22/11/10

Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Bagian 101~112)


BAGIAN 101
"Halo, Asiong. Tak wa sangka, ternyata kau kenal dengan Ervina juga ya?" Abui dengan keyakinan tinggi menyapa Asiong yang masih berdiri tercekat itu.

"Alex, dia siapa? Kok bisa kenal aku?" Bukannya membalas sapaan Abui, Ervina malah mengernyitkan kening dan menatap Asiong dengan pandangan bingung. "Dia temanmu ya?"

Sikap itu sudah cukup bagi Asiong untuk mengetahui jawaban yang sebenarnya. Semula pemuda itu sempat ragu sejenak kalau Abui dan Ervina memang saling mengenal. Namun reaksi Ervina membuat pemuda itu yakin akan semua yang sedang terjadi di depan matanya.

"Hmm..." Asiong tertawa kecil. "Sandiwara murahan!"
"Alex, apa maksud semua ini?" Tampak Ervina yang bingung itu mulai goyah. "Apa benar kamu menghamili Meilan?"

Sebelum Asiong sempat menjawab, Meilan telah mendahuluinya.

"Ya, di dalam perut ini tertanam janin hasil hubungan wa dengan Koko Asiong." Meilan menjawab sambil melotot. "Dan kau, bila ingin selamat dan tidak mau seperti aku, segera tinggalkan Koko Asiong. Bayi di dalam perut ini adalah bayi kami berdua!"
"Hentikan bualanmu, Mei!" Asiong yang sudah mulai kehabisan kesabaran membentak. "Jangan kau kira kami akan terpancing dengan kata-katamu begitu saja!"
"Koko, kamu tega! Sudah melakukan tapi masih mau menyangkal?" Meilan dengan pintarnya memasang wajah memelas di depan sepasang kekasih itu.
"Siong, ternyata kau pengecut juga ya! Sudah melakukan tapi tak mau bertanggung jawab!" Abui yang berada di belakang Meilan ikut menimpali.
"Kalian! Jangan pikir kami akan terpancing begitu saja!" Ujar Asiong dengan suara tinggi. "Dan kau, Abui, belum cukup pertikaianmu dengan kami waktu itu? Masih ingin melanjutkan lagi?"

Abui mencibir. "Justru kami datang ingin menyelamatkan Ervina dari kebinatanganmu, Siong! Meilan saja kau tak mau tanggung jawab. Sekarang Ervina. Gadis secantik itu kau incar juga! Biadab!"

"Kurang ajar!!" Asiong yang amarahnya mulai memuncak menggerakkan lengannya hendak membuka pintu dan menerjang ke arah Abui. Namun sebuah cekalan di lengannya menghentikannya.
"Tahan, Siong!" Terdengar sebuah suara lelaki memanggilnya dari belakang. Saat Asiong menengok, dilihatnya Achiung telah keluar dari dalam rumah dan ikut bergabung dengannya di halaman.

Cekalan tangan Achiung yang baru muncul itu membuat Asiong menahan langkahnya.

"Abui!" Achiung mulai bersuara ikut dalam percakapan mereka. "Kau tau ini tempat apa?"
"Kenapa?" Abui bertanya balik dengan tangan berkacak pinggang.
"Apa kau sadar kau sedang berbuat apa disini?" Achiung mengulangi perkataannya. "Ini wilayah lingkungan orang dan kau hanya tamu disini. Tapi kau seenaknya saja berbuat onar disini."
"Siapa yang berbuat onar, hah? Kalau bicara hati-hati!" Abui membentak Achiung dengan keras.
"Ko Asiong," Meilan juga ikut memanaskan suasana sambil mengelus perutnya. "Susah-susah wa datang ke Jakarta hanya untuk mencari Koko, tapi Koko jahat, menolak bayi tak berdosa ini."
"Wa sudah hubungi Koko tapi nomor Koko sudah tidak aktif lagi." Sambung Meilan. "Rupanya Koko memang ada niat mau meninggalkan wa. Koko jahat!"
"Mei, itu semua masa lalu. Jangan kau ungkit-ungkit lagi!" Sahut Asiong.
"Masa lalu, katamu, Ko?" Meilan menjawab dengan ketus. "Apakah Koko sadar sudah banyak kerugian yang Koko perbuat kepada keluarga wa?"
"Bukan cuma bayi ini. Tapi Koko lupa apa yang pernah Koko lakukan kepada Ko Thai Nyiu."
"Wa tidak akan lupa itu." Kata Asiong.
"Asal Koko tau ya. Ko Thai Nyiu bukan saja trauma dan takut dengan Koko, tapi juga dia gegar otak dan sekarang menjadi dungu." Sambung Meilan. Matanya tampak berkaca-kaca.

Asiong, Ervina dan bahkan Achiung terbelalak mendengar cerita Meilan.

"Selama ini kami sudah melakukan banyak usaha untuk mengobatinya. Namun tak ada hasil." Meilan mulai menangis saat itu. "Ko Thai Nyiu cedera dalam perkelahian itu. Benturan keras di kepalanya membuatnya dungu. Tapi tidak langsung terjadi. Setelah satu dua tahun, baru mulai terlihat dan sekarang semuanya sudah telat."
"Semua ini gara-gara Koko..." Meilan mulai histeris. "Andai saja waktu itu Koko tidak membentur kepala Thai Nyiu ke jalanan, semua ini takkan terjadi..."

Tak ada yang dapat dikatakan sebagai jawaban dari pihak Asiong. Keadaan pun menjadi hening sesaat. Melihat hal tersebut, Abui tersenyum penuh arti.

"Asiong, Asiong! Lebih baik kau bunuh saja Thai Nyiu daripada membuatnya tersiksa seperti itu." Kata Abui di saat semuanya terdiam. "Wa sebagai temannya mana tega melihatnya seperti itu."
"Hmm..." Achiung yang terlebih dulu bersuara. "Jadi tujuanmu kemari itu ingin membalas dendam kan?"
"Bekerja sama dengan Meilan. Dengan memberikan fitnah yang bukan-bukan kepada Asiong dan Ervina?" Lanjut Achiung.

Kali ini giliran Abui dan Meilan yang terbelalak mendengar tudingan Achiung. Keduanya terdiam tak bisa bersuara.
'Bagaimana Achiung bisa tahu ini semua?' Abui membathin. 'Bahaya! Apalagi dia tinggal serumah dengan Asiong. Makin berbahaya saja kau, Siong.'
"Bisa kalian tinggalkan tempat ini sebelum wa berubah pikiran?" Asiong yang sedari tadi terdiam kini kembali bersuara.
"Koko, bayi ini..." Meilan masih merengek saat Asiong meminta mereka pergi.
"PERGI!!" Dengan suara keras dan dalam, Asiong membentak. Meilan terhenyak bagaikan tersadar dari mimpi.
"Ayo, Mei. Kita pergi dari sini." Abui menggandeng lengan Meilan, adik sahabatnya, dan mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu. Dengan langkah berat, Meilan akhirnya menurut dan meninggalkan rumah konveksi Asiong.

Setelah keduanya pergi, Asiong menghela nafas lega. Sama seperti Ervina dan Achiung yang juga menghela nafas lega.

"Terima kasih, Chiung." Asiong menepuk bahu sahabatnya. "Kalau saja kau tidak keluar tadi, wa mungkin sudah lepas kendali."
"Ya, tak apa-apa, Siong." Achiung tertawa. Dengan Asiong dan Ervina, keduanya beranjak meninggalkan halaman rumah.
"Lex," Tiba-tiba Ervina bersuara. "Yang dikatakan Meilan tadi..."

Asiong dan Achiung yang tadinya berbicara, kini jadi terdiam dan menatap gadis itu dengan tercekat.

"Apa itu benar?" Sambung Ervina. Matanya menatap lekat mata kekasihnya.


BAGIAN 102
Asiong belum menjawab, namun mengajak Ervina masuk ke dalam rumah, duduk di atas meja panjang dan lalu membalas tatapan gadis pujaannya. Sementara Achiung meninggalkan keduanya agar lebih leluasa bertukar pikiran.

"Perkataan yang mana?" Asiong bertanya.
"Tentang bayi itu." Jawab Ervina. "Apa benar kamu menghamilinya, Lex?"

Asiong terdiam dan mengajukan pertanyaan balik. "Kalau menurutmu aku ini bagaimana?"

"Ihhh... Alex... Aku kan lagi tanya kamu... Kok malah tanya balik sih?" Gadis itu tampak menggerutu kesal.

Asiong tersenyum melihat tingkah kekasihnya itu. "Kenapa ya? Bukannya kamu sudah cukup lama mengenalku?"

"Tapi Meilan mengenalmu lebih lama kan, Lex?"

Asiong menghela nafasnya. "Vina, sejak kita bertemu. Sudah berapa kali kita selalu berdua tanpa ada siapapun di samping kita?"

Ervina tak menjawab, tampak menunggu perkataan Asiong selanjutnya.

"Masih ingat waktu kamu menamparku di taksi?" Asiong kembali berkata. "Juga waktu kita di Pontianak. Semua terjadi saat kamu sedang tidak sadar. Kalau aku mau, aku bisa saja..."

Ucapan Asiong terhenti saat Ervina menyentuh bibir pemuda itu dengan telunjuknya. Gadis itu menatap Asiong dengan sepasang mata beningnya yang indah.

"Tak perlu kamu lanjutkan lagi. Aku percaya kamu." Bisik Ervina lirih. Matanya masih tak lepas menatap Asiong. "Semua pengorbananmu kepadaku. Itu sudah menjadi bukti..."

Gadis itu menurunkan tangannya dan meletakkannya di dada bidang Asiong. "...cintamu."

Tahu-tahu Ervina memeluk Asiong dan merebahkan kepalanya dalam pelukan kekasihnya. "Aku mempercayaimu, Lex. Tolong jangan khianati kepercayaanku ini."

Asiong mengusap rambut pirang Ervina yang indah itu. "Takkan pernah kulakukan itu semua. Kamu boleh bertanya kepada kedua Ceceku tentang Meilan. Mereka juga tahu hubunganku dengannya."

Ervina melepaskan pelukannya dan kembali menatap Asiong. "Apa benar dia masih sering menghubungimu?"

"Aku tidak tahu." Jawab Asiong. "Aku mengganti nomorku setibaku di Jakarta. Kamu mungkin juga tahu kan aku berbuat apa saja disini."
"Kalau boleh aku minta, kamu jangan percaya padanya." Kata Asiong lagi. "Dia fitnah! Menambah-nambahkan kata di depanmu agar kamu membenciku."

Ervina masih terdiam, hanya matanya saja yang tak berkedip menatap kekasihnya.
"Sekarang aku mau bertanya padamu, kamu lebih percaya aku atau dia?" Tanya Asiong.
"Bukannya kamu sudah tahu jawabannya, Lex?" Ervina tersenyum.
"Aku hanya ingin memastikan saja."
Ervina mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari-jari lentiknya di depan wajah Asiong. "Ada Alex di tangan kananku. Jadi apapun yang kulakukan, ada Alex yang selalu menyertaiku dan mendukungku."

Suara tertawa meluncur keluar dari mulut Asiong. "Hei, itu kan kata-kataku?"
"Biarin." Ervina mengerling manja. "Memangnya cuma kamu aja yang boleh bilang begitu? Aku kan kekasihmu. Kata-katamu ya kata-kataku juga..."

Keduanya tertawa lepas seperti ingin membuang semua beban yang menghimpit mereka beberapa saat sebelumnya. Namun, suara tertawa mereka tak bertahan lama. Bunyi musik yang berasal dari ponsel Asiong membuat tawa keduanya terhenti.

Setelah mengeluarkan ponsel dari saku celananya, Asiong menatap Ervina.
"Jun Nyen." Katanya pelan. "Ada apa ya?"
"Coba aja jawab, Lex." Ujar Ervina.

Asiong mengangguk. Ditekannya tombol YES di ponselnya dan ditempelkan di telinganya. "Ya, Nyen. Ada apa?"
"Siong," Dari saluran seberang, Ervina bisa mendengar suara Jun Nyen di ponsel karena gadis itu ikut mendengarkan dengan menempelkan telinganya tak jauh dari ponsel yang dipegang Asiong.
"Ada perkembangan bagus!" Terdengar Jun Nyen berkata lagi. "Besok siang Babah Chen Kuang akan menyimpan uangnya di Bank. Kita harus siap-siap bergerak!"


BAGIAN 103
"Pagi, Bah." Jun Nyen menyapa Babah Chen Kuang ketika dia masuk ke toko tempat dia bekerja.
"Pagi. Sudah sarapan?" Di balik kacamata tebalnya, Babah Chen Kuang melihat Jun Nyen dengan ujung mata bagian atasnya.
"Sudah, Bah." Jawab Jun Nyen. "Lho, Dodi dan Suherni kemana? Kok tumben belum datang?"
"Haiyah!" Babah Chen Kuang menghela nafas. "Dodi katanya buang-buang air besar terus. Dari pagi perutnya sudah tidak beres."
"Jadi Dodi gak masuk?" Tanya Jun Nyen lagi.
"Ya, ya. Tidak masuk." Babah Chen Kuang mengangguk. Kacamata tebalnya bergoyang seperti akan terjatuh dari sanggahannya di telinga.
"Suherni?"
"Haiyah!!" Babah Chen Kuang menghela nafas lagi. "Belum tiba. Mungkin telat."
"Oooo... Mungkin..." Jun Nyen tampak manggut-manggut tanda mengerti. Dalam hatinya, pemuda itu bergumam. 'Bagus, obat pencuci perut yang wa masukkan ke makanan Dodi kemarin sudah bekerja. Hari ini berkurang satu orang. Satu rencana berhasil. Tinggal rencana kedua.'

Sehari sebelumnya, Jun Nyen mendapat kabar bahwa Babah Chen Kuang akan pergi ke bank menyetorkan uangnya. Mereka bertiga diminta menjaga toko dan melayani pembeli dengan baik selama beliau pergi.

"Kenapa gak nitip lu aja, Ni?" Tanya Jun Nyen bingung. "Udah tua gitu, apa masih bisa?"
"Wah, Babah mah kalo soal nyetor uang ke bank, jarang nitip kita. Paling sekali dua kali. Itu juga kalau pas sakit asmanya kambuh. Selebihnya selalu pergi sendiri." Jawab Suherni. "Maklum. Namanya juga pelit."
"Oh, begitu." Jun Nyen mengangguk. 'Berarti hari ini wa musti menjalankan rencana.'

Menjelang jam pulang, Jun Nyen sengaja membeli sepiring ketoprak yang berhenti tak jauh di depan toko yang dijaganya. Saat itu sudah menjelang malam, sehingga toko sudah hampir tutup.

"Di, mau ketoprak gak?" Jun Nyen berkata saat melihat Dodi duduk mengamatinya masuk kembali ke dalam toko.
"Malas ah. Udah mau pulang." Jawab Dodi, pegawai Babah Chen Kuang.
"Gak apa-apa. Gue yang bayarin dah." Dengan memakai logat Jakarta, Jun Nyen mencoba membujuk Dodi. Dan sebelum sempat Dodi menjawab, Jun Nyen telah memberi tanda kepada tukang ketoprak untuk membuat sepiring lagi.
"Nyen, gue belum jawab kok lu udah panggil sih?" Dodi memprotes.
"Udah, bawel yah. Udah dibeliin ya makan aja. Lagi yang bayar gue ini." Kata Jun Nyen.
"Ya udah deh, terima kasih ya." Sahut Dodi pada akhirnya.
"Lho, kok Dodi dibeliin, aku gak dibeliin sih, Nyen?" Suherni yang baru keluar dari ruangan Babah Chen Kuang berceletuk begitu saja saat melihat kedua temannya terlarut dalam suasana asyik itu.
"Kalo mau sekalian aja." Jun Nyen menjawab.
"Bolehlah." Suherni segera berjalan ke etalase toko dan memesan ketoprak lagi.

Tak berapa lama saat Jun Nyen tengah menikmati santapannya, tukang ketoprak datang mengantarkan pesanan Dodi dan Suherni. Keduanya pun bersiap untuk menikmatinya.

'Saatnya beraksi!' Kata Jun Nyen dalam hatinya. Piring yang dipegangnya diletakkannya mendadak ke meja.
"Ya, bentar!" Jun Nyen berteriak sambil bangun dan menuju ke dalam.
"Kenapa, Nyen?" Suherni yang sedang menikmati makanannya menengok terkejut mendengar teriakan Jun Nyen yang tiba-tiba itu.
"Bos manggil." Jawab Jun Nyen singkat. "Bentar ya."

Setelah masuk ke dalam, bukannya Jun Nyen membuka pintu ruangan Babah Chen Kuang, tapi berhenti di depan ruangannya, dan mengintip ke depan dimana Suherni dan Dodi sedang duduk menikmati ketopraknya.

Tangannya merogoh ke dalam saku celananya dan mengeluarkan sebotol kecil berisi cairan yang telah dibawanya selama beberapa hari. 'Dengan ini, mudah-mudahan rencana berjalan sempurna.' Gumamnya dalam hati.

Digenggamnya botol kecil itu dalam kepalan tangannya dan dengan menegakkan badannya, Jun Nyen melangkah keluar. Lalu didekatinya kedua teman kerjanya yang tengah asik makan itu dan berdiri tepat di belakang mereka.

"Ni, bisa tolong gue pesenin Teh Botol di warung seberang jalan gak?" Jun Nyen berkata kepada Suherni. "Seret nih tenggorokan."
"Boleh." Mendapat permintaan dari Jun Nyen yang telah mentraktirnya, Suherni pun bergerak turun dari kursi tinggi dan berdiri. "Pesan berapa?"
"Lah, kalian kalo mau sekalian aja." Kata Jun Nyen lagi. "Bilang aja nanti pulang gue yang bayar."
"Oke..." Suherni segera bergegas menuju ke warung kecil di seberang jalan dan menghilang dari pandangan mereka berdua.
"Dodi, dipanggil Bos tuh." Begitu Suherni berlalu, Jun Nyen menepuk pundak Dodi.
"Hah? Kapan? Sekarang?" Dodi tampak terkejut dan melirik Jun Nyen.
"Gak, tahun depan." Jawab Jun Nyen. "Ya, sekarang lah. Gimana sih?"
"Oke, oke." Dodi bergegas turun dari duduknya. "Ada apa sih?"
"Gak tau ya." Jun Nyen mengangkat bahunya.

Dengan gerakan tergesa-gesa, Dodi berjalan ke dalam dan mengetuk pintu ruangan Babah Chen Kuang.
Begitu kedua temannya telah pergi meninggalkan tempat itu, Jun Nyen dengan gerakan lincah membuka tutup botol yang berada dalam genggamannya dan menuangkan semua isi botol ke dalam ketoprak Dodi. Pemuda itu mengaduknya sesaat untuk meratakan isinya dengan ketoprak.

"Yeee... Iseng aja lu ye, Nyen." Terdengar suara Dodi yang memprotes dari belakang. Jun Nyen segera memasukkan botol kecil yang telah kosong itu ke dalam kantong celananya.
"Kenapa?" Jun Nyen menatap Dodi dengan bingung.
"Siapa yang manggil? Malah gue tuh yang diomelin." Kata Dodi kesal sambil duduk kembali di bangkunya.
"Masa sih?" Jun Nyen menyengir lebar melihat umpatan Dodi.
"Lu sih ah. Menghentikan keasikan makan gue aja. Gak boleh liat orang lagi seneng dikit." Dodi masih memprotes kesal dan mengambil sendok di piring ketopraknya yang masih banyak itu.
"Sori deh. Gue kira lu dipanggil tadi." Jun Nyen tertawa lebar saat melihat Dodi kembali meneruskan makannya. 'Kena kau!'


BAGIAN 104
Lamunan Jun Nyen pupus bersamaan dengan suara motor yang berhenti di depan toko. Seorang gadis berjaket merah turun dari atas motor dan melangkah masuk ke dalam toko. Saat itu sekitar jam setengah sembilan pagi.

"Herni, kenapa kau telat?" Sebuah pertanyaan sudah diajukan Babah Chen Kuang kepada pegawainya yang baru datang itu. Padahal Suherni, gadis yang baru datang itu, baru saja melangkah ke dalam toko. "Ini sudah jam berapa?"
"Macet, Bah. Maaf deh." Setelah membuka helmnya, Suherni meletakkan tas kecil yang dibawanya ke atas meja di samping ruangan dan membuka jaketnya yang berwarna pink.
"Oh begitu." Babah Chen Kuang pun berdiri dari duduknya. "Ya, sudah. Jaga toko ya."
"Dodi mana, Bah? Kok belum masuk?" Tanya Suherni. Jaket dan helmya ditaruhnya di atas meja di samping tas kecilnya.
"Lagi mencret dia!" Babah Chen Kuang menjawab dengan kesal. "Saya siap-siap dulu. Mau ke bank."

Mendengar perkataan Babah Chen Kuang yang melangkah ke dalam ruangannya, Jun Nyen pun kembali bersiap menjalankan rencana selanjutnya.

Dari saku celananya, Jun Nyen mengeluarkan sebungkus rokok yang baru dibelinya dalam perjalanannya ke toko dan membukanya. Dikeluarkannya sebatang rokok baru dan dinyalakannya.

Sengaja pemuda itu membeli rokok dengan kadar nikotin dan tar yang berat, dengan tujuan membantu rencananya pagi itu. Berjalan ke arah belakang toko dan berjongkok pura-pura membereskan peralatan, pemuda itu mulai menikmati rokoknya. Dengan sigap dia menghisap dan menghembuskan asapnya.

Dalam waktu kurang dari 3 menit, sebatang rokok telah habis dihisapnya. Kembali, Jun Nyen menyalakan rokok keduanya dan menghisapnya lagi untuk kemudian dihembuskan melalui mulutnya.

Pada saat Babah Chen Kuang keluar dari ruangannya, hampir dapat dipastikan ruangan bagian dalam telah tercemar oleh asap rokok yang tak bisa secepat itu keluar, mengingat ruangan yang penuh berisi barang-barang.

"Uhuuukkk... Uhuukkk.... Ngggiiikkkk..." Tahu-tahu Babah Chen Kuang, yang telah bersiap-siap berangkat itu, batuk dan nafasnya menjadi sesak. Asap rokok yang tertimbun di depan ruangannya dan langsung dihisapnya saat itu, membuat asmanya kambuh.
"Lho, kenapa, Bah?" Jun Nyen berdiri dari jongkoknya dan memegang pundak bosnya itu. Rokok yang berada di tangannya dimatikannya dengan disundutkan di tembok di belakang punggungnya.
"Oo...O...Obat.... Obat.... Hiiiikkkk..... Ngggiiikkkkk...." Tampak Babah Chen Kuang berusaha berbicara di antara nafasnya yang sesak dan bersuara itu. Dengan dipapah oleh Jun Nyen, orang tua pelit itu mencoba masuk kembali ke ruangannya dan mencari-cari obat yang biasanya ada di mejanya.

Dengan susah payah, akhirnya Babah Chen Kuang berhasil duduk kembali di bangkunya. Jun Nyen masih membantunya membukakan bungkus obat dan memberikannya segelas air. Dari arah luar, Suherni tampak berlari dan melongok ke dalam.

"Ada apa?" Tanya Suherni saat melihat Babah Chen Kuang menyandarkan kepalanya di kursi kebesarannya sambil menutup mata dan menghela nafasnya.
"Asma Babah kambuh." Jawab Jun Nyen. Suherni terdiam di ujung pintu ruangan, menunggu keadaan bosnya lebih lanjut.

Setelah beberapa saat lamanya, Babah Chen Kuang membuka matanya. Nafasnya sudah mulai tenang. Namun dadanya tampak masih turun naik.

"Saya tidak jadi pergi ke bank." Ujarnya setelah berhasil menenangkan dirinya. "Herni."
"Ya, Bah." Suherni masuk dan mendekati Babah Chen Kuang dan Jun Nyen yang masih berdiri di depan meja.
"Tolong ke bank ya. Gantikan saya." Babah Chen Kuang berkata dengan suara lemah. "Uangnya ada di dalam tas."

Babah Chen Kuang menunjuk tas yang dipakai untuk menyimpan uang yang berada di dalam amplop, tas yang diletakkannya begitu saja di atas mejanya saat asmanya kambuh.

"Baik, Bah." Suherni mengangguk dan mengambil tas berisi uang itu.
"Jumlahnya ada dua ratus tujuh puluh lima juta." Kata Babah Chen Kuang lagi. "Setor semuanya ke rekening biasa."

Suherni mengangguk dan bergegas keluar ruangan. Dengan ujung matanya, Jun Nyen melirik Suherni yang mengeluarkan amplop berisi uang dalam tas untuk kemudian dimasukkannya ke dalam kantong plastik merah yang diambilnya dari sebuah dus penyimpanan kantong plastik.

Lalu gadis itu mengenakan jaket pink-nya, menyambar helm dan meninggalkan toko dengan kantong berisi uang dalam jumlah banyak yang ditenteng di tangannya. Setelah menggantung kantong berisi amplop uang di stang motornya, Suherni berangkat ke bank untuk menyetor uang tersebut.

Melihat kepergian temannya, Jun Nyen tersenyum. Setelah meminta ijin untuk menjaga di luar, Jun Nyen mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menghubungi Asiong melalui sms.

"Siong. Rencana berjalan lancar. Siap beraksi. Kantong merah di stang motor."


BAGIAN 105
Di saat yang hampir bersamaan, di pinggir sebuah jalan yang telah diberitahu oleh Jun Nyen semalam sebelumnya, Asiong sudah menunggu di atas motornya. Di belakangnya duduk membonceng Achiung. Keduanya mengenakan jaket hitam, lengkap dengan sarung tangan dan wajah yang ditutup saputangan sebagai penyamaran, di samping helm full tutup yang melindungi wajah dan kepala mereka.

Praktis, dengan penampilan seperti itu, siapapun juga akan sulit mengenali wajah dan rupa mereka sebenarnya. Terlebih semalam sebelumnya, Asiong tak lupa mengganti pelat nomor motornya dengan sebuah pelat nomor palsu yang sudah dipersiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Sebuah rencana yang benar-benar disusun secara matang oleh Asiong dan kedua temannya!

Asiong menyimpan ponsel yang baru saja bergetar di saku celananya. Pesan singkat yang didapatnya dari Jun Nyen membuat pemuda itu menyalakan mesin motornya.

"Siap, Chiung?" Sambil menoleh sedikit ke belakang sebelah kanan, Asiong bertanya kepada sahabatnya itu.
"Oke." Jawab Achiung menepuk pelan pundak Asiong yang membawa motor itu.

Keduanya menunggu sesaat sambil terus memperhatikan motor incaran yang telah diberitahu ciri-cirinya sebelumnya oleh Jun Nyen. Sebuah motor bebek Honda, lengkap dengan nomor polisi dan ciri-ciri pengemudinya, yaitu Suherni.

"Suherni biasanya memakai jaket warna pink dengan helm berwarna putih. Motornya Honda Grand Astrea hitam dengan nomor polisi B 3784 BZ. Setahuku dia tidak biasa naik motor dengan tas besar di punggung. Katanya menggangu keseimbangannya. Jadi dia pasti akan menggantinya menjadi plastik dan digantung di motor. Untuk ke bank, karena jalan hanya satu arah, jadi mau tidak mau dia harus melewati jalan..." Kata Jun Nyen saat memberikan penjelasan kepada Asiong semalam.

"Siong, apa itu orangnya?" Achiung kembali menepuk pundak Asiong saat sebuah motor dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan oleh Jun Nyen melintas di samping mereka.

"Ya!" Asiong mengangguk. Tangan kirinya menekan kopling dan kaki kirinya memasukkan mesin ke persneling satu. Dengan tangan kiri masih menahan kopling, Asiong menggeber gas di tangan kanannya. "Siap ya!"

Bersamaan dengannya, Asiong memajukan motornya mengikuti motor yang dikendarai oleh Suherni. Kendaraan hari Jum'at siang itu tergolong masih sepi. Suatu kebetulan bagi Asiong untuk menjalankan rencananya.

Di depan mata mereka, sebuah lampu lalu lintas menghadang. Suherni menghentikan motornya. Asiong berhenti tepat di belakangnya. Sambil memberi tanda lagi kepada Achiung, pemuda itu menunggu hitungan lampu menuju hijau.

Pada saat lampu lalu lintas berganti hijau, Suherni menjalankan motornya dengan santai. Sambil memberikan kesempatan kepada kendaraan-kendaraan lain untuk lewat, Asiong masih menguntit tepat di belakang Suherni.

"Sekarang!" Asiong berkata sambil menggeber kencang gas motornya, dia menjalankan motornya tepat di samping kiri motor Suherni yang berjalan santai itu. Sementara Achiung mulai bersiap menjulurkan tangan kanannya.

Motor Asiong berhasil melewati motor Suherni. Dengan gerakan cepat, pemuda itu memepet gadis itu ke kanan. Sontak, Suherni kaget dan panik, motornya oleng sesaat dan dia berusaha menjaga keseimbangannya.

Di saat sedang panik itulah, Achiung dengan cekatan menyambar kantong plastik yang digantung di stang motor Suherni dan menariknya. Sebelum Suherni sempat berteriak melihat perampokan di depan matanya, Asiong dengan cepat menggeber gas motornya meninggalkan tempat itu.

"Ramm... Rampokkkk!!" Suherni berteriak, setelah susah payah menghentikan motornya di pinggir jalan, mengatur nafasnya yang terengah-engah, keringat mengucur deras di keningnya saat helm dibukanya.

Di saat yang bersamaan, jalanan itu pun menjadi ramai dengan Suherni yang dikelilingi para pejalan kaki yang bertanya kepadanya, pemilik warung terdekat yang tak menyaksikan peristiwa yang terjadi secara cepat itu, juga bahkan beberapa pengemudi yang ikut menghentikan kendaraannya memberikan bantuan atau sekedar bertanya-tanya.

Namun, 'sang perampok', Asiong dan Achiung telah menghilang entah kemana...


BAGIAN 106
"Dua ratus tujuh puluh lima juta Rupiah." Kata Asiong sambil menyerahkan kantong plastik merah berisi uang hasil 'rampasan' mereka barusan kepada Ervina yang menunggu di rumah konveksi.

Setelah berhasil meloloskan diri setelah 'merampas' uang Babah Chen Kuang dari motor Suherni, Asiong dan Achiung menjalankan motornya dalam kecepatan tinggi. Saat meyakini tak ada yang mengikuti mereka dari belakang, kedua pemuda itupun pulang ke rumah Asiong.

Dengan kedua mata terbelalak tak percaya, Ervina menerima kantong plastik pemberian kekasihnya dan perlahan membukanya. Sementara Achiung memilih untuk masuk ke kamarnya dibanding duduk di meja panjang melihat sahabatnya dan Ervina yang sedang serius itu.

Ervina melongok ke dalam amplop besar berisi uang itu. Matanya yang sudah terbelalak itu menjadi semakin terbelalak melihat isinya. Dimasukkannya sebelah tangannya dan ditariknya keluar seikatan uang seratus ribuan.

"Astaga, Alex!" Ervina menelan ludah dan menatap kekasihnya dengan pandangan tak percaya. Tangannya masih memegang amplop dan uangnya. "Ini... Kamu benar-benar melakukan ini...?"

Asiong tersenyum menatap wajah Ervina yang kebingungan dan mengangguk sebagai jawabannya. Alisnya terangkat namun tak ada suara yang keluar dari mulutnya.

"Alex..." Kedua mata Ervina sudah mulai berkaca-kaca. Gadis itu seperti masih belum bisa mempercayai dan menerima kenyataan yang sedang terjadi di depannya.

"Alex...." Tiba-tiba Ervina memeluk tubuh Asiong dan menangis di pelukannya. "Kamu... Kamu..."

Bulir air mata menetes dari kedua mata Ervina sebagai ganti perkataannya yang tersendat itu. Sesaat gadis itu sesegukan di dada bidang kekasihnya.

"Aku tak pernah menduga kamu akan berbuat sejauh ini untukku, Lex..." Kata Ervina pada akhirnya, setelah berhasil mengatasi sesegukan tangisnya. "Kupikir kamu waktu itu hanya main-main dengan semua ini. Ini... ini sangat beresiko, tapi kamu melakukan ini semua..."

Asiong yang membalas pelukan Ervina, melingkarkan lengannya di punggung gadis itu dan mengusap rambut pirangnya. Dengan jarinya, disibakkannya rambut yang menutupi telinga kekasihnya dan lalu diarahkannya bibirnya ke telinga gadis itu.

"Jangan menangis lagi, ya." Asiong membisik pelan di telinga kekasihnya. "Aku mau masalah ini cepat selesai dan kamu bisa hidup tenang lagi."

"Tapi ini perbuatan jahat, Lex." Ervina mengangkat wajahnya dan menatap lekat-lekat mata Asiong. "Ini kan merampok namanya..."

Asiong memegang dagu kekasihnya. "Mereka telah merampok kebahagiaanmu, Vina. Uang ini tidak sebanding dengan kebahagiaanmu yang hilang itu."

"Kamu ini bandel, sangat bandel..." Ervina mencoba tersenyum dalam isak tangisnya saat itu.

"Aku hanya ingin kamu bisa tersenyum lagi." Ujar Asiong. Disentuhnya bibir indah kekasihnya. "Seperti ini..."

"Tapi..." Ervina masih ingin berkata-kata, namun jari Asiong di bibirnya membuat kalimatnya terhenti.

"Aku tak mau dengar, Vina." Kata Asiong. "Dengan uang ini, bayarlah semua hutang keluargamu kepada Roni. Jadi kamu bisa hidup tenang. Cari kerja seperti dulu lagi, tanpa perlu khawatir teror yang terus mengganggu."

"Hutangku tidak sebanyak itu..." Jawab Ervina. "Tidak sampai dua ratus juta. Uang ini sangat banyak dan kelebihan..."

"Simpan saja untukmu. Bukankah kamu bisa menyekolahkan adikmu sampai tamat SMA dengan uang itu? Juga kamu bisa mendapatkan sebuah rumah untuk keluargamu."

Untuk sesaat tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Ervina. Gadis itu hanya menatap Asiong dengan mata yang semakin lama semakin basah. Beberapa tetes air mata yang menitik dari sepasang mata beningnya tak dipedulikannya membasahi pipinya.

"Kamu jangan menangis lagi..." Bisik Asiong di depan Ervina. Dengan jarinya, pemuda itu mengusap air mata yang berlinang di pipi kekasihnya.

"Terima kasih... Terima kasih...." Tangisan Ervina kembali meledak saat gadis itu membenamkan wajahnya di dada Asiong. "Terima kasih, Alex..."

BAGIAN 107
"Siong, tau gak? Begitu siangnya Suherni kembali lagi ke toko dan menceritakan kejadiannya dirampok itu, asma Babah Chen Kuang yang awalnya sudah baikan setelah minum obat, malah kambuh lagi."

"Seperti ini nih.." Jun Nyen memperagakan gerakan bosnya yang menderita asma itu. Kedua tangannya bergerak kacau seperti hendak memegang udara sambil hidung dan mulutnya kembang kempis. "Nggiiikkkk.... O...Obat... Ngiiikkk.... Nggggiiiikkkkkk....."

Jun Nyen tertawa sambil menepuk meja panjang yang didudukinya. Di depannya Asiong, Ervina dan Achiung ikut duduk berkumpul di malam hari sesudah peristiwa perampokan. Setelah pulang dan berganti pakaian, Jun Nyen mengunjungi Asiong untuk mengetahui perkembangan rencana yang mereka jalankan tersebut.

"Nah lho, terus gimana?" Achiung tak kalah lebar tertawanya mendengar cerita Jun Nyen.

"Tidak sampai satu jam, Babah dilarikan ke rumah sakit..." Jun Nyen masih tertawa dalam ceritanya. "Dijemput ambulans. Nafasnya masih bunyi nggiiiiikkkk... Ngggiiikkkk... Hahahaha..."

"Suara pintu kejepit..." Achiung meledak dalam tertawanya melihat tingkah sahabatnya.

"Separah itukah?" Asiong menaikkan alisnya sambil menyengir dan tertawa berkepanjangan.

Jun Nyen mengangguk. "Biar tau rasa dia! Pelit sih jadi orang..."

"Kalian ini..." Ervina ikut menimbrung, namun dia juga tertawa, tak dapat menyembunyikan rasa gelinya. "Benar-benar deh. Itu kan orang tua lho..."

"Ya, orang yang membunuh Papamu kan, Vin..." Asiong menatap kekasihnya itu. "Merampas usaha keluargamu dan juga nyawanya."

"Betul, Siong. Paling tidak dendam Ervina sedikit terbalas..." Sahut Jun Nyen melirik Ervina.

"Lalu Suherni bagaimana?" Achiung menyalakan sebatang rokok. "Sambil merokok ya. Konyol juga kau, Nyen."

"Sepertinya dia masih shock." Jawab Jun Nyen. "Tidak banyak bersuara seharian itu."

"Kasian juga ya." Kata Asiong. "Tapi kita tidak punya pilihan lain."

"Ya, mau bagaimana lagi?" Achiung ikut berkomentar. "Semua itu resiko yang harus ditanggung."

"Jadi, setelah uangnya kita dapatkan, tinggal Ervina yang membayar hutangnya kan, Siong?" Jun Nyen menyambar bungkus rokok dan menyalakan sebatang di antara isinya.

"Jangan dulu!" Jawab Asiong.

"Lho, kenapa?" Achiung mengernyitkan keningnya pertanda bingung.

"Terlalu cepat. Kita kan baru saja mendapatkan uang ini." Asiong memberikan penjelasan. "Terlebih Vina pernah bilang Babah Chen Kuang punya hubungan dengan Roni."

"Jadi kalau kita langsung bergerak dalam waktu dekat ini, bisa-bisa mereka curiga kita mendapatkan uang dengan cara merampok mereka."

"Betul, Siong." Jun Nyen menjentikkan jarinya. "Roni juga berpikir kalau Ervina masih dalam pengaruh tenung hitam kan?"

Asiong mengangguk.

"Berarti kalau Ervina mau bertemu Roni, harus berpura-pura dalam keadaan tak sadar akibat ilmu hitam dong?" Tanya Achiung.

"Tidak. Aku tidak mau mengambil resiko itu." Ujar Asiong. "Aku tidak bisa mempertaruhkan keselamatan Vina begitu saja. Terlalu berbahaya."

Pemuda itu menengok saat lengannya dipegang oleh Ervina yang duduk di sampingnya. Terlihat olehnya kekasihnya itu menatapnya dengan tatapan mata berbinar-binar. Walau tak ada kalimat yang terucap, namun Asiong bisa menduga kalau kekasihnya itu menyimpan sesuatu untuk diungkapkan. Hanya saja, saat itu masih ada Jun Nyen dan Achiung, sehingga Ervina mengurungkan niatnya.

"Jadi, kita harus menunggu berapa lama lagi untuk aksi berikutnya?" Tanya Jun Nyen.

"Dua sampai tiga minggu." Jawab Asiong. "Sambil kau tetap bertahan di toko untuk mencari info tentang perkembangan kesehatan Babah Chen Kuang. Karena Roni tidak mengenalmu, jadi kalaupun kau bertemu dengannya, kau bisa mendapatkan info untuk kita."

"Baik, Siong." Jun Nyen mengangguk.

"Achiung, coba hubungi kawan-kawan di Pontianak." Kata Asiong lagi. "Minta tolong pada mereka untuk mencari info tentang Thai Nyiu. Bila memungkinkan, info tentang Meilan dan Abui juga."

"Siap, Siong." Achiung menjawab dengan tegas.

"Sementara waktu, aku dan Ervina akan mencoba mencari tahu gerak-gerik Roni belakangan ini, sehingga pada waktunya membayar hutang, kita sudah siap semua." Lanjut Asiong.

"Mari, satukan kekuatan!" Pemuda itu memajukan tangannya yang kemudian disusul oleh tangan Jun Nyen di atasnya, dan tangan Achiung di atas lengan Jun Nyen.

"Tunggu! Aku ikut!" Kata Ervina sambil menumpangkan tangannya di atas tangan Achiung. Asiong dan kedua sahabatnya tak keberatan gadis itu turut serta dalam penyatuan kekuatan tersebut. Bagaimanapun juga, semua perjuangan yang mereka lakukan itu sepenuhnya dilakukan untuk Ervina.

Setelah empat tumpukan tangan itu menyatu, keempat anak muda itu berteriak serentak sambil mendorong tumpukan tangan masing-masing ke arah bawah. "Sa!"

"Cia you!!" Disusul dengan kepalan tangan yang diarahkan ke atas, menunjukkan semangat yang pantang menyerah.

BAGIAN 108
Waktu dua minggu berlalu tanpa terasa. Hari Sabtu malam, Asiong kembali mengadakan pertemuan dengan kedua temannya dan juga Ervina di rumah konveksinya membahas perkembangan yang diperoleh masing-masing.

Pada saat itu, Asiong juga meminta Buntara untuk hadir di pertemuan itu. Dikarenakan Asiong berencara, tenaga sepupunya itu akan dibutuhkannya dalam misi yang akan dilakukannya keesokan harinya.
"Oke. Jadi seperti yang sudah kita rencanakan, besok kita akan mulai bergerak." Kata Asiong membuka pertemuan tersebut. Ervina duduk di sampingnya dengan memangku Justine yang terdiam terbuai belaiannya.
"Siapa yang mau memulai laporannya terlebih dulu?" Tanya pemuda itu.
"Wa dulu deh, Siong." Kata Jun Nyen. "Tentang Babah Chen Kuang dan Suherni."
"Boleh, Nyen." Sambil menunggu sahabatnya memulai bercerita, Asiong menyalakan sebatang rokok yang ditawarkan oleh Buntara.
"Setelah mendapatkan perawatan yang cukup dari pihak rumah sakit, Babah Chen Kuang dinyatakan boleh pulang sekitar seminggu setelahnya. Selama itu wa tak melihat adanya tanda-tanda kehadiran Roni. Bisa jadi mereka tidak mengetahui tentang kejadian tersebut." Jun Nyen memulai ceritanya.
"Kalau benar begitu, kita bisa lebih tenang menjalan misi besok, tanpa perlu khawatir Roni curiga sumber uang kita tersebut." Ujar Asiong.
"Betul, Siong." Sahut Jun Nyen. "Tapi tau gak, ternyata setelah keluar dari rumah sakit, Babah masih mengingat uangnya yang hilang itu."
"Istrinya gak menghiburnya?" Buntara bertanya setelah mendengar cerita yang sebenarnya dari Asiong tentang Jun Nyen yang bekerja di toko Babah Chen Kuang.

Jun Nyen tertawa sebelum menjawab pertanyaan Buntara. "Babah itu duda, Bun."
"Istrinya meninggal?" Tanya Buntara lagi.
"Bukan. Istrinya masih hidup." Jawab Jun Nyen.
"Terus selingkuh? Bukannya Babah kaya banget?"
"Kaya tapi pelit untuk apa?" Ujar Jun Nyen lagi. "Tak ada yang bisa memakai uangnya. Semua pegawainya pun dibayarnya dengan gaji kecil, termasuk wa."
"Kurasa wa tau deh alasan lain istrinya meninggalkannya..." Achiung menimpali sambil cengar cengir penuh arti.
"Apa?" Jun Nyen menatap sahabatnya itu.
"Istrinya masih muda?" Achiung bertanya dulu sebelum menjawab.

Jun Nyen mengangguk.
"Nah itu dia!" Cengiran Achiung semakin lebar. "Karena masih muda, kalau dia lagi minta jatah, tau-tau Babah keluar suara istimewa pintu kejepitnya... Bisa kebayang dong? Jadinya dia mencari yang tenang, gak full musik begitu."

Semua yang duduk disana meledak dalam tertawa mendengar perkataan Achiung. Bahkan Justine pun ikut menyalak pelan seakan mengerti apa yang sedang mereka katakan.

"Justine, kamu mengerti juga ya, hmmm..." Ervina mengangkat anjingnya sebatas wajahnya dan menciumnya pelan.
"Kata Justine, 'aku kan cowok lho, teranglah aku mengerti yang begituan.'" Buntara menimpali dengan kekocakannya yang dimilikinya. Kembali tawa di antara anak muda itu meledak sesaat kemudian.
"Suherni sendiri dipojokkan terus oleh Babah Chen Kuang." Jun Nyen melanjutkan ceritanya setelah semuanya reda dari tertawanya. "Babah menuding Suherni ada kongkalikong mengambil uangnya saat menyetor ke bank itu."
"Tidak terima dengan perlakuan Babah, Suherni berhenti bekerja dan melaporkan tindakan bosnya kepada polisi." Lanjut Jun Nyen. "Sampai detik ini, kasus ini masih ditangani pihak kepolisian."
"Wah, bisa ribet nih kasusnya kalau sudah sampai di pihak kepolisian." Achiung mengomentari.
"Itu dia. Makanya hari ini wa memutuskan untuk mengikuti jejak Suherni, berhenti bekerja disana." Kata Jun Nyen. "Terlebih Ketua sudah meminta wa untuk mundur dari sana, karena tugas wa sudah selesai."
"Bagus, Nyen!" Asiong berkata dan menatap sahabatnya. Lalu diarahkannya pandangannya kepada Achiung. "Achiung, ada keterangan yang kau dapat?"
"Ehm..." Achiung berdehem cukup kencang sebelum bercerita. "Tentang Thai Nyiu dulu ya."
"Ternyata apa yang dikatakan Meilan tentang Thai Nyiu itu benar. Sekarang Thai Nyiu sudah menjadi orang dungu karena gegar otak dalam pertarungan waktu itu. Waktu dikunjungi oleh Aloi dan Ata, Thai Nyiu bahkan tidak mengenali mereka lagi. Hanya bisa menatap keduanya dengan tatapan kosong, mulut ternganga dan ekspresi bodoh."
"Saat Ata mencoba menyebut namamu, Siong, Thai Nyiu yang tadinya duduk di kursi, segera bangun, berlari dan meringkuk bersembunyi di sudut ruangan. Tangannya dikeluarkannya untuk mencegah orang mendekatinya sambil berteriak, 'Jangan. Wa tidak mau. Jangan. Wa tidak mau.' Bahkan terkadang dia berteriak saat namamu disebut."
"Hmm... Parah juga efeknya ya." Asiong mengusap dagunya mendengar nasib musuhnya itu. "Tragis. Tak pernah wa sangka dia akan menjadi seperti itu."
"Ya, karena waktu itu kau sudah dikuasai kemarahan, Siong, dan dalam keadaan setengah sadar, kau menghantam kepalanya dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya."
"Lalu, Meilan dan Abui?" Ervina tak mau ketinggalan dan mengajukan pertanyaan.
"Wa gak tau jelas apa maksud dan tujuan Meilan kemari." Kata Achiung menjelaskan. "Namun kita tetap waspada mengingat keadaan Thai Nyiu menjadi menyedihkan seperti itu. Bisa jadi Meilan memang ingin membalas dendam seperti yang dikatakannya waktu itu."

Asiong mengangguk. "Wa tahu itu. Kita tetap harus waspada."

"Terus apa rencanamu untuk besok, Siong?" Tanya Buntara.
"Besok saatnya kita menjalankan misi lagi." Kata Asiong. "Ervina akan menghubungi Roni malam ini, memberitahukan akan membayar hutangnya. Karena Roni sudah pernah melihatmu, Bun, jadi kita berdua kesana menemani Ervina."
"Sementara, Jun Nyen dan Achiung karena belum pernah dilihat Roni dan komplotannya, kalian menjaga kami bertiga dari jarak yang agak jauh." Asiong kembali membeberkan rencananya. "Kemungkinan dia juga akan melakukan cara yang sama. Menyebar anak buahnya di tempat berbeda."

"Kalau begitu, besok kita siap berperang lagi." Kata Jun Nyen.
"Ya, tapi mudah-mudahan saja Vina bisa menyelesaikan masalah ini dengan damai." Ujar Asiong. "Tapi kalaupun Roni berpikiran lain, kita pun sudah siap."
"Setuju!" Jun Nyen dan Achiung menjawab bersamaan.

Pertemuan membahas misi besok masih berlangsung beberapa saat lamanya, sambil diwarnai canda tawa mereka. Esok harinya, Asiong dan kawan-kawannya akan kembali berjuang dan canda tawa tersebut takkan lagi bisa terlihat seperti sekarang...

BAGIAN 109
Keesokan harinya, sekitar jam 11 pagi...
"Aku sudah siap, Lex." Ervina berkata kepada Asiong sambil menutup resleting tas yang dipakainya untuk mengisi uang berjumlah sekitar seratus lima puluh juta Rupiah yang akan dipakainya untuk membayar hutang keluarganya kepada rentenir Roni.

Asiong menatap Ervina tanpa berkedip. Hari itu kekasihnya tak memakai make-up, hanya sedikit polesan di wajahnya yang memang sudah cantik itu. Rambut pirangnya diikat di belakang menambah kesan rapi namun eksotis. Dengan paduan kaos T-Shirt berwarna kuning dan celana jeans selutut, membuat gadis itu semakin menarik dan cantik.

"Kamu cantik sekali hari ini." Ujar Asiong melihat kecantikan kekasihnya. "Pantas saja Roni tertarik kepadamu..."
"Ihhh... Alex. Jangan gitu dong ahh..." Ervina merengut digoda oleh Asiong. "Aku tidak ada rasa sedikitpun dengannya."
"Aku tahu kok." Asiong tersenyum sambil menyisir rambutnya.

Saat itu dari arah pintu terdengar suara seperti pagar dibuka. Seorang lelaki melangkah masuk beberapa detik kemudian.
"Siong, gimana, udah siap?" Tanya lelaki yang baru datang itu, berdiri di depan pintu masuk.
"Sudah, Bun." Jawab Asiong.

Dari arah dapur, Jun Nyen dan Achiung ikut bergabung dengan mereka bertiga.
"Kami juga sudah siap." Jawab Jun Nyen. Achiung mengangguk mengiyakan.
"Bagus! Kita bergerak!" Kata Asiong kepada mereka semua.
"Hati-hati, Siong!" Sebuah suara yang berasal dari lantai atas terdengar sedang menuju ke bawah.
"Pasti, Ce." Jawab Asiong mengangguk penuh keyakinan. "Wa titip ya, kalau nanti Meilan datang..."
"Tenang, wa dan Cece pasti bisa mengatasinya."

Asiong menyalami tangan Cecenya, yang bukan lain adalah Chun Hwa itu. "Kami berangkat."
"Hati-hati!" Chun Hwa melambaikan tangannya kepada Asiong dan keempat temannya. "Semoga sukses!"
"Ya! Kami pasti akan kembali dengan sukses!" Jawab Achiung sambil tersenyum.
"Bantu dengan doa ya, Cece Chun Hwa." Ervina masih sempat meminta restu dari kakak kandung Asiong sesaat sebelum mereka berangkat. Tas berisi uang dipegang di tangannya.
"Pasti, akan kami bantu doakan dari sini." Chun Hwa tersenyum kepada calon adik iparnya itu. Sesaat kemudian, kelima anak muda tersebut pun berjalan menuju pintu pagar.

Chun Hwa masih mengantar kelimanya hingga ke depan pagar rumah, sementara Buntara membuka pintu mobil Kijang Inova putih yang dibawanya.

Jun Nyen memilih duduk di depan bersama dengan Buntara, sementara Asiong, Ervina dan Achiung duduk di bangku barisan tengah.
"Kita berangkat!" Ujar Asiong sambil menutup pintu mobil dan beberapa detik kemudian, mobil Kijang Inova itupun mulai menggelinding di keramaian jalan.

Tanpa mereka semua sadari, dua pasang mata mengawasi setiap gerak-gerik mereka.
"Mei, sepertinya mereka semua sudah berangkat." Terdengar suara seorang lelaki berkata.
"Kita ikuti saja mereka, Ko Abui." Jawab orang yang dipanggil Mei itu. "Wa ingin tahu kemana mereka pergi beramai-ramai seperti itu."
"Kau yakin tak mau ke rumahnya?" Tanya sosok yang dipanggil Abui itu.

Orang yang bukan lain adalah Meilan adanya, menggelengkan kepalanya. "Wa tak ada urusan dengan keluarganya. Tapi dengan Ko Asiong. Ikuti saja kata-kata wa, Ko."
"Baiklah kalau itu maumu!" Abui menyalakan mesin mobil dan dengannya mulai mengikuti mobil Inova putih di depannya.

BAGIAN 110
Setelah berhasil melakukan transaksi dengan Roni untuk bertemu di suatu mall, bersama dengan kekasihnya dan Buntara, Ervina menunggu kedatangan rentenir yang telah menyusahkan hidupnya selama beberapa waktu lamanya. Berbekal uang hasil 'rampokan', sang gadis berniat membayar hutang ayahnya kepada rentenir jahat itu.

"Kita janjian bertemu disini." Ujar Ervina sambil duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu. Asiong menemaninya duduk di sampingnya dan memegang tas yang berisi uang ratusan juta tersebut. Sementara Buntara berdiri di tempat yang agak jauh dari keduanya sambil menyandar di balkon.

Begitu tiba di mall yang dijanjikan, kelima anak muda itupun menyebar setelah mobil yang dibawa Buntara diparkir. Asiong dengan Ervina langsung menuju tempat yang telah ditentukan dengan Roni sebelumnya, sementara Buntara menunggu tak jauh dari keduanya berada. Jun Nyen dan Achiung sendiri segera berpencar ke dua arah berbeda dan mengawasi ketiganya dari jarak yang terlindung dari pandangan mata.

Keadaan mall di hari Minggu itu padat oleh pengunjung yang ingin berbelanja atau sekadar berjalan-jalan melepas penat setelah seminggu bekerja. Ervina sengaja memilih mall yang ramai untuk menghindari bentrokan fisik secara langsung ataupun hal yang tidak diinginkan pada saat transaksi berlangsung. Dengan berada di tempat yang ramai, setidaknya hal seperti itu bisa diminimalisir.

Setelah menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya Roni muncul juga. Bersama dengan dua anak buahnya yang berbadan besar, Lukman, tangan kanannya dan si Muka Codet. Keduanya mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Roni sendiri tampak cengar-cengir sambil menggigit sebatang korek api, melangkah dengan sikap angkuh dan jumawa ke arah ketiga anak muda tersebut menunggunya. Kedua tangannya dimasukkannya ke dalam kantong celananya pada saat berjalan. Lengan yang penuh dihiasi rantai gelang-gelang berharga mahal dan juga kalung emas yang menggantung di lehernya.
"Ron, itu Ervina," Lukman memiringkan kepalanya untuk berbicara dengan Roni. "Sepertinya sudah tidak dalam pengaruh ilmu tenung lagi."
"Pasti anak sial itu yang membantunya!" Roni berkata tanpa membuka lebar mulutnya yang menggigit batang korek api itu.
"Hebat juga kalau dia bisa melepaskan tenungnya!" Ujar Lukman lagi.
"Biarkan saja! Yang penting sekarang itu uangnya, bukan Ervina." Kata Roni, masih tetap dengan gigi terkatup rapat. Didekatinya Ervina dan Asiong yang segera berdiri berdiri kedatangan mereka.
"Hmm... Ervina. Lama tak berjumpa. Kau semakin cantik saja!" Kedua mata Roni menatap sekujur tubuh Ervina dengan tatapan kurang ajar, walaupun saat itu ada Asiong di samping gadis itu. "Apa kabar, manis?"
"Ron, aku kesini bukan untuk macam-macam. Tapi aku kesini untuk membayar hutang Papaku." Ervina menjawab dengan tenang. Dengan adanya Asiong dan tiga pemuda yang menemaninya, gadis itu merasa tak ada lagi yang perlu ditakuti saat itu.
"Wah, wah. Masih tetap galak seperti dulu!" Roni melirik kedua anak buah di kiri kanannya yang disambut dengan tertawa dari keduanya.
"Lebih baik kita mulai saja transaksi itu sekarang!" Asiong yang sudah mulai kesal melihat tingkah kurang ajar Roni bersuara.
"Begitu?!" Roni tertawa. Diludahkannya batang korek api yang digigitnya ke lantai. "Baik. Mana uangnya?"

Asiong menyerahkan tas yang dipegangnya kepada Ervina. Sang gadis menerimanya dan memberikannya kepada Roni.

"Seratus tujuh puluh lima juta Rupiah. Seperti yang kau minta." Kata Ervina sambil menyerahkan tas berisi uang tersebut kepada Roni. Sementara Asiong dan Buntara yang berdiri di samping Ervina mengawasi setiap gerak-gerik Roni dengan seksama.

Roni segera mengambil tas yang disodorkan Ervina itu. Tanpa membukanya, dia menyerahkan tas tersebut kepada Lukman yang berdiri di belakangnya. Lukman segera membuka resleting tas dan memeriksa isinya.
"Asli." Lukman mengangguk dan menutup kembali tas yang dipegangnya.
"Bagus!" Roni tertawa. "Bagus!"
"Mana surat bukti pelunasannya?" Tangan Ervina menjulur dengan telapak tangan menghadap atas.
"Itu mudah saja!" Roni tertawa sambil menengok kepada kedua anak buahnya. Si Muka Codet mengeluarkan sebuah buku berukuran lebar dan sebatang pena dari dalam kantong bajunya, sementara Lukman mengeluarkan sebuah map yang disimpannya di dalam jaket hitamnya. Dengan pena tersebut, Roni menulisnya beberapa sesaat. Setelah selesai, dirobeknya kertas yang tadi ditulisnya dan diserahkannya kepada Ervina, bersama dengan map yang diambilnya dari Lukman.

Ervina mempelajari dengan teliti apa yang tertulis di atas kertas kecil dan juga lembaran kertas yang berada di dalam map tersebut. "Seratus tujuh puluh lima juta Rupiah. Lunas." Bacanya.

Ervina mengeluarkan pena yang dibawanya dari saku celananya dan menandatangi lembaran kertas di dalam map. Selembar di antaranya diambilnya.
"Dengan begini, berarti semua hutang Papaku dan keluargaku lunas." Kata Ervina sambil menatap Roni lekat-lekat, diserahkannya kertas yang diambilnya dari dalam map tersebut.
"Betul!" Roni menjawab pernyataan gadis itu sambil menerima lembaran kertas yang disodorkan Ervina.
"Seperti yang tertulis di surat pernyataan ini, bilamana nanti kau kembali mengungkit-ungkit kembali tentang hutang ini, berarti aku bisa menuntutmu ke pengadilan!" Imbuh Ervina menambahkan.
"Baik!" Roni mengangguk, namun seulas senyum masih tersungging di bibirnya.
"Terima kasih!" Ervina mengangguk lalu mengajak Asiong dan Buntara meninggalkan tempat itu, meninggalkan Roni dan kedua anak buahnya yang masih berdiri dengan tas berisi uang disana.

Ketiganya berlalu. Asiong masih berjaga-jaga dengan segala kemungkinan yang akan terjadi mendadak. Namun sampai ketiganya turun ke lantai bawah melalui eskalator, tak ada tanda-tanda mencurigakan dari Roni dan anak buahnya.

Baik Asiong, Ervina dan Buntara tak menyadari bahwa sepeninggalnya mereka dari tempat tersebut, Roni tertawa terbahak-bahak sambil berkata,
"Mereka pikir bisa semudah itu menyelesaikan urusan ini? Mereka tidak tahu siapa Roni Susilo sebenarnya?!"


Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Bagian 111-120)


BAGIAN 111
Pada saat Ervina sedang melakukan transaksi dengan Roni, dua pasang mata mengamati mereka dengan pandangan bertanya-tanya dari jarak jauh, dua lantai di atas lantai dimana transaksi berlangsung.

"Ko Abui, apa yang sedang mereka lakukan ya?" Meilan bertanya. Matanya tak lepas memperhatikan keenam orang yang diawasinya.
"Sepertinya mereka sedang transaksi keuangan." Jawab Abui. Dilihatnya Ervina menerima map dan menandatanginya.
"Tanda tangan? Jangan-jangan Ervina berhutang kepada lelaki berbadan besar itu?" Kata Abui.
"Sepertinya, Ko." Meilan menjawab. "Kalau benar dugaan kita, berarti kita punya cara untuk mengusik mereka berdua."
"Maksudmu?" Abui menatap adik sahabatnya.
"Begini, Ko." Meilan mulai menuturkan rencana yang terlintas mendadak di kepalanya itu.

Beberapa saat kemudian...

Ketika melihat Asiong sudah meninggalkan tempat transaksi bersama dengan Ervina dan Buntara, Jun Nyen dan Achiung yang berdiri di tempat terpisah dan berjauhan, segera meninggalkan tempat yang tadi dijadikan tempatnya mengintai. Keduanya berjalan dari arah yang berlawanan, menuju ke lantai parkir dimana Buntara memarkir mobilnya.

"Baguslah kalau tak terjadi apa-apa." Kata Jun Nyen sambil melangkah. "Tapi wa kok jadi curiga ya? Masakah semudah itu semuanya berakhir?"

Di antara lalu lalang pengunjung, pemuda itu mencari lift yang akan membawanya ke lantai parkir. Kepalanya masih memikirkan keganjilan yang terjadi dalam transaksi sebelumnya.

"Aneh, wa merasa aneh." Kata Jun Nyen pada dirinya sendiri. Bola matanya tampak sibuk mencari lift yang bisa dipakainya. "Ah, itu dia!"

Jun Nyen mendekati pintu lift yang ramai ditunggu oleh pengunjung lainnya. Tombol turun sudah menyala, jadi pemuda itu tidak menekannya lagi. Tak sampai semenit menunggu, pintu lift membuka dan penumpang yang berada di dalampun keluar bersesak-sesakan.

Jun Nyen bersiap untuk melangkah masuk ke dalam lift pada saat matanya melihat sosok yang berpapasan di depannya, sebuah sosok yang menarik perhatiannya.

"Itu..." Jun Nyen menengok ke belakang mencoba melihat kembali sosok yang baru saja dilihatnya secara tidak sengaja itu. Di saat bersamaan, sosok yang dilihatnya juga menengok dan menatapnya. Bersama dengan lelaki yang berjalan di samping sosok itu.
"Sepertinya wa mengenal mereka..." Jun Nyen menggaruk kepalanya. "Tapi siapa ya?"

Sambil membalikkan badannya dengan wajah menghadap pintu lift, Jun Nyen masih tak berpaling menatap kedua orang tersebut. Terutama sosok pertama yang menarik perhatiannya itu. Keduanya juga tampak terpaku melihatnya saat itu.

"Ah, iya, wa ingat!" Kata Jun Nyen pada dirinya sendiri. "Itu Meilan!"

Tepat pada saat Jun Nyen menyadari penglihatannya, pintu lift menutup dan lift berjalan.

"Meilan, adiknya Thai Nyiu." Kata Jun Nyen lagi. "Tapi satunya itu siapa ya? Sepertinya wa kenal..."

Jun Nyen masih terus memikirkan siapa lelaki yang bersama dengan Meilan itu. Namun hingga langkahnya membawanya kembali ke mobil Buntara, dia masih juga belum menemukan jawabannya.
"Maaf, aku telat." Ujar Jun Nyen saat membuka pintu dan duduk di samping kemudi. Dilihatnya ke belakang. Asiong, Ervina dan Achiung sudah duduk disana.
"Jalan ya?" Tanya Buntara sambil menginjak pedal gas mobilnya.

Setengah perjalanan di parkiran, Jun Nyen menceritakan pertemuannya dengan Meilan beberapa menit sebelumnya.

"Meilan?" Asiong dan Ervina bertanya bersamaan.
"Ya, Meilan. Wa gak tau tadi itu kebetulan atau gak." Sambung Jun Nyen. Tiba-tiba pikirannya teringat siapa lelaki yang ada di dekat Meilan itu. "Lalu yang seorang lagi, apa itu Abui ya?"
"Bisa jadi itu Abui!" Kali ini Achiung yang menjawabnya.
"Abui?" Jun Nyen menengok ke belakang, menatap ketiganya. "Abui, anak geng Thai Nyiu?"

Achiung mengangguk.

"Hah?!" Jun Nyen ternganga mendengar perkataan Achiung. "Berarti tadi itu bukan kebetulan?"
"Mudah-mudahan saja kebetulan, Nyen." Jawab Asiong. "Mereka kan tidak kenal Roni."
"Benar juga ya..." Jun Nyen kembali duduk tegak dengan wajah menghadap depan.

Berbeda dengan Asiong dan kedua temannya, Ervina meremas jari kekasihnya. Gadis itu memiliki perasaan tidak enak dengan berita yang baru saja didengarnya.

Asiong tak menduga remasan jemari sang gadis menunjukkan kekhawatiran hatinya. Pemuda itu, seperti sebelumnya, berharap agar semua urusan saat itu sudah selesai.

BAGIAN 112
"Apa rencanamu selanjutnya, Ron?" Lukman bertanya kepada Roni saat ketiganya berjalan meninggalkan tempat transaksi dengan menenteng tas berisi uang.
"Kita tunggu dulu beberapa waktu, biarkan Ervina dan anak sial itu berpikir semuanya sudah tenang." Jawab Roni dengan senyuman licik. "Pada saat kita menyerbu mereka di saat tenang, mereka pasti takkan siap."
"Tapi, Bos, gimana dengan perjanjian di surat tanda tangan itu?" Tanya Si Muka Codet.
"Itu semua bisa diatur." Roni tertawa puas. Langkahnya terhenti di balkon mall dan bersandar sesaat disana. "Kita berhenti di sini dulu. Jangan terlalu mencurigakan!"
"Apa maksudmu semua bisa diatur, Ron?" Tanya Lukman sambil ikut bersandar di balkon.
"Kita cari orang baru untuk itu. Jadi mereka pasti takkan menyangka itu perbuatan kita." Ujar Roni.

Lukman dan Si Muka Codet tertawa lebar menanggapi rencana Roni.
"Rencana yang bagus." Kata Lukman. "Mencari orang baru untuk menteror mereka."
"Bila kalian mencari orang untuk teror, kami siap membantu!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang ketiga lelaki berbadan besar tersebut.

Terkesiap dengan perkataan barusan, ketiganya menengok secara bersamaan. Terlihat oleh mereka, seorang gadis berambut pendek dengan seorang lelaki telah berdiri di depan mereka bertiga.

Roni dan kedua anak buahnya mempelajari tongkrongan kedua orang yang datang mendadak itu
"Siapa kalian?" Roni bertanya. Matanya masih belum lepas mengawasi keduanya.
"Saya Meilan, adik dari musuh Asiong." Kata salah satu dari mereka. "Dan ini Ko Abui, teman kakakku."
"Hmmm..." Roni mencibir melihat keduanya. "Muncul mendadak seperti itu. Kalian ini utusan anak sial itu ya?"

Si Muka Codet mengepalkan tangannya siap-siap memukul salah satu dari kedua orang tersebut. Namun Roni melarangnya.
"Jangan seenaknya menuduh saya utusan Asiong!" Jawab Meilan ketus.
"Hmm... Bagaimana mungkin saya akan percaya? Wajah kalian saja sama orientalnya dengan Ervina dan anak sial itu." Ujar Roni.
"Kami datang dari kampung yang sama dengan Asiong, Kalimantan Barat." Kata Meilan.
"Hmm..." Lagi-lagi Roni mencibir. "Kongkalikong! Kalian pasti orangnya anak sialan itu! Diminta datang untuk memata-matai kami!"
"Jangan menuduh seenak perutmu bila bicara!" Meilan tak kalah sengitnya membalas. "Kami ini memang mengenal Asiong, tapi kami tidak berada di pihaknya! Tidak akan pernah!!"
"Apa tujuan kalian kemari?" Tanya Lukman.
"Kakakku cedera berat dalam pertarungan dengan Asiong. Saya datang untuk membalas dendam! Namun masih berhasil sampai sejauh ini." Jawab Meilan.
"Begitu?" Roni menaikkan alisnya. "Jadi kakakmu dan anak sial itu saling musuh?"
"Ya, gara-gara Asiong, sekarang kakakku menjadi seorang dungu! Kehilangan semua dunianya!" Kata Meilan.
"Hmm... Bagaimana kami harus mempercayai kalian?" Tanya Roni lagi. "Bisa saja semua ini akal-akalan dan sandiwara anak sialan itu..."
"Ya sudah kalau begitu!" Meilan menjawab dengan ketus lagi. "Ayo, Ko Abui, kita tinggalkan mereka!"

Dengannya, Meilan mengajak Abui meninggalkan tempat itu. Abui mengikuti kemauan adik sahabatnya dan mulai melangkah.
"Tunggu!" Terdengar Roni memanggil.

Meilan menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya. Alisnya terangkat. "Kau memanggilku?"
"Apa yang ingin kau lakukan pada anak sialan itu?" Tanya Roni tiba-tiba.
"Roni." Lukman terhenyak melihat keputusan yang diambil Roni. Namun Roni hanya mengangkat sebelah tangannya dan tak bersuara selain itu.
"Apapun, demi dendam kakakku." Jawab Meilan tegas.
"Hmm..." Roni mendengus. "Buktikan kalau kalian layak bergabung bersama kami!"
"Ada syarat yang harus dilakukan bila kalian ingin bergabung bersama kami." Lanjut Roni lagi. "Syarat dimana kalian harus membuktikan kalian bukan mata-mata yang bersekongkol dengan anak sialan itu."

Meilan terdiam sesaat mempertimbangkan perkataan Roni. Ditatapnya Abui, yang mengangguk kepadanya.

"Baik! Saya terima!" Jawab Meilan. "Apa syarat itu?"
"Kami akan mempercayai kalian dan kalian layak kami terima..." Roni terdiam sesaat. "Apabila kalian bisa mencelakakan orang kesayangan anak sialan itu!"
"Siapapun juga orang kesayangannya!" Sambung Roni dengan mata berbinar-binar dan senyum culas menyungging di bibirnya.

*****

Berikutnya di Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau

Rencana yang dijalankan Asiong dan kawan-kawannya berjalan dengan baik. Namun Asiong salah perhitungan! Dia tidak menyadari kalau Roni akan menjalankan rencana jahatnya di saat keadaan telah tenang.

Asiong juga tidak pernah menduga Meilan, adik Thai Nyiu, yang datang ke Jakarta, memburunya untuk membalaskan dendam kakaknya yang cedera berat dalam perkelahian dengannya, justru bertemu dengan Roni dan bersekutu dengannya!!

Rencana licik apakah yang dijalankan oleh Meilan dan Abui demi memenuhi syarat dan mendapatkan tempat di komplotan Roni? Siapakah yang menjadi korban kejahatan mereka berdua? Apakah Ervina? Ataukah justru yang lainnya?

"Gendang perang sudah ditabuh!" Asiong mengepalkan tinjunya. "Tunggulah pembalasanku, Roni!! Takkan pernah kumaafkan telah membuat Vina menderita seperti ini."

"Aku bersumpah, akan kuhancurkan kau sampai ke akar-akarnya!"

"Jangan pernah kau anggap enteng anak rantau! Kau belum mengenal siapa diriku sebenarnya! Kita lihat saja siapa yang akan memenangkan pertarungan ini. Kau atau aku yang mati!!"

Nantikan kelanjutan kisahnya, hanya di Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau.

Stay tune di HSG!!
Salam HSG


BERSAMBUNG

Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-November 2010

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

BERSAMBUNG

Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-November 2010

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates