."
Liu Ta Xia berputar badan. Dengan jengkel, menyesal, dan kemarahan yang kian besar, dia langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti dari belakang. Baru saja berapa belas meter Liu Ta Xia melangkah, dari arah depan muncul Ceng Ho. Keduanya sama-sama terkesiap.
"Ceng Ho?" kata Liu Ta Xia menyapa lebih dulu.
"Selamat pagi, Tuan Menteri," kata Ceng Ho ramah.
"Kamu baru datang untuk melihat ini?" tanya Liu Ta Xia.
"Ya. Maaf, Tuan Menteri," jawab Ceng Ho, "kelihatannya Tuan Menteri datang lebih pagi daripada saya."
"Coba periksa siapa mereka itu?"
"Baik Tuan Menteri, akan saya lakukan."
Ceng Ho maju.
Liu Ta Xia membalik memandang Ceng Ho. "Kelihatannya mereka orang-orang Man-Cu."
"Dari mana Tuan tahu?"
Liu Ta Xia agak kagok. Dia seperti orang buta mencari-cari pegangan. Katanya, "Saya hanya menduga-duga."
Liu Ta Xia berlalu. Ceng Ho memandang dari belakang. Dari wajah Ceng Ho terlihat sesuatu yang mengusutkan pikiran. Dia tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Liu Ta Xia, walaupun dia tahu betul menteri itu tidak pernah mendukung gagasan Kaisar untuk mengutus misi muhibah ke selatan.
***
Mau tak mau pemajangan mayat-mayat di tembok jalanan menuju ke pasar telah menjadi gunjingan dan topik percakapan yang tak henti-henti. Pergunjingan itu terjadi pula di sebuah rumah minum yang ramai di kota.
Dua orang duduk dengan dua cangkir ciu sedang asyik bertutur.
"Hanya orang yang betul-betul sakti yang mampu membunuh delapan belas orang lantas memasang mayat-mayat itu di tembok seperti patung-patung penjaga kota," kata seseorang yang arif. Dia bernama Tan Tay Seng, penyair musafir yang selalu membawa tehyan.*)
"Kira-kira siapa ya?" kata yang seorang.
"Mungkin Ceng Ho," kata Tan Tay Seng.
"Apa urusannya?"
"Siapa tahu orang-orang itu mau menjajal kesaktiannya."
"Kenapa begitu?"
"Ya, entah," jawab Tan Tay Seng, "tapi, katakanlah itu seperti hukum pasar. Mereka menjual, Ceng Ho membeli. Dan karena yang menjual tidak punya pengetahuan berdagang, mereka langsung gulung tikar."
"Kenapa kamu mengira yang melakukan itu Ceng Ho?"
"Aku tidak bilang, 'aku yakin.' Tadi aku bilang, 'mungkin ' Ceng Ho."
"Kalau memang itu mungkin Ceng Ho, lantas apa alasan dia membeli yang dijual?"
"Siapa tahu ada permainan tingkat tinggi di baliknya. Dagang eceran menghasilkan pukulan kecil. Delepan belas orang sekaligus yang mati menunjukkan ini perdagangan dengan modal besar. Aku tidak peduli siapa yang bermain. Buatku keadaan ini menarik. Itu saja."
Lantas Tan Tay Seng meneguk isi cangkirnya. Gila juga. Pagi baru saja berawal, tapi dia sudah meneguk ciu. Besok lusa orang akan mengetahui bahwa dia pemuda yang tidak bisa disepelekan. Dia termasuk cempiang yang tangguh.
****
Tan Tay Seng pun melangkah santai. Dia melihat ke arah istana Ming. Itulah lambang kebesaran Cina pada masa depan. Dia hanya memandang sekilas. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak, sebentar lagi Zhua Di, sang kaisar, akan mengumumkan gagasannya untuk mengirimkan misi muhibah ke selatan. Menteri-menteri akan hadir di sana. Semuanya.
Di mana Liu Ta Xia menjelang jam-jam pengumuman yang akan dilakukan Zhua Di?
Liu Ta Xia berada di suatu tempat tersembunyi. Di sana ada salah seorang istri raja. Kedengarannya Liu Ta Xia sedang merayu, atau mungkin juga memengaruhi pikiran sang permaisuri.
"Begini, Tuan Putri," kata Liu Ta Xia. "Aku hanya khawatir. Keputusan Kaisar yang diumumkan nanti adalah gagasan yang tidak masuk akal. Selain merupakan pemborosan, keuntungannya sama sekali tidak terbayang. Di samping itu, alasan misi muhibah terlalu mengada-ada. Kalau betul itu misi muhibah, kenapa di dalam pelayaran itu dianggarkan 27.800 tentara? Baik tentara yang sudah ada maupun tentara-tentara milisi. Siapa yang percaya itu?"
"Apa boleh buat, Menteri Liu," kata sang permaisuri.
***
Ya, sudah. Apa boleh buat? Liu Ta Xia terpaksa pergi dengan berat kaki ke tempat sang kaisar akan mengumumkan gagasan itu. Dia duduk di sebelah kanan, berhadapan dengan Ceng Ho yang berada di sebelah kiri. Setelah semua berada di balairung barulah Zhua Di datang. Dia kemudian duduk di kursi kebesaran.
"Perhatikanlah sekeliling ini, Ceng Ho," kata sang kaisar, Zhua Di. "Aku juga meminta semua yang hadir di sini memperhatikan Ceng Ho. Hari ini aku akan bersabda kepada semua yang hadir, suka atau tidak suka mendengarkan keputusanku mengangkat Ceng Ho selaku Sam Po Kong untuk memimpin pelayaran muhibah ke selatan.
"Muhibah ini sangat penting bagi Negeri Cina. Sebab dengan tindakan ini orang di seluruh dunia akan memandang Tiong Kok sebagai pusat negeri dan mengenang Dinasti Ming sebagai lambang peradaban paling tinggi dan kebudayaan paling dibya. Citra Tiong Kok dan Dinasti Ming akan sangat ditentukan oleh kemampuan Ceng Ho memimpin pelayaran muhibah. Saya minta semua memberi hormat kepada Sam Po Kong."
Semua memberi hormat kepada Ceng Ho.
"Sekarang kita ingin mendengar apa kata Ceng Ho," kata Zhu Di seraya mengangkat tangan kanan, menyuruh Ceng Ho bicara.
Ceng Ho memberi hormat khusus kepada Zhua Di. Dia berkata dengan sangat takzim, "Hamba patuh, Paduka Kaisar. Hamba sudah mengabdi dengan patuh dan setia kepada Dinasti Ming sejak hamba muda belia, sejak pemerintahan ayahanda Paduka, Zhua Yuan Zhang, hingga pemerintahan Paduka. Hamba, putra Ma Ha Zhi, orang Yun Nan, yang ketika itu bernama Ma He, sudah menjadi sida-sida bagi Ming. Hamba pun sudah berperang demi Paduka untuk mengalahkan bala tentara Zhu Yun Wen di Nan Jing. Maka, daulat Paduka Zhua Di yang bijak bestari, sekarang pun hamba tetap patuh dan setia kepada segala keputusan Paduka."
"Aku senang mendengar itu, Ceng Ho," kata Zhu Di. "Semua yang hadir di sini sekarang perlu tahu, ada banyak tugas harus dikerjakan Sam Po Kong. Aku akan memerincinya sekarang."
Jeda sejenak. Zhu Di melihat semua yang berada di balairung. "Begini... walaupun yang akan aku sebut pertama dan kedua berikut bukan prioritas utama, keduanya harus diingat Ceng Ho sebagai tanggung jawab yang penting."
"Hamba siap mendengar dan melaksanakan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho merukuk di hadapan Zhu Di.
"Pertama, mencari dan menangkap raja terguling Zhu Yun Wen yang mungkin melarikan diri ke Campa atau mungkin juga ke Siam. Kedua, menangkap juga bajak laut Cina, Cheng Chi Yi, yang sekarang mengangkat diri menjadi raja di Palembang."
"Daulat Paduka, insya Allah demi pertolongan-Nya, hamba berjanji di hadapan Paduka Kaisar yang bijak bestari untuk melaksanakan amanat ini demi kejayaan Ming dan kebesaran Tiong Kok," kata Ceng Ho. "Setelah itu hamba sekarang siap mendengarkan prioritas utama apa yang harus hamba laksanakan."
"Baik," kata Zhua Di. "Prioritas utama Sam Po Kong dalam pelayaran ke selatan sebagai misi muhibah adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan negeri-negeri berpenduduk muslim, terutama dengan orang-orang Cina yang menjadi mubalig di tanah Jawa. Harus ditekankan, mereka semua adalah saudara-saudara kita. Setelah itu jangan lupa menjalin hubungan karib dengan masyarakatnya, membuka jaringan perdagangan di bawah pedoman saling menguntungkan dalam persaudaraan yang tulus. Karena itu jika ada anggota kita dalam ekspedisi yang menyimpang dan tidak berjalan di atas alur kebijakan ini, sebagai pemimpin kau punya hak bertindak, menindak, bahkan menghukum."
"Daulat Paduka, insya Allah hamba laksanakan perintah Paduka Kaisar," kata Ceng Ho.
"Negara menganggarkan dana untuk ekspedisi ini tujuh kali pulang-pergi pelayaran, 208 unit kapal serta 28.000 awak. Kau pun punya hak menyeleksi orang-orang yang akan berlayar. Jangan bawa orang yang tidak sepaham dengan gagasan ini," kata Zhua Di.
Di tempatnya Liu Ta Xia melengos dengan mulut melengkung ke bawah. Itu dia buat sebagai ganti menggeleng yang hampir dilakukannya. Dan, kendati melengos, tidak menarik perhatian seperti seandainya dia menggeleng, Zhu Di dapat menangkap isyarat tertentu yang tumbuh di bawah hati kecil Liu Ta Xia.
Karena itu berkatalah Zhua Di dengan memandang tajam ke arah Liu Ta Xia.
"Kelihatannya Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia hendak berkata sesuatu. Apakah dugaanku tidak salah, Liu Ta Xia?"
Liu Ta Xia berperangah. Kekagetannya membuat kagok. Selintas dia tampak seperti orang yang baru tergelincir. Kata-katanya terpatah, tapi dia cepat menguasai diri. "Tidak Paduka."
Zhua Di sekadar memberi telinga. Pertanyaan berikut bukan menguji, melainkan barangkali memancing. Katanya, "Apa maksud Anda, 'Tidak'? Apakah itu berarti: aku tidak salah menduga? Atau, apakah itu berarti: Anda tidak hendak berkata apa-apa?"
Liu Ta Xia menjadi culun bukan atas kemauannya, melainkan penemuan diri yang tak lepas dari sekadar mengenal naluri bersejarah dari kodratnya sebagai orang bawahan Kaisar. Katanya dengan kesungguhan tidak terncana, "Apa pun Paduka Kaisar. Aku memang tidak hendak berkata apa-apa."
"Baguslah," kata Zhua Di.
Kejadian itu semula tidak diwasangkai Ceng Ho. Sekeluar dari balairung dan ketika berjalan di sudut istana bersama Wang Jing Hong, Ceng Ho bahkan tidak menyadari sesuatu yang mencurigakan. Wang Jing Hong yang membangkitkan kewaspadaannya.
"Apakah Anda menangkap kesan tertentu dalam sikap Menteri Liu Ta Xia tadi?" tanya Wang Jing Hong.
"Katakan," kata Ceng Ho. "Apa yang kaulihat?"
"Aku kira Kaisar cukup jeli melihat sehingga bertanya begitu kepada Liu Ta Xia."
Ceng Ho meyakinkan dirinya sesuatu yang sebetulnya tidak beralasan untuk bersikap begitu. Katanya datar, "Memang bagitu gaya Kaisar."
"Tidak," kata Wang Jing Hong menyangah Ceng Ho.
"Percayalah," kata Ceng Ho mencoba meyakinkan dengan sedapat mungkin agar Wang Jing Hong percaya. "Aku sudah ikut dia sejak umur 12 tahun, sejak aku dikasimkan. Maka aku tahu betul gayanya."
"Ya, mungkin juga aku keliru," kata Wang Jing Hong tak kekurangan rasa percaya diri. "Tapi menurutku, sikap Liu Ta Xia yang menggeleng kepala dan melengos, menyembunyikan air muka di bawah Kaisar, adalah bukti telah berlangsung perasaan yang menunjukkan ketidaksukaannya."
Ceng Ho menalar sejenak. "Itu jamak," kata dia, mengantar pikiran yang tetap hendak mengatakan dirinya lebih mengenal perangai sang kaisar, dan bahwa sebagai menteri yang mengurus ekonomi dan keuangan, Liu Ta Xia wajar menjadi bengitu. Katanya, "Kalau sampai Liu Ta Xia menjerit pun, itu wajar. Dia menteri ekonomi dan keuangan. Dia kewalahan menghitung-hitung anggaran menyangkut gagasan besar sang kaisar.
"Menurutku bukan hanya itu," kata Wang Jing Hong bersikeras. "Kelihatannya ada yang Liu Ta Xia sembunyikan. Ketika dia berkata tidak hendak berkata apa-apa, di dalam sebetulnya tersembunyi dengan rapi apa-apa yang tidak terucapkan oleh mulut."
"Ah, jangan berprasangka buruk," kata Ceng Ho dengan nada yang mengarahkan Wang Jing Hong agar bersikap madya. "Kau tahu prasangka buruk dengan gampang membuat kebebasan berpikir kita mundur 100 tahun."
Ceng Ho menghentikan langkah. Dia tengadah ke langit. Matahari merangkak ke sore hari.
***
Menjelang malam, ketika sore tinggal kerangka, Liu Ta Xia duduk dengan perasaan kalah. Dua orang terpercayanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, berada di kitaran.
Jengkel sekali hati Liu Ta Xia ketika dengan suara dengki berkata kepada kedua orangnya itu, "Kayaknya Kaisar sudah disihir oleh tay-jin *) dari Yun-Nan itu. Sekarang aku tidak punya cara lain yang dapat menyingkirkan Ceng Ho."
Dang Zhua menunduk. Kesopanannya berlebihan. "Bolehkah aku bertanya, Tuan Menteri?"
"Apa pertanyaanmu?" tanya Liu Ta Xia.
"Yang betul mana: apakah Tuan Menteri tidak suka pada gagasan Kaisar untuk membentuk ekspedisi mahal itu ataukah Tuan Menteri tidak suka secara khusus pada Ceng Ho?"
"Kedua-duanya," jawab Liu Ta Xia. "kalian tidak perlu tanya alasannya. Tapi kalau kalian ingin tahu hal sebenarnya, jawabnya karena pertama, dia tay-jin dan kedua dia bukan Xu Xian Jiao. Sementara itu, karena ternyata dia memang sakti, aku harus berpikir menemukan siasat baru. Dan aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada tikus got macam kalian beraksi."
"Kami siap melakukan apa saja pada Ceng Ho demi Tuan Menteri," kata Dang Zhua.
"Yang penting aku baru saja memutuskan untuk memulai peperangan hari ini juga. Tugas kalian adalah membuat gunjingan-gunjingan jelek tentang Ceng Ho, terutama tentang pelayaran muhibah itu. Boleh jadi aku pun akan mengupayakan kalian masuk sebagai peserta istimewa dalam pelayaran itu."
Hua Xiong menundukkan kepala, menyatakan antara hormat dan suka ceria. Katanya seperti diucapkan Dang Zhua, "Kami siap melakukan apa saja demi Tuan Menteri."
"Begini," kata Liu Ta Xia, berpikir sejenak, dan dengan begitu terjadi jeda, lalu menemukan gagasan lancung yang membuatnya atoh bagai rajawali di angkasa menempuh puting beliung. "Dalam gunjingan itu, yang kalian lakukan di sembarang kesempatan, katakan ekspedisi yang menyertakan 27.800 orang, yang dibulatkan menjadi 28.000 orang, itu semata-mata untuk mencari 'cap kerajaan' yang dicuri seekor gajah putih. Siapa pun yang mendengarkan gunjingan kalian harus dibikin percaya bahwa ekspedisi itu konyol. Besok, pada masa datang, orang akan bingung meneliti sejarah bahwa kebesaran Ming dilingkupi oleh gagasan konyol gajah putih yang bisa mencuri cap kerajaan."
Dang Zhua dan Hua Xiong tersenyum. Kepatuhan sering membuat orang tampil dungu. Secara bersamaan kedua orang dekat Liu Ta Xia itu berkata, "Kami siap melakukan semuanya demi Tuan Menteri."
Maka sesuai dengan harapan Liu Ta Xia, mulailah Dang Zhua dan Hua Xiong kasak-kusuk di pelbagai tempat di mana orang mudah termakan dusta. Pada malam hari keduanya pergi ke rumah minum Lin. Tulisannya: Artinya: tetangga. Terlihat dari jauh.
Lin bukan sekadar rumah minum biasa. Di bagian depan memang tertata meja-kursi untuk orang yang ingin minum. Tetapi di bagian belakang ada beberapa kamar dengan perempuan-perempuan sundal berdandan menor siap ditumpaki. Jadi, Lin menyediakan minuman dan pelacur. Katakanlah Lin adalah rumah bordil. Sebagai rumah bordil, Lin termasuk berkelas.
Ke situlah Dang Zhua dan Hua Xiong pergi. Mereka duduk di bagian tengah. Ada orang lain lagi di sekitar mereka. Sambil duduk di kursi Dan Zhua dan Hua Xiong berpenampilan seakan-akan murung.
Pengelola Lin yang telah kenal benar pada Dang Zhua dan Hua Xiong menghampiri dan bertanya, "Tumben kalian kelihatan murung. Ada apa?"
"Aku pusing memikirkan negara," kata Dang Zhua. "Masa pelayaran Ceng Ho ke selatan semata-mata untuk mencari cap kerajaan yang dicuri seekor gajah putih."
Semua yang berada di bagian depan rumah bordil Lin serta merta mengarahkan mata mereka ke Dang Zhua. Ada yang tersenyum. Ada pula yang merengut.
"Maka daripada pusing minumlah sampai mabuk," kata pengelola Lin.
Lalu dia menundukkan kepala sedikit ke arah muka Dang Zhua dan berkata dengan suara dikecilkan. "Aku punya barang baru dari utara. Ada lima orang. Tinggal pilih. Umurnya sama-sama baru 15 tahunan. Mereka benar-benar akan menghibur orang yang pusing."
"O, Dang Zhua malah ingin dihibur sundal yang berumur 90 tahun," kata Hua Xiong. "Apa kamu punya stok yang 90 tahun?"
Pengelola Lin tertawa kecut.
"Gila," katanya.
"Tidak," kata Hua Xiong. "Ini serius. Dang Zhua pusing. Dia ingin mati juga melalui nenek-nenek 90 tahunan."
Pengelola Lin membuka sedikit bagian atas pakaiannya sehingga payudaranya mengintip. Katanya, "Kenapa harus mati kalau bisa menikmati hiburan dari tubuh perempuan. Hiburan akan membikin orang bersemangat hidup."
"O, Encik belum tahu ceritanya ya?" kata Dang Zhua.
Pengelola Lin menggelengkan kepala. "Belum. Ada apa?"
"Begini ceritanya, Cik," kata Dang Zhua. "Kakak Hua Xiong berumur 28 tahun. Tiga bulan lalu dia kawin dengan perempuan tua berumur 90 tahun yang kaya raya. Dia berharap setelah kawin sebulan dengan nenek 90 tahun itu, sang nenek mati dan kekayaannya otomatis menjadi miliknya. Ternyata, setelah sebulan kawin, kakak Hua Xiong yang baru 28 tahun itu yang kedapatan mati. Tahu kenapa, Cik?"
"Tidak," jawab yang ditanya.
"Menurut hasil pemeriksaan sin-seh, orang muda 28 tahun itu mati lantaran keracunan mengonsumsi susu yang kedaluwarsa," kata Dang Zhua.
"Apa?"
"Ya, Cik," kata Dang Zhua. "Begitulah nasib. Pasti orang muda itu keranjingan banget mengisap-ngisap susu nenek-nenek."
"Gila."
"Memang gila. Tetapi kalau Encik punya stok 90 tahun, sekali lagi, aku ingin jajal."
"Ah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Sekarang antar saya ke barang baru yang katamu 15 tahunan."
Hua Xiong berdiri dari kursi. Pengelola Lin berjalan di depan, masuk ke dalam.
***
Ketika Hua Xiong masuk ke dalam, Dang Zhua menghabiskan dulu arak yang dapat memabukkan. Dia memegang cawan sambil tertawa-tawa liar di situ. Setelah itu dia masuk pula ke dalam, ke kamar paling belakang.
Dia langsung meloncat dengan gaya orang-ombak, menjatuhkan diri ke ranjang, tengkurap di situ. Perempuan sundal yang berada di ranjang itu terkejut dan sedikit terguncang. Maklum, gadis itu anak orang miskin yang dijual untuk menjadi pelacur: suatu hal yang lazim terjadi sejak zaman Han.
Begitu menjatuhkan diri ke atas ranjang, Dang Zhua tidak hanya tengkurap atau terlentang. Tapi dia segera melakukan kerajinan tangan: menggerayangi perempuan muda itu.
Oleh nasib yang tidak menguntungkan belaka, bukan atas maunya, perempuan itu terpaksa menerima ini sebagai suatu kodrat yang semoga tidaklah kekal. Katakanlah, perempuan muda yang masih belasan tahun usianya itu menanggapi dengan dingin. Hal itu membangkitkan celoteh seenaknya di mulut Dang Zhua.
"Hei, kenapa kamu seperti mayat?" kata Dang Zhua. "Dingin kembaran es. Tidak ada gairah, tidak ada kehidupan."
"Maaf, Tuan," kata perempuan itu ragu.
"Kenapa?" tanya Dang Zhua. "Kamu masih baru?"
"Ya, Tuan."
"Baru apa? Baru cebok?"
Perempuan itu diam. Tiada kata dari mulutnya.
Dang Zhua merangkul dengan cara sumerowak, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan menindihnya.
Perempuan itu memucat. Tak lama kemudian dia menangis tanpa suara. Hanya luh cair keluar dari kelopak matanya. Tampaknya dia terpukul.
Keadaan itu malah membuat Dang Zhua keranjingan. Katanya seraya mengguncang-guncang tubuh perempuan itu, "Hei, jangan menangis. Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini johan, jagoan, cempiang yang akan ikut dalam misi muhibah Ceng Ho ke selatan untuk memburu cap kerajaan yang dicuri dan dibawa lari seekor gajah putih. Lihat mukaku ini. Namaku Dang Zhua."
Perempuan itu bengong. Bukan tenang, dia malah merinding seperti kedinginan.
Karena itu Dang Zhua jengkel, "Alah, menangis melulu kamu."
Perempuan itu tengkurap. Tubuhnya sengal-sengul menahan isak.
"Huh, menjengkelkan. Seperti anak anjing," kata Dang Zhua sambil bangkit dan pergi meninggalkan kamar.
Sang pengelola Lin seperti heran melihat Dang Zhua. Katanya dengan senyum nakal, "Kok cepat sekali?"
Dang Zhua geram. Dia menyemprot dengan kata bernada ketus. "Huh, barang barumu itu patung bernafas."
"Kenapa?" tanya pengelola Lin.
"Menjengkelkan," sahut Dang Zhua singkat. Dia duduk kembali di kursi yang tadi di bagian depan rumah bordil merangkap rumah minum ini.
"Menjengkelkan kenapa?" tanya pengelola Lin dengan niat yang biasa dilakukan orang seprofesi dengannya, yang harus membuat tamu tidak kapok. "Apa perlu gadis lain?"
"Tidak," sahut Dang Zhua. "Barang barumu yang itu keburu membuat seleraku buyar."
"Kalau begitu, ganti dengan yang lain. Sebentar lagi yang di kamar tiga selesai. Nama julukannya T'o. *) Pasti dia akan membuat malam makin panjang."
"Persetan," kata Dang Zhua. "Sudah, jangan berdiri di situ seperti patung. Tuangkan lagi arak buatku."
"Baik. Baik," kata sang pengelola Lin.
Dia berputar hendak ke samping, ke tempat tataan minuman, dan bersamaan dengan itu cempiang yang sudah banyak teruji keunggulannya, yaitu orang Hok Kian yang musafir, penyair dan pegesek teh-yan, Tan Tay Seng, masuk pula ke sini. Dia langsung duduk di pojok. Beberapa pasang mata langsung melihatnya.
Pengelola Lin mendatanginya. Dia memberi senyum yang klise dan bertanya dengan menggerak-gerakkan tangan, "Anda orang baru di sini?"
Tan Tay Seng hanya memandang muka pengelola Lin tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun dia memberi senyum yang diterjemahkan sebagai kata pembenaran.
"Mau coba anggurku?" tanya pengelola Lin.
"Yang paling memabukkan," jawab Tan Tay Seng.
"Tentu," jawab pengelola Lin. "Aku bisa melakukannya, mencampuri sari anggur paling anggur yang lebih memabukkan daripada anggur Ti Hsi **) sekalipun."
"Bagus," kata Tan Tay Seng.
"Dan, kalau Anda perlu mengendurkan saraf, kami punya stok gadis-gadis belasan tahun dari utara. Masih baru."
Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak sehingga semua mata melihatnya, termasuk Dang Zhua.
"Baiklah," kata Tan Tay Seng. "Aku membutuhkan perempuan dan anggur yang sanggup melahirkan ilham dari air mata dan mabuk, diantarkan ke gapura rindu dan dendam pada ketagihan atas nama cinta yang berpadu dusta."
"O ya, pasti, pasti," kata pengelola Lin. "Keduanya bakal Anda peroleh di sini. Kalaupun ada dusta di sini, kami menjualnya dengan kesungguhan. Yang penting Anda senang, kami pun senang."
Sedikit-sedikit Dang Zhua melirik ke arah Tan Tay Seng. Yang dilirik pun menyadari itu.
***
Di mejanya Dang Zhua telah menghabiskan beberapa cawan arak sehingga badannya bagai orang-ombak. Manakala Hua Xiong keluar dari kamar, dilihatnya Dang Zhua telah tak sadarkan diri di meja depannya. Di situ Dang Zhua tertidur dengan kepala basah.
Hua Xiong menggugahnya
"Dang Zhua, bangun."
Dang Zhua seperti melindur, "Kenapa?"
"Ayo kita pulang," kata Hua Xiong.
Kepala Dang Zhua terasa berat. "Apa kamu sudah selesai?"
Setelah berjam-jam melaju di jalanan panjang yang lumayan meletihkan, akhirnya bus carteran yang membawa anak-anak sekolah dari kawasan Grogol, Jakarta Barat, tiba di Simongan, Semarang. Bus itu berhenti di halaman muka kelenteng Sam Po Kong.
Seorang lelaki berambut panjang, yang oleh anak-anak sekolah itu dijuluki Tukcer, singkatan Tukang Cerita, adalah guru sejarah yang memimpin rombongan itu. Dia berhenti di bangunan pertama di mulut kelenteng.
"Nah, anak-anak, inilah kelenteng Sam Po Kong. Kalian boleh terkejut. Tapi aku minta kalian percaya pada ceritaku, bahwa tempat ini dipercaya banyak orang dari abad ke abad sebagai makam bahariwan Muslim, Ceng Ho. Dia diutus oleh Kaisar Ming ke sini dan dalam pelayaran yang terakhir, kapalnya karam di sini, dan selanjutnya wafat di sini," kata Tukcer.
Anak-anak itu melihat ke sana ke mari, kemudian duduk bersila mengelilingi Tukcer.
"Tokoh Ceng Ho, yang sering juga disebut dengan banyak nama, misalnya Sam Po Tay Jin, Sam Pao Toa Ren, dan lain-lain, termasuk yang paling populer Sam Po Kong, ini harus diakui, sangat unik," kata Tukcer.
Seorang anak yang dari tadi menggigit-gigit permen karet menepuk lutut sang Tukcer. Tampaknya dia yang paling berminat mengetahui cerita tentang Ceng Ho yang Sam Po Kong itu. Sambil menepuk lutut Tukcer, dia berkata, "Uniknya bagaimana, Pak Tukcer?"
"Begini," kata Tukcer, menghela nafas terlebih dulu, lalu mengembusnya. "Ceritaku tentang Sam Po Kong ini berbeda dari sejarah yang ditulis oleh beberapa ahli sejarah, baik yang ahli sejarah Belanda, Prancis, maupun Cina. Oleh sebab itu, kalau kalian ingin mengetahui ceritaku tentang Sam Po Kong, pertama, aku minta kalian harus berpihak dulu pada kebenaran yang aku tawarkan. Menurut penelitian sejarah yang paling akhir, Ceng Ho tidak pernah ke Semarang. Padahal menurut sumber sejarah yang lain, disebut dengan jelas bahwa Ceng Hong pernah memimpin salat Jumat di sini. Nah, itulah uniknya."
Anak yang bertanya tadi, kembali bertanya, "Yang sebenarnya bagaimana, Pak Tukcer?"
Tukcer tertawa pendek. Katanya, "Cerita sejarah tidak ada yang disebut paling benar. Sebab, semua cerita sejarah dibuat berdasarkan kemauan untuk membuat orang percaya pada kebenaran yang hendak diacu. Makanya, bisa juga dibilang, sebuah cerita sejarah, bagi pihak yang tidak percaya, dianggap tidak benar.
Yang penting dari sikap kalian sekarang terhadap cerita yang aku tawarkan ini, adalah percaya bahwa sebuah cerita sejarah harus selalu berpihak. Cerita sejarah tidak sama seperti buku telepon di mana semua nama dihadirkan dengan kedudukan sama penting. Dalam cerita sejarah, ada nama yang baik, ada juga nama yang jahat, dan banyak pula nama yang harus hilang sebab dianggap tidak penting menentukan bagan: bagan dalam prosa disebut "plot" bagan dalam film diejawantahkan melalui konsep "gambar bergerak."
"Tunggu, Pak Tukcer," kata anak yang paling serius menguping cerita sang Tukcer. "Sekarang kalau menurut Pak Tukcer, Ceng Ho ini nama yang baik atau jahat?"
Lagi Tukcer tertawa pendek. Tapi dia menjawab dengan sikap yang sangat madya. "O, sudah tentu, menurutku, dalam plus-minusnya-sebab manusia sejati tidak bisa terus-menerus plus dan tidak bisa pula terus-menerus minus-harus dibilang manusia Ceng Ho itu sangat luar biasa. Ini termasuk cara generasi penerus memberi apresiasi kepada cerita-cerita sejarah. Yaitu, harus dikatakan: Ceng Ho itu sakti, cerdik-cendekia, bijak-bestari, kemudian jangan lupa dia pendekar dan dia kasim. Kalau tidak begitu, mana mungkin Zhu Di, kaisar Ming, memilihnya untuk memimpin ekspedisi pelayaran ke sini demi kebesaran Dinasti Ming."
Dan, Tukcer menutupkan mata, mengajak anak-anak sekolah itu membayangkan Ceng Ho. Dan, hadirlah gambaran-gambaran hidup dalam imajinasi mereka, mundur sekian abad, dimulai dari tahun 1400-an nun di negeri Cina sana.
***
Malam itu Ceng Ho sedang sujud di Masjid Jing Jue di Nan Jing menunaikan salat isya. Sebagai keluarga muslim taat, Ceng Ho yang putra Mi Jin berjuluk Ma Ha Ji atau Haji Ma, tak pernah mengabaikan salat.
Kini, ketika dia sedang melakukan salat di masjid, tak dia ketahui dua pasang mata dari luar masjid sedang mengintai, disuruh oleh seseorang yang belum diketahui.
Maka tanpa beban, dan tanpa menaruh curiga, walaupun itu tidak berarti dengannya ia kehilangan kewaspadaan, seusai sembahyang Ceng Ho leluasa keluar dari masjid, berjalan di tengah gelap menuju pulang.
Sekonyong-konyong ia terjaga. Dua orang yang tadi mengintai itu kini berada di depan jalannya, di bagian yang amat pekat, karena malam tiada berbintang, mengadang di situ dan siap menyerang Ceng Ho dengan pedang-pedang terhunus.
Ceng Ho segera waspada, menghitung gerakan yang paling kecil sekalipun, untuk menghadapi orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Matanya tajam. Dia menunggu. Dia mungkin mengira bahwa tidak mungkin hanya dua orang itu saja yang berada di sekitar jalanan gelap ini. Pasti ada orang-orang lain. Dan, sangkanya tidak meleset. Memang masih ada orang-orang lain yang sudah menghunus pedang mereka, yang akan mengeroyok Ceng Ho. Tiga orang muncul berbarengan di belakang Ceng Ho.
Tak berapa lama, hanya hitungan detik, setelah kaki-kaki mereka benar-benar merasa tegak di tanah, serempak dari arahnya masing-masing mereka menyerang Ceng Ho. Dengan tangan kosong, berhubung Ceng Ho baru pergi ke rumah ibadah, ditangkisnya serangan tikus-tikus itu. Dan, memang, karena orang-orang itu hanya pendekar kelas tikus got, satu persatu mereka berhasil dikalahkan oleh Ceng Ho. Satu per satu Ceng Ho menangkap dan menotok tak berkutik.
Salah seorang berusaha lari. Melihat yang empat keok, tewas mengenaskan dan konyol, maka yang satu terakhir ini cepat-cepat mengambil langkah seribu: berlari. Tapi Ceng Ho meloncat seperti terbang, kedua kaki terangkat dari bumi, kemudian di jarak yang jauh di depan, di muka orang itu, Ceng Ho berdiri mengadang. Dengan sekali bergerak, yaitu melalui perhitungan jitu, Ceng Ho berhasil pula menangkap tikus got yang satu ini. Dengan suatu keterampilan yang alih-alih Ceng Ho memutar tangan orang itu, siap hendak mematahkannya. Orang itu berteriak ketakutan, meminta ampun, putus asa.
"Ampun, Tuan, ampun," katanya gemetar, setengah menangis setengah menyembah. "Jangan bunuh aku, Tuan Ceng Ho."
Ceng Ho tak melepaskan. "Siapa kalian?"
"Kami bukan siapa-siapa," jawab orang itu.
Ceng Ho menariknya. "Dari mana kamu tahu namaku?"
"Kami hanya disuruh."
"Siapa yang menyuruhmu."
"Kami sendiri tidak kenal orangnya."
"Bohong!" Ceng Ho membentak, mengencangkan tangannya.
Orang itu mengaduh-aduh. "Betul, Tuang Ceng Ho. Betul, Ampuni aku."
"Baik," kata Ceng Ho menghempas, dan orang itu berpelanting ke tanah. "Kalau begitu, bilang, siapa nama orang yang menyuruh kalian."
Orang itu kelihatan sangat ketakutan, merinding, namun juga mencoba tulus dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini. Dia komat-kamit hendak mengatakan sesuatu, memandang ke kiri ke kanan yang gelita karena malam kian merangkak.
Tiba-tiba, dalam, keadaan seperti bingung, tanpa diketahui siapa pun, sebuah senjata pipih dan kecil, terbang dari kegelapan, langsung mengena leher orang itu. Sekejap saja orang itu mati terkulai di tanah.
Ceng Ho terkesiap. Jengkel. Geregetan. Dia memandang ke kanan, ke bagian yang gelap sangat, tapi yang menurut nalarnya merupakan tempat dilemparkannya senjata pipih yang mematikan itu. Dia berteriak keras, nyaring, mengumpat ke arah itu.
"Hei, setan!" katanya. "Siap kamu?! Keluar kamu dari situ."
Tiada jawaban. Tiada tanda-tanda akan kemungkinan seseorang yang berjiwa jantan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
* * *
Beberapa saat kemudian, Wan San masuk tergopoh-gopoh ke sebuah rumah. Siapa Wan San? Dialah orang yang melemparkan senjata hebat itu. Dia datang menemui tuannya: tuan yang mengupahnya melakukan pekerjaan tak jantan. Tuannya itu Dang Zhua. Sang tuan sedang duduk menunggu berita dengan perasaan tidak tenang. Di hadapannya duduk pula Hua Xiong.
Begitu Wan San masuk, Dang Zhua berdiri. Kelihatan sekali keadaan dirinya yang tak sabar menunggu jawaban Wan San. Kata pertama yang diucapkannya adalah keinginannya untuk memperoleh jawaban yang menyenangkan.
"Berhasil?" tanya Dan Zhua.
Wan San sulit menjawab. Kalaupun dia tidak menjawab yang benar berikut ini, Dang Zhua dapat menduganya. Katanya, "Maaf. Mereka tidak berhasil."
Dang Zhua geram. "Apa maksudmu mereka tidak berhasil? Katakan!"
"Ya," jawab Wan San dengan sulit, namun terucapkan pula dengan jelas. "Mereka tidak berhasil menyingkirkan Ceng Ho."
Dang Zhua menghardik keras. "Gila!" katanya. "Mereka itu lima orang. Ditambah dengan kamu, seluruhnya setengah lusin. Mana bisa enam orang kalah hanya oleh satu orang."
Wan San pelegak-peleguk. Dia mengakui kenyataan ini dengan sangat pahit. "Tapi Ceng Ho memang sakti."
Dang Zhua menjadi kampungan. Dia meludah. "Cuh! Kalian pendekar apa? Bagaimana mungkin enam orang pendekar kalah pada satu orang thay chien *) dari Yuan Nan?"
Didorongnyan dada Wan San. "Pendekar macam apa kalian? Benar-benar gila. Apa yang harus aku katakan pada Menteri Liu?"
Dengan kepercayaan diri yang tidak terlalu utuh, Wan San coba menyakinkan sesuatu yang sebetulnya dia sendiri tak yakin. Katanya, "Tidak perlu pesimistis, Tuan. Kalau saya berkata tidak berhasil, itu tidaklah otomatis berarti gagal". Masih ada besok yang lebih baik. Saya bersumpah, besok, dengan melipatgandakan pendekar yang lebih tangguh, saya jamin thay chien dari Yun Nan itu akan lewat, selesai, habis."
"Tidak bisa," kata Dang Zhua. "Besok pagi kaisar akan mengumumkan keputusannya untuk menugaskan Ceng Ho sebagai laksamana yang akan memimpin misi pelayaran muhibah ke negeri-negeri selatan, Campa, Jawa, dan terus ke India, Arab."
Seraya membungkuk dengan sikap sembah dan takzim Wan San berkata, "Kalau begitu, saya atur sekarang juga, Tuan. Tuan akan mendengar kabar langsung dari mulut saya sebelum matahari terbit pagi nanti."
Dang Zhua melemparkan pandangan kepada Hua Xiong, lalu berdiri berkacak pinggang di muka Wan San. Suaranya menumpul. Katanya. "Apa kamu yakin?"
"Yakin, Tuan Dang Zhua," jawab Wan San. "Saya bertaruh mati untuk tuan kalau saya gagal."
"Kalau begitu, cepat, laksanakan," kata Dang Zhua.
"Baik, Tuan," kata Wan San, memberi hormat kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Wan San meninggalkan rumah Dang Zhua, melaksanakan perintah itu. Hua Xiong pergi ke rumah Menteri Liu yang tadi sudah disebut oleh Dang Zhua. Malam makin malam.
Yang disebut Menteri Liu, tak lain dan tak bukan adalah Liu Ta Xia, menteri ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan Zhu Di, sang kaisar.
Liu Ta Xia tampak tegang. Ketegangannya terlihat pada sikapnya yang mondar-mandir di ruangan besar rumahnya. Melihat itu Hua Xiong menenangkannya, berlaku sok arif, dan hal itu sebetulnya tidak pas untuk manusia sekelas cecunguk.
"Tenanglah, Tuan Menteri," kata Hua Xiong. "Sebentar lagi Dang Xhua akan hadir di sini memberikan laporan keberhasilan pendekar-pendekar upahannya. Mereka itu orang-orang yang paling canggih bergerak dalam gelap, menjalankan tugas menghentikan manusia dari kodratnya."
Liu Ta Xia menarik baju Hua Xiong. "Jangan berkicau. Buktikan lebih dulu."
"Percayalah, Tuan Menteri," kata Hua Xiong.
Liu Ta Xia mengempaskan Hua Xiong. "Kamu harus tahu, ini masalah besar: masalah yang menyangkut ribuan manusia, termasuk aku, kamu, dan seluruh negeri akan terkena batu akibat anggaran belanja negara yang terisap dan kebobolan demi ambisi kaisar yang tidak jelas. Supaya ambisi itu padam, sumbunya, Ceng Ho harus dihabiskan. Kamu mengerti?"
Hua Xiong menghormat. "Tenanglah, Tuan Menteri."
"Jangan asal buka mulut kamu," kata Liu Ta Xia. "Apa yang membuatmu yakin?"
"Maaf, Tuan Menteri," kata Hua Xiong. "Dang Xhua tidak mungkin keliru memilih ular. Dia sendiri pandai menjadi tikus."
Lalu, sekonyong-konyong terdengar seseorang membuka pintu. Kedua orang, baik menteri maupun Hua Xiong serta-merta menoleh ke pintu itu. Di situ muncul Dang Zhua tergopoh-gopoh. Keringat berbintik di dahinya. Dia berdiri bingung.
Liu Ta Xia melihat sesuatu yang mungkin membuat hatinya tawar. Maka dia maju mendekati Dang Xhua, menjejalkan pertanyaan yang menunjukkan keinginannya untuk memperoleh jawaban yang semoga menggirangkan hati. Dia tarik baju Dang Xhua.
"Jangan bilang tugasmu gagal," kata Liu Ta Xia. "Dari sikapmu yang persis seperti tikus basah, sudah kelihatan gambaran sial, cialat. Ayo, katakan."
Dang Xhua berusaha menegakkan benang basah. Kalimatnya tidak lancar mengalir dari mulutnya. Katanya, "Bukan gagal, Tuan Menteri. Ini hanya persoalan waktu. Dalam banyak waktu, ada satu waktu di mana keberhasilan masih tertunda."
Liu Ta Xia menarik baju Dang Xhua. Dia menekan. "Tidak usah berbelit," kata dia. "Berbicara yang sebenarnya. Apa yang terjadi?"
"Maaf, Tuan Meteri. Seperti yang baru saya katakan, malam yang sedang berjalan ini keberhasilan belum tercapai. Tapi, malam ini belum mendekati pagi. Malam ini masih malam. Percayalah, Tuan Menteri, sebelum matahari terbit di ujung malam, ular yang melaksanakan perintah rahasia ini akan menyelesaikan tugasnya dengan sukses. Sebelum fajar, Wan San sudah akan mengabarkan kepada kita tentang kematian Ceng Ho."
Liu Ta Xia memandang nanar ke wajah Dang Zhua. Ada asap di kepalanya yang membuatnya gusar. Sementara di hatinya kelihatannya ada magma yang terus-menerus hendak melanda siapa saja yang dianggapnya musuh.
Benih-benih pikiran dan perasaan yang membuat Liu Ta Xia menjadi begini, asalnya semata karena dia tidak setuju gagasan sang kaisar, Zhu Di, mengutus pelayaran muhibah ke selatan dan terus ke timur yang dipimpin oleh Ceng Ho. Selalu dia berkata di belakang sang kaisar: "Kalau benar Zhu Di hanya bermaksud mengutus Ceng Ho ke negeri selatan sebagai utusan muhibah, mengapa negara harus mengeluarkan anggaran begini besar, membuat 208 kapal, armada, dan orang bersenjata 28.000 orang, dan dana pelayaran untuk 7 kali mengarungi laut dari Laut Cina Selatan sampai ke Jawa?"
Karena tak setuju pada gagasan Kaisar Ming itu, Liu Ta Xia diam-diam melakukan gerakan rahasia untuk menyingkirkan Ceng Ho. Dia berpikir, kalau Ceng Ho yang selama ini sangat dipercaya oleh Zhu Di mati, selesailah gagasan sang kaisar untuk melaksanakan misi muhibah yang aneh itu. Dia memercayakan tugas gelapnya itu kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, sebab kedua orang ini adalah abdi-abdi yang bekerja padanya dengan kepatuhan yang melebihi batas absurd.
****
Demikianlah Wan San yang dipercaya oleh Dang Zhua dan Hua Xiong, kini, di malam yang merangkak menuju larut, telah berhasil mengumpulkan pendekar-pendekar bayaran, sejumlah dua belas orang, berangkat ke rumah Ceng Ho untuk melaksanakan tugas rahasia itu.
Kedua belas orang itu mengendap-endap di dalam gelap. Mereka membagi diri dalam empat kelompok, muncul ke situ dari arah utara, selatan, barat, timur. Wan San terbang dengan gesit ke atas atap. Dia satu-satunya di antara semuanya yang mengenakan tutup hitam di mukanya.
Mereka mengintai. Mata Wan San tak berkedip melihat ke bawah, ke ruang tidur Ceng Ho. Di situ Ceng Ho tidur tak nyenyak, memikir-mikir tentang serangan hampir tiga jam yang lalu. Dia curiga, jangan-jangan salah seorang yang melarikan diri tadi itu akan kembali lagi. Pikiran ini yang membuatnya tak nyenyak begini. Selalu, ketika pikirannya tak tenang, tidurnya pun menjadi terganggu.
Dalam keadaan begitu, dia merasakan sesuatu. Bunyi yang tak bergetar di atas atap rumahnya cukup terekam dalam telinganya. Keruan dia terjaga. Matanya terbuka lebar. Dia pun segera waspada. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan ke depan.
Dia terkejut, walaupun ini tidak berarti dia terguncang, sebab ternyata sudah ada empat orang di dalam rumahnya. Keempat orang itu langsung menyerangnya dengan pedang-pedangnya. Mula-mula Ceng Ho menangkis hanya dengan menggunakan tangan kosong. Dan, dia memang sangat piawai melakukan itu, sehingga keempat orang itu merasa tak percaya diri selain mata-mata naluri untuk membunuh belaka.
Tetapi kemudian muncul lagi empat orang ke dalam serambi dan menyerang Ceng Ho dengan sangat liar. Akhirnya, menanggapi dengan perbuatan dan perhitungan, Ceng Ho pun mengambil pedang, lalu melayani kedelapan orang itu. Perkelahian pun berlangsung seru. Namun sudah suratan kedelapan orang pendekar bayaran itu tumbang, tewas, satu per satu tergeletak sia-sia di lantai.
Empat orang yang tersisa yang tergolong lebih cekatan dan lebih sangar menyerang Ceng Ho dan menggiring ke halaman. Agak lama perkelahian di luar ini. Sebab keempat orang terakhir, dengan satu orang yang menutup muka sebagai pemimpin, berkelahi dengan ilmu tinggi. Sungguhpun begitu akhirnya mereka semua kalah oleh Ceng Ho. Satu per satu pula keempat pendekar tangguh itu dikalahkan Ceng Ho. Mereka tumbang di tanah.
Kini tinggal satu orang yang menutup muka tersebut. Dengan kelincahan yang hebat Wan San membuat Ceng Ho terpesona pada kemampuannya berkelahi dengan pedang. Namun harus sekali lagi dikatakan, pendekar hebat pada giliran terakhir ini harus juga mengakui keunggulan Ceng Ho. Dia harus mengaku bukan dengan kata-kata, melainkan menerima kekalahan yang tak sempat terucapkan. Dia tidak bisa berkata apa-apa, sebab di ujung perkelahian itu pedang Ceng Ho telah menebas perut dan dia pun mati konyol di situ. Apabila ingin bicara, dia bicara sebelum mengembuskan nafas terakhir.
Mula-mula Ceng Ho memotong kain hitam yang menutup mukanya dengan ujung pedang yang tajam dan lancip. Begitu kain tersingkap, Ceng Ho terkejut memandang muka orang itu.
"Wan San?" desisnya, hampir tak percaya. "Apa maksudmu hendak membunuhku?"
Wan San menceracau. "Terkutuk kamu oleh Dewi Penguasa Langit Barat dan Langit Timur: Xi Wang Mu dan Dong Wang Gong."
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Ceng Ho.
"Jangan harap rahasia ini kamu ketahui," ucap Wan San ketus, menyeringai sehingga gigi-giginya tampak seperti gigi hewan pemangsa. "Rahasia ini akan kubawa bersama kematianku." Dan, dia balikkan arah pedang dan menikam perut dalam-dalam. Ceng Ho termangu. Apa boleh buat. Rahasia itu tetap rahasia.
***
Dang Zhua dan Hua Xiong pasti kecele.
Tetapi mereka juga tegang. Setidaknya Liu Ta Xia akan mendamprat mereka sebab Wan San tidak muncul sampai fajar menyingsing di ufuk yang sama dengan kemarin.
Dang Zhua dan Hua Xiong menunggu di depan rumah Liu Ta Xia dengan gugup dari menit ke menit. Begitu matahari menerangi bumi, berangsur-angsur mereka yakin telah terjadi sesuatu di luar rencana. Risiko paling buruk pun sudah terlintas sebagai gambar aneh dalam pikiran mereka.
Ketika ufuk timur mengabu-abu, Liu Ta Xia mondar-mandir di serambi besarnya, lantas menuding Dang Zhua dan Hua Xiong di kursi mereka. Katanya antara cemas dan geram, "Sebentar lagi matahari keluar di sana. Lantas apa yang mau kalian katakan sekarang? Mana berita tentang keberhasilan orang kalian?"
"Maaf, Tuan Menteri," ujar Dang Zhua. Hanya itu yang sempat terkatakan lewat mulutnya.
Liu Ta Xia kini tampak lebih cemas daripada tadi. Katanya, "Lima pukul waktu setelah matahari keluar, Kaisar akan memberikan sabda tentang Ceng Ho yang akan memimpin pelayaran muhibah yang memboroskan keuangan negara."
Dang Zhua memberanikan diri memberikan saran, "Setidaknya lima jam cukup untuk merancang gagasan baru, Tuan Menteri." Liu Ta Xia marah. "Lancang!" katanya, "Jangan bermain-main dengan waktu. Hukum alam atas hadir atau tersingkir sangat ditentukan oleh kemampuan manusia memanfaatkan waktu."
Hua Xiong lebih tegas keberaniannya memberikan pendapat pada sang menteri. Katanya, "Tenanglah, Tuan Menteri. Sudah saya katakan Dang Zhua tidak mungkin salah memilih ular. Ular yang mengemban tugas rahasia ini pasti berhasil. Cepat atau lambat kita akan masuk ke dalam waktu yang membuat kita memikirkan tindakan selanjutnya."
"Wan San ular yang tidak terlacak," kata Dang Zhua. "Dia pasti memegang rahasia."
"Kenapa kamu bilang begitu?"
"Sebab, waktu memang sangat perkasa, Tuan Menteri. Siapa tahu sang waktu menghendaki lain."
Liu Ta Xia berteriak. Dia marah betul. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Dang Zhua. "Jangan main-main kamu!" katanya. "Fajar sudah menyingsing. Apa kamu mau bilang ularmu itu gagal?"
"Kalau ular gagal, setidaknya tikus masih tetap sanggup bermain pada malam gelap?"
"Besok masih ada malam, Tuan Menteri," kata Dang Zhua. "Tikus tidak pernah berhenti bermain dalam gelap. Tikus pun sanggup bermain di comberan sekalipun. Akulah tikus, Tuan Menteri."
Liu Ta Xia cemberut. Sulit bagi dia menerima berita buruk yang mungkin saja datang sekejap lagi.
Sang waktu jua yang akan menjawab.
***
Dang Zhua, Hua Xiong, dan Liu Ta Xia tinggal menunggu waktu itu. Berita yang menggemparkan. Dan, mereka tidak tahu Ceng Ho yang membuat itu.
Apa yang diperbuat Ceng Ho?
Tadi, ketika malam masih hitam, sehabis mengalahkan dan mematikan semua begundal yang diupah Dang Zhua dan Hua Xiong, Ceng Ho menyeret dan membawa semua mayat mereka ke jalanan menuju ke pasar dan memberdirikan mayat-mayat itu di sana. Seluruh mayat berjumlah 18 sosok. Mereka adalah orang-orang yang mati di jalanan menuju ke rumah Ceng Ho dari perjalanan sehabis salat isya tadi dan yang mati di dalam rumah dan halaman rumahnya. Mayat-mayat itu dia buat seperti orang-orang yang berdiri bersandar di tembok. Setelah melakukan itu, Ceng Ho kembali melanjutkan tidur.
******
Kini, di pagi hari, terjadi kegemparan. Mulut sambung-menyambung dari jalanan ke pasar sampai ke rumah Liu Ta Xia, memberitakan tentang mayat-mayat tersandar di tembok jalan menuju ke pasar. Pembantu-pembantu di rumah Liu Ta Xia pun gaduh menggunjingkan mayat-mayat itu.
Pada waktu itu Liu Ta Xia baru saja hendak tertidur karena letih melek sampai fajar. Dua orang dekatnya, Dang Zhua dan Hua Xiong, malah sudah tertidur di kursi depan serambi rumah Liu Ta Xia. Mendengar kegaduhan itu Liu Ta Xia terjaga.
"Ada apa itu?" tanya dia ke pembantu rumahnya.
"Orang-orang di pasar geger, Tuan Menteri."
"Kenapa?" tanya Liu Ta Xia.
"Ada delapan belas mayat diberdirikan di tembok jalan menuju pasar, Tuan Menteri."
"Apa katamu?"
"Saya tidak bohong, Tuan Menteri. Saya pun baru dari sana, melihat dengan mata kepala sendiri."
Liu Ta Xia berteriak marah, "Sudah, diam!"
Dan dia berputar-putar dalam serambi. Saat melihat Dang Zhua dan Hua Xiong masih tertidur di kursi, dia mengambil seember air, lalu membanjurkan ke muka Dang Zhua dan Hua Xiong. Keduanya terbangun, kaget, dan akhirnya melompat. Kata Liu Ta Xia dengan geram, "Kalian semua cuma burung-burung hwa-mei, berkicau tanpa bukti."
= = = =
Antara percaya dan penasaran, akhirnya Liu Ta Xia berjalan cepat ke jalanan yang menuju ke pasar tersebut. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti juga. Sebagai orang besar, menteri, keruan dia mendapat hormat dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Setelah tiba di tempat kedelapaan belas mayat yang diberdirikan di tembok itu, wajah Liu Ta Xia berubah dari merah ke putih. Dia menarik baju Dang Zhua, tetapi kemudian melepaskan kembali, menyadari kalau-kalau orang akan memperhatikan tindakannya. Meski mengendurkan tangan, tidak surut panas hatinya terhadap Dang Zhua.
"Huh, tikus macam apa kamu ini?" kata Liu Ta Xia. "Pandir, tolol, dungu. Jangan pula kamu mengaku ularmu itu cerdik."
Dang Zhua tak membantah. Dia menundukkan kepala sebagai orang yang kalah, rugi, dan sial. Begitu juga Hua Xiong.
"Sekarang terserah nasib," kata Liu Ta Xia, "kalian hanya tikus-tikus got yang buruk."
Liu Ta Xia berputar badan. Dengan jengkel, menyesal, dan kemarahan yang kian besar, dia langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti dari belakang. Baru saja berapa belas meter Liu Ta Xia melangkah, dari arah depan muncul Ceng Ho. Keduanya sama-sama terkesiap.
"Ceng Ho?" kata Liu Ta Xia menyapa lebih dulu.
"Selamat pagi, Tuan Menteri," kata Ceng Ho ramah.
"Kamu baru datang untuk melihat ini?" tanya Liu Ta Xia.
"Ya. Maaf, Tuan Menteri," jawab Ceng Ho, "kelihatannya Tuan Menteri datang lebih pagi daripada saya."
"Coba periksa siapa mereka itu?"
"Baik Tuan Menteri, akan saya lakukan."
Ceng Ho maju.
Liu Ta Xia membalik memandang Ceng Ho. "Kelihatannya mereka orang-orang Man-Cu.""Dari mana Tuan tahu?"
Liu Ta Xia agak kagok. Dia seperti orang buta mencari-cari pegangan. Katanya, "Saya hanya menduga-duga."
Liu Ta Xia berlalu. Ceng Ho memandang dari belakang. Dari wajah Ceng Ho terlihat sesuatu yang mengusutkan pikiran. Dia tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Liu Ta Xia, walaupun dia tahu betul menteri itu tidak pernah mendukung gagasan Kaisar untuk mengutus misi muhibah ke selatan.
BAGIAN 2
Mau tak mau pemajangan mayat-mayat di tembok jalanan menuju ke pasar telah menjadi gunjingan dan topik percakapan yang tak henti-henti. Pergunjingan itu terjadi pula di sebuah rumah minum yang ramai di kota.
Dua orang duduk dengan dua cangkir ciu sedang asyik bertutur.
"Hanya orang yang betul-betul sakti yang mampu membunuh delapan belas orang lantas memasang mayat-mayat itu di tembok seperti patung-patung penjaga kota," kata seseorang yang arif. Dia bernama Tan Tay Seng, penyair musafir yang selalu membawa tehyan.*)
"Kira-kira siapa ya?" kata yang seorang.
"Mungkin Ceng Ho," kata Tan Tay Seng.
"Apa urusannya?"
"Siapa tahu orang-orang itu mau menjajal kesaktiannya."
"Kenapa begitu?"
"Ya, entah," jawab Tan Tay Seng, "tapi, katakanlah itu seperti hukum pasar. Mereka menjual, Ceng Ho membeli. Dan karena yang menjual tidak punya pengetahuan berdagang, mereka langsung gulung tikar."
"Kenapa kamu mengira yang melakukan itu Ceng Ho?"
"Aku tidak bilang, 'aku yakin.' Tadi aku bilang, 'mungkin ' Ceng Ho."
"Kalau memang itu mungkin Ceng Ho, lantas apa alasan dia membeli yang dijual?"
"Siapa tahu ada permainan tingkat tinggi di baliknya. Dagang eceran menghasilkan pukulan kecil. Delepan belas orang sekaligus yang mati menunjukkan ini perdagangan dengan modal besar. Aku tidak peduli siapa yang bermain. Buatku keadaan ini menarik. Itu saja."
Lantas Tan Tay Seng meneguk isi cangkirnya. Gila juga. Pagi baru saja berawal, tapi dia sudah meneguk ciu. Besok lusa orang akan mengetahui bahwa dia pemuda yang tidak bisa disepelekan. Dia termasuk cempiang yang tangguh.
****
Tan Tay Seng pun melangkah santai. Dia melihat ke arah istana Ming. Itulah lambang kebesaran Cina pada masa depan. Dia hanya memandang sekilas. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak, sebentar lagi Zhua Di, sang kaisar, akan mengumumkan gagasannya untuk mengirimkan misi muhibah ke selatan. Menteri-menteri akan hadir di sana. Semuanya.
Di mana Liu Ta Xia menjelang jam-jam pengumuman yang akan dilakukan Zhua Di?
Liu Ta Xia berada di suatu tempat tersembunyi. Di sana ada salah seorang istri raja. Kedengarannya Liu Ta Xia sedang merayu, atau mungkin juga memengaruhi pikiran sang permaisuri.
"Begini, Tuan Putri," kata Liu Ta Xia. "Aku hanya khawatir. Keputusan Kaisar yang diumumkan nanti adalah gagasan yang tidak masuk akal. Selain merupakan pemborosan, keuntungannya sama sekali tidak terbayang. Di samping itu, alasan misi muhibah terlalu mengada-ada. Kalau betul itu misi muhibah, kenapa di dalam pelayaran itu dianggarkan 27.800 tentara? Baik tentara yang sudah ada maupun tentara-tentara milisi. Siapa yang percaya itu?"
"Apa boleh buat, Menteri Liu," kata sang permaisuri.
***
Ya, sudah. Apa boleh buat? Liu Ta Xia terpaksa pergi dengan berat kaki ke tempat sang kaisar akan mengumumkan gagasan itu. Dia duduk di sebelah kanan, berhadapan dengan Ceng Ho yang berada di sebelah kiri. Setelah semua berada di balairung barulah Zhua Di datang. Dia kemudian duduk di kursi kebesaran.
"Perhatikanlah sekeliling ini, Ceng Ho," kata sang kaisar, Zhua Di. "Aku juga meminta semua yang hadir di sini memperhatikan Ceng Ho. Hari ini aku akan bersabda kepada semua yang hadir, suka atau tidak suka mendengarkan keputusanku mengangkat Ceng Ho selaku Sam Po Kong untuk memimpin pelayaran muhibah ke selatan.
"Muhibah ini sangat penting bagi Negeri Cina. Sebab dengan tindakan ini orang di seluruh dunia akan memandang Tiong Kok sebagai pusat negeri dan mengenang Dinasti Ming sebagai lambang peradaban paling tinggi dan kebudayaan paling dibya. Citra Tiong Kok dan Dinasti Ming akan sangat ditentukan oleh kemampuan Ceng Ho memimpin pelayaran muhibah. Saya minta semua memberi hormat kepada Sam Po Kong."
Semua memberi hormat kepada Ceng Ho.
"Sekarang kita ingin mendengar apa kata Ceng Ho," kata Zhu Di seraya mengangkat tangan kanan, menyuruh Ceng Ho bicara.
Ceng Ho memberi hormat khusus kepada Zhua Di. Dia berkata dengan sangat takzim, "Hamba patuh, Paduka Kaisar. Hamba sudah mengabdi dengan patuh dan setia kepada Dinasti Ming sejak hamba muda belia, sejak pemerintahan ayahanda Paduka, Zhua Yuan Zhang, hingga pemerintahan Paduka. Hamba, putra Ma Ha Zhi, orang Yun Nan, yang ketika itu bernama Ma He, sudah menjadi sida-sida bagi Ming. Hamba pun sudah berperang demi Paduka untuk mengalahkan bala tentara Zhu Yun Wen di Nan Jing. Maka, daulat Paduka Zhua Di yang bijak bestari, sekarang pun hamba tetap patuh dan setia kepada segala keputusan Paduka."
"Aku senang mendengar itu, Ceng Ho," kata Zhu Di. "Semua yang hadir di sini sekarang perlu tahu, ada banyak tugas harus dikerjakan Sam Po Kong. Aku akan memerincinya sekarang."
Jeda sejenak. Zhu Di melihat semua yang berada di balairung. "Begini... walaupun yang akan aku sebut pertama dan kedua berikut bukan prioritas utama, keduanya harus diingat Ceng Ho sebagai tanggung jawab yang penting."
"Hamba siap mendengar dan melaksanakan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho merukuk di hadapan Zhu Di.
"Pertama, mencari dan menangkap raja terguling Zhu Yun Wen yang mungkin melarikan diri ke Campa atau mungkin juga ke Siam. Kedua, menangkap juga bajak laut Cina, Cheng Chi Yi, yang sekarang mengangkat diri menjadi raja di Palembang."
"Daulat Paduka, insya Allah demi pertolongan-Nya, hamba berjanji di hadapan Paduka Kaisar yang bijak bestari untuk melaksanakan amanat ini demi kejayaan Ming dan kebesaran Tiong Kok," kata Ceng Ho. "Setelah itu hamba sekarang siap mendengarkan prioritas utama apa yang harus hamba laksanakan."
"Baik," kata Zhua Di. "Prioritas utama Sam Po Kong dalam pelayaran ke selatan sebagai misi muhibah adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan negeri-negeri berpenduduk muslim, terutama dengan orang-orang Cina yang menjadi mubalig di tanah Jawa. Harus ditekankan, mereka semua adalah saudara-saudara kita. Setelah itu jangan lupa menjalin hubungan karib dengan masyarakatnya, membuka jaringan perdagangan di bawah pedoman saling menguntungkan dalam persaudaraan yang tulus. Karena itu jika ada anggota kita dalam ekspedisi yang menyimpang dan tidak berjalan di atas alur kebijakan ini, sebagai pemimpin kau punya hak bertindak, menindak, bahkan menghukum."
"Daulat Paduka, insya Allah hamba laksanakan perintah Paduka Kaisar," kata Ceng Ho.
"Negara menganggarkan dana untuk ekspedisi ini tujuh kali pulang-pergi pelayaran, 208 unit kapal serta 28.000 awak. Kau pun punya hak menyeleksi orang-orang yang akan berlayar. Jangan bawa orang yang tidak sepaham dengan gagasan ini," kata Zhua Di.
Di tempatnya Liu Ta Xia melengos dengan mulut melengkung ke bawah. Itu dia buat sebagai ganti menggeleng yang hampir dilakukannya. Dan, kendati melengos, tidak menarik perhatian seperti seandainya dia menggeleng, Zhu Di dapat menangkap isyarat tertentu yang tumbuh di bawah hati kecil Liu Ta Xia.
Karena itu berkatalah Zhua Di dengan memandang tajam ke arah Liu Ta Xia.
"Kelihatannya Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia hendak berkata sesuatu. Apakah dugaanku tidak salah, Liu Ta Xia?"
Liu Ta Xia berperangah. Kekagetannya membuat kagok. Selintas dia tampak seperti orang yang baru tergelincir. Kata-katanya terpatah, tapi dia cepat menguasai diri. "Tidak Paduka."
Zhua Di sekadar memberi telinga. Pertanyaan berikut bukan menguji, melainkan barangkali memancing. Katanya, "Apa maksud Anda, 'Tidak'? Apakah itu berarti: aku tidak salah menduga? Atau, apakah itu berarti: Anda tidak hendak berkata apa-apa?"
Liu Ta Xia menjadi culun bukan atas kemauannya, melainkan penemuan diri yang tak lepas dari sekadar mengenal naluri bersejarah dari kodratnya sebagai orang bawahan Kaisar. Katanya dengan kesungguhan tidak terncana, "Apa pun Paduka Kaisar. Aku memang tidak hendak berkata apa-apa."
"Baguslah," kata Zhua Di.
Kejadian itu semula tidak diwasangkai Ceng Ho. Sekeluar dari balairung dan ketika berjalan di sudut istana bersama Wang Jing Hong, Ceng Ho bahkan tidak menyadari sesuatu yang mencurigakan. Wang Jing Hong yang membangkitkan kewaspadaannya.
"Apakah Anda menangkap kesan tertentu dalam sikap Menteri Liu Ta Xia tadi?" tanya Wang Jing Hong.
"Katakan," kata Ceng Ho. "Apa yang kaulihat?"
"Aku kira Kaisar cukup jeli melihat sehingga bertanya begitu kepada Liu Ta Xia."
Ceng Ho meyakinkan dirinya sesuatu yang sebetulnya tidak beralasan untuk bersikap begitu. Katanya datar, "Memang bagitu gaya Kaisar."
"Tidak," kata Wang Jing Hong menyangah Ceng Ho.
"Percayalah," kata Ceng Ho mencoba meyakinkan dengan sedapat mungkin agar Wang Jing Hong percaya. "Aku sudah ikut dia sejak umur 12 tahun, sejak aku dikasimkan. Maka aku tahu betul gayanya."
"Ya, mungkin juga aku keliru," kata Wang Jing Hong tak kekurangan rasa percaya diri. "Tapi menurutku, sikap Liu Ta Xia yang menggeleng kepala dan melengos, menyembunyikan air muka di bawah Kaisar, adalah bukti telah berlangsung perasaan yang menunjukkan ketidaksukaannya."
Ceng Ho menalar sejenak. "Itu jamak," kata dia, mengantar pikiran yang tetap hendak mengatakan dirinya lebih mengenal perangai sang kaisar, dan bahwa sebagai menteri yang mengurus ekonomi dan keuangan, Liu Ta Xia wajar menjadi bengitu. Katanya, "Kalau sampai Liu Ta Xia menjerit pun, itu wajar. Dia menteri ekonomi dan keuangan. Dia kewalahan menghitung-hitung anggaran menyangkut gagasan besar sang kaisar.
"Menurutku bukan hanya itu," kata Wang Jing Hong bersikeras. "Kelihatannya ada yang Liu Ta Xia sembunyikan. Ketika dia berkata tidak hendak berkata apa-apa, di dalam sebetulnya tersembunyi dengan rapi apa-apa yang tidak terucapkan oleh mulut."
"Ah, jangan berprasangka buruk," kata Ceng Ho dengan nada yang mengarahkan Wang Jing Hong agar bersikap madya. "Kau tahu prasangka buruk dengan gampang membuat kebebasan berpikir kita mundur 100 tahun."
Ceng Ho menghentikan langkah. Dia tengadah ke langit. Matahari merangkak ke sore hari.
***
Menjelang malam, ketika sore tinggal kerangka, Liu Ta Xia duduk dengan perasaan kalah. Dua orang terpercayanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, berada di kitaran.
Jengkel sekali hati Liu Ta Xia ketika dengan suara dengki berkata kepada kedua orangnya itu, "Kayaknya Kaisar sudah disihir oleh tay-jin *) dari Yun-Nan itu. Sekarang aku tidak punya cara lain yang dapat menyingkirkan Ceng Ho."
Dang Zhua menunduk. Kesopanannya berlebihan. "Bolehkah aku bertanya, Tuan Menteri?"
"Apa pertanyaanmu?" tanya Liu Ta Xia.
"Yang betul mana: apakah Tuan Menteri tidak suka pada gagasan Kaisar untuk membentuk ekspedisi mahal itu ataukah Tuan Menteri tidak suka secara khusus pada Ceng Ho?"
"Kedua-duanya," jawab Liu Ta Xia. "kalian tidak perlu tanya alasannya. Tapi kalau kalian ingin tahu hal sebenarnya, jawabnya karena pertama, dia tay-jin dan kedua dia bukan Xu Xian Jiao. Sementara itu, karena ternyata dia memang sakti, aku harus berpikir menemukan siasat baru. Dan aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada tikus got macam kalian beraksi."
"Kami siap melakukan apa saja pada Ceng Ho demi Tuan Menteri," kata Dang Zhua.
"Yang penting aku baru saja memutuskan untuk memulai peperangan hari ini juga. Tugas kalian adalah membuat gunjingan-gunjingan jelek tentang Ceng Ho, terutama tentang pelayaran muhibah itu. Boleh jadi aku pun akan mengupayakan kalian masuk sebagai peserta istimewa dalam pelayaran itu."
Hua Xiong menundukkan kepala, menyatakan antara hormat dan suka ceria. Katanya seperti diucapkan Dang Zhua, "Kami siap melakukan apa saja demi Tuan Menteri."
"Begini," kata Liu Ta Xia, berpikir sejenak, dan dengan begitu terjadi jeda, lalu menemukan gagasan lancung yang membuatnya atoh bagai rajawali di angkasa menempuh puting beliung. "Dalam gunjingan itu, yang kalian lakukan di sembarang kesempatan, katakan ekspedisi yang menyertakan 27.800 orang, yang dibulatkan menjadi 28.000 orang, itu semata-mata untuk mencari 'cap kerajaan' yang dicuri seekor gajah putih. Siapa pun yang mendengarkan gunjingan kalian harus dibikin percaya bahwa ekspedisi itu konyol. Besok, pada masa datang, orang akan bingung meneliti sejarah bahwa kebesaran Ming dilingkupi oleh gagasan konyol gajah putih yang bisa mencuri cap kerajaan."
Dang Zhua dan Hua Xiong tersenyum. Kepatuhan sering membuat orang tampil dungu. Secara bersamaan kedua orang dekat Liu Ta Xia itu berkata, "Kami siap melakukan semuanya demi Tuan Menteri."
Maka sesuai dengan harapan Liu Ta Xia, mulailah Dang Zhua dan Hua Xiong kasak-kusuk di pelbagai tempat di mana orang mudah termakan dusta. Pada malam hari keduanya pergi ke rumah minum Lin. Tulisannya: Artinya: tetangga. Terlihat dari jauh.
Lin bukan sekadar rumah minum biasa. Di bagian depan memang tertata meja-kursi untuk orang yang ingin minum. Tetapi di bagian belakang ada beberapa kamar dengan perempuan-perempuan sundal berdandan menor siap ditumpaki. Jadi, Lin menyediakan minuman dan pelacur. Katakanlah Lin adalah rumah bordil. Sebagai rumah bordil, Lin termasuk berkelas.
Ke situlah Dang Zhua dan Hua Xiong pergi. Mereka duduk di bagian tengah. Ada orang lain lagi di sekitar mereka. Sambil duduk di kursi Dan Zhua dan Hua Xiong berpenampilan seakan-akan murung.
Pengelola Lin yang telah kenal benar pada Dang Zhua dan Hua Xiong menghampiri dan bertanya, "Tumben kalian kelihatan murung. Ada apa?"
"Aku pusing memikirkan negara," kata Dang Zhua. "Masa pelayaran Ceng Ho ke selatan semata-mata untuk mencari cap kerajaan yang dicuri seekor gajah putih."
Semua yang berada di bagian depan rumah bordil Lin serta merta mengarahkan mata mereka ke Dang Zhua. Ada yang tersenyum. Ada pula yang merengut.
"Maka daripada pusing minumlah sampai mabuk," kata pengelola Lin.
Lalu dia menundukkan kepala sedikit ke arah muka Dang Zhua dan berkata dengan suara dikecilkan. "Aku punya barang baru dari utara. Ada lima orang. Tinggal pilih. Umurnya sama-sama baru 15 tahunan. Mereka benar-benar akan menghibur orang yang pusing."
"O, Dang Zhua malah ingin dihibur sundal yang berumur 90 tahun," kata Hua Xiong. "Apa kamu punya stok yang 90 tahun?"
Pengelola Lin tertawa kecut.
"Gila," katanya.
"Tidak," kata Hua Xiong. "Ini serius. Dang Zhua pusing. Dia ingin mati juga melalui nenek-nenek 90 tahunan."
Pengelola Lin membuka sedikit bagian atas pakaiannya sehingga payudaranya mengintip. Katanya, "Kenapa harus mati kalau bisa menikmati hiburan dari tubuh perempuan. Hiburan akan membikin orang bersemangat hidup."
"O, Encik belum tahu ceritanya ya?" kata Dang Zhua.
Pengelola Lin menggelengkan kepala. "Belum. Ada apa?"
"Begini ceritanya, Cik," kata Dang Zhua. "Kakak Hua Xiong berumur 28 tahun. Tiga bulan lalu dia kawin dengan perempuan tua berumur 90 tahun yang kaya raya. Dia berharap setelah kawin sebulan dengan nenek 90 tahun itu, sang nenek mati dan kekayaannya otomatis menjadi miliknya. Ternyata, setelah sebulan kawin, kakak Hua Xiong yang baru 28 tahun itu yang kedapatan mati. Tahu kenapa, Cik?"
"Tidak," jawab yang ditanya.
"Menurut hasil pemeriksaan sin-seh, orang muda 28 tahun itu mati lantaran keracunan mengonsumsi susu yang kedaluwarsa," kata Dang Zhua.
"Apa?"
"Ya, Cik," kata Dang Zhua. "Begitulah nasib. Pasti orang muda itu keranjingan banget mengisap-ngisap susu nenek-nenek."
"Gila."
"Memang gila. Tetapi kalau Encik punya stok 90 tahun, sekali lagi, aku ingin jajal."
"Ah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Sekarang antar saya ke barang baru yang katamu 15 tahunan."
Hua Xiong berdiri dari kursi. Pengelola Lin berjalan di depan, masuk ke dalam.
***
Ketika Hua Xiong masuk ke dalam, Dang Zhua menghabiskan dulu arak yang dapat memabukkan. Dia memegang cawan sambil tertawa-tawa liar di situ. Setelah itu dia masuk pula ke dalam, ke kamar paling belakang.
Dia langsung meloncat dengan gaya orang-ombak, menjatuhkan diri ke ranjang, tengkurap di situ. Perempuan sundal yang berada di ranjang itu terkejut dan sedikit terguncang. Maklum, gadis itu anak orang miskin yang dijual untuk menjadi pelacur: suatu hal yang lazim terjadi sejak zaman Han.
Begitu menjatuhkan diri ke atas ranjang, Dang Zhua tidak hanya tengkurap atau terlentang. Tapi dia segera melakukan kerajinan tangan: menggerayangi perempuan muda itu.
Oleh nasib yang tidak menguntungkan belaka, bukan atas maunya, perempuan itu terpaksa menerima ini sebagai suatu kodrat yang semoga tidaklah kekal. Katakanlah, perempuan muda yang masih belasan tahun usianya itu menanggapi dengan dingin. Hal itu membangkitkan celoteh seenaknya di mulut Dang Zhua.
"Hei, kenapa kamu seperti mayat?" kata Dang Zhua. "Dingin kembaran es. Tidak ada gairah, tidak ada kehidupan."
"Maaf, Tuan," kata perempuan itu ragu.
"Kenapa?" tanya Dang Zhua. "Kamu masih baru?"
"Ya, Tuan."
"Baru apa? Baru cebok?"
Perempuan itu diam. Tiada kata dari mulutnya.
Dang Zhua merangkul dengan cara sumerowak, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan menindihnya.
Perempuan itu memucat. Tak lama kemudian dia menangis tanpa suara. Hanya luh cair keluar dari kelopak matanya. Tampaknya dia terpukul.
Keadaan itu malah membuat Dang Zhua keranjingan. Katanya seraya mengguncang-guncang tubuh perempuan itu, "Hei, jangan menangis. Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini johan, jagoan, cempiang yang akan ikut dalam misi muhibah Ceng Ho ke selatan untuk memburu cap kerajaan yang dicuri dan dibawa lari seekor gajah putih. Lihat mukaku ini. Namaku Dang Zhua."
Perempuan itu bengong. Bukan tenang, dia malah merinding seperti kedinginan.
Karena itu Dang Zhua jengkel, "Alah, menangis melulu kamu."
Perempuan itu tengkurap. Tubuhnya sengal-sengul menahan isak.
"Huh, menjengkelkan. Seperti anak anjing," kata Dang Zhua sambil bangkit dan pergi meninggalkan kamar.
Sang pengelola Lin seperti heran melihat Dang Zhua. Katanya dengan senyum nakal, "Kok cepat sekali?"
Dang Zhua geram. Dia menyemprot dengan kata bernada ketus. "Huh, barang barumu itu patung bernafas."
"Kenapa?" tanya pengelola Lin.
"Menjengkelkan," sahut Dang Zhua singkat. Dia duduk kembali di kursi yang tadi di bagian depan rumah bordil merangkap rumah minum ini.
"Menjengkelkan kenapa?" tanya pengelola Lin dengan niat yang biasa dilakukan orang seprofesi dengannya, yang harus membuat tamu tidak kapok. "Apa perlu gadis lain?"
"Tidak," sahut Dang Zhua. "Barang barumu yang itu keburu membuat seleraku buyar."
"Kalau begitu, ganti dengan yang lain. Sebentar lagi yang di kamar tiga selesai. Nama julukannya T'o. *) Pasti dia akan membuat malam makin panjang."
"Persetan," kata Dang Zhua. "Sudah, jangan berdiri di situ seperti patung. Tuangkan lagi arak buatku."
"Baik. Baik," kata sang pengelola Lin.
Dia berputar hendak ke samping, ke tempat tataan minuman, dan bersamaan dengan itu cempiang yang sudah banyak teruji keunggulannya, yaitu orang Hok Kian yang musafir, penyair dan pegesek teh-yan, Tan Tay Seng, masuk pula ke sini. Dia langsung duduk di pojok. Beberapa pasang mata langsung melihatnya.
Pengelola Lin mendatanginya. Dia memberi senyum yang klise dan bertanya dengan menggerak-gerakkan tangan, "Anda orang baru di sini?"
Tan Tay Seng hanya memandang muka pengelola Lin tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun dia memberi senyum yang diterjemahkan sebagai kata pembenaran.
"Mau coba anggurku?" tanya pengelola Lin.
"Yang paling memabukkan," jawab Tan Tay Seng.
"Tentu," jawab pengelola Lin. "Aku bisa melakukannya, mencampuri sari anggur paling anggur yang lebih memabukkan daripada anggur Ti Hsi **) sekalipun."
"Bagus," kata Tan Tay Seng.
"Dan, kalau Anda perlu mengendurkan saraf, kami punya stok gadis-gadis belasan tahun dari utara. Masih baru."
Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak sehingga semua mata melihatnya, termasuk Dang Zhua.
"Baiklah," kata Tan Tay Seng. "Aku membutuhkan perempuan dan anggur yang sanggup melahirkan ilham dari air mata dan mabuk, diantarkan ke gapura rindu dan dendam pada ketagihan atas nama cinta yang berpadu dusta."
"O ya, pasti, pasti," kata pengelola Lin. "Keduanya bakal Anda peroleh di sini. Kalaupun ada dusta di sini, kami menjualnya dengan kesungguhan. Yang penting Anda senang, kami pun senang."
Sedikit-sedikit Dang Zhua melirik ke arah Tan Tay Seng. Yang dilirik pun menyadari itu.
***
Di mejanya Dang Zhua telah menghabiskan beberapa cawan arak sehingga badannya bagai orang-ombak. Manakala Hua Xiong keluar dari kamar, dilihatnya Dang Zhua telah tak sadarkan diri di meja depannya. Di situ Dang Zhua tertidur dengan kepala basah.
Hua Xiong menggugahnya
"Dang Zhua, bangun."
Dang Zhua seperti melindur, "Kenapa?"
"Ayo kita pulang," kata Hua Xiong.
Kepala Dang Zhua terasa berat. "Apa kamu sudah selesai?"
"Sudah. Ayolah." Hua Xiong membantu memberdirikan.
"Bagaimana rasanya?" Dang Zhua bertahan di kursinya.
"Rasanya sama seperti semua perempuan. Cuma ini bedanya, dia masih perawan."
Mata Dang Zhua nanar. Seakan ada pengalaman baru yang menyengat kesadarannya. "Apa kamu bilang?"
"Ya, aku bilang, yang baru aku pakai itu masih perawan," kata Hua Xiong.
"Apa? Apa telingaku tidak salah mendengar?"
"Ya, telingamu tidak salah mendengar," kata Hua Xiong. "Gadis itu dijual bapaknya ke Lin sebab bapaknya dililit utang."
"Ha-ha-ha. Berarti kamu baru saja menjadi guru?"
"Apa maksudmu?"
"Ya. Kamu terpaksa mengajar anak ingusan untuk memasukkan belut ke dalam gua persembunyiannya."
"Ayo, sudahlah. Kita pulang," kata Hua Xiong menarik dan membopong keluar.
Malam sudah sangat larut. Sebentar lagi subuh.
***
Pada waktu subuh Ceng Ho berjalan bergegas-gegas menuju ke suatu tempat. Sambil berjalan cepat, sayup-sayup terdengar dari arah barat, ke tempat tujuannya itu, sipongang suara muazin mengimbaukan salat, "Ashshalatu khairu minannaum..."
Ceng masuk ke dalam masjid itu, bersembahyang di situ. Kali ini tidak ada lagi mata yang mengintai.
***
Meskipun yang mengintai tidak ada lagi seperti kemarin, bukan berarti orang yang menginginkan dia celaka sudah berhenti melakukan kejahatan.
Siang nanti, ketika orang mulai bekerja merampungkan kapal-kapal, khususnya kapal besar yang akan digunakan Ceng Ho, terlihat bagaimana Dang Zhua dan Hua Xiong datang ke rumah Liu Ta Xia dan langsung duduk di situ.
Tak lama kemudian tampak pula Liu Ta Xia dengan segala kelebihan dan kekurangan - dikatakan kelebihan karena dia cerdik dan sewaktu-waktu, seperti sekarang, menjadi licik; dan dikatakan kekurangan karena dia kadung menaruh rasa percaya kepada dua orang yang sebetulnya bodoh - datang dan duduk di hadapan Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Seperti kataku kemarin, aku akan berupaya memasukkan kalian ke dalam rombongan misi muhibah Ceng Ho," kata Liu Ta Xia dengan sangat bangga. "Tapi, kupikir, siasat ini tidak sederhana bagi orang seperti tikus got macam kalian."
Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang dengan wajah lugu dan cenderung dungu.
"Tapi, kalau kalian berada dalam ekspedisi Ceng Ho itu, kalian harus memiliki keahlian khusus. Sekarang aku ingin bertanya pada kalian berdua: apa interes kalian selain menjadi maling?"
"Ah, Tuan Menteri bercanda," kata Dang Zhua. "Sudah pasti interes semua lelaki di dunia adalah perempuan. Rekreasi yang paling menyenangkan: payudara besar, pinggul besar, tapi pinggang kecil, gua kecil, singset."
"Tadi malam aku mendapatkan itu, Tuan Menteri," kata Hua Xiong.
"Otak kalian memang dari dulu cuma sebatas puser ke bawah," kata Liu Ta Xia. "Kalau kalian tidak punya keahlian khas, kalian tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan Ceng Ho, dan itu berarti mubazir mengupayakan kalian masuk dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho."
"Tidak, Tuan Menteri, percayalah kami bisa diandalkan," kata Dang Zhua.
"Mana mungkin?" kata Liu Ta Xia. "Apa kalian tidak tahu, Ceng Ho itu tay-jin?"
"Apa masalahnya, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
"Kalian doyan perempuan. Mana mungkin kalian berkomunikasi secara akrab dengan tay jin?"
"Apa ruginya kalau terjadi jarak dengan Ceng Ho?" tanya Hua Xiong.
"Tolol," kata Liu Ta Xia. "Bagaimana kalian mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan kalau kalian tidak dekat. Jangan lupa ilmu Sun Tzu?"
Dang Zhua yang bertanya sekarang, "Jadi apa yang harus kami lakukan?"
Liu Ta Xia tak segera menjawab. "Aku sedang berpikir."
"Begini, Tuan Menteri Liu," kata Hua Xiong hendak bermegah-megah mengilas balik masa kanaknya. "Sewaktu anak-anak aku sudah terampil menghafal seluruh isi kitab suci Ko Ong Kuan Si Im Keng. Apakah ini boleh dianggap sebagai keahlian khusus?"
Liu Ta Xia berpikir, "Tunggu," kata dia. "Biarkan aku berpikir dulu."
Sambil membiarkan Liu Ta Xia berpikir, mengerutkan kening, membayang-bayang sesuatu yang menguntungkan, berkata Hua Xiong dengan lebih memegahkan diri, "Aku malah masih menghafal dengan lancar sampai sekarang, bukan saja kitab Buddha, melainkan juga Tao dan Kong Hu Cu."
Liu Ta Xia memandang tajam ke muka Hua Xiong. Dengan pandangan yang tidak berkedip, maka dalamnya ada perasaan ragu yang kemudian menjadi tidak percaya pada pernyataan Hua Xiong itu. Karena itu, berkata Liu Ta Xia dengan nada menekan, "Betul begitu?"
Hua Xiong plegak-pleguk. Ini meyakinkan bahwa dia hanya berbual. Katanya, "Setidaknya itu cita-citaku, Tuan Menteri."
"Cocotmu!" kata Liu Ta Xia.
"Tapi, saya tidak dusta, Menteri Liu," kata Dang Zhua. "Kalau soal hafal-menghafal saya sangat teruji. Sebagai penganut Zu Xian Jiao, bukan hanya kitab Ko Ong Kuan Si Im Keng yang aku hafal, melainkan juga Dao De Jiang."
"O, ya," kata Liu Ta Xia dengan ceria. "Kalau begitu aku sudah menemukan jawaban dalam pikiranku. Tepat sekali, ya, aku akan masukkan kalian berdua dalam ekspedisi itu, menyamar di sana sebagai penasihat spiritual Buddha dan Tao."
Dang Zhua dan Hua Xiong saling berpandang, bertanya sesuatu yang tidak terucapkan. Melihat itu Liu Ta Xia bertanya. "Kenapa? Kalian tidak sanggup?"
"Bukan, Tuan Menteri," kata Dang Zhua dan Hua Xiong bersamaan.
"Bukankah Ceng Ho itu muslim, Tuan Menteri?" lanjut Dang Zhua.
"Jangan potong omonganku," kata Liu Ta Xia. "Dengar baik-baik, supaya kalian tidak bertanya-tanya terus. Ceng Ho memang muslim, dan sebagai muslim dia masih berhubungan darah dengan Suo Fei Er, atau nama Arabnya: Sayidinia Syafii. Suo Fei Er itu menyerahkan diri kepada Kaisar Song pada 400 tahun yang lalu. Tapi kalian tidak usah pusing. Di dalam ekspedisi itu, orang Islamnya hanya dihitung dengan jari. Jumlah terbesarnya tetap adalah yang memuja Jing Tian Zun Zu. Karenanya, kalian bukan orang asing di kapal itu. Kalian harus cerdik melebihi ular, tapi kalian tetap harus mampu menjaga penampilan melebihi ketulusan merpati. Kalian mengerti?"
Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab serempak dan yakin, "Mengerti."
"Dan, yang paling utama, jaga rahasia ini," kata Liu Ta Xia sangat serius. "Segala macam musibah dan hal-hal buruk dalam pelayaran itu nanti harus kalian yang merekayasa. Kalian harus bisa membuat catatan-catatan jelek dari ekspedisi yang pertama ini agar tidak ada lagi lanjutan ekspedisi kedua sampai ketujuh. Kalian mengerti?"
Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, secara bersamaan sekali lagi mengucapkan kata yang tadi sudah mereka ucapkan, "Mengerti."
"Bagus," kata Liu Ta Xia. "Ini yang aku sebut sebagai suatu permainan takdir. Bertarung boleh kalah, tapi bergumul harus selalu menang. Kalian mengerti?"
Sekali lagi, kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab, "Mengerti."
Liu Ta Xia puas. Dia senang membayangkan keberhasilan. Sikap tak setujunya pada gagasan pelayaran yang dipimpin Ceng Ho berubah menjadi sikap tak suka kepada Ceng Ho.
***
Hebatnya Liu Ta Xia, di belakang Ceng Ho bisa mengekspresi sikap tak suka menjadi dengki yang beralasan. Tapi di depan Ceng Ho, apalagi ketika Ceng Ho berada bersama-sama dengan Zhu Di, dia dapat berlaku santun, bahkan menghargai dengan sikap yang hampir dapat dibilang tidak masuk akal.
Suatu siang Zhu Di mengajak menteri-menteri, termasuk tentu saja Liu Ta Xia, melihat-lihat pengerjaan kapal paling besar yang akan digunakan Ceng Ho.
Dalam melihat-lihat kapal itu Ceng Ho memperkenalkan juga nakhoda yang dipilih sebagai penanggung jawab navigasi, Wang Jing Hong.
Di suatu ruang tengah dalam perut kapal mereka berhenti, sebab Zhu Di tertarik melihat sesuatu yang tampak tak lazim sebagaimana bentuk fisik kapal umumnya.
"Kenapa di bagian ini tidak dibuat lepas saja supaya luas dan jembar?" tanya Zhu Di.
"Memang di bagian ini dirancang sebagai susunan ruang-ruang, Paduka," jawab Ceng Ho. "Ini untuk membuat kerangkanya menjadi lebih kuat, lebih kukuh, lebih pegas."
"Seberapa kuat?" tanya Zhu Di.
"Kalau sampai terbentur karang, setelah diempas badai misalnya, dan taruhlah sebagian badannya ada yang rusak atau bahkan hancur, dengan bentuk kerangka seperti ini kapal tidak mungkin tenggelam."
Zhu Di berdecak. "Apa yang membuatmu yakin?"
Liu Ta Xia juga menunjukkan sikap mengagumi. "Pasti sudah diuji coba," katanya.
"Ini memang bukan soal keyakinan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho. "Ini berdasarkan percobaan-percobaan dan pengalaman. Paduka Kaisar tahu, ayah hamba, Ma Ha Zhi, sudah berkali-kali berlayar ke barat lewat selatan sampai ke jazirah Arab."
Liu Ta Xia mencoba mengusik. Tadi dia menunjukkan sikap mengagumi, sekarang dia menguji. "Dulu, apakah ayah Anda juga memulai pelayaran dari utara sini?"
"Memang tidak," kata Ceng Ho. "Beliau berlayar melalui Yun Nan."
"Anda tahu, mengapa aku bertanya begitu?" tanya Liu Ta Xia. "Sebab, aku hanya ingin mengingatkan, medan di Laut Cina Selatan dari utara sini, dari Nan Jing, konon tidak sama."
"Anda memang betul, Tuan Menteri," kata Ceng Ho. "Tapi insya Allah, berkat restu Kaisar, kami akan sanggup mengatasi segala aral melintang."
Dan Ceng Ho menepuk bahu Wang Jing Hong. "Wang Jing Hong adalah mitra kami yang paling bisa dipercaya. Bukankah dari ajaran ayahanda Paduka Kaisar kami belajar bahwa dalam semua pekerjaan harus ada mitra yang sehati. Mitra yang sejati adalah mitra yang sehati."
"Kau betul sekali, Ceng Ho," kata Zhu Di. Dan dia berjalan ke bagian buritan, diikuti semuanya. Sambil berjalan ke situ, dia berkata, "Mitra yang paling benar dalam semua usaha yang berisiko tinggi, sebagaimana tugasmu sekarang, adalah mereka yang memiliki rasa percaya yang sama, walaupun dalam kemampuan berpikir yang berbeda." Di tengah sana dia berhenti lagi karena merasa percakapan ini harus didengar dengan serius. "Ingat, Ceng Ho, kau memimpin bukan saja militer dalam misi muhibah ini nanti, melainkan juga sipil. Militer sudah punya disiplin. Gampang diatur. Sipil yang sulit diatur. Sipil yang sudah menjadi kerumunan selalu menjadi sama seperti kawanan serigala. Soalnya mereka tidak punya disiplin yang sama seperti militer. Makanya dengan kapal ini kau harus memimpin mereka mewakili kebesaran Tiong Kok dan kejayaan Ming."
"Daulat Paduka Kaisar."
***
BAGIAN 3
Zhu Di benar-benar hanya memercayai Ceng Ho. Apa yang baru dikatakan masih akan diingat-ingat dalam kalimat yang berbeda pada hari-hari mendatang.
Pada suatu hari Zhu Di berdiri di sebelah Ceng Ho, menyaksikan latihan militer di sebuah lapangan. Mereka berada di bagian yang agak tinggi, sebuah podium yang dari atasnya dapat melihat seluruh bagian lapangan.
Sambil menyaksikan orang-orang yang berlatih berperang itu, berkata Zhu Di, "Yang jangan sampai kaulupakan, ekspedisi kita ini harus dilihat sebagai perluasan perdagangan di satu pihak sekaligus kerja sama kebudayaan di lain pihak. Tapi kau harus juga bisa mengatasi secara militer segala macam hambatan yang mengacaukan serta melecehkan Tiong Kok dan Ming. Jangan sampai berharap surga lantas yang didapat neraka."
"Ya, Paduka, saya akan camkan itu," kata Ceng Ho. "Tentara kita ini bisa diandalkan. Mereka akan saya gembleng, bukan hanya di darat, melainkan juga di laut."
"Lantas bagaimana dengan orang-orang sipil yang bisa ikut dalam pelayaranmu itu?" tanya Zhu Di. "Dari mereka, walaupun mereka sama seperti kawanan hewan yang tak bisa diatur, toh diharapkan kemampuan dagang mereka membuka peluang bisnis dengan negara-negara di selatan." "Ya, Paduka," kata Ceng Ho. "Pendaftaran untuk orang-orang sipil yang mau berniaga di Jawa akan dimulai besok."
***
Kertas-kertas pengumuman bagi khalayak yang berminat melakukan hubungan dagang di Jawa telah dipasang di tempat-tempat ramai. Salah satu ditempelkan juga di dinding rumah minum merangkap rumah bordil Lin. Di dalam sana tampak orang-orang yang biasa berlangganan di sini. Termasuk, orang-orang yang sekadar numpang lewat untuk mencari hiburan. Di antara orang-orang yang beraneka ragam kemauan itu terlihat juga Dang Zhua dan Hua Xiong di meja tengah dan Tan Tay Seng di pojok ruang.
Tampaknya Tan Tay Seng sedang menikmati mabuknya. Dalam mabuk begitu malah kreativitasnya mengalir. Dia berpuisi di situ dan menyanyikannya dengan menggesek-gesek teh-yan. Melihat kelakuannya yang eksentrik, tampak sikap tak suka di wajah Dang Zhua.
"Tambah lagi ciunya," kata Tan Tay Seng sambil mengangkat cawan. "Oh, aku sedang menikmati kembaraku ke selatan, ke Borobudur, mengukir huang-mei-tiau di langitnya, menikmati butir-butir emas yang mengubah butir-butir pada di sawah. Ayo, tuangkan ciu, kuukirkan harum bunga selatan dalam nyanyianku pada hari esok."
Orang-orang melihatnya sebagai orang mabuk saja jengkel dan nyinyir, terkecuali Dang Zhua dan Huan Xiong yang tampak gusar.
Tan Tay Seng tak peduli. Dia telah lupa diri. Walau begitu, dalam keadaan begini dia bisa menyanyi, mengiringi nyanyiannya dengan teh-yan.
"Yang kasim dari Yun Nan negari
Akan menjadi orang besar sejati
Dikenang nama di sejarah bahari
Sebagai Sam Po Kong nan bestari."
Begitu dia menyanyi. Dan dia menyanyi dengan acuh tak acuh, tak peduli apa ada atau tidak yang menyukainya. Nanti, sebentar lagi, dia akan mengetahui bahwa ada orang yang terganggu mendengar nyanyian orang mabuk. Orang yang tak suka mendengar nyanyian Tan Tay Seng itu adalah Dang Zhua.
Dang Zhua menghardik Tan Tay Seng. "Hei, pemabuk, hentikan suara kentutmu. Alat musikmu itu pun terdengar seperti gergaji tumpul."
Tan Tay Seng tidak menggubris. Malah jika dia perlu menanggapi Dang Zhua, dia akan menggunakan kata-kata yang mungkin membuat Dang Zhua naik pitam.
"Hei, apa pedulimu?" kata Tan Tay Seng. "Mulut, mulutku sendiri; suara, suaraku sendiri, kok bolehnya situ yang usil." Lalu dia berseru kepada pengelola Lin. "Ayo, Cik, tuangkan lagi ciu buatku, mumpung sendi-sendi dalam tubuhku masih bergairah, wahai dewa mabuk, mabuki aku, biar aku terbang menemui dewa langit utara Xuan Tian Shang Ti*) dan memberi salam tabik dengan bunga-bunga kepada dewa penguasa langit selatan Wu Fu Da Di. **) Dengar, kupingkanlah nyanyianku."
Dan Tan Tay Seng menyanyi lagi dengan acuh, menggesek-gesekkan teh-yan dengan terampil.
"Ceng Ho yang memimpin pelayaran
Meninggalkan Tiong Kok ke selatan
Untuk mencari itu cap kerajaan
Yang dicuri gajah putih sialan."
Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong, apalagi orang-orang lain, di rumah minum dan rumah bordil Lin terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng. Bagi Dang Zhua, nyanyian Tan Tay Seng itu merupakan kejutan: betapa gunjingan yang disebarkannya telah ditampa orang banyak, setidaknya satu, Tan Tay Seng.
Namun, sungguhpun Dang Zhua dan Hua Xiong sama-sama terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng, kemarahan yang telah berada di hatinya tak hendak dia perintahkan untuk surut. Adalah Hua Xiong yang lebih dulu tak kuasa menahan emosi. Dia menyerang Tan Tay Seng karena jawaban Tan Tay Seng tadi yang mengatakannya usil. Dia tidak menduga sama sekali Tan Tay Seng selain seorang penyair dan penyanyi adalah juga pendekar yang hebat.
Maka, ketika Dang Zhua menyerang Tan Tay Seng tanpa memperhitungkan kemungkinan ditangkis dan dibalas, dia pun terlambat. Tidak ada pujian buat orang yang keliru bertindak lantaran salah berhitung. Tangkisan Tan Tay Seng betapapun telah membuat keseimbangan pikirannya terganggu. Dang Zhua menyerang lagi. Tan Tay Seng lebih siap. Dengan gerakan-gerakan amat lincah dan cepat, hanya dalam waktu sangat singkat, Dang Zhua sudah keok seperti ayam jago yang terlempar oleh taji lawan.
Melihat Dang Shua kalah, Hua Xiong pun geram dan menyerang Tan Tay Seng dari samping. Terjadi pukul-memukul. Tetapi itu tidak berimbang. Sudah jelas kentara Tan Tay Seng bukan anak muda sembarangan. Dia betul-betul seorang cempiang. Dengan kedua tangan dia berhasil melumpuhkan Hua Xiong. Bersama dengan Dang Zhua, keduanya tergeletak seperti ikan hiu di atas meja lelang pasar ikan, tiada lagi sima yang boleh dibanggakan.
Di atas kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia itu Tan Tay Seng berdiri berkacak pinggang, menawar tantangan bagi siapa pun yang mau menerjang lagi.
"Masih ada yang penasaran?" kata Tan Tay Seng. "Kalau ada yang berminat, aku pun masih bersemangat. Mumpung mabuk, dan dalam mabuk aku dikawal oleh tiga puluh enam panglima langit, San Shi Liu Guan Jiang.
Lalu Tan Tay Seng mengambil cawan, mengarahkan itu ke pengelola Lin. "Ya, tambah lagi ciunya. Tambah satu, tambah dua, tambah tiga, dan aku ingin tidur di sebuah dusta, mimpi bersama tiga klangenan T'ang , antara Tu Fu, Li Tai Po, Ts'en, Ts'an, Pu Chu Yi, Li Shang Yin....
Tampaknya semua orang yang berada di situ memilih bersikap tidak bermusuhan. Itu sikap yang aman, memang. Tan Tay Seng menjadi tokoh yang melahirkan bisik-bisik. Orang akan berbisik tentang dia jika melihatnya berjalan di tempat ramai. Untung, orang tidak berbisik-bisik tentang kejelekannya, tetapi tentang ketangguhan dan kepiawaiannya berkelahi.
***
Demikian juga terjadi pada pagi itu. Menjelang tengah hari Tan Tay Seng kelihatan berjalan di jalanan menuju ke pasar. Di tembok yang pernah diberdirikan mayat-mayat itu terlihat plakat kerajaan dipasang oleh petugas kerajaan. Setelah plakat itu terpasang, orang-orang berkumpul membacanya.
Ada seseorang yang lantas menceletuk setelah membaca plakat itu. Katanya, "Apa-apaan ini? Dicari orang-orang sipil yang kuat dan punya pengetahuan tertentu untuk dikembangkan di negeri-negeri selatan."
Seseorang yang lain malah mencibir menanggapi. "Huh, untuk mati konyol di Laut Selatan bersama tay-cin dari Yun Nan. Kurang kerjaan?"
Orang yang berdiri di samping tampaknya tidak senang mendengar pernyataan itu. Dia menuding dan menghardik. "He, Bung, jangan sembarang buka bacot kamu. Jangan menghina Ceng Ho."
Bukan undur dari sikapnya membuka mulut tadi, orang ini malah mengucapkan kata-kata bernada menantang. Katanya dengan ketus, "Memangnya siapa yang melarang aku kalau aku ingin buka bacot seperti ini."
"Tapi jangan bawa-bawa Yun Nan. Aku juga orang Yun Nan."
Bukan kendur, malah orang yang kepalang berbicara keras itu makin menunjukkan sikap siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan berani dia berkata, "Memangnya kenapa kalau kau ingin bilang Ceng Ho itu Yun Nan, dan aku tidak percaya pada Yun Nan."
Sekonyong-konyong tangan orang yang marah itu bergerak ke arah muka yang satunya. Tangan itu mengena bagian tubuh yang diharapkan oleh yang memukul itu. Yang terkena pukul lantas menjawab. Dan begitu keduanya siap memasang kuda-kuda untuk siapa yang lebih dulu punya peluang mengalahkan, syahdan Tan Tay Seng bertindak, berdiri di tengah-tengah, melerai.
"Sudah! Jangan berkelahi," kata Tan Tay Seng.
Walau begitu kedua orang yang berselisih pandangan itu tak berhasil diteduhkan. Yang kiri meloncat, menyerang yang kanan.
Tan Tay Seng berteriak, "He, jangan berkelahi kataku, hei."
Namun tetap saja kedua orang itu berkelahi, tak mau mendengar teriakan Tan Tay Seng. Yang disebut ini mengentakkan kaki, memperagakan perasaan jengkelnya.
"Ya, sudah, berkelahilah kalian," kata Tan Tay Seng. "Biar aku memainkan teh-yan." Tak cuma ngak-ngik-nguk, dia malah menyanyi:
Aku berhenti terbang di langit Nan Jing
Bertengger di pohon atas Sungai Liu Ja
Menyaksikan dua ekor pendekar kecowak
Yang bertikai tentang tay-jin dari Yun Nan
Tay-jin dari Yunan diberi tugas oleh Kaisar
Memburu sampai ke Campa atau ke tanah Siam
Menangkap seekor gajah putih pencuri
Yang telah melarikan cap kerajaan Ming."
Orang-orang yang berada di situ tertarik melihatnya. Mereka pun ramai melendong, berkerumun, mengitari Tan Tay Seng. Sementara itu Tan Tay Seng dengan naif sekali, seperti seorang anak kecil yang bermain-main dengan dunianya, tidak peduli apakah ada atau tidak orang yang menyaksikan.
Salah seorang di antara kerumunan itu bertanya kepada Tan Tan Tay Seng, "He, Bung, dari mana kamu tahu cerita seekor gajah putih melarikan cap Kerajaan Ming?"
Dengan santai Tan Tay Seng menjawab, "Ilham seorang penyair bisa lahir di rumah bordil. Apa kalian tidak suka?"
Ada yang berdiri di depan kerumunan itu melempar sekeping uang, dan sambil melakukan itu, dia pun berkata, "Nyanyikan lagi, ayo."
"Terima kasih,"kata Tan Tay Seng. Dia buka topinya lantas mengarahkan ke kerumunan itu, mengharapkan sawer. "Aku akan nyanyikan lebih seru lagi."
Orang-orang itu pun memberikan sawer. Yang lain berbisik-bisik. Setelah itu Tan Tay Seng berlakon. Kali ini dia membuat orang-orang itu terkesima. Dia menyanyi, bermain teh-yan, tapi juga melakukan gerakan-gerakan silat yang cekatan. Nyanyian yang dia peragakan merupakan kisah yang sangat populer di Cina sejad abad ke-2 Masehi, yaitu tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi - kisah yang ditulis di Feng Shu T'ung oleh Ying Shao - mirip cerita Nabi Sulaiman dalam sumber Perjanjian Lama Nasrani.
Yang dinyanyikan Tan Tay Seng benar-benar merupakan tontonan teater seorang diri. Untuk peran wanita, dia menyanyikan dengan membuat suara seperti suara perempuan, dan untuk peran Huang Pa, tokoh menteri kepala yang juga sangat terkenal dalam periode Sam Kok, dia membuat suaranya geros dengan perwatakan amat berwibawa.
Orang-orang yang menyaksikan terhibur. Mereka berbisik-bisik sebagai cara lain untuk memuji dia.
***
Lain lagi dari Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka melaporkan dengan dengki kepada Liu Ta Xia bahwa mereka dikalahkan oleh seorang Hok Kian yang menggesek teh-yan dan menyanyi seenaknya.
Kata Dang Zhua sambil menunduk-nunduk, "Memang, dalam berkelahi dia telah mengalahkan kami, Tuan Menteri. Tapi, yang penting, dia sudah termakan oleh gunjingan yang kami sebarkan melalui rumah bordil."
"Apa?" Liu Ta Xia belum menangkap arah bicara Dang Zhua.
"Tidak salah, Tuan Menteri," kata Dang Zhua. "Dia pasti mendapat ilham nyanyiannya tentang gajah putih yang mencuri cap Kerajaan Ming itu melalui rumah bordil Lin."
Selintas tampak rasa termegahkan di wajah Liu Ta Xia. "Kalian tahu, siapa dia?" tanya sang menteri sambil duduk.
"Tidak jelas latar belakangnya, Tuan Menteri," jawab Dang Zhua, melirik kepada Xua Xiong, meminta dengan gerakan tertentu supaya Hua Xiong yang memberi keterangan kepada sang menteri.
Maka kata Hua Xiong dengan cepat, namun dengan nada yang menunjukkan keraguan dan mencari pembenaran terhadap diri sendiri, "Yang jelas, dia pasti orang Fu Kien, entah Hok Kian entah Hok Cia."
"Dungu,"kata Liu Ta Xia agak kecewa. "Kenapa kalian tidak mencari tahu?"
Dang Zhua serta merta menawarkan inisiatif yang terlambat, katanya, "Apa perlu kami selidiki siapa dia?"
Liu Ta Xia berdiri dari kursinya. "Huh, tidak perlu."
"Kenapa, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
"Aku baru saja menyimpulkan itu tidak perlu. Sebab, mendengar cerita kalian itu, aku menyimpulkan dia hanya seorang penyair pelagu yang setengah matang." Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong tertawa, dan tawa mereka sebetulnya tidak lahir dari emosi tertentu, tetapi dari cara paling terhitung untuk menjilat.
"Aku punya rumus untuk mengalahkan penyair pelagu, dan kalian harus sanggup melaksanakan," kata Liu Ta Xia. "Senjata paling ampuh dan gampang menjatuhkan para penyair pelagu atau seniman umumnya adalah uang. Terhadap uang mereka selalu berpura-pura suci, seakan-akan tidak perlu. Padahal, asal pemegang kekuasaan tahu caranya, yaitu mulai dari cara mendulang sampai menyuap, seniman itu sama seperti piyik burung elang: menelan tanpa pertimbangan-pertimbangan apakah yang dibawa induknya itu racun atau bukan racun."
Lagi, Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa untuk memberi kesan bahwa mereka mendengar ucapan yang bermutu dari seorang yang mereka percayai memiliki kehebatan tertentu. Liu Ta Xia sangat menikmati cara kedua orang kepercayaannya itu menjilat kepadanya. Katakanlah, dia adalah garuda, bukan elang, yang sedang berdiri di atas gunung Kun Lun Shun sana yang bergeming oleh terpaan angin ribut.
"Jadi, orang Hok Kian itu tidak penting untuk digubris lagi, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
Tidak segera Liu Ta Xia menjawab. Ternyata pertimbangannya tadi memiliki sayap-sayap masalah. Maka katanya setelah terpercik permenungan singkat, "Sejauh tidak berhubungan dengan Ceng Ho memang dia tidak penting."
"Kalau sampai terjadi hubungan?" tanya Dang Zhua.
"Berjaga-jaga," jawab Liu Ta Xia singkat.
***
Apakah Ceng Ho tidak juga berjaga-jaga?
Suatu malam dia bahkan terjaga ketika sudah tidur di rumahnya. Malam itu sepi. Angin tak terdengar. Yang terdengar adalah sejenis binatang kecil yang berada di balik batu.
Karena kesunyian malam, bunyi yang paling kecil pun dapat tersaring masuk ke dalam gendang pendengaran.
Dalam tidurnya ini Ceng Ho bermimpi. Dan karena itu, sehabis mimpi berlalu, dia terjaga, duduk di ranjang sambil mengambil nafas panjang dan mengembuskannya.
Dia bermimpi didatangi ayahnya, Ma Ha Zhi. Ayahnya datang dari langit, turun dikelilingi awan, dan seakan Ceng Ho berdiri di atas bunga teratai. Anehnya di awan yang mengumpal itu, kemudian bergulung-gulung menyerupai huruf-huruf Arab antara sin, mim, fa, wau, kaf, mun, ternyata huruf-huruf itu terangkai menjadi sam po kon.
Maka bertanya Ceng Ho dengan ragu, "Engkaukah ayahku?"
Jawab yang ditanya, "Ya, akulah Ma Ha Zhi, turunan Sai Dian Chi atau Sayidina Syamsuddin dari nenek moyang Suo Fei Er atau Sayidina Syafii."
"Ada apa, ayahku?" tanya Ceng Ho. "Kenapa engkau berada di atas awan, dan aku berdiri di atas bunga teratai?"
"Dengarlah baik-baik, putraku Ma He," kata Ma Ha Zhi.
"Aku bukan hanya memberi telinga, melainkan juga hati, ayahku," sahut Ceng Ho sambil menekukkan kaki kanannya.
"Kamu harus taruh matamu di dekat telingamu, Ma He," kata Ma Ha Zhi.
"Apakah mata dan telinga yang sudah diatur letaknya oleh Yang Khalik harus diubah lagi?" kata Ceng Ho.
"Jadilah arif, putraku," ujar ayahnya. "Alam tetap pada alam yang dicipta Mahapencipta. Manusia berpikir untuk memanfaatkannya. Camkan itu."
"Aku patuh."
"Sekarang, dengar dan berjaga," kata Ma Ha Zhi. "Nanti akan ada musuh di dalam selimutmu, dan kamu bahkan tidak sempat membedakan yang mana serigala dan yang mana domba. Kamu menghadapi pekerjaan besar. Setiap pekerjaan besar ada juga risiko-risiko besar. Dan kau tidak mungkin menyelesaikan masalah besar kalau tidak melihat lebih dulu yang kecilnya. Jangan memilih orang menjadi mitramu dalam pekerjaan besarmu itu hanya karena orang itu memberimu senyum, memasang muka manis. Betapa banyak malapetaka terjadi menuju pekerjaan besar, sebab orang terpedaya oleh senyum dan muka manis...."'
"Ya, ayahku," kata Ceng Ho.
"Katakan keras-keras," kata Ma Ha Zhi.
Dan Ceng Ho berkata keras, "Ya, ayahku!"
Saking kerasnya, Ceng Ho terkejut dan terbangun. Dia terduduk di atas ranjang. Terengah-engah. Termenung.
Isyarat apakah gerangan yang dia dapatkan dari mimpi, atau katakanlah lebih memihak: penglihatan, yang hadir dalam tidur nyenyaknya itu? Dia dapat menyimpulkan dengan mudah. Yaitu, mimpi adalah ilham yang bukan sembarangan. Setiap mimpi tak terhindar dari kenyataan akan suatu perwujudan keinginan yang membawa seseorang terkungkung atau terbebas dari pikiran-pikirannya.
****
Hal itu yang masih terbawa, dan mungkin terus terbawa dalam fitrah Ceng Ho sepanjang hari pada keesokan harinya. Menjelang siang Ceng Ho meninggalkan rumah, berjalan bergegas ke suatu tempat. Siapa yang memperhatikan air mukanya niscaya akan menyaksikan sekelumit kegelisahaan yang tumbuh di dalam sukmanya.
Dia mengambil kuda. Dipacu kudanya. Tampaknya jarak yang akan ditempuhnya itu lumayan jauh.
Di ujung jarak yang ditempuhnya, orang-orang mengharapkan dia. Dia pergi ke galangan kapal.
****
Di galangan kapal itu, sebuah kapal yang terbesar, yang akan dipakainya untuk memimpin kapal-kapal lain menuju ke selatan, sedang dikerjakan pada tahap perampungan. Di latar belakang, yang baru bersih oleh pertemuan antara laut dan langit, tampak burung-burung camar yang terbang sambil mengintai mangsanya.
Tapi, yang paling kentara adalah kesibukan orang yang mengerjakan pembuatan kapal itu. Dan yang lebih kentara lagi, di latar depan kapal yang bergalang itu tampak sebuah meja panjang dengan beberapa orang duduk di belakangnya.
Ke situlah Ceng Ho datang dan berdiri memperhatikan orang-orang yang antre di depan meja itu. Orang-orang yang antre itu adalah mereka yang membaca plakat pengumuman tentang siapa di antara orang-orang sipil dengan keahlian tertentu yang ingin ikut dalam pelayaran Ceng Ho ke selatan. Semua yang mendaftar ditanya oleh petugas yang duduk di belakang meja itu.
Kini giliran seseorang yang berbadan jangkung. Petugas yang mencatat-catat di meja itu bertanya kepadanya. "Apa keahlianmu?"
"Saya orang San Tung. Saya ahli di bidang tenun sutra dengan cara paling sederhana."
Setelah mencatat, petugas itu berkata, "Ke sebelah." Lalu menunjuk dengan tangan kanannya ke seseorang yang tadi berdiri di belakang orang San Tung itu. "Ya, yang berikut, maju."
Orang yang ditunjuk itu lantas maju, berdiri di depan meja sang petugas pencatat. Katanya, "Nama saya Li Bun Hau dari provinsi selatan."
"Apa keahlianmu?"
"Menakar walet, membudidayakan sarangnya, mencuci dan membersihkannya dengan cara paling benar. Saya bisa mengajarkan pengetahuan ini kepada bangsa-bangsa di luar Cung Kuo*), bagi bangsa Hu Huan**) di mana pun di selatan sana."
Ceng Ho mengangguk. Petugas pencatat berkata, "Baik. Ke sebelah."
Yang bernama Li Bun Hau pun berpindah ke sebelah, memberi cap tangannya. Tempatnya digantikan seseorang yang antre di belakangnya.
Orang yang sekarang menghadap ke petugas pencatat, berdiri di situ, sambil berkata, "Saya Yong Gong. Asli saya dari suku Hu Pei. Ayah saya ahli gigi, kakek saya ahli gigi, bahkan kakek buyut saya ahli gigi, dan besok anak saya pun akan saya didik menjadi ahli gigi."
"Bagus," kata petugas pencatat. "Ke sebelah. Dan selanjutnya yang di belakang, maju."
Yang maju berikut ini, kira-kira 20-an tahun. Dia memberi hormat kepada Ceng Ho yang berdiri di belakang petugas pencatat itu. Katanya, "Saya Lu Shan. Saya sangat ahli di bidang pengetahuan ming xiang, Feng Shui, tapi sekaligus juga An Mo."
Petugas pencatat itu menyuruhnya beralih tempat, dan orang yang mengaku bernama Lu Shan hampir bergeser, namun berhenti diam karena Ceng Ho menyuruhnya.
"Tunggu," kata Ceng Ho, tertarik kepadanya. "Dari mana orang seusia kamu mendapatkan ilmu itu?"
"Tabik, Tuan Ceng Ho," katanya memberi hormat. "Saya bertapa di Gunung Fei Feng Shan, Si Cuan."
"Baguslah," kata Ceng Ho.
Dan orang yang bernama Lu Shan itu bergeser ke sebelah, lalu orang yang berdiri di belakang - dia tak lain adalah Tan Tay Seng - maju ke depan petugas pencatat itu. Bukan seperti yang lain-lain memperkenalkan diri dan menyebut asalnya, Tan Tay Seng langsung menggesek teh-yan dan menyanyikan suatu rangkaian larik-larik:
Paduka Kaisar tidak salah memilih
Laksamana Ceng Ho menjadi Sam Po Kong
Ke selatan membawa panji-panji Ming
Kebesaran Cina dipuji di dunia luar.
Semua orang yang duduk di belakang meja, termasuk Ceng Ho, senang melihat Tan Tay Seng menyanyi, memainkan teh-yan, dan bergerak-gerak tertentu mirip tarian silat.
"Siapa namamu?" tanya Ceng Ho.
"Hormat, Sam Po Kong," kata Tan Tay Seng sambil membungkukkan badan. "Saya penyair penyanyi dari Fu Kien. Ayah Hok Kian, ibu Hok Cia."
"O, ya, bagus," kata Ceng Ho. "Kamu memang dibutuhkan di dalam kapal untuk menghibur."
Tan Tay Seng girang. Dia menggabruk dan berlutut di hadapan Ceng Ho lalu mencium tangannya. "Terima kasih, Sam Po Kong."
***
Ada orang-orang yang tidak senang melihat adegan itu. Orang-orang yang dimaksud ini berdiri di arah kejauhan, sambil lalu menyaksikan kegiatan pengerjaan kapal dan pendaftaran orang-orang sipil yang berkeahlian untuk ikut dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho. Orang-orang itu adalah Liu Ta Xia, Dang Zhua, dan Hua Xiong.
Dengan menutup mulut karena jengkel melihat kenyataan itu, Liu Ta Xia berkata, nyaris tak terlafazkan dengan jelas, "Apakah orang itu yang kalian maksudkan telah mengalahkan kalian."
Bersama Dang Zhua dan Hua Xiong mengangguk, menjawab, "Ya, Tuan Menteri."
"Ternyata sekarang kalian melihat sendiri ada hubungan antara Ceng Ho dan dia, yang tadinya kita kira tidak penting," kata Liu Ta Xia.
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Dang Zhua.
"Kalian pergi dulu ke rumahku. Tunggu aku di sana. Aku akan bicara dengan Ceng Ho," kata Liu Ta Xia.
Dang Zhua dan Hua Xiong pun pergi, menunggu di rumah Liu Tia, sementara Liu Ta Xia menghampiri Ceng Ho.
Apa yang diperkatakan Liu Ta Xia kepada Ceng Ho?
"Semua persiapan sudah dicatat?" tanya Liu Ta Xia setelah berhadapan muka dengan Ceng Ho.
"Sejauh ini sudah, Tuan Menteri."
"Mungkin ada yang terlupakan," kata kata Liu Ta Xia.
"Kalau ada yang terlupakan, saya siap dikoreksi, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.
"Pasti ada," kata Liu Ta Xia. "Dalam laporan belum ada bidang juru tulis yang akan mencatat setiap kegiatan pelayaran."
"O, ya, Anda betul, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.
"Tidak usah kuatir," kata Liu Ta Xia. "Saya sudah menyediakan itu."
"Terima kasih," kata Ceng Ho.
BAGIAN 4
Liu Ta Xia senang. Dia berhasil melakukan apa yang dia pikirkan sebagai suatu siasat perang. Maka ketika sampai di rumahnya, dan di situ telah menunggu orang-orang kepercayaannya, berkatalah dia sukacita, "Aku berhasil."
"Bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Ceng Ho lupa membawa juru tulis dalam ekspedisi itu," kata Liu Taa Xia. "Aku berhasil memasukkan kamu berdua. Kalian tidak perlu susah-susah antre seperti yang lain-lain. Aku harus bergerak cepat. Besok aku akan menghadap Kaisar untuk menaruh nama kalian sebagai juru tulis."
Dang Zhua dan Hua Xiong berpandangan. Kesukacitaan tergambar dalam sikap mereka.
"Ada dua tugas kalian," kata Liu Ta Xia. "Mencatat."
"Kami siap, Tuan Menteri," kata Dang Zhua.
"Pertama, mencatat perjalanan muhibah itu. Dan kedua, mencatat hal-hal yang negatif atas semua hal menyangkut tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan apakah betul pelayaran itu merupakan ekspedisi muhibah atau justru ekspansi dengan cara kebudayaan."
"Maksudnya bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
"Ya, orang selalu terkecoh oleh premis misi kebudayaan. Bagi Cina, misi kebudayaan bagaimanapun adalah penaklukan dengan cara santun pada negeri-negeri seberang lautan."
"Jadi, dengan menaruh kami sebagai juru tulis, apakah niatan Tuan Menteri untuk memasang kami dalam pelayaran itu sebagai penasihat spiritual telah berubah siasat?" tanya Dang Zhua.
"Padahal, selama hari-hari terakir ini aku sudah belajar lagi isi kitab suci kita," kata Hua Xiong.
"Diam!" sentak Liu Ta Xia.
Dan keduanya pun langsung mingkem.
"Aku harus berpikir," kata Liu Ta Xia. Lalu dia tertawa, merasa telah memperoleh jawaban atas yang dipikirkannya. "Jangan tolol begitu. Kalian harus cekatan berimprovisasi."
"Jadi, sekarang kami akan menjadi juru tulis pelayaran itu, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.
"Itu betul," kata Liu Ta Xia. "Aku harus memenangi permainan ini."
***
Sampai di mana kepiawaian Liu Ta Xia bermain?
Siang itu dia berada di istana. Permaisuri sedang berjalan menuju ke barat. Dia berjalan seorang diri. Di depan sana, di bagian simpangan, Liu Ta Xia menunggu dan tidak tampak. Begitu Permaisuri tiba di situ, Liu Ta Xia nongol. Melihat Liu Ta Xia, kontan wajah Permaisuri berubah, dan dari sikapnya tampak ada perasaan tak tenang. Dia celingukan ke kiri dan kanan, lalu menyamping ke dinding.
"Kau mengagetkan," kata Permaisuri.
"Saya harap bantuan Tuan Putri," kata Liu Ta Xia. "Masalahnya merumit."
"Jangan libatkan saya dengan urusan politik," kata Permaisuri sambil berjalan mengabaikan.
Liu Ta Xia mengejar, mempercepat langkah. "Tunggu, Permaisuri."
"Maaf," kata Permaisuri. "Saya tidak tertarik pada skandal politik." Dia cepat-cepat berlalu, dan hilang di ujung sana.
Tinggal Liu Ta Xia terbengong sendiri di situ. Dan bersungut pada dirinya, bercakap secara ekwicara di situ. "Perempuan selalu membingungkan. Lelaki tidak pernah bisa memahaminya. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam urusan politik, menganggapnya sebagai skandal, tapi selalu memberikan peluang untuk terlibat dalam skandal cinta."
Lama Liu Ta Xia terbengong di situ. Karena itu dia terlambat hadir di balairung.
***
Di balairung semua menteri dan pembantu Kaisar yang lain telah menunggu. Kecuali, Liu Ta Xia yang belum hadir di situ. Dia harus masuk ke situ setelah Kaisar menyuruh Ceng Ho melaporkan perkembangan-perkembangan yang telah dicapai sehubungan dengan persiapan berlayar ke selatan, dan terus sampai ke barat.
"Saya ingin mendengar langsung laporan akhir dari Ceng Ho mengenai persiapan-persiapan pelayaran," kata Zhu Di.
"Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho dengan memberi hormat terlebih dulu kepada Zhu Di. "Menurut kwa miah dan swi miah saya dan Paduka, hari baik untuk berlayar adalah tujuh hari dari hari ini dalam tahu Yong Le ketiga. Insya Allah, pelayaran itu akan merupakan penyusuran samudra yang indah."
Bersamaan dengan itu Liu Ta Xia masuk. Dia tak bisa menyembunyikan sifat kekagokan yang menerpanya secara tiba-tiba begini. Sesaat dia hanya berdiri di situ. Tapi di situ pula dia menundukkan kepala, menyapa sang kaisar.
"Mohon maaf, Paduka Kaisar," katanya. "Sebagaimana selamanya diingatkan oleh orang-orang tua dan orang-orang bijak-bestari, adalah kemampuan mengingat-ingat manusia itu selalu ada batasnya."
"Katakan, apa konkretnya?" kata Zhua Di menunjuk dengan tangan kanannya.
"Begini, Paduka Kaisar," kata Liu Ta Xia dengan sangat teratur kalimatnya. "Bangsa Cina adalah bangsa yang beradab sekaligus berbudaya. Kita beradab dan berbudaya sebab kita telah menulis sejarah, menyimpannya dalam perpustakaan, dan karenanya dapat dibaca orang dari generasi ke generasi sejak zaman Huang Ti."
"Lantas? Apa yang tersembunyi dalam kata-katamu itu," kata Zhu Di mendesak. "Katakan. Semua yang berada di sini siap mendengarmu."
"Saya sudah berkata kepada Ceng Ho bahwa dalam ekspedisi itu belum ada juru tulis khusus yang akan mencatat misi itu," kata Liu Ta Xia.
Zhu Di terkesima. Dia memandang tajam kepada Ceng Ho. Katanya heran, "Apa betul begitu, Ceng Ho?"
Ceng Ho membenarkan dengan mengangguk. "Memang betul begitu, Paduka."
"Tapi, Paduka Kaisar tidak perlu kuatir," kata Liu Ta Xia.
"Kalau memang betul begitu, saya perintahkan untuk mendudukkan Ma Huan dan Fei Xin," kata Zhua Di.
Cepat sekali Liu Ta Xia menanggapi. "Tidak perlu, Paduka Kaisar. Saya sudah menjanjikan kepada Ceng Ho dua orang yang dapat dipercaya. Yang satunya Buddha, yang satunya lagi Tao, dan kedua-duanya sangat toleran terhadap semua agama di Cina."
"Betul begitu, Menteri Liu?" tanya Zhu Di meminta semacam jaminan dalam kata-kata.
"Betul sekali, Paduka Kaisar," sahut Liu Ta Xia.
"Kalau begitu, baguslah." Zhu Di tampak puas. "Berarti semuanya sudah terakomodasi."
Benarkah?
***
Justru Wang Jing Hong yang mengingatkan sesuatu yang hampir pula terlupakan oleh Ceng Ho. Wang Jing, orang yang dipilih Ceng Ho untuk menjadi juru mudi kapalnya-yang di Jawa nanti namanya lebih dikenal sebagai Dampo Awang-mengingatkan sesuatu yang hampir terlupakan oleh Ceng Ho, ketika mereka sedang berkuda menuju timur laut.
"Ada lagi yang kaulupakan, Ma He," kata Wang Jing Hong. "Dan, hal ini mustahak sekali buat kita."
"Soal apa itu?" tanya Ceng Ho.
"Kita ini muslim," jawab Wang Jing Hong. "Kita butuh koki khusus yang mengerti bahwa tidak semua daging halal buat kita."
"Astaghfirullah," seru Ceng Ho memegang kepala dan menghentikan kudanya. "Kau betul. Apa kau punya calon?"
Wang Jing Hong juga menghentikan kudanya. "Calon untuk menjadi Sam Po Sui San?"
"Ya," sahut Ceng Ho.
"Aku rasa yang paling kena memegang pekerjaan itu, Wu Ping saja," kata Wang Jing Hong. "Wu Ping itu sahabat yang menyenangkan, muda, bersemangat, dan takwa."
"Baiklah," kata Ceng Ho. "Kapan temui dia?"
"Bukannya lebih benar: dia yang menemui kita?" tanya Wang Jing Hong.
"Tidak," kata Ceng Ho yakin dan tegas. "Aku yang membutuhkan dia. Aku yang harus datang kepadanya. Aku sedang belajar menjadi pemimpin yang baik."
Dan mereka memacu lagi kuda-kuda mereka.
***
Waktu itu Wu Ping sedang berbaring. Dia melamun di situ. Ibunya berada tak jauh dari situ.
"Ma, sebetulnya aku ingin mendaftar juga untuk menjadi awak dalam ekspedisi Ceng Ho. Tapi aku kuatir, jangan-jangan tidak diterima," kata Wu Ping.
Kata Ibunya, membesarkan hati Wu Ping, "Kalau kau memang punya kelebihan, kenapa kau tidak coba?"
"Sebetulnya aku pernah mengajukan keinginanku ini kepada Wang Jing Hong, tapi kelihatannya dia tidak acuh..."
Ibunya masygul. Dia tidak mau memperlihatkan mukanya kepada Wu Ping. Tapi sebagai seorang ibu, dia harus memberi semangat kepada putranya ini.
"Semut juga tidak hanya satu kali saja menempuh jalannya untuk mencapai gula," kata ibunya.
***
Harapan ibunya pun ternyata tidak sia-sia. Ketika Wu Ping merasa harus berjalan lagi pagi ini untuk pergi mencari Wang Jing Hong, dia terkejut mendengar sapaan suara yang dikenalnya, yaitu suara Wang Jing Hong menyapa di pintu.
"Assalamu alaikum."
"Alaikum salam," sahut Wu Ping dan diikuti ibunya juga, ia bergegas ke pintu. Dia buka pintu, dan dia kaget sekali.
Di depan pintu itu bukan hanya Wang Jing Hong yang berdiri, melainkan juga Ceng Ho. Maka dia maju, mencium tangan Ceng Ho seraya membungkukkan badan.
"Masya Allah, apakah aku sedang bermimpi?" kata Wu Ping.
"Tidak Wu Ping," kata Wang Jing Hong. "Keinginanmu sudah aku sampaikan kepada Ceng Ho. Dan, kau lihat sendiri, Ceng Ho yang datang sendiri ke sini, mengajak kau ikut kerja di kapal besar menuju ke selatan."
"Alhamdulillah," kata Wu Ping. Dia menghormati lagi kepada Ceng Ho. "Terima kasih, Tuan Ceng Ho. Ini benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan." Lalu dia memeluk ibunya. "Ma, sekarang mimpiku sudah menjadi kenyataan."
Ibu Wu Ping pun memberi takzim kepada Ceng. "Terima kasih, Tuan Ceng Ho. Terima kasih karena anakku mendapat pekerjaan."
"Untuk selanjutnya Wu Ping akan menjadi Sam Po Sui Su," kata Wang Jing Hong.
Wajah mereka semua berseri-seri.
Sampai nanti, jatuh pada hari baik yang dimaksud Ceng Ho itu, semua orang datang berbondong melihat pelepasan kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiring lainnya melaut ke timur dan ke selatan.
Ramai manusia, hiruk-pikuk, melebihi peristiwa hari raya biasa, orang-orang dari pelbagai kelas, dari pelbagai jenis, dan dengan pakaian yang beraneka ragam, sutra berwarna-warni, bersulam-sulaman dengan hiasan-hiasan yang paling populer antara naga atau burung hong.
Di antara hiruk-pikuk itu ada juga orang-orang menggelar barang dagangan, menjadikan tempat ini seperti pasar kaget. Segala macam barang, dari mainan anak, pakaian, dan pelbagai jajaran kelihatan digelar di situ. Tak terkecuali tetabuhan yang riuh.
Di langit yang biru, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, tampak awan berarak. Di bagian yang rendah tampak pula burung-burung putih, berkaki panjang dan bertelapak ceper, bersaing mendapatkan makanan.
Di darat, sebelum naik ke kapal, Ceng Ho bersalam-salaman dengan segenap pengantar: menteri-menteri, pejabat-pejabat tinggi kerajaan, dan akhirnya menghormati dengan cara yang sangat mulia kepada sang kaisar.
"Ingat, negeri di luar Cina adalah sahabat. Kau tidak diperintahkan untuk membuat mereka takut pada kekuatan kita, tapi membuat mereka hormat pada kekuasaan kita," kata Zhu Di.
"Daulat, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho.
"Selamat jalan," kata Zhua Di.
Sebentar lagi kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiringnya bertolak. Yang ditinggalkan melepas dengan perasaan haru. Yang meninggalkan akan melambai-lambaikan tangan sampai orang-orang yang dilambaikan itu makin lama makin tak kelihatan dan selanjutnya hanya akan kelihatan darat yang samar-samar.
Ceng Ho dan Wang Jing Hong berdiri diatas melambaikan tangan ke bawah. Di situ angin menerpa-nerpa wajahnya dan menebas-nebas pakaiannya. Waktu keberlayaran mereka sekarang sekitar pukul 16.00.
Di bagian bawah, di buritan, Tan Tay Seng duduk memainkan teh-yan dan menyanyi. Makin lama makin banyak orang yang mengerumuni, mendengarkan nyanyiannya. Boleh dikata, dia tak pernah kekurangan uang. Sebab, dalam setiap kali menyanyi, orang-orang melemparkan keping uang tanda sawer. Dan, apabila orang melemparkan yang kepadanya, dia menghentikan nyanyian untuk mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan lagi nyanyian itu.
Ke timur atau ke selatan layar terkembang
Menyusur laut menghadapi ombak gelombang
Tak pernah aku merasa takut ataupun gamang
Karena Sam Po Kong memimpin kapal melanglang
Di selatan barangkali tempatku memadu cinta
Cinta dibangun dengan membayangkan sukacita
Kudendangkan harapan untuk didengar semua
Jika tak suka dendangku tutuplah telinga
Dan kapal makin menjauh dari darat. Matahari pun mulai turun di barat. Sebentar lagi malam. Di dalam gelap segala kemungkinan dapat terjadi...
Beberapa jam kemudian, setelah hari menjadi gelap dan kapal telah berada di tengah-tengah laut, Ceng Ho berdiri di palka depan. Di sebelahnya ada Wang Jing Hong dan dua orang perwira berbusana khas Ming. Walau mereka menghadap ke depan, mereka tidak melihat apa-apa. Langit dan batas laut tidak nampak di malam yang telah utuh sebagai lawan siang.
BAGIAN 5
Ketika memandang ke depan, ke gelap, kelihatannya ada yang sedang diperkirakan Ceng Ho. Dia memikirkan Dang Zhua dan Hua Xiong. Menurutnya, sebagai juru tulis yang diberikan Liu Ta Xia itu, Dang Zhua dan Hua Xiong harus siap mencatat bagian-bagian yang paling kecil pun dari pelayaran muhibah ke selatan. Pada waktu itu, walaupun kepulauan Nusantara, khususnya Sumatera, dan lebih khusus lagi Jawa, berada di selatan, orang-orang selalu menyebutnya timur.
Ketika memikirkan tentang juru tulis itu harus menulis terperinci tentang pelayaran ini, Ceng Ho meminta Wang Jing HOng memanggilkan Dang Zhua dan Hua Xiong untuk menemuinya di palka ini.
"Tolong panggilkan kedua juru tulis yang diberi Liu Ta Xia itu datang ke sini. Mereka harus menulis gelap pertama yang kita hadapi. Gelap selalu punya arti khusus ketika besok matahari datang," kata Ceng Ho.
"Baik," kata Wang Jing Hong, mengangguk takzim, berputar badan, dan pergi ke tempat untuk menemukan Dang Zhua dan Hua Xiong.
Untuk ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong, Wang Jing Hong yang merupakan orang terdekat Ceng Ho harus melewati sebuah koridor dan turun tangga ke bawah, berhenti di kamar paling ujung. Di depannya Wang Jing Hong berdiri sambil menyebut nama kedua orang itu.
"Ya," kata Dang Zhua, membuka pintu. Dia terkesiap melihat wajah Wang Jing Hong. "Anda?"
"Sam Po Kong meminta kalian berdua ke atas," kata Wang Jing Hong. "Sekarang."
"Baiklah," sahut Dang Zhua.
Wang Jing Hong berlalu. Kedua orang yang disiasati Liu Ta Xia sebagai juru tulis itu lantas bergegas-gegas.
"Mau apa itu Sam Po Kong?" tanya Hua Xiong.
"Apa pun maunya, jangan lupa berpenampilan sebagai orang yang menguasai kebudayaan," kata Dang Zhua. "Sebab, tugas kita menulis pelayaran ini."
"Hewan saja bisa bermain pura-pura, masa kita, menusia, tidak bisa?" kata Hua Xiong.
***
Dang Zhua dan Hua Xiong pun ke atas. Di atas sudah tampak beberapa orang perwira. Setelah Dang Zhua dan Hua Xiong berada di situ, Ceng Ho meminta mereka semua masuk ke ruang rapat di belakang tempat mereka berdiri sekarang.
Mereka masuk ke situ. Di situ, di atas sebuah meja besar, terbeber sebuah peta dunia. Walaupun peta itu tidak sama dengan peta zaman sekarang, peta itu, peta zaman Ming, telah cukup jelas memerinci bagian bumi, menunjukkan bahwa orang Cina sudah dapat membuat dengan sangat teliti gambar navigasi seluruh samudra, kecuali Atlantik, yaitu menaruh Cina sebagai negara pusat-sesuai dengan perkataan Cung Kuo atau Tiong Kok yang berarti negara di tengah-tengah-dan dua benua yang mengampitnya di wilayah dua samudra besar, Pasifik di timur dan Hindia di barat, yaitu tanah tepi sekitar Amerika Utara dan Alaska sekarang dan Kanada sekarang, sampai Afrika Timur.
Dalam peta yang sedang ditunjuk Ceng Ho dengan tongkat tampak jelas nama Ka-Li-Kut di pantai selatan-baratdaya India, kemudian Ormuz, kini bernama Bandar Abbas di selatan Iran, lalu ke barat lagi sampai di Aden, waktu itu masih merupakan negeri Arab, kini bagian dari negara Yaman, dan di sebelat baratdaya lagi tercatat nama kota pesisir timur Afrika, Mo-Ge-Do-Xu kini Mogadishu di negara Somalia.
Sambil menunjukan laut di peta itu, yaitu sekitar garis 25 derajat Lintang Utara, berkata Ceng Ho dengan serius, "Dari bagian laut ini sampai Quit Nhon di Campa nanti, cuaca tidak bisa diramalkan dengan tepat. Sebab, angin dari barat, dari daratan Cina yang luas akan bertemu dengan angin dari timur, dari samudra yang lebih luas dari daratan."
"Kesimpulannya?" tanya seorang perwira.
"Saya tidak menyuruh Tuan-tuan menyimpulkan," kata Ceng Ho tegas. "Saya meminta Tuan-tuan bersiaga." Dan dia melirik ke arah Dang Zhua dan Hua Xiong. "Perubahan apa pun yang terjadi, saya harap hal itu bisa dicatat dengan terperinci." Lalu Ceng Ho melihat kembali ke wajah perwira yang bertanya tadi. "Kalau sampai terjadi sesuatu yang terduga, karena cuaca yang tidak bisa diramalkan itu, tanggung jawab Anda untuk membuat prajurit yang mendayung di bawah itu tidak boleh mengantuk."
"Kalau ada yang mengantuk buang saja ke laut, biar jadi makanan ikan," kata perwira itu. Dia bermaksud melucu, tapi tak seorang pun yang tergerak hati untuk ketawa.
"Kembali ke soal tanggung jawab juru tulis," kata Ceng Ho memangkas omongan sambil mengarahkan pandangan penuh kepada dua orang yang dimasukkan Liu Ta Xia ke sini. "Saya ingin semua yang hadir di sini memahami betul, dan karena itu harus menghargai tugas juru tulis pelayaran, sebab hasil kerja mereka yang akan disimak orang di kemudian hari tentang kebesaran Cina dan kejayaan Ming."
Semua orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dan kedua orang ini pun kelihatan besar hati, tersanjung.
Ceng Ho melanjut kembali. "Tulisan yang akan dilakukan oleh juru tulis kita mudah-mudahan dapat ditulis dengan Wen Yen *) yang indah. Saya percaya Tuan-tuan bisa."
"Selama ini belum ada hal-hal penting yang dapat dicatat dengan istimewa: kecuali katakan, ini gelap pertama di tengah laut yang mungkin baru dialami oleh banyak anggota ekspedisi ini," kata Ceng HO. Dan dia ajukan pembenaran kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. "Bagaimana Tuan-tuan?"
"Betul, Sam Po KOng," kata Dang Zhua. "Dalam catatan yang saya buat, sudah saya gambarkan tentang gelombang penuh gelora yang akan hapus begitu kapal berlabuh di tanah tepi yang hijau oleh rerumputan pengharapan..."
"Tunggu," kata Ceng Ho memotong. "Saya ingat larik-larik itu. Itu adalah bagian dari puisi Thu Fu. **) Bukankah?"
"Betul sekali, Tuan Sam Po Kong," kata Dang Zhua memuji, mengambil hati.
Di luar gelap makin gelap. Malam makin malam. Ada yang tidur. Ada yang berjaga.
Kelihatannya malam yang berlalu, berlalu dengan tenang. Cuaca yang tidak bisa diterka itu, yang biasanya menakutkan pada malam hari, tidak mengganggu pelayaran. Siang datang menurut waktunya. Pagi cerah. Langit bersih. Awan-awan putih sepeti gumpalan kapas berpindah dari satu arah ke arah yang lain.
****
Manakala siang pun berakhir, dan senja menghampiri, berlanjut petang, dan kemudian malam lagi, orang-orang di kapal tetap melakukan kegiatan-kegiatannya. Di ujung hari, seperti kemarin, dan juga berulang besok-lusa-tulat-tubin, Tan Tay Seng menyanyi sambil mengesek teh-yan di buritan.
Ulat sutra membangun rumah dalam kepompong
Tak bisa ke mana-mana karena hidup terkurung
Laba-laba membangun rumah menjadikannya jaring
Bebas merdeka bergerak di dalam gelap dan terang.
****
Dan bilamana gelap kembali membungkus bagian bumi pada hari kedua pelayaran, orang-orang pun, sipil dan militer, melakukan kegiatan-kegiatan mematikan keletihan.
Di sebuah kamar kelihatan beberapa orang duduk berputar, bermain ceki. Orang-orang ini adalah yang mendaftar bersama-sama ikut dalam pelayaran ini: Bun Hau yang ahli menangkar walet, Yong Gong yang ahli gigi, Lu Shan yang ahli ming-xiang, Wan Sen yang ahli membuat sutra. Mereka bermain ceki di atas sebuah ranjang besar yang bisa ditiduri oleh sepuluh orang.
Sambil menurunkan salah satu alat cekinya, Bun Hau berkata, "Aku peling benci kalau gelap begini mendengar orang menyanyi lagu yang tidak enak."
"Tapi di luar tidak gelap," kata Yong Gong. "Sebentar lagi akan berkunjung purnama."
"Purnama?" Wan Sen kelihatan senang. "Kenapa kita tidak keluar melihatnya?"
Dan Lu Shan mendukung itu. "Ya, itu gagasan bagus. Melihat purnama naik di kaki langit dan kepala laut pasti mengesankan."
"Betul," kata Yong Gong. "Ayo, Bun Hau, kita keluar. Main cekinya kita teruskan nanti."
"Aku tidak mau," kata Bun Hau. "Di luar si sinting menyanyi lagu tai. Lecet telingaku mendengar nyanyiannya."
"Kalau perlu kita suruh dia diam," kata Wan Sen.
"Ya, ayolah," kata Yong Gong lagi.
"Ah, tidak," kata Bun Hau."Kalian saja."
Akhirnya semua yang sekamar ini keluar. Tinggal Bun Hau seorang diri.
****
Di luar, di bagian kapal sayap kanan, di tempat yang tidak ada orang lain yang berdiri di situ, tampak Dang Zhua dan Hua Xiong sedang berbicara pelan-pelan sambil sesekali melihat ke belakang atau ke samping dengan gerak-gerik antara curiga dan awas.
"Sekarang kita sudah dekat dengan Ceng Ho," kata Dang Zhua.
Hua Xiong mengangguk. "Apa tindakan kita selanjutnya?"
"Kita harus licin lebih dari belut," kata Dang Zhua. "Itu yang diajarkan Liu Ta Xia."
"Menurut teori Sun Tzu, musuh akan gampang dikalahkan jika jaraknya sudah dekat."
"Tidak," kata Dang Zhua mengatasi pikiran Hua Xiong. "Tidak ada perintah Liu Ta Xia untuk melakukan apa-apa, apa lagi pikiran yang baru melintas di otakmu itu. Tugas kita hanya menulis laporan. Kalau kita mau berhitung betul-betul, sebenarnya kesumat kita adalah yang harus diarahkan kepada pemain teh-yan itu. Dia yang pernah membuat kita kalah."
"Baiklah," kata Hua Xiong. "Lantas apa kau sudah menulis?"
"Persetan," sahut Dang Zhua. "Yang harus kita tulis adalah kebijakan-kebijakan Sam Po Kong. Dan kebijakan-kebijakannya itu harus kita pelintirkan dalam catatan tersendiri kita."
"Tadi dia sangat senang," kata Hua Xiong. "Kelihatan dia sangat suka ketika kau mengutip sajak Thu Fu."
Dang Zhua tertawa.
***
Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong berbincang-bincang mengenai larik-larik puisi menyangkut Ceng Ho, pada saat yang sama Ceng Ho juga berbicara dengan Wang Jing Hong mengenai larik-larik puisi menyangkut Dang Zhua dan Hua Xiong.
Sambil berdiri di sebelah Wang Jing Hong yang mengawasi asisten Wang Jing Hong memegang kemudi kapal, berkata Ceng Ho dengan dahi mengerut tapi mulut tersenyum, "Lucu sekali juru tulis yang diberi oleh Liu Ta Xia itu."
"Kenapa?" tanya Wang Jing Hong.
"Tadi saya bilang, puisi yang disitirnya itu karya Thu Fu," kata Ceng Ho. "Padahal itu bukan karya Thu Fu. Itu karya Wei Ying Wu."*)
"Jadi, apa maksudnya itu?" tanya Wang Jing Hong. "Apa itu berarti Anda curiga kepadanya?"
Ceng Ho terjeda sesaat. Dia tertawa kecil. "Tidak. Cuma, barangkali mereka berdua tidak tahu bahwa setiap pemimpin yang berkualitas harus mampu menangkap hal-hal yang tersirat dari lambang-lambang puisi. Dua orang itu barangkali lupa bahwa kita ini bangsa Cina. Kebudayaan paling tua yang berawal dari bangsa Cina adalah Wen Yen di atas kertas."
***
Sementara itu, menjelang larut, pelan-pelan datang bulan yang mungkin besok akan menjadi lebih bulat sebagai purnama. Di bagian dekat sana, di sayap kanan, Lu Shan, Wan Sen, Yong Gong, dan lain-lain sedang melihat ke langit. Suara nyanyian Tan Tay Seng masih juga berlanjut.
Mungkin lantaran tak sentosa diam seorang diri di kamar, Bun Hau akhirnya keluar juga, mencari teman-teman sekamar. Ketika dia melihat teman-temannya itu berada di tempat di mana suara Tan Tay Seng terdengar jelas, berkatalah dia sambil menarik baju Yong Gong, "Ayo teruskan permainan kita."
"Nikmati dulu purnama," kata Lu Shan
"Purnama memang selalu memberikan janji keindahan dalam hati orang yang dimabuk asmara," kata Bun Hau. "Tapi, melihat purnama dengan suara berisik dari nyanyian musafir sinting, malah membuat perasaanku berada di dalam penjara."
Ketika Bun Hau berkata begitu, dia bicara sambil berjalan di dekat tempat berdiri Dang Zhua dan Hua Xiong. Karena itu begitu Bun Hau berbelok di depan sana, Dang Zhua berbisik kepada Hua Xiong.
"Kita sudah ketemu seorang yang dapat menjadi perpanjangan tangan kita di kapal ini," katanya.
Hua Xiong tertawa dan cepat-cepat menahan tawanya. "Kalau betul, Sobat," kata dia.
***
Dan kapal terus menembusi malam. Sedikit oleng begitu kapal memasuki Laut Cina Selatan. Walaupun bulan menerangi bentangan laut, keruan terasa saja hal-hal yang mengilhami kegamangan bagi mereka yang baru kali pertama mengarungi laut.
Nanti malam akan pamit lagi pada ujung wilayahnya, lalu datang wilayah baru, yaitu pagi. Matahari di timur kelihatan cepat sekali naik. Sekarang laut kelihatan seluruhnya seperti suatu jarak yang tidak berujung. Laut kelihatan sebuah bulatan datar yang di ujungnya masing-masing, inci demi inci, bertemu dengan laut. Biru di bawah, biru di atas.
Beberapa jam kemudian, menjelang senja, langit berganti warna. Tidak cerah lagi, tidak biru lagi, tapi kelabu. Walau begitu, di bawah sana, di kiri-kanan kapal, tampak lumba-lumba dengan girang mengiringi kapal. Percikan-percikan membuat bagai titik-titik putih, besar dan kecil, di atas biru yang amat tua.
Kapal terus membelah laut dengan kecepatan luncur yang tetap. Pendayung di perut kapal bekerja keras diaba-abai oleh seorang berbadan tegap. Antara para pendayung dan penarik layar semua di bawah koordinasi yang rapi. Begitu juga, yang sangat penting, urusan perut bagi sekian banyak orang dilakukan oleh banyak koki dengan satu koordinasi pula. Sebagian dapur selalu kelihatan ramai. Di situ para koki, yang semua dikoordinasi Wu Ping, bekerja sibuk. Ada yang bagian meracik bumbu, ada yang memotong daging, ada pula yang menjaga api di dalam tungku-tungku.
Sesekali Ceng Ho memeriksa juga bagian-bagian itu, berjalan di tengah para pendayung di perut kapal apabila kapal melawan angin, atau juga berjalan di bagian dapur melihat staf koki mengerjakan tugas masing-masing.
Kini, pada jam makan, ketika semua orang berkumpul di ruang makan, Ceng Ho berdiri di ujung sana bersama Wang Jing Hong, kemudian berjalan pula di antara mereka dan memperhatikan dengan selintas keadaan mereka.
Di antara semua orang yang makan di ruang makan itu adalah Dang Zhua dan Hua Xiong. Keduanya duduk di sudut berhadap-hadapan. Jika mereka berbicara sesuatu, tidak ada yang bisa mendengar, sebab di ruang makan ini semua orang berbicara sesuatu, dan masing-masing tidak sama masalahnya, sehingga suara di dalam ruang makan ini pun sama ramainya dengan pasar.
Suara ratus-ratus menusia yang berbicara sambil makan merupakan bunyi kokofoni yang puntang-cerenang.
Sambil berjalan di tengah orang-orang itu, Ceng Ho menangkap wajah-wajah mereka yang memberi salam kepadanya, terutama Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Ceng Ho lewat," kata Dang Zuha.
"Biarkan saja," ujar Hua Xiong.
Walaupun Ceng Ho tidak mendengar apa yang diperkatakan kedua orang ini, dia dapat menangkap sikap yang kelihatan selintas dari cara Dang Zhua mengatakan kalimatnya itu kepada Hua Xiong dan jawaban yang diperkatakan Hua Xiong. Oleh karena itu, sekeluar Ceng Ho dari ruang makan ini di bagian sebelan sana, dia pun menarik lengan Wang Jing Hong, berjalan ke atas, ke bagian kemudi.
****
Di ruang kemudi, sturman wakil Wang Jing Hong sedang memegang kemudi itu dengan mata terarah ke depan. Wang Jing Hong menepuk bahunya.
"Makanlah dulu," katanya.
Sturman itu pun turun ke bawah, ke ruang makan, dan Wang Jing Hong sekarang memegang langsung kemudi kapal ini. Sambil memegang kemudi itu dia bertanya Wang Jing Hong kepada Ceng Ho, "Ada apa?"
"Saya mengerti," kata Wang Jing Hong. "Tampaknya Anda menaruh curiga kepada mereka." Ceng Ho tersenyum. Dalam senyum ini barangkali dia meralat pikiran Wang Jing Hong itu. Maka dia berkata, "Mungkin bukan curiga, melainkan, katakanlah ada perasaan ragu. Curiga itu tidak baik. Itu cacat kita, cacat sebagian besar orang Cina, selalu cepat curiga kepada orang lain yang belum dikenal. Saya tidak curiga. Saya hanya ragu. Kalau saya bilang saya ragu itu bisa berarti saya berpikir maju seratus langkah."
"Baiklah," kata Wang Jing Hong. "Tapi apa yang membuat Anda ragu?"
"Keraguan saya sebetulnya tidak terarah langsung kepada mereka, tapi kepada Liu Ta Xia. Kenapa Liu Ta Xia berpikir untuk menaruh mereka di dalam ekspedisi ini sebagai juru tulis. Sementara dalam sejarah kita, sejarah Cina, kedudukan seorang juru tulis penting sekali. Mereka penting, sebab dari mereka mengalir kata-kata yang indah. Siapa yang menguasai kata dengan sendirinya menguasai budaya, menguasai adab, membuat perang dan damai."
"Lantas, apakah Anda ragu kepada kedua orang itu karena mereka tidak menguasai kata-kata?"
"Yang mengherankan, Dang Zhua memamerkan kesalahannya pada saya."
"Soal apa itu? Soal puisi Thu Fu itu?"
"Ya. Dia bahkan tidak bisa membedakan mana kata-kata Thu Fu dan mana kata-kata Wei Ying Wu. Kalau dia juru tulis yang baik, dia harus membedakan pula bukan saja Thu Fu dan Wei Ying Wu, melainkan juga Tan Pih dan Li Tai Po. Kebesaran bangsa Cina terletak dalam bahasa sastra. Juru tulis yang tidak paham Wen Yen sangat memalukan."
"Kalau begitu, saya akan selidiki mereka."
"Tapi lakukan dengan tangan orang lain."
"Saya mengerti."
***
Dan, bilamana malam tiba, Wang Jing Hong datang ke ruang Wu Ping. Malam belum terlalu larut, tapi karena letih Wu Ping sudah tidur, dan dia tidur dengan sangat pulas. Dengkurnya mirip orang-orang tua. Dia kaget dan melompat karena cara Wang Jing Hong membangunkan juga mendadak-dadak.
"Ada apa?" kata Wu Ping hendak berlari.
"Sudah, tenang dulu," kata Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping agar duduk kembali di tempat tidurnya. "Dengar, Wu Ping. Ini, ada tugas kecil untukmu."
"Tugas apa itu?" kata Wu Ping mengucak kedua matanya dengan kedua tangan.
"Sebagai juru masak mereka tidak akan menaruh curiga padamu."
"Mereka?" Wu Ping memandang muka Wang Jing Hong dengan perasaan yang menunjukkan ketidakmengertian. "Mereka siapa?"
"Begini, Wu Ping," kata Wang Jing Hong dengan suara agak menurun. "Juru tulis pelayaran ini, perlu kau ketahui, adalah orang-orangnya Menteri Liu Ta Xia."
Wu Ping memandang dengan tatapan yang masih mewakili rasa ketidakmengertian. "Jadi, kenapa orang-orangnya menteri itu?"
"Perlu kau ketahui juga, Menteri Liu Ta Xia satu-satunya dari pemerintahan Zhua Di yang menentang keras gagasan pelayaran ke selatan ini. Tapi sekarang, justru orang-orangnya itu yang dipekerjakan dalam ekspedisi ini sebagai juru tulis. Sam Po Kong menaruh rasa ragu terhadap mereka berdua, Dang Zhua dan Hua Xiong."
"Apa mereka tidak becus?"
"Setidaknya Sam Po Kong menganggap mereka itu bukan golongan cendekia yang memahami serat-serat Wen Yen. Padahal bobot kecendekiaan kita bangsa Cina sangat ditentukan oleh penguasaan literer Wen Yen. Kata Sam Po Kong, orang yang memiliki kepandaian merangkaikan kata adalah yang memiliki kemampuan mencipta perang dan damai."
Wu Ping mengangguk. "Jadi tugasku menyelidiki mereka?"
"Kurang lebih begitu. Dan terserah kau. Apakah kau perlu perpanjangan tangan, atau kau sendiri yang memainkan peranmu, silakan saja memilih jalannya."
Wu Ping mengangguk lagi. Lalu dia menguap. "Hanya itu?"
"Ya," jawab Wang Jing HOng.
Dan Wu Ping langsung selonjor. "Kalau begitu, biar aku lanjutkan lagi tidurku."
Malam terus merangkak.
****
Di luar ruang tidur Wu Ping masih banyak orang yang belum tidur. Termasuk Tan Tay Seng. Dia pun masih duduk di buritan memainkan teh-yan. Sementara itu, di atas tiang pengintai, di bagian itu ada sebuah kotak besar untuk dua orang berdiri untuk melihat ke depan, tampak dua kakak-beradik, Tek Ceng dan Tek Goan, menggigil dan berkali-kali menguap.
"Uh, dinginnya," kata Tek Ceng sambil bergerak-gerak supaya gigilnya hilang. "Sudah dingin begini, aku ngantuk juga."
Dan, kata Tek Goan, "Tidak usah bergerak-gerak begitu, nanti kotak ini jatuh. Diam saja, sebentar lagi fajar."
"Kalau bisa, lebih enak kita tugas di sini pada siang hari saja. Ini gara-gara kamu, meminta kita bertugas di sini malam."
"Ah, kau bersungut saja," kata Tek Goan. "Tugas siang lebih tidak enak. Di siang hari kita dibakar matahari dari pagi sampai sore."
Dan, sambil tetap menggigil lantas menguap lagi, Tek Goan berkata, "Betul juga."
"Tumben kau membetulkan aku?"
"Sebab kali ini aku belum mau berdebat."
Tek Ceng mengantuk. Dia bisa tertidur dalam keadaan berdiri di dalam kotak yang berada di bagian paling atas dari tiang pengintai itu.
***
Padahal sebentar lagi subuh. Dan setelah itu terjadi penggantian tugas atas pekerjaan masing-masing yang dilakukan semua awak kapal.
Menjelang subuh, seseorang memegang gong kecil, sejenis bende tapi dengan frekuensi yang tajam lagi pecah karena bentuknya yang pipih tanpa pencoan, berjalan mengelilingi kapal, sambil mengimbau-imbau, "Bangun! Bangun! Sudah Subuh. Yang muslim segera siap menunaikan salat. Ayo, bangun! Bangun!"
Di bagian kapal yang digunakan untuk sembahyang terdengar pula beduk ditabuh.
(Beduk itu pula yang kemudian menjadi model beduk-beduk di pesisir utara Jawa, tersebar antara Cirebon, Semarang, Tuban, dan Surabaya, yang dijadikan sebagai peranti waktu di masjid-masjid. Model beduk itu di Cina telah dikenal sejak 2.700 tahun sebelum Masehi, sekitar zaman Huang Ti, dirancang atas titah Kaisar Tsche Teu, dan merupakan salah satu instrumen yang dimainkan bersama instrumen-instrumen lain di dalam istana, atas nada-nada khas Cina, Huang Mei Tiau.
Yaitu, susunan titilaras Hoang-Tscung, Tay-Tsu, Ku-Si, Jui-Pim, Y-Tse, dan Ou-Y, kira-kira sama dengan hukum musik Barat dalam F, G , A , B, cis, dis).
Setelah beduk ditabuh, tak lama kemudian terdengar suara nyaring muazin menyerukan umat untuk bersalat. Ceng Ho telah hadir lebih awal di ruang sembahyang di antara mukmin yang lain, yang tergolong minoritas di kapal ini dan kapal-kapal yang lain.
***
Tak lama setelah itu, manakala surya pelan-pelan memancarkan cahaya di laut, Tek Ceng dan Tek Goan turun dari atas kotak pengintainya. Mereka turun dari atas dengan bergayut pada tali-tali yang panjang dan pegas. Fajar sebentar lagi tiba.
Sebelum fajar tiba, ketika Wu Ping mengontrol para koki menyiapkan sarapan, Wang Jing Hong menemuinya. Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping berjalan ke atas, ke bagian kemudi, dan berbicara dengan suara tidak keras, dan bahkan sangat pelan.
"Nanti, begitu mereka semua sarapan, laksanakan tugasmu itu," kata Wang Jing Hong. "Nah, apakah kau akan melakukan sendiri atau membutuhkan tangan yang lain."
"Aku sendiri saja," kata Wu Ping.
"Waktu untukmu cukup sekali," kata Wang Jing Hong. "Sebab, setelah sarapan, Ceng Ho akan meminta bicara dengan mereka bersama perwira-perwira yang lain. Periksa, apa betul mereka sudah menulis. Dan, apa yang mereka tulis."
"Akan aku laksanakan," kata Wu Ping.
Wu Ping menunggu waktu itu.
BAGIAN 6
Sementara itu, sehabis sarapan, semua perwira berkumpul di ruang rapat. Ceng Ho berada di tengah-tengah. Di dekatnya duduk Wang Jing Hong. Dang Zhua dan HUa Xiong masuk ke ruang itu agak belakangan. Mereka duduk berseberangan dengan Ceng Ho.
"Begini," kata Ceng Ho memulai pertemuan ini. "Kita patut bersyukur bahwa sampai hari ini keadaan kita selamat, tidak ada gangguan cuaca, gelombang, dan sebagainya. Mudah-mudahan pelayaran kita akan terus mulus."
Lantas Ceng Ho menengok ke arah Wang Jing Hong. "Bagaimana, Wang Jing Hong?"
"Menurut ramalan cuaca, sampai tiga hari lagi kita belum memasuki garis rawan navigasi," kata Wang Jing Hong.
"Coba terangkan kepada rapat," kata Ceng Ho.
"Di garis yang saya sebutkan itu, di situ merupakan wilayah yang rawan sekali. Gelombang besar karena pertemuan angin, antara puting beliung ataupun taufan, bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Tidak seorang pun yang dapat menerka laut di selatan ini," kata Wang Jing Hong.
"Itu artinya kita semua harus waspada," kata Ceng Ho.
"Tapi nanti, setelah wilayah rawan itu, di hari berikut kita akan tiba di tanah tepi melewati Pulau Hai-Nan, masuk ke Pelabuhan Qui-Nhon, Campa," kata Wang Jing Hong.
"Walaupun kita akan melewati wilayah rawan itu, saya harap semua dapat berserah. Menurut teori, kapal ini adalah kapal yang paling sempurna. Meskipun pecah oleh badai, teorinya kapal ini tidak akan karam. Setidaknya itu kata pembuatnya. Tapi, sekali lagi, mari berserah, dan jangan takabur. Sebagai muslim, saya hanya bersandar kepada kerahaman dan kerahiman ilahi. Allah adalah nakhoda agung saya."
Semua yang hadir dalam rapat, yang tidak semua muslim, dan bahkan sebagian besar beragama Zu Xian Jiao atau agama leluhur yang berpadu antara Tao, Buddha, dan Kong Hu Cu, mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami dan menakzimi Ceng Ho.
***
Bersama dengan itu, di ruang Dang Zhua dan Hua Xing, tampak Wu Ping memeriksa-meriksa. Berlembar-lembar kertas berserak di situ. Wu Ping mengambil satu dan satunya lagi, lalu memperhatikan tulisan-tulisan di atasnya yang menggunakan kuas khusus, pit, dan menyimpulkan bahwa tulisan itu tidak bagus.
"Patutlah kalau Sam Po Kong menaruh ragu terhadap kedua juru tulis ini. Tulisan mereka seperti cakar ayam. Mereka bahkan tidak menguasai Wen Yen."
Wu Ping merasa puas karena bisa memperoleh bukti tentang kedua orang juru tulis itu. Salah sebuah kertas, yang berisi tulisan tangan dang Zhua, dan tulisan itu gagal, telah berbiar-biar di bawah. Wu Ping memungutnya, melipatnya, dan memasukkan di balik bajunya.
Setelah itu Wu Ping keluar dari ruang Dang Zhua dan Hua Xiong itu. Dia bergegas-gegas pergi ke atas, menaiki tangga-tangga, sampai ke tempat orang-orang itu berapat. Di ruang besar untuk rapat itu Ceng Ho masih melanjutkan percakapannya kepada sidang.
Wu Ping tidak masuk ke dalam. Dia hanya menunggu di luar. Di luar dia dapat mendengar isi pembicaraan Ceng Ho. Dan dia menunggu di situ sampai Ceng Ho selesai berbicara.
***
Tampaknya Ceng Ho sangat berharap sesuatu yang benar-benar final dari kedudukan Dang Zhua dan Hua Xiong dalam ekspedisi besar ini. Sebab, sambil mengarahkan pandangannya kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, berkatalah Ceng Ho tegas, "Terus terang saya ingin suatu catatan perjalanan kita ini ditulis dengan bahasa yang indah, yang memenuhi syarat-syarat objektif We Yen. Saya ingin catatan perjalanan ini dibaca orang pada abad-abad mendatang sebagai suatu cerita yang mengasyikkan. Misalnya, bagaimana dahsyatnya Laut Cina Selatan -mudah-mudahan tidak ada masalah di situ nanti- bagaimana orang-orang di daratan Campa, Andalas, dan Jawa."
"Mudah-mudahan hal itu memuaskan Tuan," kata Dang Zhua.
Kapal terus melaju ke selatan. Di depan sana langit tidak biru lagi tapi berubah menjadi abu-abu. Laut di bawah pun kelihatan hitam. Sementara matahari terus pula nampak seperti bola merah silau ditutupi oleh awan. Ketika matahari terbenam, maka orang-orang bertugas malam, siap-siap menduduki tanggung jawabnya. Termasuk yang paling penting dua bersaudara yang bertugas di tiang pengintai, Tek Ceng dan Tek Goan.
Kedua kakak-beradik ini sangat rukun, tapi sangat sering berdebat, lalu berujung dengan berkelahi, dan akhirnya berpeluk-pelukan rukun kembali.
Sekarang Tek Ceng yang berceloteh lebih dulu. "Membosankan sekali. Tidak ada yang dilihat, tapi kita bertugas melihat terus. Dari hari ke hari yang kita lihat sama melulu."
"Tidak seluruhnya sama, Tek Ceng," kata Tek Goan.
"Menurutku, sama," kata Tek Ceng ngotot. "Kaki langit sebelah sana sudah lebih dulu hitam daripada yang di sana."
"Sana? Sana yang mana?"
"Yang itu."
"Maksudku, apa namanya secara mata angin."
"Selatan."
Tek Goan ketawa. "Yang itu kaubilang selatan? Goblok. Itu bukan selatan." Lalu Tek Goan menunjuk ke suatu arah yang lain, yang khusus. "Lihat. Yang selatan itu sana."
"Alah, hanya beda tipis antara sana dan sana," kata Tek Ceng menyepelekan. "Di tengah laut begini orang boleh saja menunjuk dengan beda-beda tipis."
"Goblok," kata Tek Goan. "Tidak boleh begitu. Justru di laut kita harus menunjuk arah mata angin dengan persis. Kita bukan di barat. Kalau di darat kita tersesat masih ketemu dengan pohon, dan di bawah pohon kita berteduh dan memakan buahnya, dan seterusnya. Tapi di laut, tidak bisa begitu. Kesalahan yang kaukira hanya beda tipis, bisa mengakibatkan fatal, terbawa arus, mati konyol. Yang kautunjuk itu tadi namanya tenggara."
"Nah, itu kan tidak terlalu besar selisihnya," kata Tek Ceng tetap ngotot. "Tenggara itu kan beda dalam apitan antara selatan dan timur."
"Dasar goblok, ya goblok juga," kata Tek Goan. "Bagaimanapun kau tidak boleh berpikir begitu. Selatan adalah selatan. Timur adalah timur. Tenggara tidak boleh dibilang apitan selatan dan timur."
"Ah, aku hanya ingin menyatakan bahasa yang gampang dipahami awam."
"Nah, semakin goblok," kata Tek Goan. "Kita bukan awam."
Tek Ceng jengkel. "Alah, sudah, aku tidak mau berdebat dengan kau. Cuma soal kecil, soal tenggara yang jadi selatan saja kok repot begini."
"Lo? Tugas kita memang harus repot, goblok."
Tek Ceng langsung mengeplak kepala Tek Goan. "Kamu terlalu banyak mulut."
Tek Goan naik pitam. "Kenapa kaupukul aku?" Sambil berkata begitu dia pun melayangkan tinju ke muka Tek Ceng.
Kemudian Tek Ceng membalas lagi. Dan akibatnya mereka pun berkelahi di atas kotak pengintai itu. Perkelahian itu menjadi seru sekali. Akhirnya Tek Goan terkeluar dari dalam kotak dan menggelantung di tali, terayun-ayun di situ.
****
Wang Jing Hong kebetulan keluar dari bagian kemudi dan berjalan ke geladak. Sisa purnama cukup terang untuk melihat Tek Goan yang bergelantung di atas. Bukan hanya itu yang dilihatnya. Juga dilihatnya bagaimana Tek Ceng mengambil tali yang satu lantas bergayut untuk menendang Tek Goan di atas sana.
Wang Jing Hong terperanjat melihat adegan di atas itu. "Apa yang mereka lakukan di atas itu?"
Kemudian Wang Jing Hong lekas-lekas masuk kembali ke ruang kemudi, bercakap dengan sturman yang sedang berdiri di belakang kemudi.
"Lihat itu di atas."
Sturman itu keluar lantas menengok ke atas. Katanya masygul. "Wah, risiko paling buruk bisa saja terjadi."
"Cepat, beri tahu Sam Po Kong."
Sturman yang disuruh oleh Wang Jing Hong itu lekas-lekas pergi ke ruang Ceng Ho. Sementara itu kedua kakak-beradik yang suka berkelahi tapi cepat juga berdamai masih berjuang untuk saling mengalahkan. Kelihatannya si adik lebih tangkas. Setelah terayun jatuh dari tiang, dia kembali dengan gerakan aneh, memutar badan kepala di bawah, lantas dengan begitu kedua kakinya disepakkan ke dada kakaknya. Kendati yang kakak telah dua kali kena sepak, tidak juga sang kakak menghentikan perkelahian yang berbahaya itu.
****
Sturman yang disuruh Wang Jing Hong kini telah berada di depan kamar Ceng Ho. Dia mengetuk pintu sambil mengucapkan sesuatu yang mengisyaratkan adab, "Selamat sejahtera, Sam Po Kong."
Ceng Ho menyuruhnya membuka pintu. Dari dalam kamarnya dia berkata, "Dorong saja pintunya."
Sturman itu melakukan yang dikatakan Ceng Ho. "Maaf, Laksamana," katanya.
"Ada keributan di atas tiang pengintai."
"Keributan berapa orang?" tanya Ceng Ho, tidak terkejut.
"Dua orang, Laksamana," sahut sang sturman. "Mereka yang bertugas mengintai navigasi. Mereka berkelahi di atas sana."
Seeprti tak acuh, Ceng Ho berkata dalam kalimat tanya yang datar, "Lantas, apa keistimewaan dari perkelahian itu?"
"Rawan, Laksamana," jawab sturman itu. "Juru mudi Wang Jong Hong menyuruh menyampaikan ini kepada Anda."
"Supaya saya tidak mengulang-ulang bicara, hafal saja kata-kata saya ini: tidak perlu mengurus orang yang berkehali, kalau perkelahian itu menyangkut harga diri mempertahankan kebenaran."
"Jadi, apa yang harus saya katakan kepada juru mudi Wang Jing Hong, Laksamana?"
"Katakan kepadanya, biar saja orang dua itu berkelahi. Orang perlu berkelahi, memakai otot, kalau sarana otak sudah tidak bisa mewakili pertahanan kebenaran terhadap lawan. Mengerti kamu?"
"Mengerti, Laksamana."
"Kalau begitu, cepat pergi. Dan, tutup kembali pintu yang kamu buka tadi. Saya akan melanjutkan istirahat."
Sturman itu pun pergi.
***
Ternyata perkelahian kakak-beradik itu kian seru. Kini mereka telah turun di geladak. Mula-mula Tek Ceng yang meluncur ke bawah. Kemudian Tek Goan meluncur pula ke bawah. Di bawah sinilah mereka melanjutkan perkelahian. Segala macam gerakan mereka peragakan. Perkelahian yang ramai di atas geladak ini membuat orang-orang yang tadinya sudah siap hendak istirahat, tidur, lantas sebagian keluar lagi dari kamar masing-masing, numpluk di geladak menyaksikan perkelahian ini.
Tan Tay Seng, yang sejak tadi menyendiri di buritan, kini datang pula ke geladak, menyaksikan perkelahian kakak dan adik itu. Di situ Tan Tay Seng duduk di tali kapal yang tergulung, memainkan teh-yan dan menyanyikan lagu yang dibuatnya dengan mudah.
Apalah bedanya seorang tukang judi
Atau pun seorang yang sedang kelahi
Keduanya berpikir dirinya akan menang
jika mereka kalah mereka akan berang.
Begitu nyanyian Tan Tay Seng. Dan, adalah karena nyanyian itu pula yang membuat Dang Zhua dan Hua Xiong keluar dari kamar mereka, berdiri agak ketinggian, menyaksikan perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan.
Di tempat berdiri mereka, berkata Dang Zhua kepada Hua Xiong, "Kita bisa manfaatkan salah satu dari dua kakak-beradik itu untuk menjadi kaki tangan kita."
"Kelihatannya kedua-duanya memiliki kadar keras kepala yang sama," kata Hua Xiong.
"Kita dekati mereka di meja makan nanti."
"Ya, aku dekati yang kakak, kau yang adik."
Sementara itu perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan telah merangsang orang untuk bersorak-sorai, bertempik-sorak, bersuat-suit. Pada suatu gerakan Tek Goan terpelan-ting ke bagian orang-orang yang menonton. Seseorang yang terjorok oleh pelantingnya Tek Goan lantas mendorongnya ke depan. Tapi kaki Tek Goan tersepak lalu jatuh ke samping orang yang mendorong tadi. Orang ini pun marah lantas mendorong pula orang yang berdiri di sebelahnya. Orang yang terdorong ini lantas langsung memukul kepada orang yang mendorong. Terjadi senggol-senggol dengan yang lain lagi, sehingga ujungnya terjadi tawur. Ramai sekali.
Di saat tawur ramai begitu, Ceng Ho turun ke situ, dan melibas satu per satu. Semua yang dilibas Ceng Ho langsung tumbang dan tergeletak di lantai. Tidak seorang pun yang sanggup berdiri setelah dilibas Ceng Ho. Tak ayal, berbicara cempiang yang paling ampuh di dalam pelayaran ini, niscaya itu adalah Ceng Ho belaka.
Setelah semua tumbang, termasuk Tek Ceng dan Tek Goan, berkatalah Ceng dengan nada perintah, "Sekarang semuanya bubar."
Orang-orang itu pun berdiri. Tek Ceng dan Tek Goan harus kembali lagi ke atas, ke kotak pengintai.
Sebelum semua pergi, Ceng Ho berkata, "Itu tadi adalah latihan. Latihan akan dilangsungkan kapan-kapan lagi."
Di atas gulungan tali Tan Tay Seng menyanyi lagi:
Siapa yang dikungkung kebodohan
Pasti gampang dibakar kemarahan
Kita berikan ucapan penghormatan
Kepada yang menjauhi perbantahan.
Tan Tay Seng masih terus menyanyi sampai dia mengantuk dan tertidur di gulungan tali itu. Sebentar lagi bulan kehilangan cahaya pucatnya. Dan malam berlanjut dengan angin yang menderu-deru bersamaan dengan buih-buih di depan kapal yang dibelah oleh kelajuannya.
Kembali ke pekerjaan Dang Zhua dan Hua Xiong. Apakah Ceng Ho puas dengan jawaban mereka?
"Sudah sampai setebal apa yang kalian tulis?" tanya Ceng Ho.
"Maaf, Sam Po Kong," kata Hua Xiong. "Kami baru mulai."
Dan kata Dang Zhua menimpali dengan segera, "Setidaknya sudah kami bikin catatan-catatan yang bersifat kerangka."
"Kerangka?" tanya Ceng Ho.
"Sebelum kami tulis, kami sepakat membagi bagian kami masing-masing, supaya tidak tumpang-tindih, dalam bentuk kerangka terlebih dulu. Dan, nanti setelah itu kami menulis sesuai dengan kerangka itu."
"O, begitu?" tanya Ceng Ho. "Jadi, kapan kalian menulisnya?"
"Setelah pelayaran ini tuntas seluruhnya," kata Hua Xiong dengan tidak ragu. "Setelah kami pulang kembali ke Cung Kuo."
Ceng Ho mengangguk-angguk, menimbang dengan nalar, dan kemudian bisa memahami itu. Katanya, "Boleh saja. Itu bagus juga. Saya percaya. Tulislah itu dengan indah demi Ming."
"Ya, demi Ming," ujar Dang Zhua. "Pokoknya, di abad-abad mendatang orang tidak hanya bicara karya tulis T'ang, tapi juga Ming."
Semua yang duduk di ruang rapat itu memberi aplaus kepada Dang Zhua. Dan Dang Zhua lantas keranjingan oleh pujian itu. Hanya orang yang tidak bisa mengukur diri yang memang tidak menyadari beratnya suatu pujian. Biar saja.
* * *
Di saat orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong itu, bersamaan di luar ruang rapat Wu Ping melambaikan tangan kepada Wang Jing Hong. Melihat lambaian itu Wang Jing Hong pun segera berdiri dari tempat duduknya, berjalan keluar, mendapatkan Wu Ping.
"Bagaimana?" kata Wang Jing Hong seraya menarik lengan Wu Ping supaya berdiri bersandar di dinding luar ruang rapat itu.
"Memang betul," kata Wu Ping.
"Apa maksudmu?"
"Saya membawa secarik kertas." Wu Ping mengeluaarkan kertas itu dan menyerahkan kepada Wang Jing Hong. "Ini. Kelihatannya orang-orang itu tidak pandai membuat huruf. Tulisan mereka seperti cakar ayam. Huruf-huruf yang mereka buat sama sekali tidak indah."
"Coba saya lihat," kata wang Jing Hong mengambil kertas itu lantas menyimaknya. "Ya, memang betul. Ini bukan tulisan orang yang berpengalaman. Ini bukan juga cakar ayam, melainkan mungkin lebih tepat dikatakan sebagai cakar congor binatang haram, babi, yang bermain-main lumpur tahi."
Wu Ping ketawa. "Ya, betul."
"Nanti saya akan tunjukkan kepada Sam Po Kong," kata Wang Jing Hong seraya melipat kembali kertas itu lantas memasukkan ke dalam bajunya.
Dan Wang Jing Hong masuk lagi ke dalam ruang rapat itu.
Maksudnya hendak duduk kembali di kursinya tadi, tapi bersamaan dengan itu Ceng Ho berkata, "Untuk sementara pertemuan kita selesai dulu."
* * *
Semua yang ikut dalam rapat itu keluar dan kembali ke tempat masing-masing. Hanya Ceng Ho yang tetap di ruang itu, duduk, di kursinya.
Wang Jing Hong menghampirinya, duduk di sebelahnya. Katanya, "Apa yang Anda ragukan bisa saja dibenarkan." Wang Jing Hong pun mengeluarkan kertas secarik itu dari dalam bajunya dan membenarkannya di atas meja. "Ini tulisan mereka."
Ceng Ho mengambil kertas itu dalam menyimaknya. Tulisan di atas kertas itu, tak diketahui Ceng Ho apakah dibuat Dang Zhua atau Hua Xiong, berupa empat kata bersusun empat-empat:
Apa maknanya?
Ceng Ho menyimak sambil berpikir. Susunan yang pertama adalah "Wo". Artinya, "aku". Yang kedua bacanya "k'o", artinya "tugas" atau 'berlatih'. Yang ketiga bacanya "tzu", artinya "kata yang tertulis".
Akhirnya Ceng Ho menyimpulkan, "Kelihatannya mereka sedang belajar."
Lalu, kata Wang Jing Hong, "Tapi aneh. Mereka menulis pakai apa ini? Ini bukan tulisan dengan pit." *)
Ceng Ho tertawa. Dia mengejek. "Mungkin mereka menulis pakai nga-ciam." **)
"Apakah itu berarti Anda sedang meningkatkan keraguan Anda menjadi curiga?" tanya Wang Jing Hong.
"Tidak," sahut Ceng Ho tegas. "Jangan menunjukkan bahwa kita sudah tahu. Yang jelas kita boleh tidak percaya kepada mereka memang dipasang di sini oleh orang yang tidak setuju pada ekspedisi ini."
* * *
Besok malam, pada jam makan, tampak Dang Zhua duduk mendekati Teng Ceng, dan Hua Xiong duduk di dekat Tek Goan. Seperti bisik-bisik mereka tadi malam, mereka lakukan sekarang, memanas-manasi satu dengan lainnya.
Mula-mula, di sebelah Tek Ceng, berkata Dang Zhua untuk membangkitkan dengki, "Saya mengagumi sikapmu. Memang begitu harusnya orang bersikap. Menurut saya, kalau prinsip sampai dilecehkan, memang jalan keluar untuk menyelesaikannya, ya kelahi."
"Sejak kecil kami memang selalu kelahi. Badan saya lebih kecil darinya, tapi dia selalu tidak pernah menang. Walaupun dia selalu kalah, dia tidak pernah mau takluk."
"Tapi sikapmu itu betul sekali. harusnya Sam Po Kong jangan memisahan dulu. Inisiatif Sam Po Kong tadi malam terlalu terburu-buru. Benar begitu kan?"
Tek Ceng mengangkat bahu. "Entah."
Lain lagi yang dibicarakan Hua Xiong kepada Tek Goan. Dia memulai percakapannya dengan memuji Tek Goan. Beda dengan Dang Zhua yang memulai pujian menyangkut sikap orang yang akan dipujinya maka Hua Xiong memuji aksi Tek Goan tadi malam.
Kata Hua Xiong, "Saya lihat caramu meluncur dari tiang pengintai untuk menyerang lawanmu, memang luar biasa."
Yang dipuji tidak makan puji. Tek Goan menjawab enteng-enteng saja. "Ah, itu biasa saja."
Hua Xiong mencoba meyakinkan, dan sebetulnya dia tidak pandai berbual untuk membuat orang yakin. Katanya, "Sungguh mati, itu luar biasa."
Tek Goan hanya melirik. Tidak berkata apa-apa. Dia terus menyumpit makanan di hadapannya dan memasukkan ke mulut, mengunyah-ngunyah dengan sikap tidak hirau.
Hua Xiong terus berusaha mengakrabkan diri. "Tapi setidaknya kau belajar kungfu."
"Belajar kungfu bukan hal yang luar biasa," jawab Tek Goan, tetap pada sikap semula, tak termakan oleh pujian Hua Xiong.
"Di mana kau belajar?"
"Kami belajar bersama-sama."
"Belajar bersama-sama?"
"Ya. Lawan saya itu saudara sekandung saya. Sejak kecil kami belajar di Kuil Zhen-Zhou."
"Kalian kakak-adik?"
"Ya. Kucing dan anjing. "Tek Goan ketawa. "Dan untuk hal-hal istimewa, dalam bertahan untuk tidak mengalah, kami adalah harimau-harimau."
"Oh? Begitukah?" Hua Xiong menunjukkan dirinya kagum, tetap untuk membuat Tek Goan menjadi akrab dengannya, dan supaya dengan begitu, ingin memanfaatkannya. "Nah, kalau begitu, itu memang luaar biasa."
"Tidak juga," kata Tek Goan. Dia tetap tidak terpengaruh.
Oleh sebab itu, katakanlah untuk sementara, niatan-niatan Dang Zhua dan Hua Xiong untuk memperalat Tek Ceng dan Tek Goan tidak mendapat landasan.
****
Kapal terus meluncur ke selatan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda khusus yang bisa dilaporkan dari tiang pengintaian. Bahwa kapal oleng, dan olengnya lumayan kuat, itu sudah sering. Dan apakala kapal oleng begini, banyak orang yang baru pertama ini berlayar, merasa amat gamang.
Barangkali besok kapal akan memasuki wilayah yang disebut Wang Jing Hong sebagai garis rawan navigasi. Di situlah kiranya kegamangan itu akan menjadi pelajaran bagi manusia, bahwa manusia mesti berserah saja kepada yang maha. Mereka yang Muslim, seperti Ceng Ho, Wang Jing Hong, dan Wu Ping berseru kepada Allah taala. Mereka yang berkepercayaan Jing Tian Zun Zu *) dan memegang agama leluhur Zu Xian Jiao**) berserah pula kepada Fo-Zhu***),
Apakala kapal mulai memasuki apa yang disebut Wang Jing Hong sebagai "garis rawan", segenap awak bersiap-siap. Tampaknya untuk segala hal hanya persoalan mati di dalam hidup yang mesti dihadapi manusia sebagai kepastian, sisanya niskala. Ini bukan hanya persoalan di laut, di mana orang harus menunggu dengan sabar, dengan bimbang, dengan wasawas akan tanah tepi yang memberikan pengharapan, melainkan juga di darat di mana orang menerka-nerka akan kepastian itu.
***
Sekarang, tinggalkan sejenak hiruk pikuk di kapal, di atas laut raya yang tak pernah sepi akan rahasia, lantas longok sejenak ke darat.
Di sebuah taman, di pinggir kolam, Permaisuri duduk melemparkan remah-remah bagi ikan koki warna-warni di situ. Ikan-ikan itu semoreh menangkap makanannya. Permaisuri menikmati sekali kesendirian itu.
Tapi tak lama kemudian dia terkinjat, karena dari belakang muncul sosok, menyapanya dengan keramahan yang tidak sejati. Orang yang menyapa ini Liu Ta Xia. Dia tetap seekor hewan tertentu yang memiliki kesabaran khas untuk suatu perburuan. Padahal dasarnya hanya satu: dia tidak setuju program Kaisar yang sudah berjalan, mengutus Ceng Ho ke selatan membawa armada sedemikian besar.
Sapanya kepada Permaisuri membuat Permaisuri merasa terganggu. Padahal ucapan pertama yang dikatakan Liu Ta Xia adalah, "Maaf, Tuan Putri, seandainya ini mengganggu kesendirian Tuan Putri."
Karena terkejut dan merasa terganggu, berkata Permaisuri dengan menggeser tubuhnya, "Sudah kukatakan, jangan terlalu sering menemui aku di tempat terbuka. Apalagi yang kauinginkan?"
Liu Ta Xia membungkuk badan dengan sikap takzim yang berlebihan, nyaris palsu. Katanya, "Maaf, Tuan Putri, aku hanya ingin bilang, tidak bisa tidur tadi malam."
"Apa?" Permaisuri melengos sejenak lantas memandang Liu Ta Xia.
Tak pelak, kata-kata Liu Ta Xia adalah pernyataan yang sangat gombal, khas lelaki. Dia memang bermaksud merayu. Katanya selanjutnya, "Tuan Putri terus hadir di selaput jala mataku, masuk ke hatiku."
Permaisuri mencibir walaupun ada bunga yang pelan-pelan mekar di sukmanya. Katanya membalik belakang, "Jangan libatkan aku dalam persoalan hatimu. Aku benci mendengar pernyataan cengeng seperti itu."
Liu Ta Xia membuat dirinya tampil setulus mungkin. Katanya, "Aku tidak pura-pura, Tuan Putri."
Permaisuri tertawa. Keterbukaan yang tidak dirancang mulai nampak dalam sekejap. Kata Permaisuri, "Kalaupun kau pura-pura, siapa yang peduli? Aku tidak peduli. Aku tidak mau peduli dengan persoalan hatimu itu." Dia berpindah tempat, berjalan ke samping, dan siap meninggalkan kolam itu. "Maaf, aku akan berlalu." Dan dia pergi.
Liu Ta Xia melengung. Tapi kemudian dia mengejar. "Tunggu sebentar, Tuan Putri. Tunggu."
Namun Permaisuri abaikan itu. Dia tetap berjalan, langkahnya panjang. Tinggal Liu Ta Xia berdiri bengong, berdiri kaku, berdiri dengan hati yang tawar, memandang tubuh Permaisuri dari belakang.
Sambil memandang sosok Permaisuri yang akan hilang di balik pohon-pohon taman yang indah, asri, dan menyurga bagi pikiran yang sumpek, berkata Liu Ta Xia bagi pelomba yang tidak menang, "Bagaimana caranya aku menaklukkan batu karang supaya aku dapat memanfaatkannya menjadi fondasi dari istana yang kubangun dalam akalku."
Dengan ekawicara itu kelihatannya Liu Ta Xia hendak menjadi arif. Orang arif biasanya memahami arti keperkasaan sang waktu. Setiap orang memang ingin menjadi arif. Termasuk orang-orang bebal dan fasik sekalipun. Jamak saja gerangan pungguk merindukan bulan.
***
Ekawicara yang berlangsung dalam diri Liu Ta Xia tidak berhenti di situ saja. Gaungnya masih bersipongang sehari, dua hari, tiga hari, berhari-hari. Manakala terjadi jua keterbatasan akal yang tak kunjung berhasil menjawab keperkasaan sang waktu, rahasianya hari esok, jawaban akan nasib, maka orang pun lantas membutuhkan orang lain yang dapat mengurai garis takdir. Liu Ta Xia sangat percaya pada leluri ini. Karena itu pergilah dia mencari orang lain yang dimaksudkan itu. Pembantunya menunjuk sebuah tempat sebuah nama sebuah jaminan.
BAGIAN 7
Bersama dengan dua orang pembantunya, Liu Ta Xia memacu kuda ke sebuah tempat di luar kota, melewati padang dan menyeberangi anak sungai lalu melampaui lagi tanah kering. Debu beterbangan mengaburkan jalanan.
Ke mana mereka?
***
Tujuan mereka sebuah huma di bukit. Pada siang hari huma itu kelihatan seperti sebuah bintik merah di tengah pohonan hijau yang membelukar di sekelilingnya. Nanti, setelah dekat, setelah mendaki jalanan berbatu, orang akan melihat rumah berwarna merah ini sebagai tempat seseorang yang tidak sama dengan tempat-tempat tinggal umumnya. Pemilik huma ini kelihatannya tak hirau terhadap interior. Dalamnya kosong. Kursi kayu sudah reyot. Cahaya siang masuk ke dalam huma ini dari empat penjuru.
Liu Ta Xia ragu berdiri di depan. Pertanyaannya yang pertama kepada pembantunya itu, "Apa betul orang ini sanggup?"
"Ya, Tuan Menteri," jawab pembantunya. (Harus diketahui bahwa "pembantu" dalam hubungan ini bukan "babu" atau "jongos'. Melainkan, orang yang mengerjakan pelbagai tugas yang berhubungan dengan kedudukan Liu Ta Xia sebagai menteri.)
"Apakah dia ada di dalam?" tanya Liu Ta Xia lagi.
"Ya, Tuan Menteri," jawab pembantunya itu. "Dia tidak pernah pergi ke mana-mana."
"Kalau begitu, katakan cepat."
"Tuan tunggu di sini, saya masuk ke dalam."
"Tidak. Kita masuk bersama-sama."
Mereka masuk.
****
Ternyata yang mendiami huma ini seorang yang buta, tak dapat melihat dengan mata, tapi dengan hati, sebab dia adalah seorang cenayang, tukang nujum, paranormal, yang memilih hidup menyepi di sini dibantu oleh seorang pelayan. Dia duduk di atas kursi yang di belakangnya berdekor lukisan yin setinggi satu setengah ukuran manusia. Di bawah kursinya ada sebuah anyaman dari serat dengan sebuah kata dalam sebuah huruf di tengah-tengahnya, yaitu:
Bacanya "nao", artinya "otak".
Karena tulisan itu terpajang di bawah tempatnya duduk, orang sering menyebut dia: Nao. Padahal nama kecilnya, sebelum dia menjadi buta, adalah Siu.
Telinganya sangat peka. Sambil duduk menggoyang-goyang badan, dia ulurkan tangan dari jauh, mempersilakan Liu Ta Xia dan kedua pembantunya duduk.
"Silakan," katanya. "Dari bau debu bercampur keringat yang sampai ke hidung saya, jelas kalian datang dari jauh."
"Betul itu, Nao," kata pembantu Liu Ta Xia.
"Utarakan saja," kata Siu. "Dengan mata yang sama terletak di kepala saya juga punya, tapi saya tidak bisa melihat kalian. Saya melihat dengan mata batin. Dengan mata batin yang terletak dalam pikiran yang berhubungan dengan perasaan saya, saya dapat melihat dengan jelas isi hati kalian. Saya sudah melihat roh yang satu, yang duduk di tengah-tengah itu, datang dari suatu tempat penuh dengan pertikaian batin, menghampiri roh saya." Dia menunjuk-nunjuk Liu Ta Xia. "Katakan saja menurut apa adanya. Perkataan yang tersembunyi dapat membuat orang tertekan. Jika perkataan itu dibuka memang terasa berat, tapi dengannya jiwa akan menjadi bersih."
Liu Ta Xia jadi kagok. Katanya terteguk, "Tiba-tiba saya menjadi ragu."
"Katakan saja," kata Siu. "Ini perkara apa?"
"Soal kekuatan."
"Kalau kekuatan itu berada di dalam diri perempuan, itu merupakan tembok yang lebih kukuh dari tembok besar Shih Huang Ti." *).
Liu Ta Xia mengangguk. "Benar," katanya.
Dan kata Siu, "Perempuan kadang-kadang seperti merpati, kadang-kadang seperti tekukur. Yang satu bisa diternak dan jinak, yang satunya lagi hanya didengar manggungnya di dalam kandang, dan jika kandangnya terbuka ia terbang dan tidak kembali lagi."
"Betul," kata Liu Ta Xia lagi. "Kemari-kemarin dia adalah burung merpati yang jinak, tapi sekarang dia menjadi tekukur yang liar."
"Sebetulnya apa yang diharap dari merpati yang berubah jadi tekukur itu?"
"Menyelam dan minum air."
Siu tersenyum, mengangguk, maklum. "O, artinya mendapatkan cintanya dan memanfaatkan dirinya?"
Liu Ta Xia tidak berkata apa-apa. Dia melirik ke arah pembantu-pembantunya.
Kata Siu lagi, "Kalau orang berharap dapat membeli yang tidak dijual, dia harus punya modal yang tidak terbatas."
"Apa modal yang tidak terbatas itu?"
"Kekuasaan."
"Kekuasaan?"
"Itu yang akan menjamin orang dapat memiliki segala yang diinginkan."
Liu Ta Xia tercenung. Setelah terjeda sesaat, dia pun berkata kerepotan, "Yang jadi soal, dia berada dalam kekuasaan yang lebih besar."
"Seberapa besar? Berbatas atau tiada berbatas?"
"Bahkan tidak terbatas."
"Ciptakan dulu kekuasaan yang lebih besar dari yang tidak terbatas itu."
"Mana mungkin? Yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas ini Xhu Di."
Siu angkat tangan. "Kalau begitu tangkaplah asap ukirlah langit."
Liu Ta Xia geram sekali. Asap keluar di kepala karena api membakar di hati. Dikeluarkannya pedang dari sarungnya. Dihunusnya. Dan dengan sangat cepat dia telah menikam Siu. Siu mati. Sebelum nafasnya putus, dia sempat menyumpah, "Terkutuk kamu!"
Liu Ta Xia tak peduli. Orang rakus tidak pernah pedulikan karma. Rakus terhadap makanan, selesai setelah orang kenyang, tapi rakus akan kekuasaan, tidak pernah selesai kecuali karena karma. Lihat saja karma Liu Ta Xia. Hari masih panjang. Setelah besok, masih ada lusa, tulat, tubin. Dan di dalam setiap waktu, ada bagian-bagian di mana orang menerima atau melawan terhadap imbauan yang datang melalui gaung nurani.
Sementara tinggalkan dulu Liu Ta Xia. Sebentar lagi dia akan datang ke istana, menemui Zhu Di. Tetapi Zhu Di tak hirau, sebab Zhu Di tengah menikmati klangenan.
***
Malam itu Zhu Di tak suka diganggu. Dia sedang duduk setengah berbaring di atas ranjang, di ruang yang besar, menyaksikan musik dan tari-tarian.
Para pemusik istana memainkan musik dengan terampil, merangsang orang yang mendengarnya bagai hidup di sebuah sudut surga. Musik Cina di zaman Ming memiliki ciri tersendiri, tercipta berdasarkan kebutuhan sang kaisar pada jam-jam langennya. Ada dua jenis zither, disebut ch'in, yang pada zaman Ming terdiri atas dua tona, yang kecil di sebut hsiao-ch'u dan yang besar disebut ta-ch'u. Untuk menghasilkan nada-nada yang berbeda dalam melodi, pemain menciptakan corak rasa-seleh dari perbedaan atas pusat-pusat tonal dan modulasi yang renggang dari satu kunci ke lain kunci, tetap dalam skala pentatonik khas Cina.
Bersamaan dengan lentingan dawai-dawai zither itu, bergantian tarian diperagakan oleh perempuan-perempuan terpilih, baik bakatnya maupun wajah dan sosoknya. Tak ada yang lebih tahu akan bentuk tubuh penari-penari, kecuali sang kaisar yang pernah melihat mereka telanjang di ranjang.
Demikian hiburan Kaisar. Orang sangat mengerti arti kesenangan Kaisar. Adakah orang yang lebih menikmati seks sebagai hiburan selain daripada Raja?
***
Kembali lagi ke laut.
Malam sudah berjalan tiga jam.
Kapal sedang memasuki garis rawan tersebut.
Di kotak khusus di atas tiang pengintai, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan kelihatan tegang melihat ke depan sana, ke batas horizon yang tidak nampak sama sekali karena gelap yang perkasa. Toh keduanya tidak kekurangan cara untuk saling ngotot melihat keadaan laut dan cuaca di depan.
Mulainya Tek Ceng yang berkata dengan muka tidak ramah, "Kamu jangan coba berdebat lagi. Di sebelah sana itu, selatan yang asli."
"Tetap salah," kata Tek Goan. "Itu bukan selatan. Itu adalah baratdaya. Hai, lihat." Dia menunjuk ke suatu arah. "Lihat itu sana. Itu yang namanya selatan."
"Ah, kamu selalu suka ngotot tentang perbedaan-perbedaan tipis melulu."
"He, kamu jangan cari gara-gara lagi. Sudah kubilang, di atas laut kita tidak boleh berbicara soal perbedaan-perbedan tipis. Dampaknya malapetaka, tahu tidak?"
"Sudah diam! Kamu ribut melulu. Itu lihat!" Tek Ceng menunjuk ke situ, tapi wajahnya berubah ngeri.
Tek Goan juga melihat ke situ. Wajahnya sama menunjukkan rasa ngeri. Langit tampak seperti bocor. Dari hitam yang malam di arah sana tiba-tiba kelihatan cahaya putih tumpah dari langit masuk ke dalam laut. Itu halilintar yang belum pernah di lihat kakak-beradik sepanjang hidup mereka.
Tek Goan menutup mata. Dia merinding. Jeritannya, "Demi Dewa Penguasa Langit Selatan Wu Fu Da Di dan Dewa Penguasa Langit Utara Xhuan Tiang Shang Di, apa gerangan yang terjadi ini?"
"Ya, ampun!" seru Tek Ceng. "Kiamat!" Dia pun menutup mata ketakutan.
***
Tak lama setelah itu, setelah kakak-beradik itu menutup mata karena takut, sebuah gelombang amat dahsyat datang bergulung-gulung memukul kepala kapal. Tinggi gelombang itu melebihi tinggi kapal, sehingga harus dikatakan gelombang itu seperti menelan kapal besar ini bersama kapal-kapal lain. Keruan kapal dan kapal-kapal itu pun oleng luar biasa dan terputar. Semua orang, baik yang masih bangun maupun yang sudah tidur, sama-sama terperanjat, terkejut, takut.
Serta merta orang-orang di kapal dan kapal-kapal yang bertugas pada bidangnya masing-masing sibuk dan ramai. Tidak ada satu pun orang yang kelihatan santai. Bahkan Tan Tay Seng yang biasa tenang, kali ini tidak menyanyi atau bermain teh-yan. Semua wajah mewakili ketegangan. Dang Zhua dan Hua Xiong kelihatan takut. Bun Hau, Lu Shan, bahkan Wu Ping kelihatan takut. Apakah Wang Jing Hong dan Ceng Ho tidak takut? Di atas laut, dalam badai, dalam gelombang dahsyat, tidak ada seorang pun yang berani terhadap kehebatan alam. Termasuk Wang Jing Hong dan Ceng Ho yang telah mengenal perairan ini, mengenal dengan betul oleh pengalaman-pengalamannya melaut, khusus di wilayah yang disebutnya sebagai garis rawan, juga melihat kehebatan laut sebagai ciptaan khalikul alam sebagai suatu misteri yang menggamangkan perasaan.
***
Pendeta To dan pendeta Buddha yang sama gentarnya melihat kehebatan laut yang "marah" ini toh mesti menenang-nenangkan umat. Sementara suara Wang Jing Hong yang keras dan nyaring berteriak menyuruh para awak untuk cepat bertindak.
"Gulung layar," kata Wang Jing Hong.
Perintahnya disambungkan dari suatu mulut ke mulut lain sampai kapal terombang-ombang dipermainkan gelombang aneh di jarak yang berputar-putar di sekitar situ. Tampaknya gerak maju kapal tidak meyakinkan. Jika sudah ada perasaan seperti itu, dengan melihat kenyataan yang buruk, maka menumbuhkan suatu rasa percaya diri memang tidak gampang lagi.
Jadi, bagaimana?
***
Ceng Ho bertindak. Dengan bismillah terlebih dulu, membungkus diri dengan sikap eling, dia naik ke atas, berdiri di situ, berteriak keras-keras di antara suara-suara yang gaduh dan riuh rendah serta bunyi gemuruh badai yang gempita dan tidak terperi guruh dan halilintar. Dengan suara keras itu Ceng Ho berharap semua bisa mendengar dan tidak panik.
"Semuanya tenang! Semuanya tenang!" kata Ceng Ho di atas sana. "Percayalah, kapal ini tidak akan tenggelam. Tapi semua orang harus berdoa dengan agamanya masing-masing: Tao, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam."
Petir menghantam dan hujan turun dengan lebat.
"Berdoa kalian semua!" seru Ceng Hong. "Khususnya yang muslim, seperti saya, bersandarlah kepada Allah taala, Tuhan yang tunggal. Minta tolong kepada-Nya. Kita boleh takut dan gentar, tapi jangan sampai ketakutan dan kegentaran kita ini lantas melenyapkan iman kita. Semua ini sementara. Ini adalah kebesaran ilahi."
Lalu Ceng mengepalkan tangan memukulkan udara, maksudnya memberi semangat dan takwa kepada orang-orang yang seiman dengannya. "Allahu akbar!"
Yang Muslim menyambut seruannya.
***
Sejam kemudian baru badai itu berlalu. Kapal itu dan kapal-kapal lain meluncur meninggalkan garis rawan tersebut, terus ke arah baratdaya.
Laut tenang kembali.
Orang-orang yang letih, mulai mengantuk, dan akhirnya tidur. Begitu juga Ceng Ho.
Di kamarnya Ceng Ho terlena, lantas pulas. Justru di dalam tidurnya ini, terbayang di matanya warna-warni itu berpusing-pusing bagai sebuah anak panah berukuran amat besar, muncul dari dasar laut menuju ke langit. Ekor cahayanya menyilaukan itu kemudian berganti-ganti warna dari hijau ke biru, ke unggu, ke merah, dan ke bening. Lantas dari sebuah titik yang tajam di langit tersebut muncul pelan dan berangsur wajah Ma Ha Zhi. Dia berdiri di tengah sana, menunjukkan tangan kepada Ceng Ho.
Ceng Ho terkesima. Tanyanya, "Ayah? Engkaukah itu?"
Dan jawab Ma Ha Zhi, "Ya, putraku. Berdirilah dengan kaki yang tegak, Ma He. Kau tidak mungkin berdiri dengan kaki yang tegak, kalau di hatimu ada roh keraguan yang membuat jalanmu bercabang."
"Aku tidak ragu," kata Ceng Ho. "Bukankah rohmu menyertai aku?"
"Ketahuilah, ada roh yang bukan roh akan masuk ke dalam rohmu," kata Ma Ha, Zhi. "Kau harus mengalahkannya dengan roh yang paling roh."
"Akan aku lakukan," kata Ceng Ho. "Tapi bagaimana?"
Ma Ha Zhi membalik belakang, tidak menjawab. Dia berjalan cepat di tengah awan. Menghilang. Ceng Ho mengejar, memanggil ayahnya. Ceng Ho terengah-engah.
Ceng Ho terbangun. Dia sadar, baru saja roh ayahnya datang dalam mimpi. Dia menarik nafas dan mengembuskannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lantas duduk di kursi. Penglihatan yang baru berlalu itu membuat dia termenung.
"Apa maksud Ayah berkata begitu?" kata Ceng Ho seorang diri merangkai-rangkai ingatan.
Dia kembali lagi ke tempat tidur, hendak tidur. Tapi pikirannya membuat matanya tidak terpejamkan. Dia bangkit lagi dari tempat tidurnya, lantas ke luar. Di luar langit cerah seakan tidak terjadi badai hebat beberapa jam lalu.
Dia memandang ke atas. Di kotak pada tiang pengintai, dua bersaudara Tek Ceng dan Tek Goan masih setia memandang ke depan.
***
Nanti, setelah matahari tampak di timur, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan diganti oleh pengintai lain. Kapal melaju terus.
Pagi-pagi seperti selalu orang-orang makan bersama di ruang makan. Dang Zhua dan Hua Xiong biasanya datang ke ruang makan setelah ruangan penuh. Orang-orang di ruang makan rata-rata berkisah pengalaman mereka tadi malam. Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong masuk, mereka melihat di suatu arah di mana Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar duduk bersama. Mereka pun sedang berbual-bual tentang pengalaman yang mengerikan tadi malam.
Melihat Bun Hau di sana, Dang Zhua dan Hua Xiong teringat kata-kata yang mereka dengar keluar dari mulut Bun Hau tentang Tan Tay Seng.
"Mari kita duduk di sebelah Bun Hau," kata Dang Zhua. "Dia tidak suka juga pada Tan Tay Seng."
"Apa kita akan manfaatkan dia untuk perpanjangan tangan menyikat Tan Tay Seng?" tanya Hua Xiong.
"Kenapa tidak?" jawab Dang Zhua.
Maka sambil memegang mangkok makan masing-masing, Dang Zhua diikuti Hua Xiong berjalan ke arah tempat duduk Bun Hau dan teman-teman sekamarnya itu. Mereka memberi senyum yang dibuat-buat tatkala duduk di antara orang-orang muda itu.
"Badai tadi malan itu betul-betul mengerikan," kata Dang Zhua.
"Ya, betul," kata Bun Hau.
"Siapa pula yang tidak takut?" kata Hua Xiong menyambung cakap sahabatnya. "Badai tadi malam itu bukan main-main. Tapi memang menurut juru mudi Wang Jing Hong, wilayah itu yang paling berbahaya."
"Si tukang teh-yan Tan Tay Seng yang biasa nyanyi-nyanyi gila pun tadi malam kehilangan nyali," kata Dang Zhua langsung mengarahkan hasut dan kebencian.
Buktinya Bun Hau memang kena provokasi. "Huh, dia bukan hanya hilang nyali. Dia juga hilang telurnya."
Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa. Ini bukan tertawa yang alami. Ini tertawa untuk mengambil hati.
"Dia memang penghibur picisan," kata Hua Xiong lebih membakar.
"Lebih dari penghibur picisan, dia itu gergaji tumpul untuk dipakai menggergaji besi," kata Bun Hau. "Eman-eman telinga saya."
Dan Dang Zhua berpura-pura kaget seraya merangsang lagi kebencian Bun Hau. "Tadinya kami kira hanya kami berdua yang terganggu mendengar nyanyiannya..."
"Saya sangat terganggu," kata Bun Hau.
"Tapi dia berhasil mengambil hati Sam Po Kong," kata Hua Xiong.
"Ah, persetan," kata Bun Hayu. "Kalau dia macam-macam, saya libas dia."
"Tapi, dengar-dengar konon dia itu jagoan," kata Dang Zhua.
"Jagoan apa?" kata Bun Hau mencibir. "Saya tidak percaya sebelum menjajal. Silat yang dia mainkan dalam nyanyian itu cuma kembangan. Melihat potongannya, dia itu cuma seekor anjing hias."
Dang Zhua dan Hua Xiong seperti menabuh gong. "Ya, ya, betul itu."
"Suatu waktu, besok-besok, sebelum kapal bersandar di darat, ada baiknya dibikin dulu lupa darat."
"Bagaimana caranya itu?" tanya Dang Zhua.
"Lihat saja."
***
Lagi, pada saat makan, Wang Jing Hong menemui Wu Ping, menyuruhnya memeriksa ulangan Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Coba cari lagi informasi di kamar juru tulis itu," kata Wang Jing Hong.
Karena itu Wu Ping pun segera ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. Ada pula kertas yang sudah diuyel-uyel. Wu Ping mengurai ulang. Tak ada yang penting. Tulisan di atas kertas itu lagi-lagi hanya untaian huruf-huruf yang dijajar seperti yang sudah dibaca kemarin.
Tapi, kemudian mata Wu Ping terarah ke sebuah peti terlukis. Itu adalah peti kayu yang sangat halus, mengilat dengan sejenis pelitur hitam, dan di empat bagiannya ada lukisan yang nyaris sama dengan lukisan Lin Ch'un -pelukis Cina yang hidup pada abad ke-12- berupa burung kuning sejenis prenjak yang hinggap di atas ranting berbunga putih. Peti itu terkunci. Wu Ping bermaksud membukanya, tapi tak bisa. Dia menarik ke atas, mendorong ke kiri, dan ke kanan, tetap peti ini tidak terbuka.
"Bagaimana caranya membuka ini?" tanyanya dalam hati.
Kemudian dia terjaga. Didengarnya di luar orang-orang lewat ke kamarnya masing-masing.
"Mereka sudah habis makan?" kata Wu Ping dalam nada bertanya pada dirinya, hendak meyakinkan diri. "Aku harus cepat keluar dari sini."
Dan Wu Ping membuka pelan-pelan pintu kamar, mengeluarkan kepalanya sebatas bingkai pintu, mengintip terlebih dulu ke luar, apakah ada orang lain lagi. Setelah melihat tidak ada orang lain, dia pun cepat-cepat keluar, menarik kembali pintu kamar itu. Dia bergegas ke atas, ke ruang Wang Jing Hong.
Di ujung bagian melorong, dia melihat Dang Zhua dan Hua Xiong berjalan tertawa-tawa menuju ke kamarnya. Wu Ping segera bersembunyi di belakang tangga. Sebetulnya dengan tidak usah bersembunyi juga tidak apa-apa. Sebab, kalaupun dia berpapasan dengan Dang Dang Zhua dan Hua Xiong, kedua orang ini toh tidak tahu Wu Ping baru saja keluar dari kamar mereka.
Tapi, memang mau Wu Ping bersembunyi di situ. Dengan badannya tersembunyi di balik tangga, dia bisa mendengar dengan jelas omongan kedua orang itu.
"Bun Hau tadi sudah termakan asutan kita," kata Hua Xiong.
"Kita sudah mendapat orang yang kita perlukan sebagai perpanjangan tangan untuk menghajar Tay Seng," kata Dang Zhua.
"Dia bakal kena batunya," kata Hua Xiong.
Mereka tertawa terbahak.
Mereka pun masuk ke dalam kamar mereka. Begitu pintu terbuka, Hua Xiong duduk bersandar di atas ranjangnya. Dang Zhua melihat keadaan ruang dengan curiga. Matanya terarah khusus ke peti berlukis itu. Dahinya mengerut. Dia pegang peti itu.
Hua Xiong bangkit dari duduk bersandarnya. Dia juga teraliri curiga sahabatnya. "Kira-kira siapa?"
"Entah," kata Dang Zhua. "Tapi, begitu kita tahu, kita harus kirim dia langsung ke neraka. Buang ke laut."
Hua Xiong menyangka-nyangka sembari membayang-bayang muka orang. "Apa dia bukan Tay Seng si tukang teh-yan itu?"
Dang Zhua terbawa ke sangka-sangka Hua Xiong. "Kenapa kau berpikir dia yang melakukan?"
"Bisikan hati," kata Dang Zhua. "Dia tidak ingat siapa kita."
"Belum tentu," kata Hua Xiong. "Waktu kita berkelahi dengannya, dia tidak mabuk. Yang mabuk kita. Dan, kita yang mabuk saja bisa mengingat tampangnya, apalagi dia yang tidak mabuk."
Dang Zhua terdiam sejenak, meresapi omongan Hua Xiong, memasukannya ke dalam nalarnya. Karena itu, setelah merenung, dia berkata sesuatu yang mengarah pada keputusan. Katanya, "Kalau memang benar begitu, ya, inilah waktunya buat kita bermain: memainkan lakon kita dengan memanfaatkan perpanjangan tangan kita yang jengkel kepada Tay Seng."
"Siapa?" tanya Hua Xiong.
"Siapa lagi kalau bukan Bun Hau."
* * *
Sudah jelas, Dang Zhua dan Hua Xiong salah sangka, salah duga, dan salah kaprah. Orang yang baru berada di kamar mereka itu sekarang sedang menuju ke ruang khusus Wang Jing Hong. Di ruang itu terlihat Ceng Ho duduk dengan tenang. Sesekali dia menjilat bibir bawahnya dengan lidah untuk membasahinya.
Ke ruang khusus Wang Jing Hong itulah Wu Ping, orang yang baru berada di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong itu, datang menghadap, menyatakan sesuatu melalui air mukanya yang tampak tidak bergairah.
Melihat wajah Wu Ping yang tidak menggambarkan hal yang menggembirakan, Wang Jing bertanya dalam kalimat yang bersifat menyimpulkan, "Tidak ada hal istimewa?"
"Ya," sahut Wu Ping. "Kecuali ada sebuah peti ukir yang menarik perhatian."
"Menarik perhatian bagaimana?" tanya Wang Jing Hong.
"Waktu saya masuk ke situ kemarin itu, saya tidak sempat melihat peti itu," kata Wu Ping.
"Apanya yang menarik?" tanya Ceng Ho.
"Di dindingnya ada lukisannya: lukisan burung di ranting bunga," jawab Wu Ping. Tapi sekonyong-konyong dia termanggu, merasa bersalah pada diri sendiri. "Astaga."
"Ada apa?" tanya Ceng Ho.
"Saya lupa menaruh peti itu di tempat yang semula," kata Wu Ping.
"Berarti kita menunggu perkembangan," kata Ceng Ho.
Waktu terus berubah.
Di atas kapal, di tengah bulatan biru yang demikian luas, yang di kakinya langit biru sesama biru bertemu, bagi yang tidak sabar, rasanya pelayaran adalah suatu permainan nasib yang menjemukan: siang dan malam dihitung jam-jamnya sebagai suatu keharusan sukarela.
Tadi siang, sekarang malam.
Apakah matahari pamit pada siang, lantaran malam mesti menggilir hari, suka atau tidak, Tan Tay Seng kembali duduk di buritan memainkan teh-yan dan menyanyi kata-kata apa saja yang muncul dalam pikirannya. Kini dia menyanyikan hal yang berhubungan dengan peristiwa tadi malam.
Badai tidak menyapa dalam datang dan pergi
Demikian ajal menghampiri manusia di bumi
Kita merenung hakikat hidup di dalam sunyi
Mencari rahasianya dengan meninggalkan negeri.
Tan Tay Seng terus menyanyi sampai laut menghitam kembali oleh malam. Yang suka nyanyiannya mendengarkan, yang tak suka nyanyiannya tak mendengar. Yang terangsang oleh irama lantas menari-nari di seputarnya, yang lain hanya menyaksikan mereka yang menari-nari.
***
Di antara yang tetap di kamar dan nanti akan terganggu oleh hiruk pikuk orang-orang menari itu adalah Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar. Mereka bermain ceki untuk selalu melenyapkan kejenuhan dan kebosanan pada laut dan pada malam.
Dang Zhua dan Hua Xiong telah mengetahui, melalui percakapan mereka di ruang makan, tentang ketaksukaan Bun Hau atas nyanyian-nyanyian Tan Tau Seng. Apalagi sekarang orang-orang menari-nari di buritan. Melihat ramainya orang-orang menyambut Tan Tay Seng, mula-mula Dang Zhua, kemudian menyusul Hua Xiong pergi ke kamar tempat Bun Hau dan teman-teman bermain ceki.
Di depan pintu Dang Zhua berkata, "Kalian semua tidak ikut menari-nari di luar?"
Dan, ketika wajah-wajah mereka di dalam kamar itu kelihatan bertanya-tanya, Hua Xiong pun datang menimbrung. "Mereka semua menari, tersihir oleh huang chung*) yang dimainkan Tan Tay Seng."
"Apa?" Bun Hau menghentikan mainan cekinya. "Orang-orang tersihir oleh huang chung-nya?"
Bersamaan Dang Zhua dan Hua Xiong menjawab dengan semangat provokatif, "Ya!"
"Lihat saja sendiri," kata Hua Xiong.
Dan mereka semua di dalam kamar itu keluar, melangkah ke buritan. Di situ, di tengah orang-orang yang menari sukaria, Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman, masuk membaur. Tapi mata Bun Hau terarah terus kepada Tan Tay Seng. Dia mendekat-dekat bersama teman-temannya itu, dan ketika jaraknya dengan Tan Tay Seng sudah dekat sekali, dia mendorong tubuh Lu Shan sehingga Lu Shan menabrak Tan Tay Seng.
Tan Tay Seng menyepak Lu Shan. Lu Shan terpelanting mengenai seseorang. Orang yang terkena badan Lu Shan langsung menyikut. Hanya beberapa detik, bersamaan dengan berhentinya permainan musik Tan Tay Seng, terjadilah perkelahian di buritan kapal ini. Perkelahian demikian seru. Semua, yang baru saja menari-nari, kini berkelahi dengan lawan yang tidak jelas, siapa lawan siapa. Terkecuali Bun Hau, yang memang mengarah sasarannya kepada Tan Tay Seng. Dia menyerang Tan Tay Seng, dan Tan Ty Seng menangkis sembari mengirimkan balasan dengan kakinya.
Kini terjadi perkelahian secara khusus antara Bun Hau dan Tan Tay Seng. Ternyata Bun Hau memiliki juga ilmu silat yang berimbang. Gerakan-gerakannya lincah dan mengejut-ngejutkan. Kelihatannya dia mengincar benda yang dipegang Tan Tay Seng. Benda itu yang selama ini digesek-gesekan Tan Tay Seng sehingga melahirkan nada.
Tan Tay Seng menyadari bahwa lawannya ini terus mengincar teh-yan-nya. Dia pun melakukan gerakan-gerakan yang mengecohkan dengan teh-yan-nya itu. Dasar Tan Tay Seng cekatan dan lucu, dalam gerakan putar, ketika dia berdiri menjauh, di situ dia menunggu serangan berikut dengan menggesekkan satu-dua nada tertentu.
Orang-orang lain yang tadi berkelahi tanpa lawan yang jelas itu berangsur berhenti, dan selanjutnya mereka menyaksikan perkelahian yang memikat dari Tan Tay Seng dan Li Bun Hau. Ternyata bukan hanya orang-orang itu yang menyaksikan perkelahian ini. Ceng Ho dan Wang Jing Hong di atas sana juga menyaksikan. Sementara di tempat yang lain, di bagian sayap kanan, dua cecungguk itu, Dang Zhua dan Hua Xiong, menyaksikan pula dengan perasaan puas.
"Kita berhasil, sahabatku," kata Dang Zhua.
"Ya, kita berhasil," kata Hua Xiong.
***
Dalam senang seperti itu, ketika perkelahian memukau orang, diam-diam Wu Ping masuk kembali ke ruangan Dang Zhua da Hua Xiong. Apa yang dia temukan?
***
Perkelahian seru antara Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, Ying Gong, dan Tan Tay Seng masih berlangsung. Gaya Tan Tay Seng yang memikat, yang tak terduga-duga gerakannya, dengan sendirinya telah membuat banyak orang lebih suka menyaksikannya daripada ikut terlibat dalam tawur yang memang terbuka peluangnya.
Dengan canggih Tan Tay Seng berhasil membuat mereka yang mengeroyoknya keok satu per satu. Yang terakhir Bun Hau. Di ujung perkelahian itu Tan Tay Seng mencekik dengan ujung-ujung jari tangan kanannya -tangan yang terlatih dan terampil menggesek teh-yan- sehingga dengan kekuatan dari batin yang terejawantahkan di tangannya itu, Bun Hau harus mengakui kebolehan Tan Tay Seng. Dia mengakui itu dengan cara yang nyaris putus asa.
"Jangan bunuh aku," kata Bun Hau.
Tan Tay Seng mengempaskan cekikannya itu dengan sikap yang amat wira. Sambil mengempaskan, dia berkata, "Aku memang bukan pembunuh."
Tan Tay Seng mengangkat teh yan dan melihatnya. Dia masygul melihat alat musiknya ini. Dalam perkelahian yang baru saja terjadi, gagang teh-yan-nya telah patah, menggelantung oleh dawai yang mengikatnya dengan bagian membran.
"Dengan musik aku menawarkan perdamaian," kata Tan Tay Seng. "Musikku adalah musik perdamaian. Tapi kalau orang mengganggu musikku, maka musikku akan berubah menjadi musik peperangan...."
Gerakan lincah Tek Tay Seng sekonyong memberikan isyarat akan menyerang, sehingga Bun Hau mundur dengan kedua tangan terkunci di dada. Katanya dalam nada penyesalan, "Jangan khawatir. Saya bisa memperbaiki teh-yan-mu itu. Saya bahkan bisa mengganti dengan membuat sendiri yang lebih bagus."
Tan Tay Seng agak syak, tapi dia memberikan semacam apresiasi kepada Bun Hau. "Kau bisa?"
"Ya," sahut Bun Hau.
* * *
Dan di bagian yang agak tinggi, di tempat Dang Zhua dan Hua Xiong berdiri menyaksikan, keduanya tampak tak nyaman hati melihat perkembangan di bawah. Mereka telah menyaksikan adegan itu sejak awal, dan mereka menyaksikannya dengan tidak tenang, tegang, kecewa, dan akhirnya hilang harapan.
Dari mulut Dang Zhua pernyataan ini terucapkan, "Tidak ada harapan."
Dan Hua Xiong pun seperti orang yang tiba-tiba terserang lesu darah. Katanya setengah geram, "Li Bun Hau itu cuma mulut besar."
Dang Zhua sendiri kelihatan sangat tak bersemangat, kecuali tentu, semangat dendam yang terus berasap di hatinya. Katanya dengan gigi yang mengeretak, "Kita tidak bisa manfaatkan dia."
Mereka pun kembali ke ruangan mereka.
* * *
Jam terus berjalan.
Menjelang larut malam, ketika sebagian orang telah lelap di tempat tidur masing-masing, tampak di ruang rapat beberapa orang sedang bertukar pikiran. Ada di situ beberapa panglima dan Wang Jing Hong serta Ceng Ho.
Ceng Ho yang memulai pembicaraan. Katanya, "Sesuai dengan rencana, kalau cuaca tetap bagus seperti sekarang, sekitar tiga jam setelah fajar, kita akan membuang sauh di bandar Qui-Nho."
Ceng menoleh kepada Wang Jing Hong. "Betul begitu, Wang Jing Hong?"
"Betul sekali, Sam Po Kong," kata Wang Jing Hong.
"Di Qui-Nho kita akan merapat satu-dua hari," kata Ceng Ho. "Kita merapat di Campa sesuai dengan misi kita. Ingin saya ingatkan bahwa pelayaran kita secara terbuka adalah kunjungan muhibah dari kebesaran Ming ke negeri-negeri di luar Cung Kuo. Di Qui-Nho, sebagai bandar Campa, kita membutuhkan sejumlah hasil bumi yang diperlukan di utara. Patut kita ketahui semua bahwa hasil bumi negeri Campa yang paling penting adalah karet dan batu bara. Itu yang kita butuhkan bagi negeri kita di utara."
"Dan bagaimana dengan raja terguling Zhu Yun Wen?" kata Ceng Ho.
"Itu artinya kita harus menangkap dia di situ?" tanya panglima yang satunya.
"Misi kita yang terbuka, artinya yang harus diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo, memang merupakan pelayaran muhibah dengan dasar saling untung, yaitu, pertama niaga dan kedua bertukar kebudayaan, kemudian di atas pertalian yang saling untung tersebut, kita berkewajiban menunjukkan kebesaran dinasti Ming," kata Ceng Ho.
Lalu dia jeda sejenak memandang keluar yang tidak tampak apa-apa selain gelap. "Tapi, memang tidak boleh dimungkiri, tugas kita yang khusus, yang katakanlah 'tertutup', yang harus tidak diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo adalah menangkap Zhu Yu Wen di Campa dan Chen Tsu Yi di Si-Li-Fo-Tsi."
Panglima yang pertama bicara tadi kelihatannya belum pernah mendengar atau setidaknya diberi tahu mengenai nama yang baru disebut oleh Ceng Ho. Maka katanya, "Chen Tsu Yi?"
"Dia diserter yang sekarang mengangkat diri sebagai raja di Si-Li-Fo-Tsi," kata Ceng Ho. "Dia memerlukan Cina."
* * *
Dua jam kemudian langit di timur mulai memerah, pertanda bahwa sebentar lagi fajar. Malam tadi yang bertugas di tiang pengintai bukan kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan. Kedua kakak-beradik ini mendapat tugas itu pada giliran siang. Makanya sang kakak yang selama ini mengomel, kini merasa senang.
Setelah fajar, ketika matahari kelihatan naik pelan-pelan di garis pertemuan antara langit dan laut, Tek Ceng berteriak girang.
"Lihat itu di depan!" kata Tek Ceng. "Ada darat!"
"Mana?" kata Tek Goan melihat ke arah itu.
"Itu!" kata Tek Ceng sambil menunjuk dengan meluruskan tangannya ke arah itu.
"Maksudku arahnya secara mata angin," kata Tek Goan. "Aku bertanya, apa nama arah yang kau tunjuk itu."
Agak ragu jawab Tek Ceng, "Itu... eh... Barat Daya."
Dan, ketawalah Tek Goan terpingkal-pingkal. Ketawanya membuat Tek Ceng penasaran dan jengkel.
"Kenapa ketawa?" kata Tek Ceng dengan wajah mengerut. "Kayak gila."
Tek Goan memeluk Tek Ceng. "Ha-ha-ha, kali ini kamu tidak goblok," kata Tek Goan.
Tersenyum wajah Tek Ceng. Hatinya tersenangkan. Katanya, "Jadi, aku betul, itu barat daya?"
"Ya, kau betul."
Maka berteriaklah kedua kakak-beradik ini ke bawah. "Hai, siap semua! Darat sudah di depan."
Secara khusus suara Tek Ceng berteriak lebih keras. "Daratnya di arah barat daya!"
* * *
Tampaklah di arah sana garis laut yang dihiasi oleh lekuk-lekuk tanah darat. Bagian depan warnanya telah menghijau dan latar belakangnya masih biru, lebih biru dari langit, tanda bahwa bagian itu adalah tanah pegunungan. Di latar depan dari darat yang meyakinkan akan adanya kehidupan, juga kelihatan burung-burung pengintai ikan. Burung-burung itu tampak seperti bintik-bintik putih yang bergerak-gerak.
* * *
Lebih jauh ke batas air, ke tanah tepian, di darat, di bagian berkuasanya seorang syahbandar, yaitu pelabuhan, kelihatan orang-orang sibuk atas pekerjaan masing-masing. Di pelabuhan telah ada beberapa kapal yang merapat di dermaga. Semuanya kapal-kapal kecil. Waktu itu pelabuhan Qui-Nho merupakan pertemuan antara Cina Selatan dan Nusantara.
Dari darat, orang-orang dipesonakan oleh kapal-kapal ekspedisi Ceng Ho yang sedang bergerak maju ke tepi. Termasuk Syahbandar terpesona melihat banyak kapal itu. Apalagi di antara kapal-kapal itu, ada sebuah yang sangat besar, yaitu kapal yang dijurumudikan oleh Wang Jing Hong.
"Luar biasa," kata Syahbandar, ''sebuah kapal raksasa disertai dengan pengiring-pengiringnya."
"Itulah pamer kebesaran Kerajaan Ming," kata Wakil Syahbandar.
* * *
Syahbandar dan wakil serta pegawai-pegawainya di pelabuhan terus memperhatikan kapal Ceng Ho yang kian lama kian dekat ke pelabuhan.
Sementara di atas kapal pun orang-orang telah sibuk dengan tugas masing-masing. Sebentar lagi sudah akan diturunkan ke laut. (Sauh dalam kapal Cina, khususnya kapal Ceng Ho, tidak sama dengan jangkar kapal Belanda. Maka jangkar yang sekarang menghias Kelenteng Sam Po Kong di Simongan, Semarang, sama sekali bukan sauh asli dari kapal Ceng Ho. Jangkar yang berada di bagian kiri gua Sam Po Kong di kelenteng itu aslinya adalah jangkar kapal Belanda yang baru ditaruh oleh seorang dengan gagasan menipu pada 1930, diangkut dari Wotgandul).
Sejam kemudian jangkar kapal Ceng Ho diturunkan. Setelah itu tali-tali pengikat kapal dikalungkan dan digulungkan di patok-patok setinggi lebih-kurang satu depa di dermaga. Setelah kapal tertambatkan, barulah tampak Ceng Ho berdiri di tengah, siap akan turun ke darat. Ketika dia berdiri di atas kapal itu, orang-orang di darat, termasuk Syahbandar, kagum padanya dan memberi hormat.
* * *
Ceng Ho membalas lambaian hormat kepadanya sebelum dia dan rombongannya turun ke darat. Sikap Ceng Ho yang sangat agung terlihat hanya dalam sekejap membalas lambaian hormat. Orang besar tidak hadir dengan berbuat sesuatu yang ingin melahirkan kekaguman fisikal atas penampilannya, tapi karena jiwanya yang memang besar, rasa percaya diri yang amat luar biasa, disertai dengan kemampuan-kemampuannya yang tidak terbatas menurut ukuran awam atas pelbagai hal yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.
Nanti orang akan melihat bukti itu sebentar lagi. Sebagai muslim yang hanya bersandar kepada kerahiman dan kerahmanan Ilahi, orang besar malah semakin nyata tampil mewakili ketakwaannya. Maka salamnya pertama kepada Syahbandar ketika Ceng Ho dan rombongannya berada di darat adalah ucapan yang menunjukkan kualitas eling-nya yang luar biasa.
"As-salamu 'alaikum wa rah'matullahi wa barakatuh," kata Ceng Ho kepada Syahbandar.
Dengan takzim yang alami Syahbandar pun memberi salam dengan membungkukkan badan. Katanya, "Selamat datang di negeri Campa. Sekalian, saya undang Tuan-tuan santap malam nanti."
***
Hanya sebentar, bagian luar pelabuhan telah menjadi pasar yang hiruk pikuk. Transaksi antara barang-barang yang dibawa dalam kapal-kapal Ceng Ho, antara lain sutra dan keramik, dan hasil bumi. Hasil bumi Campa - yang kemudian menjadi negeri Vietnam ini - selain akan dimanfaatkan di negeri Cina, juga yang penting adalah bahan-bahan pangan yang akan dibawa dalam perjalanan ke selatan, ke Sumatera dan kemudian ke Jawa. Siapa yang menduga, di Jawa nanti, khususnya di Sunda Kelapa dan Semarang, akan menjadi tempat-tempat bersejarah bagi Wu Ping dan Wang Jing Hong.
Hiruk pikuk pasar terus berlangsung sampai menjelang tengah hari, sampai Ceng Ho menunaikan salat zuhur.
***
Pada malam hari nanti Syahbandar menunggu Ceng Ho dan panglima-panglimanya, serta Wang Jing Hong, termasuk juga Dang Zhua dan Hu Xiong, untuk hadir dalam jamuan makan khusus sang penguasa Qui-Nho itu. Dalam jamuan makan itu sang tuan rumah beserta istri duduk meriung dengan banyak ha-ha-ha, tanda keramahan khas orang di bagian tenggara Asia.
Sambil menikmati hidangan yang mewah - tentu saja salah satu menu yang dimasak dengan aroma yang merangsang selera tidak dijamah Ceng Ho karena agamanya melarang - berlangsung banyak cengkerama yang diliputi basa-basi dari kebiasaan khas orang-orang timur.
Bagi Syahbandar, ayah Ceng Ho, Ma Ha Zhi bukanlah orang asing. Sebab, dalam basa-basi yang cenderung dikatakan sebagai sopan santun yang artifisial dari kebanyakan orang Asia Tenggara, berkata Syahbandar sambil mengunyah-ngunyah makanan, "Saya kenal betul ayahanda Tuan Ceng Ho, Ma Ha Zhi."
Ceng Ho menganggukkan kepala, memberi semacam hormat yang tak kalah mutu basa-basinya. Dia tak berkata apa-apa dalam sikap hormat ini.
Maka lanjut Syahbandar, "Saya senang sekali sebab Tuan telah menggantikan kedudukan Ayahanda, Ma Ha Zhi."
Ceng Ho menganggukkan kepala lagi. Kini disertai ucapan sopan santun yang tulus. "Terima kasih," ujarnya.
Kemudian topik beralih. Syahbandar yang mengalihkan. Katanya, "Setelah Qui-Nho, Tuan akan berlayar ke mana? Membawa hasil pasar kami ke utara?"
"Tidak," kata Ceng Ho. "Kami akan ke selatan terlebih dulu. Ke Si-Li-Fo-Tsi lebih dulu, kemudian ke Jawa."
"Ke bagian mana?"
"Supaya semua arah terakomodasi, barangkali kami akan lama berada di Asem Arang," kata Ceng Ho.
Lalu jeda sejenak. Setelah itu, masih mengunyah-ngunyah makanan di mulutnya, Syahbandar bertanya dengan kesan yang seakan-akan tidak mustahak, "Berapa lama Tuan menyauh di Qui-Nho?"
Ceng Ho memandang dulu kedua panglimanya, lalu menjawab dengan tiada keraguan, "Sampai kami bertemu dengan Zhu Yun Wen."
Istri Syahbandar yang kelihatan terhenti makan, seperti keselak. Ceng Ho sempat menangkap itu dengan ekor matanya. Sementara Syahbandar berusaha tampil lugu seperti orang melengung.
Kata Ceng HO kepada Syahbandar, "Kalau sekiranya Tuan dapat membantu kami, kami berhitung dengan laba yang Tuan inginkan."
Syahbandar tersenyum. Orang boleh salah taksir atas senyuman ini. Apakah yang dikatakan Ceng Ho merupakan suatu proposal yang menggiurkannya? Jika ya, berarti dia adalah orang dari pelbagai karakter yang mudah dikalahkan dengan materi. Tapi jika tidak, dia tetap harus dikatakan orang yang loba dan gelojoh terhadap materi. Tapi di samping itu memiliki juga semacam pandangan dan pertimbangan tertentu yang berhubungan dengan berhala yang paling memabukkan, lebih dari berhala-berhala materi, yaitu kekuasaan. Siapa tahu pernah ada kesepakatan antara Zhu Yun Wen dan Syahbandar perihal berhala yang satu ini: kekuasaan. Pada masa itu pun kedudukan Syahbandar tidak kurang adalah raja di batas laut dan darat.
Dengan mengerti apa yang mesti dikatakannya setelah melihat istri Syahbandar yang tadi keselak, berkatalah Ceng Ho kepada Syahbandar, "Apakah Tuan tahu di mana Zhu Yu Wen, raja yang terguling itu, melarikan diri ke Campa sini?"
Sangat cepat jawab Syahbandar. Dengan menjawab secara cepat begini bolehlah orang menduga bahwa dia jujur. "Saya belum pernah mendengar nama itu."
Ceng Ho mengangguk. Dia tidak kecewa. Sebab, dia dapat membaca air muka seseorang. Toh dalam mencoba berpenampilan wajar, Ceng Ho berkata, "Betulkah?"
Tampaknya Syahbandar seperti didakwa. Atas kemauan sendiri dia berkata, "Baiklah. Kalau Tuan ingin mengetahui, saya bisa meminta anak buah untuk memasang kuping. Kalau Tuan ke sini besok, pasti Tuan sudah akan memperoleh jawaban."
"Terima kasih," kata Ceng Ho.
Syahbandar tidak menduga justru dalam sikapnya itu, yaitu dalam cara menjawab pertanyaan Ceng Ho, maka Ceng Ho dengan mudah menyimpulkan bengkoknya hati Syahbandar.
Dalam perjalanan pulang dari rumah Syahbandar ke kapal di dermaga, Ceng Ho mengutarakan itu kepada kedua panglima, dan hal itu didengar Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan bersama-sama di jalanan yang tidak berlampu.
"Untuk menguji ketangkasan kalian, saya ingin bertanya kepada kalian," kata Ceng Ho kepada kedua panglimanya itu. "Apa yang kalian dapati dari omongan Syahbandar?"
"Dia dusta," kata panglima yang pertama.
"Bolah jadi dia antek Zhu Yun Wen," kata panglima yang kedua.
"Malahan kunyahan makanan yang akan ditelan istrinya itu terhenti, tersedak," kata Wang Jing Hong.
Ceng Ho pun ketawa. "Pancaindra kalian bagus," katanya menepuk bahu Wang Jing Hong. "Oleh karena itu, pertanyaan tentang berapa lama kita akan berada di Campa, jawabnya adalah pasti: sampai dia kecele melihat kita menangkap Zhu Yun Wen, dan menyeret dia sebagai orang yang terlibat dalam perkara perlindungan terhadap penjahat negara."
Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan di belakang saling mengorek badan tanpa berkata sepatah pun, kecuali memasang kuping sebaik-baiknya.
"Syahbandar itu akan menyesal. Tapi ketika dia menyesal, dia sadar itu telah terlambat," kata Wang Jing Hong.
"Ketika nasi sudah menjadi bubur," kata Ceng Ho.
Kelihatannya Dang Zhua ingin menunjukkan perhatiannya berada pada pikiran dan perasaan yang sama. Oleh karena itu dia berkata, "Tadi Syahbandar itu bilang, besok kita sudah dapat mendengar beritanya."
"Saya kira Syahbandar itu mau menunjukkan kesungguhannya," sambung Hua Xiong.
Tidak ada yang menanggapi.
Semua berjalan dengan pikiran masing-masing.
Malam terus merangkak. Sunyi. Kecuali di beberapa kedai minum dekat pelabuhan. Di situ suara gelak canda dan nyanyian orang mabuk seperti mengatakan dunia tidak pernah kiamat.
Mendekati kapal, sipongang suara nyanyian Tan Tay Seng terdengar dibawa angin dari buritan kapal. Tan Tay Seng memilih diam di kapal.
Beberapa orang pun, seperti biasa, meriung di sekitar Tan Tay Seng menikmati nyanyiannya. Kini dia tidak menyanyi dengan teh-yan. Kini dia hanya menyanyi dengan memukul-mukul bagian membran teh-yan yang rusak, menganggapnya sebagai membranofon.
Manusia dicipta dengan akal dan budi
Hanya hewan saja yang melulu naluri
Karena teh-yan-ku patah dalam kelahi
Kutabuh dia sebagai kendang pengganti.
Ke buritan situ, di tempat Tan Tay Seng selalu menyanyikan sajak-sajaknya, Ceng Ho menghampiri dan menikmati sesaat nyanyian Tan Tay Seng. Setelah nyanyian itu selesai, Ceng Ho berkata kepada mereka semua di situ bahwa mereka boleh bersenang-senang ke darat.
Kata Ceng Ho, "Malam belum terlalu larut. Semua rumah minum masih buka. Kalau kalian mau bersenang-senang di darat, silakan."
Semua menyambut ceria.
***
Jadi, mereka semua turun ke darat. Tak terkecuali Dang Zhua dan Hua Xiong, yang tadi bersama-sama Ceng Ho bersantap di rumah Syahbandar, turun kembali ke darat, seakan-akan hendak pergi pula ke rumah minum.
Sudah jelas Dang Zhua dan Hua Xiong tidak pergi ke rumah minum. Mereka pergi ke suatu tempat.
Yang pergi ke rumah minum - yaitu rumah minum paling ramai di dekat pelabuhan - hanya Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, Ying Gong.
Pelayan rumah minum itu adalah putri dari pemiliknya, masih sangat remaja, lumayan cantik, selanjutnya dipanggil Ling Ling, sebab rumah minum itu diberi nama Ling. Walaupun Ling Ling lahir di Campa, dia adalah juga Han Jen ) yang tetap bercakap Cia Im**) di rumahnya.
Ling Ling datang ke meja Tan Tay Seng, menanyakan apa yang hendak dipesannya. "Mau minum apa?" katanya.
"Yang memabukkan cintaku padamu," kata Tan Tay Seng sambil menepuk pinggul Ling Ling.
Ling Ling mengerling. "Cinta tai kucing," katanya.
Tan Tay Seng tertawa ngakak. Dia tidak tertawa oleh dorongan sukma. Dia tertawa untuk sesuatu yang kira-kira sama dengan naluri burung merak jantan menarik perhatian burung merak betina. Mungkin benar, ucapan yang berlafalkan tanpa pertimbangan dan berkesan seloroh itu mengandung kesungguhan yang dapat berkembang pada saat-saat mendatang.
***
Sementara ada seloroh dan ngakak dengan aroma minuman keras di kedai Ling, nun di rumah Syahbandar dua orang anggota ekspedisi Ceng sedang memohon untuk bertemu dengan Syahbandar. Siapa gerangan kedua orang yang dimaksud ini? Mereka tak lain adalah Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Kami ingin bertemu dengan Syahbandar," kata Dang Zhua kepada pegawai Syahbandar.
Pegawai itu segera mengenali kedua orang ini. Katanya, "Tuan-tuan yang tadi diundang makan malam oleh Tuan Syahbandar."
"Betul sekali," kata Hua Xiong.
"Baik. Saya akan katakan kepada Tuan Syahbandar," kata pegawai Syahbandar lantas masuk ke dalam.
Sedianya Syahbandar sudah siap-siap pergi. Entah ke mana arahnya. Nanti Dang Zhua dan Hua Xiong sendiri akan mengetahui itu.
"Dua orang anggota Ceng Ho ingin bertemu lagi dengan Tuan," kata pegawai itu kepada Syahbandar.
Syahbandar berkernyit dahi. "Siapa mereka?" tanyanya.
"Yang tadi bersantap malam di sini," kata pegawai Syahbandar.
"Suruh mereka masuk," kata Syahbandar.
Pegawai itu keluar lagi, mengatakan kepada Dang Zhua dan Hua Xiong untuk masuk. Maka masuklah Dang Zhua dan Hua Xiong ke dalam. Di dalam Syahbandar sudah duduk menunggu di bawah lampu minyak dengan dua belas sumbu yang digantung di atas kepalanya.
Dang Zhua dan Hua Xiong memberi hormat kepadanya. "Salam," kata mereka.
BERSAMBUNG........
Posted by: Kaz HSG
©HSG - May 2011
1 komentar:
masih menunggu nukilan sambungan ceritera sam po kong dari saudara...
Posting Komentar