31/10/10


Asiong, Sepenggal Kisah
Si Anak Rantau
(Episode 71-80)


"Dimana harus mencari Dayak Iban?" Asiong menggaruk kepalanya. Saat itu peramal wanita itu telah diantar pulang oleh Buntara yang ditemani oleh Mei Hwa.
"Ya, di Pontianak lah, Siong. Mau cari dimana lagi?" Chun Hwa menjawab pertanyaan adiknya itu dengan balik bertanya. "Harus Dayak Iban asli kan?"


Asong mengangguk. Diliriknya kekasihnya yang masih belum sadarkan diri itu. "Berarti wa harus pulang ke Pontianak lagi?"
"Ya, kalau mau menolong Vina..." Ujar Chun Hwa.


Asiong memukul meja panjang yang sedang didudukinya itu. "Semua ini gara-gara Roni!"
"Sial! Baru datang, harus pulang lagi." Pemuda itu mengumpat kesal.
"Itu kan demi Vina juga kan, Siong..." Chun Hwa mendekati Asiong dan menghibur adiknya itu. "Pulanglah! Obati dia! Kamu tega liat dia seperti itu?"
Asiong termenung, diam tak bersuara.
"Itu menyangkut nyawa lho, Siong." Kata Chun Hwa lagi. "Kamu dengar kan tadi yang dipesan, harus cepat ditolong."
"Tapi..."
"Masalah biaya?" Chun Hwa tersenyum. Sepertinya dia bisa membaca pikiran adiknya.
"Memang tak mudah ya kalau mau pulang pergi seperti itu, apalagi kalian berdua." Gadis itu duduk di meja panjang menemani adiknya. "Biayanya pasti mahal."
"Mau naik kapal, makan waktu sekitar dua hari." Sambungnya lagi. "Kalau pesawat, kalian berdua lagi."
Chun Hwa menepuk pundak adik kandungnya itu. "Gini deh. Kebetulan wa punya kenalan yang jualan tiket pesawat. Wa akan hubung dia dan cari tau tiket pulang pergi yang lumayan murah yang mana."
Asiong berpaling menatap kakaknya. "Lalu?"
"Yah, kalau bisa besok kamu pulang. Lebih cepat lebih baik." Chun Hwa menghela nafas. Dibalasnya tatapan adiknya itu. "Soal biaya, tak perlu khawatir. Wa pinjamin setengah deh."
"Benar nih?" Asiong tersenyum menatap kakaknya itu. "Itu kan mahal lho, Ce..."
Chun Hwa membalas tersenyum. "Pentingkan nyawa dulu, Siong. Uang bisa kita cari."
Senangnya hati Asiong saat mendengar bantuan dari kakaknya itu. Tanpa sadar pemuda itu memeluk kakaknya dengan seketika.
"Terima kasih, Ce. Terima kasih." Dipeluknya Chun Hwa dengan dekapan kuat.
"Siong... Jangan kencang-kencang dong! Wa sesak nih..." Sebuah protes dilancarkan Chun Hwa saat tubuhnya dipeluk adiknya itu.
"Ah, iya... Maaf... Maaf..." Sambil tertawa, Asiong melepaskan pelukannya di badan kakak kandungnya itu. Dibandingkan Mei Hwa, Chun Hwa lebih memperhatikan Asiong. Tak heran, Asiong merasa tentram dan bahagia saat berada di samping kakaknya itu.
"Ya udah. Kamu siap-siap dulu untuk besok. Wa mau telepon teman tanya soal tiket." Chun Hwa beringsut turun dari meja panjang.


"Oh ya, jangan lupa air ini." Gadis itu menyerahkan botol mineral berisi air Hu Dewi kepada adiknya. "Selama di perjalanan, berikan dia minum air ini. Mudah-mudahan dia gak sampai kumat dan mengganggu perjalananmu."
Asiong menerima botol mineral 600ml dari kakaknya. "Andai saja tadi tidak ada air ini, aku sudah tak tahu lagi..."
Chun Hwa tersenyum. "Udah ya, wa mau telepon dulu."
"Iya, Ce. Sekali lagi terima kasih." Dengannya, Asiong pun beringsut turun dari meja panjang dan berjalan menuju kamarnya untuk mempersiapkan pakaian yang akan dibawanya besok.
************
Keesokan paginya, dengan diantar oleh Buntara, yang ditemani oleh kedua kakaknya, Asiong membawa Ervina ke bandara yang akan membawa mereka ke pesawat menuju Pontianak. Ervina sudah sadar namun pandangan matanya masih kosong. Seperti tak ada jiwa di badannya saat itu.
"Bun, tolong jaga konveksi ya selama aku di Pontianak." Asiong menepuk pundak sepupunya. "Mudah-mudahan Roni tidak datang mengacau."
"Tenang, Siong!" Buntara menggamit tangan Asiong dan menyalaminya. "Percayakan padaku!"
"Siong, jangan lupa ya pesanan wa!" Sambut Chun Hwa dengan senyum kecil.
"Lempok duren dan asem paya kan?" Asiong mengerdipkan matanya. "Kalau wa lupa, wa bawa bijinya saja. Nanti Ce tanam sendiri di rumah ya."
"Mulai lagi deh." Chun Hwa tertawa mendengar lelucon adiknya. "Terus lempoknya?"
"Ya, beli tepung di pasar. Bikin sendiri. Mei Ce kan jago masak." Ujar Asiong sekenanya.
"Enak aja, Siong!" Mei Hwa tertawa. "Bawa yang udah jadi aja, biar gak repot."
"Hati-hati di jalan ya, Siong!" Chun Hwa menepuk lengan adiknya.
"Titip salam untuk Papa Mama ya, Siong!" Timpal Mei Hwa. "Kasih tau mereka kalau kita di Jakarta baik-baik aja."
"Ya, Mei Ce. Pasti wa sampaikan." Jawab Asiong sambil mengangguk, sekaligus menjawab dua permintaan kedua kakaknya. "Begitu urusan selesai, wa akan kembali ke Jakarta lagi."
Setelah salam perpisahan antar saudara itu terucap, Asiong membawa kekasihnya, Ervina masuk ke dalam bandara, meninggalkan Jakarta, kembali pulang ke Pontianak, kampung halaman sekaligus tanah kelahirannya.

BAGIAN 72
Perjalanan yang ditempuh dari Bandar Udara Soekarno-Hatta menuju Bandar Udara Supadio, Pontianak memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Ditambah dengan sekitar setengah jam bagi Asiong untuk menempuh perjalanan ke rumahnya yang terletak di Kota Siantan Tengah, Pontianak Utara. Untunglah selama perjalanan itu, Ervina tidak mengamuk akibat roh di badannya yang berulah.


Ketika Asiong tiba di rumahnya, kedua orang tuanya terkejut mendapatkannya yang pulang mendadak tanpa memberi kabar dahulu. Terlebih Asiong tidak sendiri, namun membawa seorang gadis cantik berpenampilan modern, namun berwajah kuyu.

"Jadi begitu ceritanya, Pa, Ma." Ujar Asiong menutup ceritanya kepada kedua orang tuanya yang terbengong-bengong mendengar kisahnya.
"Asiong, Asiong. Tidak di sini, tidak di Jakarta, kamu selalu berkelahi..." Mamanya menggelengkan kepalanya mendengar penuturan anaknya.
"Tapi saya bangga padanya, Ma. Dia berkelahi demi membela kebenaran." Sahut Papa Asiong.
"Sama seperti saya waktu masih muda dulu."
"Ya, buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Jawab istrinya sambil tertawa. "Jadi apa rencanamu nanti, Siong?"
"Hari ini wa akan cari info dari teman-teman wa tentang Dayak Iban, mungkin besok baru wa kesana..." Kata Asiong. Ervina duduk di sampingnya. Pandangan matanya kosong. Air Hu Dewi yang diminumkan Asiong selang beberapa jam sekali membuatnya 'tenang'.
"Setahu saya, Dayak Iban itu adanya di pedalaman Kampung Sungai Utik..." Sahut Papanya.
"Dimana itu?" Asiong menggaruk kepalanya.
"Jalai Lintang, Embaloh Hulu, di Kapuas Hulu sana." Papanya Asiong menerangkan. "Di pinggiran jalur Lintas Utara antara Putussibau dengan Lubuk Antu..."
"Putussibau, Pa?" Asiong terbelalak mendengarnya. "Di perbatasan Malaysia sana?"

Papanya menggangguk. "Ya. Kalau tidak salah, ke pedalaman itu harus melewati daerah hutan, menyeberangi Sungai Utik baru bisa sampai di kampungnya."
Asiong berdecak membayangkan perjalanan yang harus ditempuhnya nanti bersama dengan kekasihnya. "Rumit sekali."


"Sudah tiba disini, masakah harus mundur lagi?" Papanya menantang putranya itu.
Asiong mengepalkan tangannya. "Sedalam apapun akan wa lewati, yang penting Vina bisa sembuh."


"Ya sudah, istirahat lah dulu, Siong." Kata Mamanya lagi sambil berdiri. "Sudah makan siang?"
"Belum, Ma." Asiong berdiri dari duduknya dan memegang perutnya. "Lapar aku. Sudah lama tak makan masakan Mama."


"Baru juga tiga bulanan di Jakarta, Siong, apanya yang lama..." Sahut Mamanya tersenyum dan melangkah ke dapur. Rumah orang tua Asiong berukuran sedang, tidak memiliki loteng, namun memiliki dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan ruang mandi.


Asiong tersenyum dan bergegas ke dapur untuk mengisi perutnya. Saat masih sedang menikmati makan siangnya, dari arah ruang tamu terdengar suara.


"Lho, Pa, ini siapa? Kok bisa ada cewek disini? Mana cantik lagi?"
"Ssssttt!! Tidak sopan!!" Papa Asiong meminta orang yang baru masuk itu untuk berhenti berkata. "Lihat dulu siapa yang ada di dalam!"
"Siapa, Pa?"
"Lihat dulu sana!!"


Asiong mendengar langkah kaki yang mendekat ke ruang dapur tempatnya makan. Beberapa detik kemudian, sosok yang baru datang itu pun terlihat.
"Lho, Siong Ko. Kok sudah pulang?" Sosok itu terkejut melihat Asiong yang menatapnya sambil tersenyum. Tas sekolahnya diletakkannya di kursi makan.
"Aheng!"
Keduanya saling berpelukan untuk sesaat. Rupanya yang datang itu adalah Aheng, adik bungsu Asiong. Sebelum Aheng, masih ada satu adik lelaki lagi, yang juga sudah mencari kerja di luar Pontianak. Namanya Akhiong. Untuk sementara dia diutus ke daerah Bandung, jadi Akhiong tidak bisa pulang ke Jakarta dan tinggal bersama ketiga kakaknya.


"Tumben, Siong Ko." Aheng mengambil duduk di samping kakaknya. Perawakannya tinggi dan kurus. Wajahnya terkesan seorang yang gemar membaca dan menyukai ketenangan dibandingkan kakaknya yang senang berkelahi.


"Ya, ceritanya panjang, Heng." Sahut Asiong sambil menyendok nasi dan memasukkan ke mulutnya.
"Heng, kokomu baru pulang. Biarkan dia istirahat dan makan dulu." Terdengar mama mereka berkata.
"Iya. Wa juga mau mandi dulu." Aheng berdiri dan menyambar tasnya. Dia baru saja hendak melangkah ketika teringat akan sesuatu yang membuatnya membalikkan badan menatap Asiong lagi.
"Siong Ko, di depan itu siapa? Pacarnya ya?" Tanpa basa-basi Aheng bertanya kepada kakaknya itu.


Asiong tidak menjawab, hanya menaikkan kedua alis matanya sebagai pengganti jawabannya. Namun hal itu saja sudah cukup dianggap sebagai jawaban oleh Aheng yang memang cerdas itu.
"Cantik banget, Siong Ko. " Katanya. "Ohh, wa tahu. Mau dikenalin ke Papa Mama ya?"


"Nantilah wa cerita." Asiong menelan kunyahannya dan meneguk minuman di gelas. Sambil bangun dari duduknya, dia melangkah ke arah mamanya dan meminta nasi lagi.
"Enak, Ma. Kangen lho sama masakan Mama." Kata pemuda itu tersenyum. Aheng ikut tersenyum melihatnya.
"Selamat datang kembali, Siong Ko!" Ujarnya kepada kakaknya itu.

BAGIAN 73
Kabar pulangnya Asiong ke Pontianak langsung merebak ke teman-teman seperjuangannya. Padahal pemuda itu baru beberapa jam menginjakkan kakinya ke Pontianak. Hal itu dikarenakan Asiong menghubungi seorang temannya, Jun Nyen, yang mengaku mempunyai kenalan orang Dayak.


Jun Nyen yang waktu dihubungi via ponsel oleh Asiong, sedang berkumpul bersama teman-temannya, segera mengetahui kalau pemuda itu telah pulang kembali ke Pontianak. Serempak Jun Nyen mengajak teman-temannya untuk mengunjungi teman lama mereka yang baru datang itu.
"Jangan dulu! Datang sendiri saja kemari. Nanti akan wa jelaskan kenapa." Pesan Asiong kepada Jun Nyen di ponselnya. "Ya, boleh. Satu jam lagi. Wa tunggu lah ya."


Sekitar satu jam kemudian, dengan mengendarai sebuah motor bebek, Jun Nyen mampir ke rumah Asiong. Jun Nyen, 24 tahun, berkulit putih dan berbadan tegap, namun tidak sekekar Asiong. Bersama dengan teman-teman lainnya, keduanya pernah bekerjasama dalam perkelahian antar geng dengan kampung wilayah sebelah.


"Apa kabar, Ketua?" Jun Nyen menyalami tangan Asiong dengan salaman khas persabahatan. "Wah, makin keras tenagamu. Latihan tiap hari ya?"
"Begitulah, Nyen." Asiong tersenyum. Di Pontianak, Asiong diangkat menjadi ketua oleh teman-temannya karena sifat setia kawan dan ksatrianya itu melebihi yang lainnya. "Seperti yang kau lihat."


"Heh, jangan bilang di Jakarta kau berkelahi juga..." Jun Nyen langsung duduk di sofa di rumah Asiong tanpa menunggu dipersilakan lagi. Hubungan keduanya sudah sangat akrab, jadi basa-basi semacam itu sudah tak ada lagi di antara mereka.


Asiong tertawa mendengar komentar temannya itu. "Justru karena itu wa kembali kesini."


"Wah, kenapa? Kalah pasukan?" Jun Nyen menaikkan alis matanya. "Kami siap membantu!"
"Bukan. Lebih parah dari itu." Sahut Asiong.
"Kenapa? Kenapa?" Jun Nyen mengeluarkan rokok dari saku jaketnya. "Ayo, sambil merokok, biar lebih seru ngobrolnya."
Asiong mengambil sebatang rokok yang ditawarkan sahabatnya itu. Setelah menyalakan dan menghembuskan asap yang dihisapnya, pemuda itu memulai ceritanya.


Jun Nyen mendengarkan cerita Asiong dari perkenalan pemuda itu dengan Ervina hingga insiden Ervina kerasukan di rumah konveksinya dengan seksama, sehingga rokok yang dibakarnya lupa dihisapnya.


Jun Nyen masih terbengong ketika Asiong sudah selesai bercerita. Kalau saja bukan karena api dari rokok yang dipegangnya telah habis terbakar dan menyentuh jarinya, dia masih belum sadar dan masih terbuai oleh cerita Asiong.


"Waduhhh...." Jun Nyen melambaikan tangannya dan membuang puntung rokok ke dalam asbak di atas meja. Sementara Asiong tertawa melihat tingkah temannya itu.


"Gila, Siong. Wa salut padamu. Perjuangan berat seperti itu, sampai membawanya kemari. Kalau sampai tak bisa mendapatkannya, salahkan takdir!" Itu kata-kata pertama Jun Nyen setelah berhasil mengatasi 'kebakaran' kecil itu.


"Padahal baru berapa bulan di Jakarta..." Lanjutnya. "Bagaimana kalau setahun? Dua tahun? Bisa-bisa kau pulang kembali dengan dua orang anak. Atau bisa-bisa kau tidak pulang lagi kemari."


Asiong tertawa lebar. "Paling bisa lah kau kalau sudah bicara. Jadi bagaimana untuk besok? Kau ada waktu?"
Ganti Jun Nyen yang tertawa. "Wa mau lihat calonmu tuh, dimana dia?"
"Lagi tidur, di kamar." Jawab Asiong.
"Bolehkah?"
"Besoklah..." Tukas Asiong. "Lagipula, besok kan pasti kubawa juga..."
"Paling bisa lah kau kalau sudah bicara." Jun Nyen meniru kata-kata Asiong. Keduanya tertawa.
"Jadi bagaimana rencana untuk besok?" Asiong mengulang pertanyaannya.
"Oke..." Jun Nyen menyalakan sebatang rokok lagi. "Begini saja..."
"Bagaimana?"
"Suku Dayak Iban." Jun Nyen merenung sesaat. "Adanya di Pedalaman Kampung Sungai Utik, Kapuas Hulu. Perjalanan kesana tidak mudah. Bisa memakan waktu tidak sedikit."
"Itu lewat rute darat dan air kan?"
Jun Nyen mengangguk. "Ya. Rute darat dan air. Kalau naik pesawat sih lebih cepat. Hanya beberapa jam saja sudah di Putussibau."
"Tapi ya," Jun Nyen menggosok ibu jari dengan telunjuk dan jari tengahnya. "Ini..."
"Tak masalah." Jawab Asiong.
"Apa kau sanggup?"
"Nyen, dari Jakarta pun sudah wa ajak sampai sini. Masa di pulau yang sama tidak bisa kulewati?" Ujar Asiong.
"Oke. Kalau begitu, besok pagi kita berangkat."
"Tidak masalah." Asiong menghembuskan asap rokoknya. "Bagiku keselamatan Vina adalah segala-galanya."
"Hebat!" Jun Nyen menepuk pundak Asiong. "Tak salah kalau kau jadi ketua kami! Sifat ksatriamu patut diteladani!"

BAGIAN 74
Dengan pesawat udara domestik, Asiong, Ervina dan Jun Nyen akhirnya tiba di Bandar Udara Pangsuma, Putussibau. Dari sana, dengan menumpang kendaraan umum, mereka melanjutkan perjalanan ke Pedalaman Suku Dayak Iban.


Jun Nyen sendiri masih mampir dan bertanya-tanya kepada penduduk setempat untuk mendapatkan lokasi yang pasti ke Kampung Sungai Utik. Walau harus melewati daerah yang berpenduduk jarang, namun selebihnya perjalanan mereka bertiga tidak memakan waktu banyak.


"Kita akan melintasi sungai." Kata Jun Nyen ketika mereka tiba di ujung sebuah sungai. "Diperkirakan Kampung Sungai Utik ada di seberang sungai ini."
"Begitu ya?" Gumam Asiong. Ervina digandengnya di sampingnya. Air Hu Dewi masih tetap diminumkan kepadanya.


Pemuda itu memandang ke sekeliling. Berbeda dengan Jakarta, tempat itu dikelilingi oleh pepohonan dan perahu menjadi salah satu sarana transportasi untuk menyeberangi sungai.
Asiong menghembuskan nafasnya. "Okelah. Ayo, kita lanjutkan!"


Akhirnya dengan menempuh rute perjalanan air, ketiga anak muda itu menyeberangi Sungai Utik. Dengan menyewa sebuah perahu yang didayung oleh penduduk setempat, ketiganya menikmati hembusan angin semilir yang membelai wajah mereka saat perahu yang didayung berjalan melintasi sungai. Sekeliling mereka tampak pohon-pohon yang tumbuh, membuat suasana semakin terasa pedalaman.


"Siong, kalau mau dibilang-bilang sih, wa masih ada turunan Dayak Iban lho..." Kata Jun Nyen ketika perahu berjalan pelan memecah sungai.
"Oh ya? Wa baru tahu itu..." Ujar Asiong. Untungnya selama perjalanan itu Ervina tidak banyak tingkah. Hanya duduk tenang dan tak bersuara. Pandangan matanya kosong.
"Yah, secara tak langsung. Darah dari buyut wa..." Celoteh Jun Nyen lagi sambil menyengir kuda.


"Lah, kenapa juga kau tanya-tanya jalan kalau begitu?" Asiong tak kalah menyengir saat itu.
"Karena wa udah lama tidak kesini lagi. Dulu waktu masih kecil sekali, wa pernah dibawa kesini."
"Pantas..." Ujar Asiong.
"Mana mungkin wa bisa ingat?" Lanjut Jun Nyen lagi.
"Berarti kau bisa bahasa Dayak?"
"Hanya sedikit. Tapi wa mengerti apa yang diucapkan." Sahut Jun Nyen.
Sayup-sayup terdengar suara seperti tiupan suling yang berasal dari kejauhan.
"Suara apa itu?" Tanya Asiong.
"Oh, itu suara alat musik yang ditiup Dayak Iban..." Kata pendayung perahu memberi penjelasan.
'Suasana yang benar-benar pedalaman.' Gumam Asiong dalam hati. 'Sungai, daerah hutan, pohon-pohon. Sekarang suara alat musik.'


Perjalanan terus berlanjut. Beberapa lama kemudian, ketiganya menapakkan kaki di tanah berpasir setelah perahu yang mereka tempuh menepi.
Asiong membalikkan badannya. Sebuah daerah hutan berpohon banyak dan berdaun lebat telah menghadang di depan mereka.


"Sepertinya kita masih harus berjalan kaki ke sana ya?" Tanya pemuda itu sambil menggandeng kekasihnya.
Jun Nyen mengangguk. "Betul. Daerah hutan ini...."
"Ssshhh!!" Asiong menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. Dipelankannya suaranya. "Wa sudah tahu. Angker."
Jun Nyen mengangguk lagi. "Jaga Vina, Siong!"
"Tentu!" Pemuda perantau itu mengangguk. "Kau jalan dulu."


Dengan dipandu jalan oleh Jun Nyen, Asiong menggandeng tangan Ervina melintasi daerah perhutanan yang sarat oleh pepohonan rimbun di kiri kanan. Hanya jalan setapak kecil yang bisa dilewati orang saja yang menjadi tempat melintas di hutan itu.


Setelah beberapa jauh berjalan, ketiganya mendapatkan angin berbeda saat mereka meninggalkan daerah perhutanan di belakang mereka dan sebuah area yang adalah perkampungan dengan rumah panjang telah menyambut mereka.


"Selamat datang di Perkampungan Dayak Iban!" Ujar Jun Nyen saat mereka menapakkan kaki di pedalaman perkampungan itu.

BAGIAN 75
Berjalan beberapa meter ke dalam, mereka disambut oleh seorang lelaki berdada telanjang dan berkulit hitam. Di sekujur badannya penuh oleh tato. Kalung yang terbuat dari tenunan dan ikat kepala yang juga terbuat dari tenunan, menjadi hiasan di badannya. Matanya menatap tegas mulai dari Jun Nyen, lalu ke Asiong dan terakhir Ervina.


"Sapa?" Terdengar lelaki itu bertanya. Suaranya terdengar dalam dan tegas.
"Aku Anyen." Jawab Jun Nyen. Tangannya menunjuk Asiong dan Ervina bergantian. "Asiong enggau Ervina."


Karena hanya mengerti sebagian artinya, itupun hanya dari nama dan menebak-nebak, tak pelak Asiong berdiri terbengong-bengong melihat sahabatnya berbicara dengan lelaki Dayak di depan mereka itu. Matanya terus menerus menatap Jun Nyen dan lelaki itu bergantian saat salah satu dari mereka berbicara.


"Ah, Tuai rumah, bisi, bisi." Terdengar lelaki itu menjawab sambil mengangguk setelah berbicara sejenak dengan Jun Nyen. Dia membalikkan badannya membelakangi mereka. "Jalai!"


"Ayo, Siong." Jun Nyen memberi tanda kepada Asiong yang terbengong-bengong itu.
"Kau bicara apa? Wa tak paham lah." Ujar Asiong mengikuti temannya melangkah sambil terus menggandeng kekasihnya.
"Wa jelaskan padanya siapa kita, lalu apa tujuan kita. Kemudian dia bilang Pimpinan mereka ada dan dia minta kita jalan mengikutinya." Jun Nyen memberi penjelasan.


"Oh, begitu..." Walaupun masih bingung, pemuda itu mengangguk seakan paham dengan penjelasan Jun Nyen.
Sepanjang jalan, Asiong memandang ke kiri dan kanannya mempelajari keadaan sekitar pedalaman Suku Dayak Iban. Sebuah rumah panjang, dinamakan demikian karena rumah tersebut memang panjang seperti rumah panggung. Sebuah tangga terbuat dari kayu menjadi tempat naik ke rumah itu. Sekeliling rumah dibilik dengan kayu. Beberapa di antaranya bisa terlihat penghuni di dalamnya yang tinggal secara mengumpul di rumah panjang itu.


Lelaki Iban yang membimbing mereka berkata sesuatu kepada Jun Nyen, lalu menghilang ke dalam rumah panjang melalui tangga kayu. Jun Nyen mengangguk sambil tersenyum.


"Ini namanya rumah betang," Jun Nyen memberi penjelasan. "Artinya rumah panjang. Waktu membuat rumah ini, bagian hulunya harus searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam."
"Ohh..." Asiong mengangguk-angguk. Diliriknya beberapa anak gadis Iban sedang menenun di bilik. Saat melihat kedatangan mereka, gadis-gadis itu tersenyum kecil.
"Artinya simbol kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah di matahari padam." Lanjut Jun Nyen.
"Tumbuh dan padam?" Asiong mengernyitkan keningnya.
"Istilah matahari terbit itu tumbuh, terbenam itu padam." Kata Jun Nyen lagi.


Asiong mengangguk lagi. Dilihatnya beberapa lelaki Iban, yang semuanya bertelanjang dada dan bertato dengan ciri khas gambar Dayak, duduk di bawah pohon sambil menuangkan minuman yang berasal dari bambu.
"Apa yang mereka minum itu, Nyen?" Tanya Asiong. Jun Nyen menengok ke arah yang ditunjuk Asiong.
"Oh, Saguer." Jun Nyen berkata. "Tuak."
"Arak ya?" Timpal Asiong. "Wah, jadi ingat dulu kita minum arak bersama ya?"
"Ya, jadi rindu saat itu. Kau masih lama kan disini?"
"Belum tahu. Setelah Vina sembuh, mungkin wa akan kembali lagi ke Jakarta."


"Jangan cepat-cepatlah! Minum bersama dulu, baru balik ke Jakarta." Jun Nyen meninju pelan pundak Asiong.
"Boleh! Wa juga mau melepas rindu dengan teman-teman semua." Sahut Asiong.


"Nah, itu dia!" Jun Nyen tersenyum. Namun senyumnya hilang beberapa detik kemudian saat lelaki yang mengantar mereka itu kembali berdiri di atas pintu masuk rumah betang dan mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti Asiong.


Jun Nyen mengangguk dan tersenyum. Dia menatap Asiong. "Siong, kita diminta masuk ke dalam."


"Baiklah." Asiong menggenggam tangan Ervina dan berjalan menuju tangga naik ke rumah panjang. Dihembuskannya nafasnya. 'Entah apa yang akan kutemui nantinya. Semoga saja Vina bisa sembuh.' Gumamnya dalam hati.


Baru saja pemuda itu berjalan dua langkah, mendadak dia mendengar Ervina yang sedang digandengnya menggeram. Namun dia tidak mempedulikannya. Dia terus melangkah menganggap telinganya salah mendengar.


"RRRGGHHH!!" Geraman itu kembali terdengar. Asiong menghentikan langkahnya. Ditengoknya kepalanya ke belakang ke arah kekasihnya.
"RRRGGGGGHHHH!!!" Kedua mata kekasihnya melotot, merah seakan ingin menelannya hidup-hidup. Kepalanya berputar pelan dan kembali menggeram.
"Astaga!!" Asiong terperanjat. Matanya terbelalak. Gandengan tangannya terlepas. Pada saat yang bersamaan, Jun Nyen juga menengok ke arah yang sama dan juga terbelalak.

BAGIAN 76
Melihat perubahan mendadak yang terjadi pada kekasihnya itu, Asiong spontan teringat akan air Hu Dewi pemberian kakaknya yang selalu dibawanya. Diambilnya botol mineral yang berisi air Hu itu. Pandangan matanya tak dilepaskan dari Ervina.


"RRRGGGGHHHHHH!!!" Ervina menggeram lagi saat itu. Sepasang matanya merah seperti menyala.
"Siong, kenapa?" Jun Nyen yang terbelalak itu mendekat namun Asiong mendorongnya agar mundur. Jun Nyen belum sepenuhnya menginjakkan kakinya di tangga kayu yang menghubungkannya ke rumah betang di depannya, jadi Asiong masih bisa menahan sahabatnya untuk tidak maju lebih jauh lagi.
"Mundur, Nyen." Sambil beringsut mundur, Asiong menahan dan mendorong Jun Nyen dengan satu tangannya. Sementara dengan satu tangannya yang lain, pemuda itu membuka tutup botol dan meminum dua-tiga teguk air Hu Dewi.


Dengan mengikuti tindakan yang pernah dilakukan Buntara dengan air Hu Dewi itu, Asiong menyembur wajah kekasihnya dengan air yang berada di dalam mulutnya.


"RRRGGGHHHH!!!" Terdengar Ervina kembali menggeram tatkala air Hu Dewi menyiram membasahi wajahnya. Dengan murka, tangan kirinya bergerak, mengibas botol yang dipegang Asiong di tangan kanan itu.


Karena tak menduga akan kibasan tangan kekasihnya, botol yang berada di pegangannya terlepas dan terlempar ke udara. Terkesiap Asiong melihat botol berisi air Hu Dewi pemberian kakaknya itu melayang di udara dengan tutup yang telah terbuka. Air yang terisi di dalamnya muncrat menyembur ke udara, sebelum akhirnya botol tersebut jatuh ke tanah dan menumpahkan semua isinya. Asiong hanya bisa melihat botol tersebut terlempar dengan pandangan mata terbelalak, tanpa dapat berbuat jauh.


"Tidak mempan?" Pemuda itu berkata kepada dirinya sendiri dengan nada tidak percaya.
"GRRRR!!! Matiiii kauuuu!!!" Sebuah suara yang bernada dalam menggeram keluar dari mulut Ervina. Kedua tangannya terjulur lurus ke depan tepat mengarah ke leher Asiong!


'Dia mau mencekikku lagi!' Bathin Asiong sambil merasakan tetesan keringat dingin yang mengucur di keningnya. Sementara Ervina melangkah kian mendekat. Sepasang matanya merah menyala dan kepalanya berputar seraya menggeram dengan suara dalam.


Hal yang tak jauh berbeda juga dialami Jun Nyen, yang baru sekali itu melihat dan mengalami kejadian yang sebelumnya didengarnya dari cerita Asiong. Hal itu membuatnya terlupa akan lelaki Dayak yang memanggilnya masuk itu. Lelaki yang membalikkan badannya saat mendengar keributan itu. Lelaki itu berdiri tepat di pintu masuk rumah betang dan melihat apa yang sedang terjadi disana.


Dengan menelan ludah, Asiong melirik sesaat ke arah Jun Nyen yang berada di belakangnya. Kakinya masih menapak mundur, namun akhirnya tertahan oleh anak tangga kayu rumah betang. Sementara Jun Nyen telah terlebih dahulu naik ke atasnya. Di belakangnya berdiri lelaki Dayak yang menyambut kedatangan mereka tadi.


Asiong mendengar keduanya berbicara dalam bahasa Dayak yang tidak dimengerti olehnya. Pada saat yang bersamaan, beberapa pemuda Dayak yang tadinya dilihat Asiong sedang duduk di bawah pohon sambil minum berlarian mendekat. Sementara para gadis Dayak yang tadinya sedang duduk menenun di dalam rumah betang, juga bangun dan berlari sambil terpekik dalam bahasa Dayak.


"Anang! Anang!!" Terdengar lelaki Dayak itu berteriak. Tangannya terangkat dan memberi isyarat agar para pemuda Dayak yang mendekat menahan langkahnya. Anang berarti "jangan" dalam bahasa Dayak.


Mendengar teriakan lelaki Dayak itu, beberapa pemuda yang tadinya mencoba mendekat menjadi terhenti langkahnya dan berdiri sambil berjaga-jaga dengan segala kemungkinan.
WUSSSHH!!
Ervina mengibaskan tangannya ke wajah Asiong yang berada di depannya. Pemuda itu menunduk menghindari kibasan tangan kekasihnya itu. Karena posisinya sudah tepat berada di bawah anak tangga betang, pada saat dia membungkuk menghindar, tanpa sengaja kakinya tertahan oleh anak tangga. Keseimbangannya hilang. Asiong jatuh terduduk di anak tangga!


"Siong!" Melihat Asiong jatuh terduduk di anak tangga, Jun Nyen tergerak untuk maju memberikan pertolongan. Namun, Asiong yang sudah terbiasa waspada itu melarangnya.
"Jangan maju! Panggil bantuan, cepat! Aku coba menahannya disini!" Teriak Asiong sambil mencoba berdiri.
WUSSSHHH!!!
Kembali lengan Ervina bergerak mengibas. Asiong menghindar, namun gerakannya telat!


SREETTT!!


Kalung rantai yang dipakainya di leher tertarik oleh jari-jari lentik tangan kekasihnya. Dengan tenaga setan yang luar biasa kuat, kalung rantai tersebut putus berserpihan! Jatuh ke tanah dan hancur berkeping-keping.
Bukan hanya itu saja! Kibasan itu meninggalkan cakaran di baju pemuda itu dan merobeknya! Sebagian kulit dada pemuda itu tergores dan berdarah!


"Ssshhhhh!" Asiong mendesis merasakan perih di dadanya akibat cakaran jari kekasihnya. Darah menetes membasahi baju kaos yang dipakainya.
"Gila! Sejak kapan kuku Vina sepanjang itu? Setahuku dia selalu memelihara kukunya dan tak pernah sepanjang ini!" Gumam pemuda itu dengan tangan memegang dadanya yang terluka gores.


Kedua mata Asiong semakin terbelalak menyadari andai saja dia telat sedikit lagi menghindar, sudah pasti lehernya akan tercekal oleh hantu wanita yang bersemayam di tubuh kekasihnya itu.


Pada saat yang bersamaan, Jun Nyen berbicara dengan lelaki Dayak di belakangnya. Lelaki itu mengangguk dan bergegas ke dalam rumah betang.


Sementara Asiong masih bersusah payah menghindari tangan Ervina yang terus menerus bergerak mengincar lehernya. Dengan beringsut mundur ke atas rumah betang, sambil sesekali melirik ke belakang, Asiong bergerak menghindari kibasan tangan kekasihnya tersebut.


Dari dalam rumah betang, terdengar suara riuh langkah kaki yang semakin mendekat. Lelaki Dayak pemandu berbicara kepada Jun Nyen dalam bahasa Dayak.


"Siong, pancing Vina masuk ke dalam!" Teriak Jun Nyen menerjemahkan perintah lelaki Dayak itu. Di samping lelaki Dayak tersebut, berdiri seorang lelaki Dayak lain yang juga bertelanjang dada dengan tato khas Dayak menghias di sekujur badan, lengan dan juga kakinya yang mengenakan celana sebatas lutut.


"Ya..." Asiong mengangguk menjawab teriakan sahabatnya itu. Satu undakan lagi, pemuda itu telah berada di dalam rumah betang.
WUSSSHHH!!!
Tangan Ervina mengibas kembali! Kali ini yang diincar bukanlah wajah atau leher Asiong, namun kakinya!


"Uuugghhhhh!!" Terkesiap Asiong menyadari arah serangan tangan itu. Ayunan tangan Ervina semakin mendekat, mendekat dan mendekat!!

BAGIAN 77
Dengan berteriak, Asiong mengangkat kedua kakinya bersamaan dengan digulingkannya badannya ke lantai rumah betang di atasnya. Jun Nyen dan dua lelaki Dayak yang berdiri di belakangnya beringsut mundur saat pemuda itu berguling masuk ke dalam rumah betang, menghindari kakinya dari cakaran Ervina!


Sambil mengatur nafasnya yang terkejut, Asiong mengambil posisi berjongkok dan matanya masih terbelalak saat melihat kekasihnya telah menaiki anak tangga dan menginjakkan kakinya ke atas rumah betang. Sementara para pemuda Dayak yang berada di luar, yang semakin lama semakin banyak, telah mengepung pintu masuk.


"Siong, kenapa dia hanya mengincarmu?" Jun Nyen menepuk bahu sahabatnya.


"Dia ditugaskan untuk membunuhku!" Sahut Asiong yang telah bangun berdiri itu. Dari belakang terdengar bahasa Dayak yang masih terus berkumandang.


"Siong, kata Bujang Berani, Tetua Iban akan menolongmu menenangkannya, tapi kau harus bisa menahan kedua tangannya itu." Kata Jun Nyen dengan nafas memburu. Rupanya pemuda itu juga sudah mulai panik dengan kejadian langka yang terjadi disana itu.


"Siapa itu Bujang Berani? Siapa Tetua Iban?" Tanya Asiong sambil beringsut mundur mewaspadai Ervina yang semakin mendekatinya.
"Bujang Berani itu lelaki Dayak yang menjemput kita tadi, Tetua Iban itu yang akan menolongmu." Jun Nyen menjelaskan.
WUSSSHHH!!!
Belum sempat Asiong memahami lebih lama penjelasan sahabatnya itu, suara ayunan tangan penuh tenaga kembali berkelebat! Asiong menundukkan wajahnya dan bergerak maju menghadang!


Melihat pemuda yang diincarnya mendekat, Ervina kembali mengayunkan lengannya, bermaksud menghantam pinggang pemuda itu. Namun Asiong masih ingat akan Buntara yang terkena ayunan lengan Ervina yang kerasukan itu waktu masih di rumah konveksinya. Dengan gerakan sigap, Asiong berkelit menghindar dan meringkus lengan kiri kekasihnya.


"GGGRRRRR!!!" Ervina menggeram saat lengannya dicekal erat oleh Asiong. Dengan tenaga iblisnya, gadis itu kembali mengayunkan lengan satunya yang masih bebas.
WWUUKKK!!!
Lengan kanan Ervina akan menghantam badan Asiong yang tidak terjaga dalam hitungan detik!
"Siong! Awas!!" Jun Nyen berteriak dan dengan reflek, pemuda itu maju menahan laju tangan gadis itu dengan kedua tangannya.
Asiong terbelalak seperti tersadar dari mimpinya. Namun pemuda itu bergerak cepat dan kembali ke posisinya semula meringkus lengan kiri kekasihnya ke belakang punggungnnya.


"Ugghhhh!! Kuat... sekaliii..." Jun Nyen menahan lengan kanan Ervina dengan kedua tangannya. Sesaat keduanya beradu tenaga. Hanya beberapa detik, Jun Nyen sudah mengucurkan keringat di kening dan badannya.
"Kuuuuaaaatttttthhhh...." Pemuda itu mengeluh dan berusaha sekuat tenaga meringkus tangan kanan Ervina, mengikuti Asiong, ditelikung ke belakang punggung sang gadis.
"Diatu!!" Jun Nyen masih sempat berteriak kepada Bujang Berani agar segera bertindak. Melihat kedua pemuda keturunan itu telah berhasil menahan tangan Ervina, Bujang Berani dan Tetua Iban maju mendekat.
"RRRRGGGGHHHHH!!!" Badan Ervina meronta-ronta mencoba melepaskan kedua tangannya yang tertelikung di punggungnya itu. Matanya nyalang terbelalak penuh dengan nafsu membunuh.


Dengan dijaga oleh Bujang Berani di sampingnya, Tetua Iban memejamkan matanya sesaat dan mulutnya tampak berkomat-kamit seperti sedang membaca mantera. Kedua tangannya mengetup di depan dadanya. Beberapa detik kemudian Tetua Iban membuka matanya.


"HHAAAAA!!!" Sambil berteriak kencang, Tetua Iban menghembuskan udara tepat ke wajah Ervina.
"AAAAAAHHHHHHHH...." Beberapa detik setelah wajahnya ditiup, Ervina menjerit dan melolong tinggi. Tubuhnya meronta kencang, membuat Asiong dan Jun Nyen yang menahan kedua lengannya ikut terguncang dan keduanya sampai harus menahan kaki mereka dengan kuda-kuda agar tidak terbawa rontaan.


Melihat siksaan yang mengganggu itu, Tetua Iban menempelkan telapak tangannya ke wajah Ervina. Sesaat kemudian, rontaan gadis itu mulai berkurang, berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali. Kepalanya tertunduk di depan badannya.


"Siong, dia pingsan..." Jun Nyen melirik sahabatnya itu. Asiong mengangguk.
Tetua Iban berkata sesuatu dalam bahasa Dayak. Jun Nyen mengangguk.


"Siong, Tetua Iban bilang, Ervina didudukkan di dipan..." Sambil berkata begitu, Jun Nyen perlahan melepaskan lengan Ervina yang ditelikungnya. Dengan begitu, Asiong sepenuhnya menyangga badan lemas kekasihnya dengan pelukannya dan membawanya untuk dibaringkan di atas dipan seperti yang diperintahkan Tetua Iban.


Setelah Bujang Berani mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ritual penyembuhan, dan Ervina didudukkan di depan bahan-bahan ritual tersebut, Tetua Iban duduk di depannya. Sebumbung bambu tuak, beberapa lembar daun sirih, guci yang mengepulkan asap dari pembakaran kemenyan dan arang, sebilah pedang panjang dan sebumbung bambu berukuran sedang. Terakhir Bujang Berani memasangkan topi kebesaran di kepala Tetua Iban, topi khas Dayak dengan dedaunan dan hiasan khas pedalaman Iban.
Upacara penyembuhan Ervina pun siap dilakukan!

BAGIAN 78
Asiong duduk di belakang kekasihnya, menahan dan menyangga badannya yang masih hilang kesadarannya itu agar tidak terjatuh terbaring. Sementara Jun Nyen duduk di samping kiri sepasang kekasih itu. Di depan Ervina tepat duduk Tetua Iban dan di sampingnya, duduk Bujang Berani.


Setelah menutup mata beberapa lamanya dan membaca mantera, Tetua Iban berkata,
"Sapa nama nuan?"
Jun Nyen menepuk lutut Asiong yang duduk bersila dan bengong mendengar bahasa Dayak itu. "Siapa namamu?"
"Oh, Kim Siong." Jawab Asiong setelah mengerti maksud perkataan Tetua Iban dari sahabatnya itu.
"Sapa enggau nuan?" Tanya Tetua Iban lagi.
"Siapa yang datang denganmu?" Kata Jun Nyen menterjemahkan.
"Ervina. Patricia Ervina Wijaya." Jawab Asiong lagi.
"Sapa Ervina?"
Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Jun Nyen. "Sulu Kim Siong."
"Ari ni penatai nuan?"
"Jakarta." Jun Nyen menjawab kembali pertanyaan Tetua Iban.


Tetua Iban terdiam. Matanya masih terpejam beberapa detik, sebelum akhirnya dia membukanya dan memeriksa wajah Ervina yang sedang tak sadarkan diri itu sesaat.


"Manang jai. Manang jai..." Kata Tetua Iban sambil menggelengkan kepalanya, matanya melirik Asiong dan Jun Nyen.
"Apa katanya?" Bisik Asiong.
"Teluh jahat..." Jawab Jun Nyen pelan.


Tetua Iban tertawa lebar. Tangannya mengambil bumbung bambu dan menuang tuak ke dalam mulutnya. Lalu diambilnya beberapa lembar daun sirih dan dikunyahnya mentah-mentah. Terakhir dia mengambil kembali bumbung bambu dan meminum tuak di dalamnya. Diakhiri dengan diasapinya telapak tangannya di atas asap yang mengepul dari guci kecil.


Kemudian Tetua Iban kembali menutup matanya. Sepasang tangannya mengucup di depan dadanya. Mulutnya berkomat-kamit.


Cukup lama juga Tetua Iban berkomat-kamit ketika akhirnya kedua telapak tangannya tang mengucup di depan dadanya itu bergetar dan asap halus keluar dari sela-sela jarinya. Semakin lama semakin tebal asap yang keluar itu.
Bujang Berani berkata sesuatu kepada Jun Nyen, yang langsung diterjemahkannya kepada Asiong.


"Tetua Iban akan mengobati Vina. Tahan badannya jangan sampai jatuh! Bila terjadi sesuatu dari pengobatan ini, kau harus siap menopang badannya."
"Ya," Asiong mengangguk. Kedua tangannya berpindah dari pinggang Ervina dan memegang pundak kekasihnya. 'Apapun akan kulakukan selama kamu bisa sembuh dan kembali kepada dirimu semula, Vina.'
"HHHAAAA!!!" Tahu-tahu Tetua Iban membuka matanya, membentak dan menempelkan telapak tangan kanannya ke kening Ervina. Tangan kirinya masih mengucup di depan dada, mantra pun masih dibacanya.


Asap mengepul dari telapak tangan yang menempel di kening Ervina. Semakin lama semakin tebal. Mulut Tetua Iban semakin berkomat-kamit, semakin lama semakin kencang dan semakin cepat.


"HHAAA!!!" Tetua Iban membentak lagi. Bersamaan dengan itu, telapak tangannya yang menekan di kening Ervina didorongnya. Badan Ervina terhenyak ke belakang sebagai akibatnya. Untung saja, Asiong sudah berantisipasi seperti yang dipesan melalui Jun Nyen, sehingga pemuda itu bisa menahan hentakan keras itu.


"FUUUHHH!!" Sebuah tiupan halus diberikan Tetua Iban ke wajah Ervina. Tangannya yang tadi ditempelkan di depan kening sang gadis, telah diturunkannya.


Asiong dan Jun Nyen masih terbengong-bengong dengan apa yang akan terjadi setelah itu. Namun hanya beberapa detik kemudian, keduanya telah mendapatkan jawabannya.


"HOOOEEEKKKK!!! HOOEEKKKK!!" Tampak tubuh Ervina terhentak ke depan. Dari mulutnya terdengar suara seperti memuntahkan sesuatu. Bujang Berani bereaksi menyambar bumbung bambu di depan Tetua Iban dan diarahkannya ke depan wajah Ervina.


"HHHOOEEEEEKKKK!!!" Terdengar Ervina kembali muntah. Dari dalam mulutnya, keluar cairan kental berwarna merah tua, bahkan nyaris hitam, dalam ukuran cukup banyak. Di pertengahan muntahannya, tampak segerombolan binatang kecil seperti melesat keluar bersamaan dengan darah kenbtal yang dimuntahkannya. Semua muntahan gadis itu tertampung di dalam bumbung bambu yang dipegang Bujang Berani.


Asiong dan Jun Nyen terperanjat melihat kejadian di depan mata mereka. Dengan tangan masih menahan badan kekasihnya, Asiong bergidik ngeri dengan kening mengernyit saat melihat jelas apa yang dimuntahkan kekasihnya bersamaan dengan darah yang keluar dari mulutnya itu. Sekumpulan cacing, belatung, dan ulat yang bergeliat geliut di dalam bumbung bambu, beberapa batang jarum dan banyak helai rambut bercampur dan berenang dalam kentalnya darah yang berwarna merah tua kehitaman!!


Setelah memuntahkan semuanya, Ervina kembali tenang. Namun kesadarannya masih belum pulih. Gadis itu masih terduduk dengan ditopang Asiong dari belakang. Bujang Berani memberikan selembar daun sirih kepada Asiong.


"Usapkan di mulut Ervina sampai darahnya bersih dan buang daun itu ke dalam bumbung bambu." Kata Jun Nyen mengartikan perkataan Bujang Berani sesaat setelah dia memberikan daun sirih kepada Asiong.


Setelah Asiong melakukan semua yang diperintahkan, Tetua Iban mengusapkan telapak tangannya ke wajah Ervina sebagai penutup dari ritual pengobatan. Lalu Tetua Iban berkata sesuatu, saat itu kedua matanya tak lagi terpejam. Jun Nyen mendengar sambil mengangguk.


"Apa katanya?" Tanya Asiong.
"Ervina terkena tenung jahat dari daerah Bugis. Rohnya dikurung oleh pengirim tenung ini. Sebagai penggantinya, badannya diisi dengan roh jahat yang dikirim untuk membunuhmu. Setelah sukses, rohnya akan dibebaskan dan dia akan menurut manut kepada tuannya, dalam hal ini Roni."
"Seperti yang dikatakan Aih..." Ujar Asiong. Direbahkannya tubuh kekasihnya di dadanya dan tangannya mengusap sayang rambut pirang kekasihnya itu.


Jun Nyen mengangguk. "Ya, dan yang dimuntahkan Ervina itu adalah tenungnya." Pemuda itu bergidik. "Benar-benar tenung jahat."
Tetua Iban masih terus berkata-kata dan Jun Nyen langsung menterjemahkannya kepada sahabatnya.


"Tetua Iban bilang, Ervina tidak akan langsung sadar. Butuh waktu sekitar satu malam untuk menyatukan kembali roh dan badannya menjadi satu. Oleh karena itu, kita diminta menginap disini malam ini."
"Menginap disini?" Asiong menatap Jun Nyen dengan tatapan terkejut.

BAGIAN 79
"Ya, jiwanya akan kembali malam ini dan harus dalam lindungan ilmu Dayak Iban, agar sepenuhnya bisa kembali dengan selamat." Kata Jun Nyen. "Malam ini Tetua Iban akan melindungi Ervina hingga jiwanya menyatu kembali dengan badannya, sekaligus menghindari serangan lanjutan dari orang Bugis itu."


"Tak masalah. Apapun akan kulakukan untuk Vina." Jawab Asiong.
Jun Nyen mengangguk. Tetua Iban kembali berkata, sehingga Jun Nyen kembali memalingkan wajahnya.
Jun Nyen tertawa dan menjawab pertanyaan Tetua Iban. Untuk sesaat keduanya terlibat pembicaraan.


"Apa katanya?" Tanya Asiong.
"Dia bertanya apa kau suka berkelahi? Kujawab iya." Ujar Jun Nyen.


Tetua Iban berkata lagi dalam bahasa Dayak. Tampak Bujang Berani bangun dari duduknya dan bergegas meninggalkan mereka. Selang semenit kemudian, Bujang Berani keluar lagi dengan sebuah tas yang terbuat dari dedaunan yang langsung diserahkan kepada Tetua Iban.


Tangannya tiba-tiba merogoh sesuatu dari dalam tas yang terbuat dari daun-daunan itu. Dari dalam tas itu dikeluarkannya sesuatu lingkaran menyerupai gelang.


Lalu diarahkannya gelang itu di atas perasapan dan mulutnya berkomat kamit seperti membaca mantra. Beberapa detik kemudian, dia menyerahkan benda itu kepada Jun Nyen dan berbicara dalam bahasa Dayak kembali.


Jun Nyen mengambil benda itu dan menyerahkannya kepada Asiong. "Dia bilang kau harus memakai gelang ini. Cepat atau lambat kau akan membutuhkannya."


"Gelang apa ini?" Asiong mengambil gelang itu dan memperhatikannya. Sebuah gelang yang terbuat dari gading, dengan diameter kecil.
"Itu gelang untuk kekebalan. Sudah diisi dengan mantra alam yang masih murni khas Dayak Iban."
"Gunanya?"
"Selama memakai gelang ini. Bila dalam pertempuran, tubuhmu tidak akan terluka sedikitpun."
"Tapi kan..."
"Tetua Iban bilang, urusanmu dengan Roni akan terus berlanjut. Nyawamu terancam. Jadinya dia memberikan gelang ini untukmu."


"Kecil sekali. Mana mungkin bisa masuk ke tanganku?" Kata Asiong.
Tetua Iban berkata lagi.


"Julurkan lengan kananmu padanya." Ujar Jun Nyen. Asiong menurut.


Setelah melepaskan gelang rantai yang selalu dipakainya di lengan kanannya, lalu Asiong menjulurkannya lengan kanannya kepada Tetua Iban. Gelang yang dipegang pemuda itu dimintanya kembali.


Dengan menempelkan gelang itu di atas pergelangan tangan Asiong, Tetua Iban berkomat-kamit membaca mantra lagi. Bersamaan dengan selesainya mantranya dibaca, Tetua Iban menekan gelang itu ke pergelangan lengan Asiong.


Sebuah keajaiban terjadi. Gelang yang terbuat dari gading keras itu seperti karet menyusup melewati kulit dan daging di pergelangan tangan kanan Asiong, lalu terpasang dengan sendirinya tanpa menimbulkan rasa luka atau sakit sedikitpun.


Asiong dan Jun Nyen menatap keajaiban itu dengan mata terbelalak. Gelang gading itu kini telah terpasang di pergelangan tangan kanan Asiong!


Tidak hanya sampai disana saja. Luka goresan akibat terkena cakaran Ervina di dada Asiong mendadak menjadi dingin dan lukanya menutup dengan sendirinya. Bersih seperti tak pernah terkena gores sama sekali, kalau saja baju kaos pemuda itu tidak robek sebagai buktinya.


"Hebat!!" Asiong berdecak kagum menyadari kehebatan ilmu pedalaman Suku Dayak Iban. Hari itu dia mengalaminya sendiri. Jun Nyen juga tak kalah terkejutnya dengan kejadian aneh di depan matanya itu.
Tetua Iban tertawa dan kembali berkata.


"Gelang itu dihadiahkan kepada seorang pahlawan sepertimu. Hanya orang berjiwa pahlawan dan pemberani yang akan cocok dengan gelang itu." Jelas Jun Nyen lagi. "Gelang itu akan melindungi tuannya sampai akhir hayatnya. Tak ada satupun yang bisa membuka gelang yang sudah terpasang ini."


Asiong memperhatikan tangan kanannya yang kini telah memakai gelang gading suku Dayak Iban itu. Diputar-putarnya tangannya dengan perasaan senang bercampur kagum dan kaget.


"Ucapkan terima kasihku pada Tetua Iban." Kata Asiong kepada Jun Nyen yang langsung diterjemahkan oleh sahabatnya kepada Tetua Iban.
Tetua Iban tertawa kembali.


"Ada yang mau ditanya tidak katanya?" Kata Jun Nyen. "Pengobatan sudah selesai. Tinggal menunggu Ervina sadar saj
"Ada." Jawab Asiong spontan. "Tentang air Hu Dewi. Kenapa air itu sudah tidak bisa mempan kepada Vina setelah tiba disini? Padahal sepanjang perjalanan dari Jakarta hingga di sini, tak ada kendala sama sekali yang diberikan Vina kepadaku."


Jun Nyen menterjemahkan pertanyaan Asiong kepada Tetua Iban. Keduanya kembali berbicara dalam bahasa Dayak yang tidak dimengerti Asiong sedikitpun. Sambil menunggu keduanya berbircara, Asiong memasangkan gelang rantainya di pergelangan tangan kirinya.


"Begini Siong." Jun Nyen berkata setelah mendengar penjelasan Tetua Iban. "Air Hu Dewi itu ternyata bukan air yang sembarangan. Kekuatannya sanggup menenangkan arwah kiriman itu. Namun ketika tiba disini, Ervina memberontak itu semata-mata karena kekuatan air Hu Dewi sedang menyesuaikan diri dan menyatu dengan kekuatan Dayak Iban. Pada titik lemah itu, titik yang ditunggu-tunggu arwah kiriman itu, arwah tersebut beraksi. Padahal dua kekuatan tersebut belum sempat menyatu."


"Oh, jadinya begitu." Asong mengangguk. "Mengertilah aku sekarang."


Upacara ritual pengobatan Ervina selesai sudah. Saat itu matahari telah terbenam, pertanda hari telah berganti malam. Ervina ditidurkan di rumah betang dengan banyak penghuni Dayak yang berlalu lalang yang secara tidak langsung telah menjaganya.


Dengan perlindungan ilmu khas Dayak Iban dan dalam lingkungan Pedalaman Suku Dayak Iban yang masih kental dengan kekuatan alamnya, waktu pemulihan untuk Ervina dimulai...

BAGIAN 80
Waktu terus berjalan dengan cepat, namun bagi Asiong waktu seperti berjalan merangkak. Pemuda itu masih mencemaskan keadaan kekasihnya yang masih belum bisa dipastikan keadaannya.


Duduk di rumah betang dan bergabung bersama dengan Dayak Iban lainnya, Asiong menekuk kakinya duduk bersila di samping Ervina yang terbujur dalam ketidaksadarannya. Tangannya membelai rambut pirang kekasihnya itu. Jun Nyen duduk tak jauh di samping pemuda rantau itu. Keduanya sedang bercengkrama melewati malam bersama.


Saat sedang berbicara santai dengan sahabatnya itu, Asiong dikejutkan oleh getaran di kantong celana jeansnya. Disusul dengan nada yang berbunyi tak lama kemudian. Bunyi HP yang dibawa Asiong.


"Wah, bisa terjangkau juga ya sinyalnya..." Asiong mengambil ponsel dari saku celananya dan melihat siapa yang menghubunginya. "Wa pikir bisa tidak ada sinyal disini."


"Ya, halo..." Asiong mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Halo... Apa? Kurang jelas..."


"Coba ke depan, Siong..." Usul Jun Nyen.


"Bentar, Ce. Wa keluar dulu. Suara tidak jelas. Putus-putus." Asiong melirik sahabatnya dan berdiri dari duduknya. Lalu berjalan ke luar rumah betang.


"Ya, suara sudah agak jelas. Kenapa, Ce?" Asiong melanjutkan perkataannya. Yang meneleponnya adalah Chun Hwa.


"Bagaimana Vina, Siong? Udah ketemu Dayaknya?" Terdengar suara Chun Hwa dari saluran seberang. Walau masih putus-putus, namun masih lebih jelas dibanding di dalam rumah betang.


"Sudah ketemu, Ce." Jawab Asiong. Dia bercerita singkat tentang perjalanannya, juga tentang Ervina yang mendadak kerasukan itu.
"Air Hu Dewi sudah tidak mempan." Kata Asiong.
"Kok bisa?"


Asiong kembali melanjutkan ceritanya, termasuk yang dikatakan Tetua Iban itu.
"Lho, kok Ilmu Tenung Bugis sih, Siong?" Terdengar nada suara Chun Hwa yang kaget. "Aih kan bilang dari Suku Anak Dalam Kubu..."
"Wah, iya ya... Wa lupa." Asiong mengelus rambut gondrongnya dengan satu tangannya. "Aku sungguh lupa karena terlalu tegang disini, Ce..."
"Ya, wa ngerti kok." Chun Hwa menjawab dari saluran seberang. "Bukan Bugis tapi Kubu."
"Tapi kok Tetua Iban bilangnya Bugis ya?" Tanya Asiong.
"Coba tanya lagi aja, yang bener itu Bugis atau Kubu?" Kata Chun Hwa lagi.
"Iya, Ce. Terima kasih lho. Kalau Ce tidak bilang tadi, wa benar-benar lupa..."
"Gak apa-apa, Siong." Jawab Chun Hwa. "Papa Mama gimana?"


Asiong berbicara beberapa lama lagi dengan kakak kandungnya itu sebelum menutup pembicaraannya dan melangkah masuk lagi ke dalam rumah betang. Setelah duduk kembali di samping Ervina, pertanyaan yang mengusik pikirannya itu pun diungkapkannya kepada Jun Nyen.


"Wah, benar juga ya? Wa juga lupa lho kalau kau pernah cerita ilmu tenung Anak Dalam Kubu." Jun Nyen menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. "Jadi yang benar yang mana?"
"Boleh tanya Tetua Iban lagi tidak ya?" Tanya Asiong.
"Akan kucoba." Ujar Jun Nyen sambil berdiri. "Mudah-mudahan bisa terjawab. Tunggu disini."


Asiong mengangguk. Diliriknya gadis-gadis Dayak Iban yang duduk di rumah betang yang sama. Beberapa di antara mereka membalas lirikan pemuda itu sambil tersenyum.


'Gadis Dayak ternyata ada yang manis juga ya... Tak kusangka.' Gumam Asiong dalam hatinya. 'Tapi tak ada yang bisa menyaingi kecantikan Vina.'


Pemuda itu membungkuk dan mengecup kening gadis itu. "Cepat sembuh ya, Sayang." Bisik pemuda itu di telinga kekasihnya. Dibelainya rambut Ervina. "Aku ingin bisa melihatmu tersenyum lagi."


Tak berapa lama kemudian, Jun Nyen melangkah keluar dari dalam dan duduk di samping Asiong.


"Sudah dapat jawabannya, Siong." Jun Nyen tersenyum sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Apa katanya?" Asiong menatap Jun Nyen tak berkedip.
"Tadi waktu wa tanya Tetua Iban, dia seperti membaca, maksudku terawang..." Ujar Jun Nyen.
"Jawabannya..."
"Ya?" Asiong menaikkan alis matanya, penasaran dengan jawaban Jun Nyen.


Jun Nyen menghembuskan nafasnya sebelum melanjutkan. "Ilmu tenung gabungan, Suku Anak Dalam Kubu dan Suku Bugis."


"Hah?!" Terbelalak Asiong mendengar penjelasan Jun Nyen.
"Ya, dukun tenung itu ternyata keturunan dua suku, Kubu dan Bugis." Jun Nyen menjelaskan.
"Kok bisa?" Kening Asiong menjadi mengernyit bingung.
"Menurut Tetua Iban, dukun ini lahir di Suku Kubu. Ayahnya asli orang Kubu yang merantau hingga ke Bugis, Sulawesi dan berkenalan dengan seorang gadis Bugis disana." Kata Jun Nyen. "Namun, ayahnya terbunuh oleh teluh dari seorang yang membencinya. Ayahnya meninggal saat dukun ini masih anak kecil. Dari ibunya, dia mendapat cerita tentang ayahnya. Setelah mengetahuinya, dukun ini pun bersumpah untuk membalas dendam kematian ayahnya itu. Akhirnya dia mempelajari ilmu tenung Kubu dan Bugis selama bertahun-tahun."


"Dari cerita Tetua Iban, orang yang membunuh ayahnya ini adalah seorang wanita yang sakit hati dicampakkan cintanya. Dia mengirim teluh melalui seorang dukun ilmu hitam. Tak diketahui apa yang terjadi pada dukun ilmu hitam ini, namun wanita itu dikabarkan gila akibat tenung yang dilancarkan oleh dukun yang menyerang Ervina ini."


"Kejam!" Asiong berkomentar mendengar kisah yang diceritakan kembali oleh Jun Nyen. Diliriknya ponselnya. "Jam 8.47. Semoga besok pagi Vina sudah sembuh dan kembali kepada dirinya."
"Semoga, Siong." Jun Nyen menepuk pundak Asiong lagi. "Tetua Iban bilang dia akan bantu dengan doa sepanjang malam ini. Doa pengembalian jiwa."
"Begitu ya?" Ujar Asiong. "Ya, kita tunggu saja..."


Jun Nyen membuka tas ransel kecil yang dibawanya. Dari dalam tas itu dikeluarkannya beberapa bungkus roti yang kemudian dibagikannya kepada sahabatnya itu.


"Siong, makan dulu..." Kata Jun Nyen menawarkan roti kepada Asiong.
"Wa belum lapar." Jawab Asiong. "Simpan saja. Siapa tahu besok Vina sudah pulih. Simpan jatahku untuknya."


Sambil menggeleng kecil, Jun Nyen memasukkan kembali roti yang ditawarkannya tadi ke dalam tas ransel. Dia sendiri membuka sebungkus dan mulai memakannya.


Saat malam semakin larut, kedua pemuda itu pun berbaring seadanya mengistirahatkan badannya. Keduanya berharap ketika fajar menyingsing keesokan harinya, akan membawa suatu harapan baik yang dinantikan selama ini.


BERSAMBUNG ,,,,,,,






Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Tis HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-August 2010

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates