12/12/10

Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau



Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Bagian 141~150)

Bagian 141
Mobil yang dikemudikan oleh Buntara berhenti di sebuah tempat yang agak terpencil dari keramaian. Wajahnya terbengong melihat kondisi tempat yang sedang disinggahi mereka itu.

"Jadi, ini tempatnya?" Celetuk Jun Nyen sambil melihat ke sekelilingnya. "Kok sepi banget ya, gak ada banyak orang disini."

"Iya. Sepi banget." Buntara menyetujui. "Jangan-jangan kita salah tempat..."

"Gak mungkin. Kita kan sepanjang jalan mengikuti puntung rokoknya Asiong..." Kata Achiung. "Kemungkinan salah jalan itu kecil kalau sudah ada petunjuk begitu."

"Mestinya begitu." Sahut Buntara sambil memutar kunci mematikan mesin mobil.

"Ayo, kita keluar." Ajak Jun Nyen membuka pintu mendahului keduanya.

Achiung pun mengikutinya keluar dari dalam mobil dan menutup pintu sambil matanya menatap sebuah rumah berbentuk apartemen beberapa meter di hadapannya, namun tampak tak terurus.

"Tempat ini sepertinya tempat yang strategis untuk dijadikan markas penjahat." Sahut Achiung.

"Kau betul." Buntara menimpali sambil menutup pintu mobil. "Pantas aja sepi dan terpencil begini."

"Mau terpencil banget sih gak lah." Sahut Achiung. "Hanya jarang penduduk disini."

"Jangan-jangan hanya ada rumah itu aja..." Kata Buntara lagi.

Jun Nyen membungkuk dan mengambil sebatang puntung rokok. "Ini kode dari Asiong. Berarti benar dia ada disini."

"Tapi wa tak melihat motornya di sekitar sini." Kata Achiung. Diputarnya badannya sambil melihat ke sekeliling. "Kan dia tadi pergi naik motor."

"Pasti disembunyikan di tempat terlindung." Jawab Jun Nyen.

"Jadi benar hanya ada satu rumah disini?" Buntara menunjuk rumah berbentuk apartemen di depan mereka.

"Kemungkinannya begitu..." Achiung mengangguk. "Wa tidak melihat ada lagi rumah lain selain yang satu itu."

"Bagaimana?" Jun Nyen melihat kedua karibnya. "Sudah siap?"

"Ayo!" Sahut Buntara. "Walau wa sempat deg-degan nih..."

"Haha..." Terdengar suara tertawa dari Achiung. "Wa aja yang udah sering mengalami kejadian begini masih deg-degan. Gimana kau, Bun..."

"Apapun itu, Asiong membutuhkan kita di dalam." Jun Nyen mengingatkan. "Ayo, kita masuk."

"Bersiap akan segala kemungkinan yang akan terjadi..." Tambah Achiung mengikuti langkah Jun Nyen.

"Sekalian praktek, udah lama nih gak latihan..." Buntara tersenyum dan tak mau ketinggalan dengan keduanya melangkah ke dalam rumah berbentuk apartemen tersebut.

Sepanjang perjalanan, ketiga pemuda itu saling berdiam diri. Langkah-langkah pasti membawa mereka berdiri di depan pintu masuk rumah yang berbentuk apartemen itu.

"Oke, bagaimana kalau kita menyebar?" Tanya Jun Nyen.

"Boleh." Achiung mengangguk. "Wa lewat dari kiri."

"Wa ambil kanan." Kata Buntara.

"Kalau begitu wa lurus." Jun Nyen menjawab. "Bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Bila bertemu dengan Asiong atau Ervina, jangan langsung gegabah bertindak. Lihat situasi!"

"Oke!" Sahut Buntara dan Achiung bersamaan.

Sedetik kemudian, ketiga pemuda itu menyebar menjadi tiga arah. Jun Nyen berjalan lurus ke depan, Achiung ke arah kiri rumah dan Buntara ke arah kanan.

Pada saat yang hampir bersamaan, di sebuah ruangan, seseorang tampak baru tersadar dari pingsannya.

"Owwhhh..." Sosok itu mengeluh sambil memegangi kepalanya. Digoyangkannya sesaat kepalanya itu. "Pusing...."

Dengan menopang pada kedua tangannya, sosok itu mencoba bangun dari tertidurnya.

"Gila. Tendangan apa itu? Wa sampai terputar kena tendangannya." Gumam sosok yang bukan lain adalah Abui itu. Tangannya mengusap bagian wajahnya yang terkena tendangan.

Pemuda itu terkapar tak sadarkan dirinya akibat tendangan yang dilancarkan Asiong menghantam telak wajahnya. Cukup lama juga Abui terkapar dalam kegelapan dunia saat dirinya ditinggalkan Meilan dan yang lainnya ke ruang bawah tanah dengan membawa Asiong yang juga pingsan dibokong dari belakang oleh tongkat baseball oleh Meilan.

"Meilan... Dimana Meilan?" Abui mencoba berdiri dan kedua kakinya masih tampak sempoyongan. Rupanya efek dari tendangan Asiong masih terasa di badannya.

"Ruang bawah tanah..." Abui menggumam saat menyadari keberadaan adik sahabatnya itu. "Pasti disana..."

"Atau jangan-jangan Asiong telah mengacak-acak tempat ini?"

Mengingat hal itu, Abui segera melangkahkan kakinya mencari apa yang sudah terjadi pada saat dirinya tak sadarkan diri.

Sementara itu...

"Heh... Aneh. Kenapa tempat sebesar ini bisa tak ada penjaganya sama sekali?" Buntara berkata kepada dirinya sendiri saat berpisah dengan Jun Nyen dan Achiung dan mengambil arah kanan rumah. Sebuah arah yang membawanya ke sebuah ruangan kosong yang tak berpenghuni.

Dengan menempelkan punggungnya ke pintu dan membuka pintu dengan mengenyampingkan badannya, Buntara mengendap masuk.

"Tidak dikunci." Matanya melirik ke kanan dan kiri ruangan saat melangkah masuk ke dalamnya. Gerakannya pelan dan terkesan waspada.

Di ruangan itu berserakan beberapa kasur berukuran sedang di lantai dan kartu gaple yang tampak teronggok begitu saja di atasnya. Beberapa botol kosong bekas minuman dan bungkus rokok beserta puntung dan abunya menghiasi tempat tersebut.

"Kemungkinan ini ruang berkumpulnya anak buah Roni..." Bisiknya. "Tapi selain benda-benda ini, tak ada apa-apa lagi disini. Bahkan mejapun tak terlihat disini."

Hal yang hampir serupa juga ditemui oleh Achiung. Pemuda itu mengambil arah kiri rumah dan menemukan sebuah tangga yang menghubungkannya ke lantai atas. Perlahan kakinya menginjak anak tangga yang terbuat dari besi yang mulai berkarat itu.

"Sepi sekali untuk sebuah ukuran apartemen." Kata Achiung. "Apa karena anak buah Roni sudah kena tangkap semua waktu itu?"

Matanya menangkap sebuah ruang tamu berukuran sedang di lantai atas saat pintu di depannya dibuka. Tak ada yang istmewa di ruangan itu selain keadaan ruangan yang berantakan. Melangkah lebih masuk lagi, Achiung memeriksa tempat tersebut.

"Hmm..." Dengan rasa penasaran, pemuda itu membuka pintu yang ternyata adalah pintu sebuah kamar tidur.

"Kosong." Katanya lagi saat melihat kondisi ruangan yang tidak terurus. Hanya kasur dan botol-botol kosong yang menjadi isi utama ruangan itu. Selebihnya adalah koran-koran bekas dan sebuah lemari pakaian.

"Dimana Asiong ya?" Achiung mengelus kepalanya karena tak berhasil menemui ketuanya.

Di tempat yang tak jauh darinya berada, Jun Nyen yang berjalan lurus ke depan, menemukan sebuah koridor. Ditelusurinya koridor tersebut. Hanya ditemani oleh beberapa lampu neon yang dipasang di tempat yang agak berjauhan, pemuda itu berjalan sambil mewaspadai akan sesuatu yang terjadi mendadak.

Ketika sampai di jalan koridor yang berbelah, langkah Jun Nyen terhenti sesaat. Raut wajahnya tampak bingung menentukan ke arah mana dia harus melangkah.

"Lurus atau belok?" Gumam Jun Nyen. Termangu sesaat, seperti sedang berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk mengambil jalan yang berkelok.

"Rumah ini besar, namun tak ada penghuni." Katanya lagi sambil melangkah ke koridor di sebelah kirinya.

Tepat pada saat kakinya baru menginjak lantai di koridor sebelah, telinganya seperti menangkap sesuatu.

"Apa itu?" Seru Jun Nyen. Spontan pemuda itu berdiri menyandar ke dinding koridor sebelah dan mendengarkan lebih seksama. Samar-samar terdengar olehnya suara langkah kaki.

"Seperti suara langkah kaki diseret." Bisiknya. "Berarti ada orang lain selain wa disini."

Jun Nyen berdiam diri sambil terus menempelkan punggungnya ke dinding dan menunggu. Suara langkah kaki semakin lama semakin dekat.

"Kalau benar Asiong mengacak-acak tempat ini, matilah wa!" Terdengar suara yang seperti berkata pada dirinya sendiri.

"Apa itu? Seperti ada yang menyebut nama Asiong?" Kata Jun Nyen. Langkah kaki semakin lama semakin mendekat.

Sambil terus menunggu dengan jantung berdebar, Jun Nyen mendengar langkah tersebut berhenti. Tepat di ruas koridor yang terpecah.

"Kok berhenti?" Kata Jun Nyen lagi. "Siapa?"

"Coba wa lihat ruang bawah tanah dulu. Siapa tahu mereka ada disana semuanya." Terdengar suara yang kembali bergumam tak jauh darinya.

"Suara itu!" Jun Nyen membelalakkan matanya. "Kurang ajar!"

Jun Nyen membiarkan sosok itu melangkah mendekat, mendekat dan semakin mendekat, bahkan nyaris sejajar dengan tempatnya bersembunyi. Di tepi koridor.

"Ini saatnya." Jun Nyen berkata. Tangannya yang terkepal mulai melayang ke depan.

Bagian 142
"Vina... Kau liat sendiri kan sekarang?" Meilan berkata sambil melirik ke arah Ervina yang sudah bersimbah air mata itu. "Cinta memang luar biasa!"

"Tapi cinta juga sekaligus menyakitkan!!" Meilan mengayunkan tongkat baseball yang dipegangnya dan...

BUKKKK!!

Tongkat itu menghantam tulang lengan atas Asiong yang terikat itu. Saat pukulan tersebut masuk, tak ada sedikitpun wajah Asiong mengernyit.

"CUIHHH!!" Dengan mata melotot penuh amarah, Asiong meludahi wajah Meilan dengan kencang.

"Kurang ajar!" Meilan memekik keras sambil menghapus air liur yang mengalir di wajahnya itu dengan lengan bajunya.

"Berani kau meludahiku, Ko Asiong?" Gadis berambut pendek itu berteriak dengan mata melotot.

"Kenapa tidak?" Sahut Asiong menantang. "Bahkan akan wa tambah lagi!!"

"CUUUUIIHHHHH!!!"

Air ludah dalam jumlah yang cukup besar kembali dilontarkan Asiong ke wajah Meilan. Entah merasa jijik atau apa, Meilan terpekik dan melompat mundur.

"Sialaannn!!" Gadis itu kembali menghapus wajahnya yang penuh dengan ludah mantan kekasihnya itu.

Matanya memelototi Asiong dengan tatapan kesal. "Wa tak mau lagiii..."

Meilan memekik sambil menyerahkan tongkat baseball tersebut kepada Roni, yang segera mengambilnya.

"Mendekatlah! Pukul!" Tantang Asiong sambil memajukan badannya. "Atau kalian akan seperti cewek sialan itu!!

Roni yang sedang memegang tongkatpun menjadi ragu dengan tantangan Asiong itu. Sebagai pimpinan, dia merasa emoh mendapat ludahan seperti itu, apalagi dari seorang musuhnya.

"Kurang ajar kau, Ko! Aku bukan cewek sialan seperti yang kau bilang!" Meilan membentak.

"Kalau bukan, apa? Perempuan jalang! Sundel!" Teriak Asiong tak mau kalah. "Pengecut! Bisanya hanya membokong dari belakang!"

"Kurang ajar!" Meilan berteriak dan menyambar tongkat yang berada di pegangan Roni. Gadis itu terpancing oleh kata-kata Asiong dan ingin maju menghajar pemuda itu kembali.

"Tunggu!!" Roni mengangkat tangannya saat Meilan hendak maju dan menghajar Asiong kembali. "Jangan gegabah!"

"Kalau mau mengalahkan Asiong, bukan begitu caranya." Sambung Roni lagi. Dia melangkah pelan ke arah Ervina yang terikat di kursi.

"Mau apa kau?!!" Asiong berteriak saat melihat Roni mendekati kekasihnya yang masih terus menangis itu.

"Lihat kan?" Roni mendengus. "Ervina ini kartunya!"

Dengan tangannya, Roni menjambak rambut pirang Ervina, membuat wajah cantik sang gadis terdongak dengan suara tersentak yang tertahan.

"Cantik..." Sebelah lengan Roni menepuk pipi Ervina yang telah basah oleh air mata itu. "Pantas saja Asiong membelamu habis-habisan..."

"Lepaskan Vina!" Teriak Asiong. Badannya meronta dalam ikatannya.

"Meilan!" Kata Roni menatap Meilan. "Kau pukul saja dia! Kalau dia berani meludah, gadis ini akan kutampar!"

"Seperti ini!"

PLAAKKKK!!!

"Mmmmbbbpphhhh!!!" Ervina mengerang dalam ikatannya. Rasa sakit di pipinya akibat tamparan Roni dan terlebih jambakan di rambutnya belum dilepaskan, membuat gadis itu meringis.

"Sialan kau, Ron!" Teriak Asiong.

"Kau bisa apa, Koko?" Meilan yang merasa mendapatkan kembali kekuatannya, kembali mengayunkan tongkat baseballnya.

BUKKK!!!

Tubuh Asiong sampai terlipat ke dalam akibat hantaman tongkat di dadanya. Dan kembali.

BUKKK!!!!

BUUUAAAGGGHHH!!!

Seperti kata Roni, Asiong tak lagi bisa meludahi Meilan yang bertubi-tubi memukulnya. Pemuda rantau itu tak mau mengambil risiko kekasihnya ditampar kembali oleh Roni.

Sementara Ervina yang melihat Asiong menahan dan menderita akibat pukulan yang terus menerus menghantam badannya, namun tak bisa membalas, membuat tangisnya semakin meledak. Air matanya yang sudah meleleh, semakin deras mengucur di wajahnya.

"Hahahahaha... Bagus! Bagus sekali!!" Roni tertawa melihat penyiksaan di depan matanya itu. "Tak bisa melawan lagi kan?"

Saat itu Lukman yang sedari tadi terdiam, melangkah mendekati Roni dan berbisik kepadanya. Mata Roni melirik ke arah Asiong yang masih terus mendapat pukulan demi pukulan dari Meilan, sembari mendengarkan bisikan Lukman, tangan kanannnya itu.

"Kau betul!" Mendadak Roni melepaskan jambakannya di rambut Ervina. Gadis itu menggoyangkan kepalanya begitu rambutnya terbebas dari jambakan.

Pada saat yang bersamaan, merasa strateginya sudah tak berhasil, Asiong memutar otaknya dan menjalankan strategi lainnya.

'Aku tak mungkin begini terus.' Katanya dalam hati. 'Vina dalam bahaya. Walau badanku tak sakit sedikitpun, tapi kalau aku terus melawan mereka, bisa-bisa nasib kami berdua berakhir parah.'

'Aku musti pura-pura sakit. Sambil menunggu ikatan ini dilepas.' Katanya lagi. 'Aku harus lemas, tak bertenaga. Dengan begitu berharap mereka akan melepaskan ikatanku. Andai saja kawan-kawan sudah tiba disini...'

BUUKKK!!!

Asiong mengernyitkan wajahnya, pura-pura kesakitan. Setelah menyarangkan tiga kali pukulan lagi, Meilan menghentikan siksaannya. Tubuhnya bersimbah peluh dan nafasnya tersengal-sengal. Asiong sendiri berpura-pura jatuhkan kepalanya menunduk seperti telah kehabisan tenaga.

"Sudah. Wa capek..." Kata Meilan sambil menatap Roni. "Kau saja kalau mau..."

"Tidak perlu..." Sahut Roni. Rentenir itu berjalan ke arah Asiong, memperhatikan pemuda itu sesaat.

Semua yang terjadi disana tak lepas dari pendengaran dan penglihatan Asiong yang berpura-pura menunduk kesakitan dan kehabisa tenaga itu. Termasuk Roni yang mendekatinya tersebut.

"Mustahil." Kata Roni sambil gerakan lengannya menyentuh badan Asiong yang bajunya sudah kotor dan mulai robek di sebagian tempat. Semua akibat pukulan yang dihantam terus ke badannya.

"Aaakkkhhhh..." Asiong menjerit saat Roni menyentuh badannya. Kepalanya terangkat dan wajahnya meringis kesakitan.

"Bagaimana kalau ini?" Roni memindahkan tangannya. Kembali Asiong meringis saat rentenir trsebut menyentuhnya.

"Sakit ya?" Roni mendengus.

Berapa kalipun Roni mencoba memegang badan Asiong, berapa kali juga Asiong menjerit kesakitan. Beberapa kali kepalanya terangkat dan sambil menjerit kesakitan, sebelah matanya mengerdip. Bukan mengerdip kesakitan, namun lebih condong ke kerdipan tanda, seakan memberikan isyarat kepada seseorang. Sikapnya yang berpura-pura tersebut memang berhasil mengelabui semua mata penjahat yang ada di ruangan itu, namun tidak bisa membohongi mata seseorang.

'Alex...' Ervina berkata dalam hatinya. 'Jahatnya kamu. Aku pikir kamu benar kesakitan. Ternyata... Ahh... Aku juga lupa akan gelang yang kamu bilang itu...'

'Kalau begitu, tak ada lagi yang perlu aku takutkan. Alex, kamu benar-benar berani mengambil semua risiko ini. Kalau begitu, aku juga takkan ragu lagi sekarang...'

Roni menjambak rambut Asiong yang telah dipotong pendek itu. Saat wajahnya diangkat, kedua mata Asiong terpejam dan bibirnya mengeluh.

"Bagus! Sudah tak bisa lagi!" Kata Roni sembari tertawa lebar. Matanya melirik ke lelaki tua yang didampingi dua lelaki berbadan kekar itu. "Papa, boleh pinjam tukang pukulmu untuk membuang pemuda sialan ini?"

"Saatnya pemuda ini dibunuh!" Sambung Roni sambil tertawa menyeringai.

'Apa? Alex mau dibunuh?' Kata-kata Roni kembali membuat Ervina, yang sudah tenang dan tak lagi bimbang, kini menjadi panik kembali. 'Alex mau dibunuh katanya?'

Bagian 143
BUKKHH!!

"Aaooohhhh...." Sosok yang berjalan di samping Jun Nyen menjerit kesakitan saat wajahnya dengan telak terhantam sekelebatan tinju yang mendarat di wajahnya. Membuat badannya limbung dan sempoyongan untuk beberapa saat lamanya.

"Halo, Abui. Kita berjumpa kembali!" Jun Nyen muncul dari persembunyiannya sambil membunyikan jari-jarinya.

"Kau..." Abui menatap Jun Nyen dengan tatapan terbelalak.

"Kenapa? Bingung liat wa?" Jun Nyen bergerak maju saat melihat Abui sempoyongan. Dengan sekali gerakan, tangannya berhasil mencekal lengan baju lawannya. Begitu mencekal, didekatkannya badan Abui sehingga hidung lawannya nyaris menempel dengan hidungnya.

"Pertarungan kita waktu itu belum selesai." Jun Nyen menggemeretakkan giginya. Dengus nafasnya berhembus jelas di depan hidung Abui.

Setelah berkata begitu, Jun Nyen melepaskan cekalannya dengan mendorong tubuh Abui. "Kita selesaikan sekarang, disini!"

Abui yang didorong mencoba berdiri dengan tegak. Jun Nyen masih menunggunya berdiri dengan benar dan memasang kuda-kuda menyerang.

"Baik kalau memang itu maumu!" Sahut Abui. Tangannya terkepal dan badannya membentuk kuda-kuda bertarung.

Jun Nyen belum bergerak, menunggu Abui maju menyerang terlebih dulu. Abui juga terdiam tak melancarkan serangan terlebih dulu.

"Kenapa diam? Kau takut?" Jun Nyen mencoba memancing amarah lawannya.

"Abui tak pernah takut pada siapapun. Hiiiaaaa!!" Terpancing oleh kata-kata lawan, Abui maju menyerang.

Serangan tangannya dengan mudah dielakkan oleh gerakan kepala Jun Nyen ke samping. Namun Abui masih melanjutkan dengan pukulan keduanya, sebuah hantaman yang ditujukan di dada lawan.

Jun Nyen mengelak dengan menghindarkan badannya ke samping. Melihat serangannya gagal lagi dan terbayang oleh serangan Asiong di pertarungan sebelumnya, Abui menjadi lebih waspada. Dia menengok ke arah Jun Nyen bergerak dan dengan sikunya, pemuda itu melancarkan kembali serangannya.

"Seranganmu masih bisa terbaca, Bui." Kata Jun Nyen yang merunduk menghindari siku tangan Abui yang menggebrak masuk itu.

"Yang benar itu seperti ini." Jun Nyen melancarkan serangan pertama. Tangannya membentuk siku dan menghantam dada Abui.

"Uuhhhkkkk!!" Abui mengeluh saat dadanya terhantam siku Jun Nyen. Pemuda itu mundur beberapa tindak karenanya.

Namun sepertinya Jun Nyen tidak memberinya kesempatan. Saat Abui terseret mundur oleh hentakan siku di dadanya, Jun Nyen kembali menyerang.

Melihat Jun Nyen maju menyerang, Abui kembali mengepalkan tangannya dan melancarkan pukulan. Kembali pukulannya berhasil dihindarkan oleh Jun Nyen dengan menarik badannya ke belakang.

"Kena kau sekarang!" Abui tersenyum saat melihat badan Jun Nyen yang terbuka itu bisa menjadi sasaran serangan yang empuk. Tangannya bergerak menyerang.

Namun Abui salah langkah. Dia menduga Jun Nyen menghindari serangannya dengan menarik badannya ke belakang. Bahkan Abui sampai menduga akan bisa menyerang Jun Nyen dengan telak saat dada pemuda tersebut terbuka.

Bersamaan dengan Jun Nyen menarik badannya ke belakang, kedua lengannya membentang ke bawah dan pinggangnya menjadi lentur. Telapak tangannya menopang lantai dan badan bawahnya terangkat.

DIESSSHHH!!!

"Uuuaaakkkhhhh!!" Abui menjerit dan...

BRUUAAKKKK!!

Badan Abui terjatuh terjengkang akibat tendangan kayang yang dilancarkan Jun Nyen mendarat telak di dagunya. Ternyata Jun Nyen bukan saja bergerak menghindar, namun juga sekaligus melancarkan serangan balik yang berakibat fatal kepada lawannya.

Fatal, karena Abui kembali sempoyongan dan terkapar dengan pandangan berkunang-kunang akibat terhantam dagunya oleh sepakan kaki Jun Nyen dalam tendangan kayang itu.

Sementara Jun Nyen kembali pada posisi berdirinya, Abui mulai kehilangan kesadarannya kembali.

"Mainlah ke Pontianak dan kau akan tau siapa Jun Nyen! Spesialis tendangan kayang!" Jun Nyen berkata sambil menepuk telapak tangannya membersihkan debu yang menempel.

Abui masih tak percaya dengan apa yang baru dialaminya. Dia mencoba bangun dari terkaparnya, namun sepertinya badannya tak bisa diajak berkompromi lagi. Pandangannya mendadak menjadi gelap dan sesaat kemudian ketidaksadaran kembali menguasai dirinya.

"Wah, baru segitu aja udah pingsan..." Jun Nyen berkomentar saat melihat Abui sudah semaput. "Ya sudahlah. Padahal wa baru aja pemanasan. Belum juga panas, udah pingsan duluan."

"Payah!" Jun Nyen membalikkan badannya meninggalkan tempat itu menuju koridor yang tadi ingin dikunjunginya.

"Tapi wa juga payah. Bisa-bisanya pingsan dihajar orang payah seperti dia." Imbuhnya lagi. "Payah kau, Jun Nyen. Sama payahnya kau dengan si payah itu..."

Disaat yang bersamaan...

"Heh, apa ini?" Buntara berjongkok sambil tangannya membersihkan debu yang menempel di lantai. Di depannya tampak sebuah kait terpasang di lantai.

"Sumur?" Gumamnya. "Masakah ada sumur di dalam ruangan begini?"

"Gila aja kali. Atau memang ada maksud tertentu dengan dibuat sumur di tengah ruangan begini."

"Bagaimana kalau ini gue buka?" Buntara menggenggam kait yang menyerupai gagang sebuah pintu dan dia menariknya.

Sementara itu...

Merasa tak berhasil menemukan Asiong di ruangan yang dimasukinya saat itu, Achiung iseng-iseng membuka lemari pakaian yang kebetulan tidak dikunci.

"Heh, kok gak ada pakaian?" Matanya terbelalak melihat isi lemari yang kosong dan hanya dua buah tiang besi yang menancap di dalamnya. Disentuhnya tiang besi itu dan digoyangkannya.

"Wah, baru sekali ini wa liat lemari kayu ada tiang besinya." Katanya sambil melirik ke lantai lemari.

"Lho..." Achiung membungkuk dan melihat lantai lemari yang terbuat dari papan yang dilubangi di bagian tengah untuk tempat masuk tiang pancang. Namun ada keanehan yang membuat matanya tak bergeming disana.

"Diameter ini, terlalu lebar untuk ukuran tiang yang tergolong kecil ini." Ujarnya. Tangannya menyentuh papan yang menjadi lantai lemari. "Aneh banget rancangannya. Gak cocok pada lemari deh."

"Ini..." Matanya semakin terbelalak saat tangannya sempat bergetar dan tak disengaja papan tampak terangkat sedikit saat jarinya menyusup ke dalam diameter papan. Perlahan, dengan bertumpu pada diameter lubang, diangkatnya papan tersebut.

"Wah..." Matanya berbinar saat melihat sesuatu di depannya. Papan yang terangkat dilemparnya ke sampingnya.

"Jadi ingat Batman kalau udah begini..." Achiung melompat maju sambil berpegangan pada tiang besi di depannya dan membiarkan dirinya meluncur ke bawah.

"Achiung masuk ke goa Batman..." Celoteh pemuda itu saat meluncur turun sambil berpelukan pada tiang.

Kembali kepada Asiong dan Ervina...

Dua tukang pukul Ahmad Susilo yang dipanggil oleh Roni untuk melepaskan ikatan di tubuh Asiong mendekat dan melaksanakan perintah anak majikannya. Keduanya dengan sigap melepaskan tali tambang yang mengikat tubuh pemuda keturunan tersebut.

Saat tali yang mengikat tubuhnya dilepaskan, tubuh Asiong terkulai bagaikan tak bertulang. Sambil menunggu tenaganya pulih, Asiong berpura-pura tak berdaya.

'Kawan-kawan belum tiba. Aku masih harus mengulur waktu.' Katanya dalam hati. 'Selama Vina masih di tangan mereka, keadaan masih belum aman.'

"Bunuh saja!" Sahut Roni kepada keduanya. "Toh dia sudah tak bisa lagi melawan."

"Ya, mustahil bisa melawan dengan badan memar remuk seperti itu..." Timpal Ahmad Susilo tertawa.

Dua orang anak buah Ahmad membopong tubuh lemas Asiong yang babak belur itu. Ervina semakin menangis melihat itu. Gadis itu menggeleng-geleng melihat kenyataan yang terjadi di depan matanya.

'Tidak... Jangan bunuh Alex.' Ervina menjerit. Namun suaranya hanya bisa terdengar dalam hati. Air matanya yang tadi sudah berhenti, kini kembali menetes.

Melihat reaksi Ervina, Roni bagaikan kesetanan, melepaskan ikatan di badan Ervina, membiarkan gadis itu berdiri, namun dengan tangan masih terikat di belakang tubuhnya.

Ervina melotot menatap Roni yang membuka ikatannya itu. Namun, Roni hanya tersenyum menyeringai. Bahkan, ingin gadis itu menyaksikan kematian Asiong dengan mata kepalanya sendiri, kain yang mengikat dan menyumpal di mulut Ervina dibukanya.

"Lihatlah Asiong! Jangan lihat saya, Vina!" Roni berkata. "Sebentar lagi pacarmu itu akan meregang nyawa."

Roni tertawa lebar. Dipegangnya dagu gadis itu.

"Bunuh aku, keparat!" Ervina membentak Roni saat dagunya dipegang seperti itu.

Tertawa Roni semakin terdengar setelah perkataan Ervina. "Membunuhmu?"

"Kalian memang pasangan sejati!" Ujar Roni. "Jangan khawatir, Vina. Jangan khawatir."

"Aku sayang padamu. Kau takkan kubunuh." Sambungnya. "Tapi kau harus minta ampun kepadaku dan kau akan selamat!"

"Jangan harap! Puiihhh!!!"

Namun dalih-dalih meminta ampun, justru Roni mendapat semprotan ludah dari mulut Ervina. Spontan gadis itu ditampar hingga duduk berlutut di tanah.

"Kurang ajar!!" Dengan sebelah tangan, Roni menghapus ludah di wajahnya. Sebelah tangannya lagi, menjambak rambut pirang Ervina hingga gadis itu terdongak wajahnya dengan mengernyit kesakitan.

"Serahkan dia padaku!" Sahut Meilan melihat kejadian di depannya. "Biar aku yang membereskannya!"

"Ohhh... Begitu??" Roni mengangkat alisnya. "Silakan, silakan! Saya juga sudah bosan padanya! Gadis tak tau diuntung!"

Dengan menyeringai lebar, Meilan melangkah mendekati Ervina yang sudah mulai meringkuk ketakutan itu. Asiong yang diharapkan bisa membantunya, masih terkulai tak bergerak dipapah dua lelaki kekar.

Pada saat-saat genting dimana nyawa sepasang kekasih itu sedang terancam, tiba-tiba terdengar suara yang muncul mendadak begitu saja ke tempat tersebut.

"Oh, jadi ini tempatnya!" Terdengar suara seorang lelaki yang meluncur turun dari sebuah tiang. "Ruang bawah tanah!"

"Gagal deh wa jadi Batman!" Pemuda itu turun menjejakkan kakinya di lantai sambil menepuk-nepuk debu yang menempel di badan dan tangannya. Berdiri agak tersembunyi di ruangan tersebut.

BUMM!!

"Apa itu?" Semua mata berpaling kepada suara baru yang muncul mendadak itu.

"Uuppss!!" Selang beberapa detik, sebuah suara lain terdengar. Suara yang sebelumnya didahului oleh suara berdebam.

Semua mata di ruangan itu teralih ke sosok yang tengah berguling dari suara berdebam jatuh itu. Berguling ke tengah ruangan, berbaur dengan yang lainnya disana.

"Gak enak amat sih sumurnya. Kering banget." Ujar sosok itu sambil berdiri cecengesan dan menepuk-nepuk debu. Matanya tampak 'kaget' melihat pemandangan di depannya. "Lho, udah ramai ya? Kirain gue telat datang."

Bersamaan dengan selesainya sosok yang bukan lain adalah Buntara itu berkata, sebuah bunyi berdebam lainnya terdengar. Pintu masuk ruangan bawah tanah roboh ke tanah ke bagian dalam ruangan.

"Sorry, Siong. Telat!" Seru sosok yang masuk dari debu-debu yang beterbangan akibat jatuhnya pintu yang didobrak dari luar.

Di saat semua mata terpaku dan pandangan melongo kepada ketiga pemuda yang mendadak menyerbu masuk itu, Ervina justru tersenyum menyambut kedatangan mereka dan matanya berbinar kembali. "Achiung, Abun, Jun Nyen! Kalian datang!"

"Ya, kami datang, Siong!" Seakan tak mau kalah, Achiung ikut berseru. "Hai, Vina!"

"Wa juga!" Buntara menimpali. "Jangan lupakan wa!"

'Kawan-kawan...' Asiong yang mengetahui kehadiran ketiganya dengan penuh kejutan itu, tersenyum dalam kepura-puraannya. Diam-diam kedua tangannya telah mengepal kencang.

Bagian 144
Kedatangan ketiga pemuda yang muncul mendadak itu membuat situasi yang tadinya berat sebelah, kini menjadi seimbang. Bahkan komplotan Roni sama sekali tak menyangka akan kemunculan yang serba mendadak tersebut.

"I...Ini..." Roni menatap tak percaya pada ketiga pemuda yang muncul dengan mendadak itu. Matanya terbelalak lebar.

Sementara Meilan yang tadinya ingin mendekati Ervina, mengurungkan niatnya mendapat kejutan dari orang-orang yang merupakan orang yang ingin dihindarinya. Seperti Roni, matanya juga menatap tak percaya pada ketiga pemuda itu.

"Si... Siapa mereka, Ron?" Hanya Ahmad Susilo yang tidak mengenali mereka saja, yang masih sempat bertanya kepada putranya akan ketiga pemuda tersebut. Namun, Roni merasa lidahnya sudah kelu mendapat kejutan itu.

"Kenapa jadi diam, Roni? Kau terkejut?" Asiong yang berpura-pura tak berdaya itu mengangkat kepalanya dan menatap Roni dengan pandangan menusuk. Kedua lengannya masih disampirkan di atas pundak kedua bodyguard Ahmad, yang juga masih belum hilang rasa kagetnya.

Kedua tangan Asiong mengepal kencang. Hal mana membuat kedua lelaki yang memegang pergelangan tangannya tersentak. Namun hal itu tidak cukup untuk membuat mereka sadar apa yang akan terjadi berikutnya.

Di saat keduanya masih terbengong dengan perubahan mendadak pada diri Asiong, pemuda itu bergerak selangkah lebih cepat. Dengan menggunakan lengan bawahnya, Asiong mengaitkannya di leher kedua tukang pukul tersebut dan dengan gerakan cepat, lengannya bergerak...

DIEESSSHHH!!!

"Uggghhhh!!"

"Aaakkkhhhh!!!"

Kedua lelaki tukang pukul Ahmad berseru kesakitan saat Asiong mengadu kepala keduanya satu sama lain. Akibatnya kepala keduanya saling membentur dan membuat mereka menjadi sempoyongan karena pening. Tangan keduanya langsung memegangi kepala masing-masing dan kelimpungan dengan kaki goyah.

Roni melihat kejadian mendadak itu dengan tatapan kaget. Terlebih saat melihat Asiong sudah berdiri kembali dengan tegak, seperti tak terjadi sesuatu apapun pada badannya yang telah dihantam berpuluh kali tersebut.

"Ke... Kenapa... Kenapa...?" Meilan terbelalak melihat mantan kekasihnya masih bisa menyeringai sinis kepadanya.

"Bukankah badannya sudah remuk hancur?" Meilan menoleh kepada Roni yang tidak menjawabnya.

"Kurang ajar!" Ahmad berteriak saat melihat kedua tukang pukulnya membungkuk kesakitan sambil memegangi kepalanya yang terhantam keras itu. Sepertinya dia tidak bisa menerima kedua kacungnya dihantam seperti itu.

"Jangan kau kira dengan sok pahlawan begitu, kau bisa menang melawan Roni!" Ujar Roni sambil gerakkan lengannya dan tahu-tahu....

"Aaaooowww!!" Ervina yang berada tak jauh dari Roni menjerit saat rambutnya terjambak dan tubuhnya ditarik mendekat oleh rentenir itu.

"Vina..." Asiong dan Jun Nyen nyaris berteriak bersamaan saat melihat Roni menarik badan Ervina.

SRRINGG!!!

Sebilah pisau lipat terhunus secara mendadak di tangan Roni. Ervina yang terpiting lehernya oleh lengan Roni hanya bisa pasrah saat merasakan lehernya tertempel logam dingin.

"Bergerak sedikit saja, kulit mulus ini akan menjadi merah!" Roni berkata sambil menodongkan pisau di leher Ervina dengan satu tangan dan satu lengannya lagi memeluk badan gadis itu. Walaupun badannya sedikit lebih tinggi dibanding Ervina yang memang sudah tinggi itu, Roni dengan mudahnya menyandera sang gadis.

"Sial!!" Asiong semakin kencang mengepalkan tangannya melihat kekasihnya menjadi sandera musuhnya. Matanya melirik sekilas ke arah Achiung yang berdiri agak jauh dari mereka dan berada di belakang Roni. Sementara Buntara berada di tengah bersama dengan dirinya dan Jun Nyen yang sudah bergabung di sampingnya.

Baik Buntara maupun Jun Nyen tak bisa berbuat banyak menghadapi Roni yang sedang memakai Ervina sebagai sandera. Keduanya hanya bisa berdiri terbengong, seperti halnya yang dilakukan Asiong.

'Keselamatan Vina terancam. Aku tak mau bertindak gegabah!' Gumam Asiong dalam hatinya. Matanya terus menerus melirik mempelajari suasana di tempat itu. Achiung sendiri berdiri tak bergerak, menunggu perkembangan yang terjadi. Terakhir, matanya melirik ke arah Ervina yang memperlihatkan ekspresi ketakutan dengan pisau yang menempel di lehernya itu. Kedua tangannya memegang erat lengan Roni yang sedang memegang pisau itu.

"Tangkap mereka!" Melihat keempat pemuda tersebut sudah tak bisa berkutik, Roni lantas memerintah kedua anak buah Ahmad dan juga Lukman, tangan kanannya.

Mendengar perintah Roni, kedua anak buah Ahmad yang masih pusing itu berusaha berdiri mendekati Asiong, Jun Nyen dan Buntara yang berada di tengah.

"Kau, yang di belakang! Maju kesini!" Dengan ujung matanya, Roni mendelik menatap Achiung dan mengancamnya. Meilan mendekati pemuda itu dan mencoba menyeretnya. Achiung masih terpaku di tempatnya dan tak mau bergerak saat itu.

"Lakukan! Aku tak segan-segan melukai gadis ini!" Teriak Roni melihat Asiong dan ketiga pemuda tersebut masih tak bergerak saat didekati.

Merasa keadaan semakin tak menguntungkan, Asiong mengangkat kedua tangannya, pertanda menyerah sambil berharap bisa mengulur waktu untuk mencari kesempatan bertindak. Melihat Asiong mengangkat tangannya, mau tidak mau Buntara dan kedua sahabat Asiong pun mengikutinya.

Ervina yang sedang ditodong pisau di lehernya itu tentu saja melihat semua yang terjadi di depan matanya dengan jelas. Kekasihnya beserta tiga pemuda yang dikenalnya, yang sekiranya bisa menolongnya, justru kini berbalik terancam.

'Kalau begini, sama saja bohong. Kedatangan kalian kesini percuma.' Bisik hati Ervina. 'Malah kalian ikut mengantar nyawa kalian.'

'Tidak boleh. Aku tak boleh menyerah. Nyawa Alex dan teman-temannya ada di tanganku.'

'Aku harus bisa melakukan sesuatu.' Gumam gadis itu. Saat itu dilihatnya Asiong dan ketiga pemuda tersebut sudah mulai terpegang tangannya oleh musuh.

"Hahahaha..." Roni tertawa merasakan kemenangannya. Tertawanya diikuti oleh Ahmad Susilo yang membahak.

'Aku musti bagaimana?' Desis Ervina. 'Semakin lama akan semakin parah. Ayo, Vina, berpikir, berpikir.'

Roni dan ayahnya semakin tertawa lebar saat melihat kedua lengan Asiong sudah teringkus oleh salah satu anak buah ayahnya, begitupun dengan Buntara yang teringkus oleh anak buah yang satunya. Jun Nyen sendiri tak memberi perlawanan saat lengannya ditelikung oleh Lukman di belakang tubuhnya. Terakhir, Achiung berjalan pelan ke tengah ruangan dengan Meilan mendorongnya dengan tongkat baseball dari belakang punggungnya.

'Aku tidak suka keadaan ini. Alex dan teman-teman, maafkan aku.' Ervina mulai putus asa saat melihat keempat pemuda tersebut kembali teringkus oleh musuh. Kakinya yang menunjang badannya mulai bergetar seiring ketakutannya yang semakin bertambah. Secara tak sengaja, kakinya yang bergetar menyentuh ujung sepatu Roni yang menyanderanya.

'Oh ya, aku tahu!' Ervina membelalakkan matanya saat menyadari sesuatu. Pandangannya terarah kepada kekasihnya, yang juga sedang menatapnya saat itu. Pada saat kedua pasang mata kekasih tersebut saling bertatapan, Ervina seperti mendapatkan sebuah ilham.

'Alex, terima kasih. Serahkan padaku...' Gadis itu menatap lekat sepasang mata Asiong. Wajahnya yang semula ketakutan itu perlahan berubah ekspresi.

'Vina... Pasti kamu sedang merencanakan sesuatu. Apa yang kamu rencanakan?' Asiong sepertinya menangkap maksud tatapan kekasihnya itu. 'Jangan, terlalu berbahaya.'

'Kamu siap-siap, Lex.' Ervina mengedipkan sebelah matanya kepada kekasihnya itu. Terdengar olehnya Roni masih tertawa lepas di belakang telinganya. Ervina yakin perhatian Roni pasti akan tertuju pada Asiong dan teman-temannya, bukan kepada dirinya.

Berpikir kesana, perlahan namun pasti, Ervina mengukur posisi kakinya dan mengangkat kaki kanannya. Gerakannya tersebut tak luput dari perhatian Asiong dan kedua teman di sampingnya.

'Ternyata itu maksudmu. Pintar, Vina!' Gumam Asiong dalam hati. 'Bukan aku tak mempercayaimu, tapi kamu harus hati-hati...'

Kaki kanan Ervina yang terangkat itu mendadak dihentakkan ke lantai, tepat di atas sepatu Roni!

"Iiiaaaoowwww!!" Roni menjerit saat merasakan kakinya yang terbungkus sepatu itu terinjak dengan keras oleh kaki Ervina yang menghentak itu. Matanya terbelalak.

Belum cukup sampai disana, Ervina kembali bergerak. Mengetahui Roni sedang mengerang kesakitan, gadis itu menghalau lengan Roni yang sedang memegang pisau yang ditodong di lehernya. Begitu pisau tak lagi menempel di lehernya, Ervina menggerakkan kepalanya.

DUAAAKKK!!!

"AAAOOOWWWW!!!" Roni memekik kaget saat kepalanya yang berada tepat di depan kepala Ervina terhantam kepala sang gadis dengan telak. Pelukannya di badan Ervina terlepas seiring serangan mendadak itu. Kepalanya pun mendadak menjadi pusing dan tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tindak. Sementara pisau yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai dengan bunyi berdenting.

Semua yang dilakukan Ervina terjadi begitu cepat. Kejadian yang terjadi sangat mendadak itu menyita perhatian Meilan dan ketiga tukang pukul yang menengok dengan terkejut itu. Kesempatan emas itu tak lagi disia-siakan oleh Asiong.

"Sekarang!!" Asiong berteriak memberi komando. Bersamaan dengan itu, lengannya bergerak meronta dengan keras cekalan lengan si tukang pukul. Berhubung perhatiannya teralih kepada insiden Roni yang diserang mendadak itu, pegangannya menjadi sedikit longgar, sehingga Asiong dengan mudahnya melepaskan cekalannya.

Sebelum anak buah Ahmad sadar cekalannya terlepas, dia merasakan bajunya telah terpegang oleh pemuda di depannya dan sesaat kemudian dia merasakan tubuhnya telah melayang di udara!

BUKKK!!

Tubuhnya yang besar menghantam lantai dengan suara berdebam keras. Menjerit kesakitan dirinya saat pinggangnya mendarat dengan keras di lantai ruangan. Di saat yang bersamaan dengan dirinya yang terbanting, didengarnya pekikan lainnya yang juga menunjukkan suara terkejut menyusul beberapa detik di antaranya.

Buntara meronta dan berhasil melepaskan dirinya dari cekalan lengan si tukang pukul Ahmad Susilo. Dengan kelincahan tangannya, pemuda itu menjatuhkan lawannya hanya dalam beberapa detik.

Sementara Jun Nyen pun meronta untuk melepaskan pegangan Lukman dan sesaat setelah pegangannya terlepas, dengan didahului memutar badannya, lengannya bergerak menghantam wajah Lukman!

PLLAAKKK!!

"Ukkkhhh!!" Lukman mengerang saat wajahnya menjadi pedas terhajar telapak tangan Jun Nyen yang bergerak memutar itu. Keadaan tersebut sudah cukup bagi lawannya untuk melepaskan diri sepenuhnya dari cekalannya.

Sementara Achiung melihat insiden yang mendadak terjadi itu, segera membalikkan badannya dan dengan gerakan cepat dia memegang lengan Meilan.

"Hei... Apa-apa.... Aaaahhhh!!" Meilan masih ingin protes saat Achiung yang memegang lengannya mendorongnya dengan kekuatan besar. Kehilangan keseimbangan kakinya, gadis berambut pendek itu terdorong menabrak Ahmad Susilo yang masih berdiri terbengong itu.

JDDUKKK!!

"Hei!!" Ahmad menjerit saat badannya terhantam badan Meilan melabraknya. Keduanya terkejut bukan main dan terseret beberapa meter ke depan sebelum akhirnya saling jatuh menimpa satu sama lain.

BRUKKK!!

"Apa-apaan ini?!" Ahmad berusaha mendorong Meilan yang jatuh menimpa badannya itu. Tongkat baseball yang dipegangnya terjatuh dan menggelinding jauh ke arah tembok.

"Kau yang apa-apaan! Seenaknya aja berdiri di tengah jalan!" Meilan tak mau ketinggalan ikut memaki. Didorongnya badan tua yang menghalanginya untuk berdiri.

"Gadis sialan! Minggir!" Ahmad Susilo mendorong badan Meilan dan membuat gadis berambut pendek itu jatuh terguling ke samping.

"Sukurin lu! Hahahaha!" Achiung tertawa saat melihat Meilan dan Ahmad Susilo saling berebut mendorong satu sama lain.

"Oohhhh..." Sementara itu Ervina mendesis sambil memegang kepalanya yang dipakainya menghantam kepala Roni. Gadis itu mengambil risiko pusing kepala akibat hantaman demi menolong Asiong dan ketiga pemuda tersebut.

Asiong, setelah berhasil melumpuhkan bodyguard yang meringkusnya, segera berlari ke arah Ervina yang masih memegangi kepalanya yang pusing itu.

"Vina! Kamu tidak apa-apa?" Asiong memegang pundak kekasihnya.

"Alex!" Ervina yang menyadari kedatangan Asiong segera menyambutnya dengan pelukan.

"Kamu tidak apa-apa?" Asiong mengulangi pertanyaannya. Dibelainya rambut pirang kekasihnya itu. "Kepalamu?"

Ervina menggeleng pelan di dada bidang Asiong. "Aku baik-baik aja, hanya pusing sedikit. Nanti juga hilang. Kamu gimana? Badanmu?"

Gadis itu mengangkat kepalanya dan melirik sekilas ke badan Asiong yang sebagian bajunya sudah mulai robek akibat hantaman kayu pemukul baseball.

"Berkat gelang Iban..." Asiong memperlihatkan gelang yang melingkar di lengan kanannya itu.

"Kamu ke pinggir ya. Sepertinya disini akan terjadi keributan besar." Dilepaskannya pelukannya di badan Ervina.

Ervina mengangguk dan bergeser menepi ke dinding. "Hati-hati, Lex."

"Ya." Asiong mengangguk kembali. Wajahnya dengan penuh keyakinan melihat ke depan. "Kawan-kawan, kalian sudah siap?"

"Tak pernah sesiap ini, Siong!" Ujar Achiung yang masih menyengir melihat Meilan berusaha bangun dari jatuhnya sambil memaki-maki Ahmad Susilo.

"Wa udah tunggu ini sejak lama." Kata Buntara. Matanya melirik ke salah anak buah Roni yang tadi sempat dihajarnya itu. Kini lelaki berbadan besar itu telah berdiri kembali di depannya.

"Hmm!" Jun Nyen hanya manggut dengan wajah serius. Walau berhasil melepaskan diri dari cekalan Lukman di tangannya, namun kini Lukman juga telah siap menyerangnya kembali.

"Sa!!" Teriak Asiong memberi komando untuk menyerang.

"Kurang ajaaaarrr!!" Di saat yang bersamaan, Roni berteriak saat sadar kembali dari rasa pusingnya. "Habiskan semuanya! Hancurkan! Bunuh!"

Pertarungan terakhir, pertarungan hidup mati telah ditebarkan kedua belah pihak! Siapakah yang akan keluar sebagai pemenangnya?

BAGIAN 145
"Takkan semudah itu, Ron!" Asiong berkata sambil mendaratkan sebuah tendangan setengah lingkaran di saat Roni sedang memaki. Pemuda itu merangsek maju menyerbu ke arah Roni dan tendangannya mendarat di dada rentenir sadis itu.

"Uggghhh!!" Roni terhempas mundur beberapa tindak karenanya. Segera saja tangannya bergerak mengelus dadanya yang terhantam tumit kaki Asiong itu.

"Bangsaaat!!!" Seperti tak mengenal rasa sakit, Roni maju menyambut Asiong yang sudah maju menyerang.

Pertarungan tak terhindarkan lagi! Asiong melawan Roni, sedangkan Jun Nyen menghadapi Lukman, Buntara kebagian salah satu tukang pukul Ahmad Susilo dan satu tukang pukul lain yang dirobohkan Asiong sebelumnya telah bangun dan dicegat oleh Achiung.

Mengandalkan badannya yang besar, tukang pukul yang berhadapan dengan Achiung maju menyerang. Dia telah dirobohkan dua kali sebelumnya oleh Asiong, namun fisiknya yang besar dan kekar membuatnya bangun kembali dan melanjutkan pertarungan.

Tangan kanannya bergerak melancarkan serangan yang ditujukan ke arah wajah Achiung. Namun dengan lincahnya, pemuda yang berbadan lebih kecil darinya itu menghindari pukulannya. Gagal pada pukulan pertamanya, lelaki itu melancarkan pukulan keduanya.

"Kenapa sih yang namanya tukang pukul itu harus besar badannya?" Achiung berkata sambil menghindari serangannya dengan beringsut ke belakang.

"Tapi ada gunanya juga sih..." Sambungnya. "Biasanya badan besar gini, gerakannya lamban dan keseimbangannya juga gak ada."

Dengan gerakan cepat, Achiung memutar badannya ke belakang lawannya dan memancing lawannya.

"Aku disini, Bang..." Achiung memancing dan saat lawannya membalikkan badannya, dia melancarkan serangan.

Namun perkiraan Achiung meleset. Lawannya bukannya membalikkan badannya sesuai perkiraannya, namun melancarkan tendangan mendadak yang mendarat tepat di dadanya.

"Uuuggghhhh!" Achiung terlontar mundur dan jatuh terduduk. Dadanya yang terpukul itu terasa sakit.

"Sialan! Gak bisa dianggap enteng rupanya!" Achiung berdiri sambil menepuk dadanya yang terasa sakit itu.

"Oke, kalau itu maumu. Kuladeni kau, Bang." Pemuda itu melemaskan tangan dan kakinya dan kembali memasang kuda-kuda bertarung.

"Ayo maju! Jangan cuma badan gede aja!" Kembali Achiung memancing lawannya.

Benar saja! Tukang pukul Ahmad Susilo itu merangsek maju dan melancarkan pukulan demi pukulan.

Baku hantam dan saling adu tangan dan kaki terjadi antara Achiung dengan lawannya. Tampak keduanya sangat ingin menjatuhkan lawannya. Hingga pada suatu kesempatan...

Tendangan kaki kanan si bodyguard berhasil ditahan oleh lengan kanan Achiung, disusul dengan hantaman punggung tangan kiri yang diarahkan di wajah pemuda itu. Achiung kembali menahan pukulan tersebut dengan lengan kirinya. Sambil meraih lengan baju lawannya, Achiung melihat tubuh lawan yang terbuka. Lengan kanannya bergerak!

BUAAKKK!!

"AAARRRGGGHHHH!!" Lawan berbadan besar di depannya menjerit saat pinggang kirinya dengan telak terhantam tinju yang dengan keras dilancarkan Achiung di rusuknya. Terhuyung limbung lelaki berbadan besar itu sambil memegang pinggangnya yang kesakitan.

"Satu sama ya, Bang!" Achiung berseru.

"Puihhh!!" Lelaki berbadan besar itu meludah di lantai dan seperti tidak merasakan sakit akibat hantaman sebelumnya, dia kembali menyerang Achiung.

Di saat yang bersamaan Buntara tengah terlibat pertarungan seru dengan tukang pukul yang lain. Namun sepertinya pertarungannya tak berjalan lama. Buntara yang menguasai ilmu beladiri sepertinya tak mengalami kesulitan melumpuhkan lawannya.

Sebanyak apapun pukulan yang dilancarkan lawannya, semuanya berhasil dihalau dengan kedua lengannya. Itu salah satu jurus bertahan yang dipelajarinya.

Melihat tak ada satupun serangan yang masuk dan semuanya selalu mental, lelaki berbadan besar itu terlihat frustrasi. Serangannya baik dari atas maupun bawah, semuanya mental terkena kibasan lengan Buntara yang berputar layaknya kincir angin setiap kali serangan menyerbu masuk.

"Brengsek!!" Lelaki itu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya dan mencabut keluar sebilah pisau lipat. Dilemparkannya pisaunya dari tangan kiri ke tangan kanan dan sebaliknya.

Buntara melihat lekat-lekat ke arah pisau yang dipegang lawannya. Pada saat itu lengan sang lawan bergerak dengan pisau terhunus. Mengibas di depan wajahnya, siap mengiris setiap inci dagingnya.

Sepupu Asiong itu mengelak dengan bergerak mundur ke belakang. Gerakan sang lawan begitu lincah dengan pisau di tangannya. Tak mungkin bagi Buntara untuk menepis dengan kibasan tangannya lagi, mengingat hal tersebut terlalu berbahaya.

Serangan yang dilancarkan seiring sabetan pisau tak urung menggores baju di dadanya hingga robek dan dagingnya yang tergores tampak mengalir darah segar.

"Sial!" Buntara memaki dan memelototi lawannya. Belum sempat dia mengambil nafas, lawannya kembali menyerang.

Sementara itu, Jun Nyen harus jungkir balik menghindari serangan Lukman yang menjadi tangan kanan Roni itu. Ternyata Lukman bukan orang yang sembarangan. Ternyata ketenangannya selama ini menunjukkan bahwa Lukman adalah lawan yang patut diperhitungkan.

DIESSHH!!!

"Uuugghhhh!!" Jun Nyen mengeluh saat wajahnya terhantam oleh pukulan Lukman. Kepalanya sampai tertarik ke samping olehnya.

"Mampus kau!"

Sebuah pukulan susulan kembali bergerak! Yang diincar kali ini adalah perut!

Namun bukan Jun Nyen namanya bila serangan seperti itu tak bisa dihindarinya, walaupun wajahnya sempat terhantam telak sebelumnya. Lengannya langsung bergerak menepis serangan Lukman dan mendorong lengan lawannya ke bawah, sebelum lututnya dinaikkan dan dengan gerakan menyamping, kakinya menendang pinggang Lukman!

BUAAKK!!!

"Ooouughhhh!!" Lukman menjerit saat pinggangnya tertendang oleh Jun Nyen. Mengerang mundur, lelaki berbadan besar itu melotot ke arah Jun Nyen, yang juga memandangnya dengan pandangan tak kalah melototnya.

"Boleh juga kau!" Lukman mengelus pinggangnya yang kesakitan. "Selama ini belum pernah ada lawan yang bisa menyerangku!"

"Wa akan jadi yang pertama!" Sergah Jun Nyen. Posisi kedua kakinya masih siap dalam kuda-kuda bertarung.

Kembali ke Asiong yang sedang bertarung dengan Roni...

Setelah sesaat saling berbaku hantam dengan tangan dan tak menampakkan pemenangnya, dimana keduanya saling menyerang dan bertahan sama baiknya, kini Asiong dan Roni kembali menjauh untuk kembali memasang kuda-kuda.

"Kuakui kau lawan yang hebat, Siong!" Kata Roni. "Namun tetap kau takkan bisa menjatuhkanku!"

"Oh ya?! Kalau begitu kita lihat saja!" Asiong mengepalkan tangannya lebih kencang lagi. Pemuda itu mengganti kuda-kudanya dengan gerakan menyamping.

Roni berteriak sambil maju menyerang. Namun langkahnya tertahan sebelum sempat tiba di tujuannya.

DIESSHHH!!

Tendangan yang dilancarkan Asiong menghantam tepat di wajah Roni, membuat rentenir itu tertahan langkahnya.

'Aku tak segan lagi menggunakan kaki ini!' Kata Asiong dalam hati. 'Akan kuperlihatkan kau salah bertemu denganku!'

Roni mengelus dagunya yang tersepak kaki Asiong. Sesaat kemudian, dia kembali maju menyerang dan...

DIEESSSHHHH!!!

"HHuuuaaahhhh!!" Roni menjerit saat tendangan Asiong kembali mendarat di wajahnya. Namun hal itu tak membuatnya menyerah. Kembali dia menyerang.

Asiong kembali melancarkan tendangannya, namun Roni berhasil mengantisipasinya. Dengan memegang pergelangan kakinya, Roni menggerakkan lengannya menekuk dan siku menghadap bawah.

'Gawat! Dia mau menghantam pahaku!' Gumam Asiong. Mencoba menarik kakinya yang sudah teringkus tangan musuh, sepertinya sudah tidak mungkin. Sesaat lagi siku Roni akan menghantam pahanya!

Senyum iblis Roni kembali tersenyum saat beberapa inchi lagi sikunya akan menghantam paha Asiong!

BAGIAN 146
Di saat pertarungan sedang terjadi dengan serunya, Meilan yang sudah berhasil berdiri dari terjatuhnya, tampak celingak celinguk mencari tongkat baseball yang terpental saat tubuhnya didorong oleh Achiung menabrak Ahmad Susilo.

Tak menyadari ke arah mana tongkat baseball tersebut menggelinding, Meilan tak mengetahui kalau saat itu sepasang tangan lembut telah memungut tongkat pemukul tersebut.

"Ini tongkat yang menghantam Alex." Kata sosok yang mengambil tongkat tersebut. Siapa lagi yang memanggil nama Alex kalau bukan Ervina adanya.

"Dan orang yang bernama Meilan itu... Awas saja kau!"

"Tongkat itu, pasti ada di satu tempat..." Sambil membungkuk Meilan mencari tongkat yang menjadi andalan senjatanya itu. Tak menyadari bahwa dirinya dengan Ervina hanya berjarak beberapa langkah saja.

"Meilan, kau mencari ini ya?" Meilan mendengar suara yang memanggil namanya. Secara spontan gadis berambut pendek itu menoleh dan...

BUAAAKKKHHH!!!

"Aaaaoooowwww!!!" Terpekik Meilan saat wajahnya mendadak menjadi sakit entah terhantam apa. Tubuhnya terhuyung mundur beberapa tindak.

Dalam sakitnya, Meilan mencoba membuka matanya untuk melihat apa yang baru saja menghantam wajahnya. Namun dia melakukan itu hanya untuk menjumpai dirinya menjadi sasaran serangan berikutnya!

BUUUGGHHHH!!!

"OOOOUUUHHHH!!!" Meilan mengerang kembali ketika dagunya menjadi sasaran hantaman. Kepalanya mendadak pusing, pandangannya pun berubah menjadi gelap.

"Apa itu barusaaaannn...." Dengan tubuh lemas, Meilan jatuh berdebam. Punggungnya dengan keras jatuh menghantam lantai. Kesadarannya seketika sirna akibat hantaman tongkat baseball yang dilancarkan Ervina di wajah dan dagunya.

"Yess! Kena kau, Meilan! Berani-beraninya kau memukul Alex dengan benda ini." Gumam Ervina pada dirinya. Namun kesenangannya belum menjadi miliknya sepenuhnya, saat ujung matanya menangkap sesosok bayangan yang mendekat ke arahnya.

"Mau apa kau dengan tongkat itu?!" Ahmad yang mendekatinya, tampak melotot saat melihat Ervina memegang tongkat baseball yang baru saja memukul pingsan Meilan itu.

"Serahkan padaku!" Ahmad melangkah semakin dekat ke arah Ervina.

Tak jauh dari tempat Ervina berdiri berhadap-hadapan dengan Ahmad Susilo...

Achiung merunduk menghindari pukulan yang dilancarkan oleh lawannya. Dengan tangan yang sudah terkepal erat, lengannya bergerak.

BUAAKKKHH!!

"Huuuaahhhhh!!" Lelaki berbadan besar itu menjerit saat pinggangnya yang terkena serangan tadi kembali menjadi incaran Achiung. Tak tanggung-tanggung, pemuda itu melancarkan dua hingga tiga pukulan beruntun sekaligus ke pinggangnya.

"Hiiieeekkkk!!" Di saat kesakitan seperti itu, Achiung tak menyia-nyiakan kesempatannya. Berdiri sama rata dengan lawannya, tinjunya menghantam mata kiri lawannya!!

BUKKKHH!!

"Uuugghhhh!!"

Disusul...

BUAAGGHHH!!

"Oooouggghhhh!!"

Achiung tak memberikan kesempatan lawan untuk bernafas. Kedua tangannya yang terlatih dalam bertinju terus menerus menghantam wajah lawannya, mengincar kedua matanya, hidungnya, rahang, dagu dan juga pipinya. Hingga dalam beberapa menit saja, wajah sang lawan telah hancur babak belur dengan darah mengalir dari kedua mata, hidung dan mulutnya.

"Ukkkhhh..." Tukang pukul berbadan besar itu berdiri sempoyongan dengan pandangan yang kabur. Namun demikian, dia masih mencoba menyerang.

Serangan dengan kedua mata yang telah bengkak jelas tak bisa mendukung penglihatan dengan baik. Akibatnya serangan yang dilancarkan pun melenceng entah kemana.

"Bang, kuakui kau memang setia pada majikan. Sudah babak belur, tapi masih mau bertarung." Gumam Achiung tertawa melihat lawannya menyerang tak tentu arah dalam limbungnya.

"Biar kupercepat saja kalau begitu!" Achiung mengambil ancang-ancang tepat di depan lawannya dan setengah membungkukkan badannya, tangannya yang terkepal itu melesat naik.

DIESSHHH!!!

"Uuuoookkkhhhhh!!" Bodyguard Ahmad mengerang kencang dan tubuhnya terpental ke belakang beberapa tindak jauhnya sebelum akhirnya jatuh dalam keadaan pingsan. Pukulan uppercut di dagunya membuat kesadarannya sirna.

"Selesai satu!" Achiung menepuk-nepuk kedua tangannya saat melihat lawannya roboh dan tak bisa bangkit lagi. "Itu namanya perkelahian liar, Bang! Perkelahian anak geng! Kasar, tak ada aturan, yang penting menang!!"

Melihat ke sampingnya, Buntara masih terlibat perkelahian dengan lawannya yang memegang pisau lipat. Baju Buntara tampak robek dan darah segar membasahi bajunya itu.

"Hiiihhh!!" Buntara bergerak ke samping menghindari pisau yang dikibaskan ke arahnya. Tangannya dengan lincah menyergap lengan lawan yang sedang menggenggam pisau itu dan sebelah lututnya terangkat.

Dengan menjadikan pahanya sebagai tumpuan, Buntara menghentakkan lengan lawan yang memegang pisau itu ke kakinya. Akibatnya kepalan tangan yang memegang pisau terbuka dan pisau yang dipegang pun terlepas jatuh dan berputar terpental hingga ke suatu tempat di ruangan bawah tanah itu.

Melihat senjata lawan telah terlepas, Buntara menggerakkan lengannya menampar wajah lawannya dengan punggung tangannya.

"Uaaahhhh!!" Mengerang dengan wajah pedas, sang lawan tertatih ke belakang. Melihat hal itu, Buntara pun melanjutkan serangannya.

Dimulai dengan hantaman di perut yang membuat lawannya mengerang kesakitan dan melipat badannya, Buntara mencekal kedua pundak musuh saat lawannya sedang kesakitan memegangi perutnya.

Kembali kaki kanannya dinaikkan dan dengan kedua tangan di pundak lawannya, Buntara menghempaskan badan besar lelaki pengawal Ahmad itu dan mengarahkan wajahnya tepat ke arah lututnya.

"Aaaaakkkkkkhhhhh!!" Sang lawan menjerit kesakitan saat wajahnya terkena hantaman lutut Buntara. Kepalanya terangkat dengan kedua lengan memegangi wajahnya.

"Percuma saja ditutupi!" Ujar Buntara sambil menohok leher lawannya tepat di jakunnya saat wajahnya terangkat, menjadikan serangannya masuk dengan sangat telak!

Terkejut dengan serangan di lehernya, lelaki berbadan besar itu terbatuk karenanya. Sehingga serangan Buntara yang berikutnya kembali tidak disadarinya dan dihindarinya!

Sebuah tendangan setengah berputar yang menjadikan bagian telinga sebagai sasaran tendangan, membuat lelaki berbadan besar itu tertidur untuk beberapa waktu lamanya. Kesadarannya hilang seiring syarafnya yang terkejut akibat tendangan yang mampir di telinganya!

Dua pengawal telah dirobohkan, masing-masing oleh Achiung dan Buntara. Pada saat yang sama, Jun Nyen dan Asiong masih bergelut dalam pertarungan mereka.

Lukman ternyata tak hanya pintar bertarung dengan menggunakan tangan, namun juga kedua kakinya sangat lincah. Hingga saat keduanya telah bercucuran keringat, belum ada tanda-tanda kemenangan di salah satu pihak.

'Kalau seperti ini, tak mungkin memakai pertarungan jalanan nih.' Jun Nyen membathin. 'Orang ini tak bisa roboh hanya dengan perkelahian kotor saja. Tapi wa masih ada simpanan.'

Lukman menyerbu masuk dengan beberapa kombinasi pukulan dan tendangan. Jun Nyen sambil menepis dan menghindari setiap serangan lawan, mencari kesempatan untuk menyerang balik.

"Oke..." Jun Nyen berteriak pada saat Lukman menyerangnya dengan tendangan. Pemuda itu membungkuk dan melingkarkan kakinya menyengkat sebelah kaki Lukman yang menjadi keseimbangan badannya saat melakukan tendangan itu.

BRUKKK!!

Sengkatan Jun Nyen berhasil! Lukman terjatuh kehilangan keseimbangan saat tersengkat itu. Namun lelaki tangan kanan Roni itu mencoba bangkit kembali.

"Takkan semudah itu!" Teriak Jun Nyen sambil melompat menyergap lawannya. Sebelum sempat Lukman berbuat banyak, Jun Nyen 'menghadiahkan' wajahnya pukulan demi pukulan yang membuatnya kesulitan bernafas.

Namun tak percuma Lukman diangkat menjadi tangan kanan Roni. Dengan kakinya, Lukman berhasil menendang punggung Jun Nyen dan membuat pemuda itu jatuh terguling.

"Luar biasa!" Kata Jun Nyen dalam hatinya sambil berguling dan bangun dengan posisi kedua kaki menekuk seperti sedang berjongkok. Satu kakinya diluruskannya beberapa detik kemudian.

Sementara Lukman kembali berdiri dengan susah payah setelah pukulan demi pukulan yang menghantam telak wajahnya tanpa dapat dielakkannya. Dengan kepala yang masih cukup pening, dia memandang ke arah Jun Nyen.

"Brengsek kau!" Lukman yang belum pernah kalah dalam pertarungannya tampak tersulut emosinya. Lelaki itu menyeruak maju menyerang!

Melihat serangan lawan masuk, Jun Nyen membaringkan dirinya dan lolos dari bawah selangkangan Lukman. Hal mana membuat Lukman terkesiap dan membalikkan badannya. Pada saat itulah Jun Nyen melancarkan serangannya!

Dengan didahului oleh kakinya yang menjulur lurus dan bergerak membentuk setengah lingkaran, ujung sepatu Jun Nyen bergerak tepat mengincar ubun-ubun Lukman!

"Jurus apa ini?" Terhenyak Lukman melihat jurus aneh yang diperagakan Jun Nyen itu. Namun dia masih berhasil menghindari kepalanya dari tendangan Jun Nyen, dengan menahan tangannya di atas kepalanya.

Tapi Lukman salah langkah! Kaki Jun Nyen tak hanya berhenti sampai disana saja. Setelah sebelah kakinya gagal mendaratkan tendangan, sebelah kakinya masih bebas di udara dan dengan mudahnya mencari titik sasaran di dagu Lukman!

DDUUAAAGGG!!!

"Uuuuuoookkkhhhh!!" Lukman mengerang dengan tubuh terangkat saat dagunya terkena tendangan telak dari ujung sepatu Jun Nyen. Dirasakannya Sekujur badannya bagaikan tersengat listrik saat itu!

Tepat pada saat Lukman masih berada di udara akibat tendangan yang mampir di dagunya, dengan mendorong kedua telapak tangannya yang menopang di lantai, Jun Nyen melompat dengan posisi kaki berada di atas.

DUUUAAGGGHHHH!!!

"Uuugggghhhhh!!" Serangan Jun Nyen di ubun-ubun Lukman kali ini berhasil. Lelaki berbadan besar yang menjadi tangan kanan Roni itu jatuh berlutut sebelum akhirnya tubuhnya jatuh berdebam di lantai. Darah segar muncrat dari mulutnya saat wajahnya menghantam lantai. Rupanya tendangan di dua titik vital yang dilancarkan oleh Jun Nyen dalam posisi kayang, mengakibatkan luka fatal di syarafnya.

"Selesai!" Jun Nyen berdiri sambil menepuk badannya yang terkena debu akibat jurus kayangnya. Jurus langka yang hanya bisa dilakukan sebagian orang. Secara kebetulan keluarga Jun Nyen adalah salah satu yang sempat mewarisi ilmu bela diri langka ini.

BAGIAN 147
"Serahkan tongkat itu padaku!" kata Ahmad melangkah mendekati Ervina. Namun gadis itu tak mengindahkan lelaki tua yang telah mengakibatkan kematian ayahnya itu.

Ahmad Susilo melirik ke tempat pertarungan dan melihat dengan mata kepalanya sendiri kedua pengawalnya telah roboh dan kemudian Lukman yang menjadi orang kepercayaan Roni pun telah tak berkutik. Yang tersisa disana saat itu hanya dirinya dan putranya, Roni.

'Gawat nih! Mereka orang apa sih, bisa merobohkan orang-orangku?' Ahmad membathin dalam hati. Jantungnya berdetak kencang dan keringat dingin mulai mengucur menyadari bahwa dirinya mulai dikuasai ketakutan melihat kenyataan di depan matanya.

'Aku pergi saja.' Ahmad melirik ke arah Ervina sambil beringsut mundur dengan perlahan. Di belakangnya, putranya masih terlibat pertempuran dengan Asiong, kekasih gadis di hadapannya itu.

'Oh ya, bodohnya aku. Aku masih punya ini.' Katanya sambil merogoh saku bajunya. 'Dengan ini aku bisa mengalahkan mereka semua.'

Di tangannya mendadak tergenggam sebilah pistol yang segera diarahkan kepada Ervina. Ervina sendiri terbelalak melihat pistol yang diarahkan ke wajahnya itu. Namun gadis itu teringat akan tongkat yang masih digenggamnya.

Sebelum sempat Ahmad menarik kokang pistol, Ervina sudah bergerak terlebih dulu. Lengannya yang tak terbiasa bertarung itu mengayunkan tongkat yang dipegangnya menghantam pergelangan tangan Ahmad.

"Huaaahhhh!!" Ahmad menjerit dan pistolnya terjatuh. Lengannya yang kesemutan digoyang-goyangkannya. Namun untuk menjaga gengsinya, Ahmad menghentikan gerakannya dan menerkam Ervina.

"Sialan!" Sambil menggeram, Ahmad menerkam Ervina.

"Aaaooowww!!" Ervina menjerit dan bergerak menghindari terkaman Ahmad.

Merasa gagal mendapatkan sasarannya, Ahmad berbalik. Namun ternyata Ervina lebih cepat. Baru saja Ahmad membalikkan badannya, Ervina menggerakkan kakinya. Sasarannya sudah pasti!

"Iiiiaaaaooooowwwwww!!!" Ahmad Susilo melengking tinggi sambil melompat-lompat di tempat, dengan kedua tangan memegangi area vitalnya. Rupanya Ervina menendang kemaluannya dan hal itu membuatnya terjingkrak-jingkrak kesakitan.

Ervina ternyata tidak diam begitu saja. Begitu melihat Ahmad sedang kesakitan, ditambah dengan masa lalunya yang kelam dimana ayahnya dibunuh oleh lelaki di hadapannya itu, Ervina menggerakkan lengannya.

Dengan segenap tenaganya, dia melayangkan pemukul baseball itu ke wajah lelaki yang telah membunuh ayahnya itu. Pukulannya tak lagi dapat dihindari Ahmad.

BUUAAGGGHHHH!!!

CRRAAKKK!!

Pemukul baseball itu menghantam kening dan kepala bagian atas Ahmad dengan keras. Sekilas seperti terdengar bunyi tengkorak yang retak. Bersamaan dengan itu, Ahmad langsung terkapar tak sadarkan diri dengan kepala bersimbah darah.

"Aaahhhhh...." Ervina terbelalak melihat perbuatannya sendiri. Tanpa disadarinya, pegangannya terbuka dan tongkat di tangannya terlepas.

Dengan mempergunakan kesempatan pada pegangan Roni di kakinya, Asiong memutar badannya dan dengan kakinya yang masih bebas, pemuda itu melancarkan tendangan yang sengaja diincarkan di pelipis lawannya.

DIIEESSHHH!!

"Aaaaaakkkhhhhh!!!" Roni memekik dan pegangannya di kaki Asiong terlepas. Tubuhnya limbung dan terbanting jatuh. Pada saat yang bersamaan Asiong juga terjatuh dengan kedua kaki terjulur.

Saat Roni semakin kesal dengan serangan yang masuk telak di pelipisnya, dia mencoba bangun dari terjatuhnya. Pada saat itu terdengar suara seperti sesuatu yang terhantam keras disusul suara seperti tengkorak pecah. Lalu ditutup dengan suara yang jatuh berdebam setelah jeritan kesakitan.

"Papaaaaa!!" Melihat ayahnya dirobohkan Ervina, Roni murka. Rentenir itu bangun dan menyerbu ke arah Ervina.

"Mau apa kau?" Asiong mencekal lengan baju Roni dan mendorongnya. Rentenir itu terhempas ke belakang namun belum sampai jatuh.

"Bangsat!!" Teriak Roni. Tubuhnya kembali menyeruduk masuk.

"Kutanya mau apa?!" Asiong juga berteriak sambil mendorong tubuh lawannya.

"Itu ayahku! Kau buta?!!" Roni merangsek maju lagi.

Pada saat itu, Achiung, Buntara dan Jun Nyen telah selesai dengan lawannya masing-masing. Kini semuanya melihat ke arah ketua mereka yang sedang berhadapan satu lawan satu dengan rentenir sadis musuh Ervina.

Asiong mencekal lengan baju Roni dan menariknya mendekat.

"Ayahmu?!" Asiong memelototi rentenir itu. "Kau tidak bilang ayah Ervina kau bunuh, hah?!"

"Jahanam!!" Asiong berteriak sambil menampar wajah Roni.

PLAAKKK!!

"Lepaskan, Bangsat!"

"Siapa yang bangsat?!" Dengan geram, Asiong berteriak. "Teror tak berperikemanusiaan! Mengincar kedua kakakku! Membiarkan anak buahmu memperkosanya!!"

"Siapa bilang dua?! Hanya satu!"

"Sama saja, jahanam!!" Teriak Asiong. PLAAAKKKK!!! PLAAAKKK!!!!

"Bang....saaat..." Roni menggeram sambil mengelus pipinya yang memerah terkena tamparan Asiong.

"Meracuni anjing kecil tak berdosa!" Asiong masih meneruskan perkataannya. "Bahkan mengirim teluh menyerang Vina!!"

"Siapa yang bangsat sekarang?! Siapa?!!"Asiong yang murka itu tak bisa menahan untuk menghantamkan tangannya ke wajah Roni. Dengan telak pukulan pemuda rantau itu mendarat telak di mata kirinya.

"Ooouukkkhhhh!!" Sambil mendesis kesakitan, Roni menutupi matanya dengan kedua tangannya.

Ervina yang baru sekali itu melihat tingkah Asiong yang meledak marahnya itu, nyaris tak bisa mempercayai pandangan matanya andai saja dia tidak menyaksikannya sendiri.

"Alex..." Gadis itu bergumam lirih saat menyaksikan itu semua. Tanpa terasa air matanya kembali menetes.

"Awasss... kau..." Roni mengeluh di antara sakitnya.

"DIAAMMM!!!" Lagi-lagi Asiong berteriak. "Aku belum selesai!"

"Itu tadi untuk Justine!" Teriak Asiong. "Yang ini untuk teluh yang kau kirim!!"

BUUKKK!!!

"Ouuukkkhhhh!!" Roni mengerang saat perutnya dipukul oleh kepalan tangan Asiong. Rasanya seperti terhantam ratusan kilo palu!

"Kau mau menjadikan Vina pelacur kan?! Hiihhh!!"

BUUUAAKKKHHH!!

"Oooouuuuukkkhhhhh!!!" Roni sampai melipat badannya saat perutnya kembali dihajar oleh Asiong.

"Lelaki jahanam!!" Dengan amarah menggelegak, Asiong mendorong tubuh Roni hingga membentur dinding.

"Uggghhhh...." Roni hanya bisa mengeluh saat kepalanya terhantam tembok di belakang kepalanya.

Dengan sebelah tangan masih memegang kerah bajunya, sebelah tangannya lagi Asiong menjambak rambut Roni dan menjedukkan kepalanya ke dinding di belakangnya.

"Otakmu busuk!! Licikk!!! Bejad!!"

DUAAGGHHH!!

"Ouuuhhhhh..." Roni kembali mengeluh saat kepalanya kembali dijedukkan di dinding oleh Asiong. Semakin pening saja kepalanya saat itu.

"Aku mau lihat kau hancur!!" Teriak Asiong. "Aku mau lihat kau hancur!!!"

Setelah berkata begitu, Asiong seperti orang kesetanan, melancarkan pukulan demi pukulan ke tubuh Roni tanpa henti. Ditambah dengan tendangan bertubi-tubi sebagai rangkaian serangannya ke tubuh si rentenir.

Tubuh Roni saat itu bagaikan sansak daging yang menjadi sasaran pukulan dan tendangan Asiong bertubi-tubi. Hingga Roni terkulai lemas dan roboh dalam keadaan berlutut pun, Asiong masih menjambak rambut rentenir itu dan menariknya sampai berdiri.

Roni sendiri berdiri dengan lemas dibantu jambakan Asiong di rambutnya. Kedua lengannya terkulai lemas, lututnya sudah menekuk tak sanggup lagi berdiri dan kepalanya terkulai dengan mata setengah terpejam. Mulutnya menggumam tidak jelas.

"Akan kubuat kau ingat kejahatanmu yang tak terampuni!!!" Dengan peluh yang membasahi sekujur badannya, Asiong mencengkram wajah Roni dalam satu dekapan telapak tangan dan mendorongnya dengan kencang!

DIIEEESSSHHHHH!!!!!

Perbuatan Asiong menghantam kepala Roni ke dinding di belakangnya, membuat Ervina bergidik ngeri. Wajahnya berpaling dan kedua matanya menutup tak berani melihat keganasan kekasihnya. Sementara Buntara yang belum pernah melihat karakter sepupunya yang ini, berdiri mematung dengan mulut ternganga lebar.

"Gila, Siong... Asiong sudah gila..." Gumam Buntara mengomentari tindakan sepupunya.

Sebuah tepukan di pundaknya tak membuatnya bergeming dan menoleh.

"Itulah Asiong kalau sudah emosi..." Kata Jun Nyen yang menepuknya. "Tak ada yang berani mengutiknya bila sudah seperti itu."

"Menakutkan..." Kata Buntara lagi.

"Memang..." Achiung menimpali. "Itu juga kenapa dia jadi ketua kami."

"Hah?" Semakin ternganga mulut Buntara mendengarnya.

Darah segar mengucur membasahi dinding di belakang kepala Roni, bersamaan dengan robohnya tubuh rentenir itu ke lantai dengan lemas dan tak sadarkan dirinya.

"Wa gak heran kenapa Thai Nyiu bisa gegar otak..." Kata Buntara. "Wa rasa nasib Roni juga bisa sama seperti Thai Nyiu..."

Setelah Roni terkapar tak berdaya, barulah Asiong membalikkan badannya. Pada saat itu Ervina yang telah memberanikan diri membuka matanya, telah berlari ke arahnya.

"Alex..." Ervina berlari ke arah kekasihnya. Diguncangnya pundak pemuda itu. "Alex, kamu tidak apa-apa?"

"Vinnn... Vinnaa..." Asiong menjawab dengan lemas. Badannya telah basah kuyub oleh keringat.

Ervina memeluk kepala pemuda itu dan menangis dalam pelukannya.

"Sudah, Lex. Tenang. Tenangkan dirimu. Semuanya sudah berakhir." Ervina membelai rambut kekasihnya untuk menenangkannya. Karena lelah, pemuda itu duduk tak jauh dari Roni yang terkulai bersimbah darah pada bagian belakang kepalanya.

Ervina dengan setia menemani kekasihnya beristirahat, sambil menenangkannya dengan kata-kata lembutnya. Matanya tak berkedip melihat nasib tragis rentenir yang membuat hidupnya menjadi susah itu.

Di saat yang bersamaan, lelah dengan petualangan yang baru saja mereka lalui, Buntara dan kedua sahabat Asiong pun terduduk di ruang bawah tanah dengan kaki terjulur. Terlalu lelah setelah pertarungan besar yang baru saja mereka lewati.

Setelah beberapa saat, Asiong merasa mendapat tenaga untuk berdiri. Dengan dipapah Ervina, pemuda itu mencoba bangun dan berdiri.

"Ayo, Lex, kamu pasti bisa, Sayang..." Ervina memapah pemuda itu membantunya berdiri. Dengan bantuannya, akhirnya Asiong mampu berdiri, posisi mereka saat itu tepat membelakangi Roni yang terkapar itu.

"Iya, kamu bisa jalan kan?" Tanya Ervina lagi dengan lengan masih menggamit lengan kekasihnya.

"Bisa, Vin, tenagaku sudah pulih." Jawab Asiong. Pemuda itu melirik sepupunya yang juga sudah mulai berdiri dengan kedua teman gengnya.

"Bun, tolong telepon polisi..." Ujarnya. "Kau kan ada koneksinya..."

"Beres, Siong." Buntara tersenyum sambil mengambil ponsel dari kantongnya.

Di saat Asiong sudah siap berjalan dengan Ervina, di saat Buntara sibuk menekan tombol di ponselnya, di saat Jun Nyen dan Achiung tengah bersiap untuk meninggalkan tempat itu, di saat itu pula, Meilan mulai sudah sadarkan dirinya.

Gadis berambut pendek itu membuka matanya dan samar-samar di depan matanya terlihat sesuatu yang berkilau.

Meilan membuka matanya lebih lebar bersamaan dengan pulihnya kesadarannya. Dengan kepala yang masih pusing dan tanpa bersuara, gadis itu pun beringsut berdiri tanpa ada yang menyadarinya sama sekali.

"Pisau..." Meilan berdesis sambil lengannya menjulur meraih pisau di depannya. Pisau Roni yang terpental.

"Hehehe... Ko Asiong... Mampuslah kau!" Tanpa mengeluarkan suara, Meilan berlari ke arah Asiong dengan pisau terhunus di tangannya!

Ervina yang saat itu masih memeluk badan Asiong, walau dengan mata menghadap ke arah Meilan, namun gadis itu tak menyadari bahaya yang sedang mengancam kekasihnya. Itu karena perhatiannya tertuju pada kekasihnya yang masih lelah setelah bertarung dan ditawan sebelumnya.

Pada saat hendak berjalan. Tiba-tiba ujung mata Ervina menangkap sebuah gerakan di belakang badan Asiong. Gadis itu melirik dan tersentak melihat Meilan berlari dengan pisau terhunus. Dan jarak antara Meilan dengan Asiong sudah sangat dekat!

"TIDAAAKKKK!!!" Ervina menjerit dan seketika mendorong tubuh Asiong ke samping. Jeritannya membuat Jun Nyen, Achiung dan Buntara berpaling. Namun semuanya sudah telat!

Ervina sendiri bermaksud menghindar saat itu. Namun Meilan lebih cepat. Pisau yang dipegangnya hanya berjarak satu jengkal dari badan Ervina.

Tindakan Ervina yang mendorong Asiong ke samping memang menghindarkan kekasihnya dari tusukan pisau yang dipegang Meilan, namun tidak dirinya. Meilan sendiri terperanjat saat melihat tindakan yang dilakukan Ervina dan dia tak mungkin lagi berhenti untuk menarik tangannya yang sudah tersisa lima centimeter dengan sasaran.

Asiong yang mencoba membalikkan badannya setelah didorong oleh Ervina, hanya bisa berdiri terpaku dan tak bisa berbuat banyak lagi.

SLEEBBB!!

"AAAAAAKKKKKKHHHHHHHH......." Ervina menjerit kencang. Tubuhnya termakan pisau yang ditusukkan Meilan. Pandangannya seketika berputar.


BAGIAN 148
"Vinaaaa!!" Buntara, Jun Nyen dan Achiung berseru pada saat yang hampir bersamaan. Ketiga pemuda itu terbelalak dan ternganga menyaksikan kejadian tak terduga yang terjadi sangat singkat di depan mata mereka itu.

"Aaaahhhhhhh....." Ervina mengerang dengan kedua tangannya memegangi perutnya yang tertancap pisau itu. Tubuhnya dirasakannya melemah dan kakinya mulai goyah. Darah mulai mengucur keluar dari bagian badannya yang tertusuk itu, menetes dan membasahi tangannya, menggenang di lantai gudang bawah tanah.

"Hahh!!" Meilan sendiri terperanjat dan kedua matanya terbelalak menatap tak percaya dengan kejadian di depan matanya. Dia sama sekali tidak menduga Ervina akan bertindak senekat itu, membiarkan dirinya menjadi tameng dengan mendorong Asiong menjauh. Badannya bergetar menyaksikan hal tersebut.

"Vinaaa!!!" Asiong tersentak dan berlari memeluk tubuh kekasihnya, hanya untuk menjumpai tubuh lemasnya yang terkulai tak bertenaga di pelukannya. Terlihat olehnya wajah Ervina yang mengernyit menahan sakit, bibir mendesis dan kedua matanya yang mulai menutup.

"Lex...." Bisik Ervina pelan di antara erangannya. Kedua tangannya yang memegang pisau tampak bergerak ke atas, bermaksud menarik lepas tancapan senjata tajam tersebut dari badannya.

"Jangan... Jangan dicabut... Biarkan saja disana..." Asiong berkata lirih. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Aku tak mau kamu pergi... Aku akan menolongmu..."

"Lex.... Ohhh..." Ervina mengerang dengan pandangan mata yang telah buyar. Kepalanya terkulai ke samping.

Melihat situasi itu, Asiong semakin terbelalak dibuatnya. Segera saja lengannya bergerak menyentuh leher kekasihnya, merasakan denyut nadi yang mungkin saja masih berdetak.

Direbahkannya tubuh kekasihnya di lantai tanpa bersuara. Terdiam sesaat, setetes air bening jatuh menitik dari matanya. Wajahnya tertunduk. Namun, beberapa detik di antaranya, wajahnya terangkat dan pandangannya berubah.

"Kurang ajar!!" Asiong menggeram berat dan tatapannya yang semula berkaca-kaca, kini berubah drastis.

"Mei!" Pemuda itu berdiri dan memandang tajam ke arah Meilan yang hingga saat itu masih berdiri tercekat tak bergerak karena keterkejutannya.

"Mampus deh, Meilan! Dia membuat macan yang sudah tidur bangkit kembali." Kata Achiung saat melihat perubahan mendadak pada diri sahabatnya.

"Ko.... Ko Asiong..." Terbelalak Meilan saat melihat Asiong mendekatinya dengan nafas memburu dan mata yang memerah. "Ja... Jangan..."

"HIHHH!!!" Asiong menggeram dan tangan kanannya bergerak cepat.

PLAAKKKK!!!

"Aaooowwwhh!!" Meilan menjerit tatkala gerakan tangan Asiong dengan keras menampar pipi kirinya, membuat badannya terputar dan terjatuh dengan kedua lutut menekuk.

"Cewek sundal!!" Asiong kembali menggeram dan tangannya bergerak menjambak rambut pendek Meilan dan menyeretnya berdiri.

"Ampun... Ampun, Ko... Ampun..." Meilan mendesis kesakitan sambil pegangi rambutnya yang dijambak mantan kekasihnya itu.

PLLAAKKKK!!!

"Aooowwwww!!"

PLAAKKK!! PLAAAKKKK!!! PLAAAKKKK!!!

Berkali-kali kepala Meilan terputar ke samping kiri dan kanan saat Asiong dengan tangan kiri masih menjambak rambutnya, tangan kanannya dengan gencarnya menampar kedua pipinya tanpa henti. Rasa pening yang belum sempat hilang, semakin bertambah dan bertambah dengan tamparan yang datang dengan keras dan bertubi-tubi.

"Kooo....Aaahhhh....Ak....uu......Uhhhhh.....Ammm.....Ahhhh....punnn....Aooowwwww...."

Saat Asiong berhenti menamparnya, tampak darah telah mengucur dari mulut dan hidung gadis berambut pendek itu. Kepalanya tampak lemas dalam jambakan mantan kekasihnya itu. Rasa pening masih membuat kedua matanya terkatup.

Sangat kontras dengan keadaan Meilan, Asiong tampak menatap gadis itu dengan tatapan mata membara. Lengan kanannya kini mengepal membentuh sebuah tinju dan pemuda itu menarik lengannya ke belakang.

Asiong membiarkan Meilan membuka matanya terlebih dulu beberapa detik kemudian, hanya untuk memperlihatkan kepada sang gadis akan pukulan yang ditujukan kepadanya.

"Minta ampun kepada setan di neraka!" Geram Asiong dengan suara dalam dan melepaskan jambakan di rambut Meilan.

BUGGGHHH!!!

"Aaaakkkhhhhhh!!!" Meilan kembali mengerang saat pelipis kirinya menjadi sasaran pukulan Asiong. Sebuah pukulan yang sangat keras menghantam kepalanya, bagaikan dihantam godam puluhan kilogram.

Akibat telaknya pukulan yang menghantam pelipisnya, tubuh Meilan kembali terputar dan sempoyongan tak tentu arah.

"Gadis sundal! Beraninya kau menyentuh dan menculik Mei Ce!" Asiong berteriak. "Ini bayaran wa dari Mei Ce!!"

BUKKK!!

"Aaaooowwww!!" Meilan menjerit saat pelipisnya kembali terhantam pukulan Asiong. Tubuhnya melintir bagaikan gasing di depan pemuda itu.

"Koooo... Ampunnnn... Wa... "

"Kau tak lebih baik dari iblis!" Teriak Asiong lagi. "Ini dari Jun Nyen!"

BUUUGGHHH!!!

"Aaaooowwwhhhhhh...." Dalam berputarnya, Meilan kembali menjerit kesakitan. Beberapa putaran dan gadis itu terhenti dengan kepala yang masih pening dan tubuh limbung.

"Kaau... Kau... menyiksa... wa...wanita..." Meilan masih sanggup mendesis saat kesadarannya kembali pulih walau kepalanya masih terasa pusing. "I... Itu... Itu...melanggar hukum..."

"Hukum apa?!" Asiong membentak. "Kau menculik Mei Ce, apa itu hukum?"

"Kau membunuh Vina, apa itu hukum?"

"Kau berani memukul wanita..." Meilan mengelus kepalanya. Terbelalak gadis itu sangat melihat tangannya yang berdarah setelah memegang kepalanya itu. "I... Ini..."

"Siapa yang melihat?!" Bentak Asiong lagi. Tangannya bergerak menjambak rambut Meilan kembali.

"Ampun... Ko... Ampun..." Meilan menjerit dan berusaha menjamah tangan Asiong yang menjambak rambutnya. Namun Asiong dengan sigapnya telah berhasil membalikkan badan Meilan sehingga punggungnya membelakanginya.

"Ini dari Vina!!" Teriak Asiong dengan keras.

BUUUAAAGGGHHHH!!!

Kraaakkk!!

"AAAAAAAKKKKHHHHHH!!!" Meilan menjerit panjang sambil pegangi kepala bagian belakangnya. Tempurung kepalanya bagian belakang terkena hantaman pukulan Asiong yang sangat bertenaga itu hingga menimbulkan suara berdetak.

BRUUKKK!!

"Oooohhhhh.... Saaaakiiitttttt..... Saaaakkkiiittttt....." Meilan menjerit-jerit gusar dengan kedua tangan memegangi belakang kepalanya yang berdarah. Tubuhnya jatuh berdebam di lantai dan meronta-ronta dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang berdarah.

"Sakit ya?" Sambil berjongkok di depannya, Asiong menatap gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu. Tangannya mencekal erat rambut pendek gadis itu.

Entah kenapa, jambakan di rambutnya kali itu membuat Meilan menjadi takut. Badannya mendadak menjadi dingin dan bulu kuduknya terasa meremang.

"Ampuunn... Ampunn... Jangan, Ko... Jangan... Ampun..." Desis Meilan lirih, berharap Asiong bisa mengampuninya dan melepaskan jambakannya. Matanya menatap Asiong dengan tatapan ketakutan. Namun teriakannya seperti tak terdengar lagi di telinga Asiong.

"Vina lebih sakit darimu..." Asiong berteriak gusar dan tangannya yang menjambak rambut Meilan mengangkat kepala gadis itu. "KEPARATT!!"

DIEESSSHHHH!!!

Asiong yang sudah dikuasai oleh api amarahnya, tanpa merasa belas kasihan sedikitpun menghantamkan kepala Meilan ke lantai yang keras.

DUUAAAAGGGGHHHHH!!!!

"AAAAAAAAAHHHHHH!!!" Meilan menjerit saat kepalanya terhantam keras ke atas lantai. Sakit yang terasa bukan main kepalangnya. Namun dia hanya merasakannya sesaat. Karena saat berikutnya, kegelapan telah menguasai dirinya.

"Udah deh.. Thai Nyiu kedua..." Kata Jun Nyen berkomentar melihat tindakan sahabatnya itu.

Melihat Meilan sudah terkapar tak bergerak dengan kepala berdarah, Asiong terpaku dengan nafas memburu. Dari kedua matanya masih terpancar kemarahan yang masih belum reda.

"Nnnggghhhhh..." Samar-samar terdengar suara erangan tak jauh dari tempatnya berjongkok. Walaupun terdengar samar, namun suara tersebut mampu menyadarkan Asiong dari lamunannya.

"Vina..." Asiong menoleh ke arah suara erangan tersebut. Dia pun bangkit dan berlari ke arah kekasihnya lalu berlutut di sampingnya.

Sekilas pemuda itu memperhatikan tubuh kekasihnya. Matanya tak berkedip menatap hidung Ervina yang masih bergerak mengembang dan mengempis itu.

"Masih bisa. Masih ada harapan." Gumam Asiong sambil gerakkan lengannya ke punggung Ervina yang rebah tak berdaya itu. Dengannya diangkatnya tubuh kekasihnya itu. Darah yang mengalir dari lukanya membasahi lengannya, namun tak dipedulikan olehnya.

"Bun... Antar kami ke rumah sakit. Sekarang!!" Pemuda rantau itu berteriak kepada Buntara, sepupunya, yang segera bergegas begitu mendengar permintaannya.


BAGIAN 149
Berpacu dengan waktu, Asiong mengandalkan sepupunya untuk membawa Ervina ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan secepatnya. Telat sedikit saja, nyawa Ervina bisa jadi tak bisa selamat.

Sepanjang perjalanan, Asiong terus menghibur Ervina dengan membungkuk dan berbisik di telinga kekasihnya yang sedang dipeluknya dan dibaringkan di pangkuannya itu. Achiung yang duduk di samping Buntara tak jarang membalikkan badan untuk menengok keadaan mereka berdua. Sementara Jun Nyen diminta membawa motor yang ditinggalkan Asiong di tempat di luar sarang musuh.

Begitu tiba di rumah sakit, Asiong segera memanggul tubuh lemas Ervina dalam pondongan kedua lengannya. Achiung membantunya dengan membuka pintu dan mengurusi administrasi.

Dalam hitungan menit, Ervina pun sudah terbaring di ranjang dorong yang segera dibawa oleh dua orang perawat menuju lorong ruang Gawat Darurat. Asiong mengikuti mereka tepat di samping ranjang sambil meremas jemarinya. Achiung berjalan di belakang ranjang dorong, ikut mengantarnya hingga ke ruang perawatan. Buntara sendiri mencari tempat untuk memarkir mobilnya.

"Ohhhh..." Ervina mengeluh saat kesadarannya pulih kembali. Samar-samar dia merasakan tubuhnya seperti melayang di antara batas kesadaran dan tidak.

"Lex..." Terdengar gadis itu mendesis. "Kamu dimana..."

"Aku disini..." Asiong segera menjawab.

"Ini dimana...."

"Kamu tenang saja ya. Sebentar lagi kamu akan sembuh..." Sambil berjalan cepat mengikuti dorongan ranjang, Asiong membungkuk dan membisik di telinganya.

"Maaf, Pak. Hanya sampai disini saja, selebihnya Bapak tidak boleh masuk lagi." Salah seorang perawat yang mendorong ranjang tersebut berkata kepada Asiong.

"Ta... Tapi..."

"Ini darurat, Pak. Tolong mengerti." Kata perawat itu lagi. "Nyawa pasien sedang kritis."

Mendengar hal itu, tak ada jalan lain bagi Asiong kecuali melepaskan genggamannya di jari Ervina. Pada saat genggamannya terlepas, Ervina kembali mendesis lemah.

"Jus.. Justine... Mana Justine... Bawa Justine..."

Bersamaan dengan selesainya kalimat yang diucapkannya, kedua perawat telah menghilang di balik pintu ICU. Asiong dan Achiung tak dapat berbuat lebih jauh lagi selain berdiri terpaku di depan pintu.

"Justine katanya?" Gumam Asiong. Ditatapnya Achiung yang berdiri di sampingnya.

"Firasatku mendadak jadi tidak enak." Kata Asiong lagi. "Bertemu Justine di saat begini?"

"Siong..." Achiung menepuk pundak sahabatnya, membalas tatapannya.

Waktu terasa berlalu dengan lambat. Asiong dan kedua sahabatnya menunggu dengan cemas disana. Jun Nyen telah tiba di rumah sakit tersebut, sementara Buntara pulang ke rumah konveksi Asiong dan menjemput Justine, anjing piaraan Ervina, seperti yang dimintakannya.

Hampir satu jam berlalu namun belum ada tanda-tanda pintu ICU membuka. Sementara, Asiong berjalan dengan gusar di sepanjang lobi ruang tunggu. Dinginnya AC tak membuat hatinya menjadi tenang.

"Bagaimana keadaan Ervina?" Terdengar suara di belakang Asiong yang membuat pemuda itu menengok.

"Tante." Asiong memanggil orang yang baru datang itu. "Alvin juga. Maafkan aku. Aku telat menolongnya."

"Bagaimana bisa sampai terjadi begitu?" Wanita yang bukan lain adalah mamanya Ervina menatap gusar Asiong yang berdiri di hadapannya. Adik Ervina yang bernama Alvin juga ikut datang kesana saat itu.

"Ceritanya panjang." Asiong menghembuskan nafasnya. "Aku akan ceritakan semuanya."

"Dan aku siap bila Tante ingin menyalahkanku." Sambung Asiong. "Awal mulanya..."

Asiong menceritakan kembali kejadian secara cukup mendetail, sambil berharap ada harapan yang muncul dari dalam ruang ICU.

"Roni memang brengsek!" Kata mama Ervina. "Juga, siapa tadi namanya, Meilan?"

Asiong mengangguk. "Maafkan, Tante. Ini semua terjadi karena aku."

"Ini bukan karena salahmu." Jawab wanita itu. "Justru kamu sudah banyak berkorban untuk anakku."

"Cicik bagaimana, Ma?" Tanya Alvin menatap mamanya.

Wanita ibu kandung Ervina menghela nafas. "Kita tunggu saja kabar dari dokter..."

"Siong." Pada saat bersamaan, Asiong dikejutkan oleh Buntara yang sudah kembali ke rumah sakit. Di sampingnya berjalan Chun Hwa, kakak kandung Asiong.

"Vina gimana, Siong?" Chun Hwa memegang lengan adiknya. Raut wajahnya menampakkan kecemasan.

Buntara bergegas mendekat sambil membuka tas ransel yang ditentengnya.

"Sorry, Siong." Kata pemuda sepupu Asiong sambil membuka resleting tasnya. "Justine wa masukkan kesini. Kalau gak, kita gak bisa membawanya masuk ke dalam sini. Kan gak dikasih."

"Memang tak diijinkan..." Ujar Asiong melihat Justine yang sedang asyik terdiam menggerogoti sebatang tulang. "Pantas aja Justine diam..."

"Eh, Justine..." Alvin, adik Ervina masih menyempatkan diri memegang anjing piaraan kakaknya itu. Akibatnya Justine menyalak pelan dan menarik perhatian orang di sekitar sana.

Segera saja Buntara menutup kembali restleting tas ranselnya hingga menyisakan sedikit ruang untuk keluar masuk udara.

BRAAKKK!!

Semua mata mendadak tertuju pada seorang lelaki berpakaian dokter yang keluar dari dalam ruang ICU. Spontan Asiong dan semua yang berada di sana berlari mendekatinya dan mencecar pertanyaan yang sama.

"Bagaimana Ervina, Dok?" Tanya Asiong.

Dokter berkacamata itu menatap semua yang hadir disana mengerubunginya. Salah seorang perawat keluar dan berdiri di sampingnya.

"Kalian ini keluarganya Ervina?" Tanya si dokter.

"Benar." Jawab mama Ervina. "Saya mamanya. Bagaimana anak saya, Dok?"

Sang dokter menarik nafas dan menghembuskannya.

"Sebelumnya saya minta maaf." Kata si dokter. "Ervina mengalami banyak pendarahan. Kami sudah berusaha sebisanya."

"Jadi..." Asiong menatap si dokter dengan tatapan bertanya-tanya.

"Pisau menusuk dan melukai lambungnya. Pendarahannya parah. Ervina kekurangan darah dan luka di lambungnya mulai merembet ke arah jantung. Waktunya kurang dari 15 menit."

Semua yang berada di sana mendengar dengan mata membelalak dan jantung berdetak kencang.

"Jadi Ervina..." Mama Ervina sudah mulai berkaca-kaca kedua matanya.

"Maafkan, kami sudah berusaha maksimal." Kata dokter yang menangani Ervina. "Temuilah. Masih ada waktu sebelum berpisah."

Tanpa menghiraukan si dokter lagi, saat itu juga semua yang hadir disana menyeruak masuk ke dalam ruang ICU, berlomba-lomba ingin melihat Ervina yang sudah sekarat meregang nyawa itu.


BAGIAN 150
Asiong dan semua yang hadir disana hanya bisa menatap Ervina yang terbujur lemas di ranjang dengan pandangan berkaca-kaca. Bahkan sebagian dari mereka tak lagi bisa menahan derai tangis air mata menyadari nyawa Ervina yang hanya tersisa beberapa saat itu.

Pisau di badan Ervina sudah dicabut. Gadis itu kini terbaring lemah di ranjang, membuka matanya melihat semua yang hadir menjenguknya disana. Sebuah mesin EKG yang berada di samping ranjang menunjukkan gelombang detak jantung dan syaraf yang bergerak pelan.

"Mama." Ervina menatap mamanya yang menangis itu. Wanita yang menjadi ibunya itu berdiri di samping kirinya.

"Vina..." Mamanya memberikan kecupan di pipi putrinya yang kini terbaring lemah itu. "Jangan tinggalkan Mama..."

"Ma... Sakit sekali..." Kedua mata Ervina telah basah oleh air mata.

"Kau akan sembuh, Nak..." Wanita itu tak bisa menahan tangisnya melihat putri kesayangannya akan segera pergi meninggalkannya. Tangannya membelai pelan rambut pirang putrinya itu.

Bola mata Ervina bergerak pelan.

"Alex. Alvin. Semuanya..." Ervina berkata dengan suara pelan. "Terima kasih sudah datang kemari."

"Aku... Aku sudah tak kuat lagi..."

Asiong menggenggam jemari tangan kanan kekasihnya. Kedua mata pemuda rantau itu juga tak urung mulai basah oleh air mata.

"Alex, cintaku..." Desis Ervina lirih. "Terima kasih untuk semuanya."

Dua bulir bening menetes dari pelupuk mata Ervina. Asiong menggeleng sedih dengan mata yang semakin berair.

"Kecup aku, Lex... Aku... Aku ingin merasakan indahnya kecupan kita..." Ervina kembali berkata dengan pelan. "... untuk terakhir kalinya..."

Asiong, yang berdiri tepat di samping Ervina, tak bisa berbuat banyak selain menuruti permintaan kekasihnya itu. Walaupun banyak orang menyaksikannya, namun tak ada yang memberikan protes saat Asiong mengecup bibir Ervina dengan sentuhan mesra.

Walaupun sudah lemah, namun Ervina masih berusaha mengimbangi kecupan kekasihnya. Gadis itu ingin menikmati keindahan cinta mereka untuk saat-saat terakhir. Sekitar beberapa detik sepasang kekasih tersebut saling bercumbu, sebelum akhirnya kecupan mereka terlepas dan Asiong yang mulai memecah kebuntuan terlebih dulu.

"Vinaaa..."

"Terima kasih, Lex. Kini aku bisa pergi dengan tenang." Kata Ervina lemah setelah cumbuan mereka berakhir.

Asiong menggeleng. Kedua matanya semakin berkaca-kaca. Diremasnya jemari tangan kekasihnya, Terasa dingin, tidak seperti biasanya.

"Tidak, Vina. Kamu tidak boleh pergi. Kamu harus bertahan. Bertahan seperti yang biasa kamu lakukan."

"Aku sudah tidak sanggup lagi." Ujar gadis itu lemah. "Kamu lihat, Lex. Malaikat itu sudah menungguku."

"Tidak, tidak ada malaikat. Yang ada itu aku, Alex..." Asiong tak mampu membendung air matanya lagi menetes jatuh membasahi tangan Ervina. "Seperti katamu, aku pahlawanmu. Aku akan selalu melindungimu..."

"Lex, kamu menangis? Kamu tak boleh menangis. Kamu harus kuat. Kamu selalu menjagaku..."

Asiong menggeleng lagi. "Bertahanlah, Vina. Kamu pasti bisa..."

"Aku... Aku butuh kamu merawatku... Vina... Bertahanlah, jangan tinggalkan aku."

"Merawat.... rambutmu.... Jangan panjang... Aku marah kalau rambutmu panjang..."

Asiong mengangguk sedih. Diremasnya jemari dingin kekasihnya. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangisnya.

Gadis itu terdiam. Wajahnya terlihat sangat pucat.

"Vina... Bertahanlah. Pertolongan pasti akan datang..." Chun Hwa tak ketinggalan ikut memberikan harapan sambil memegang lengan Ervina.

"Cik Chun Hwa... Aku... senang mengenal Cicik..." Kata Ervina. "Maaf aku tak bisa memenuhi permintaan menjadi adik ipar Cicik..."

Chun Hwa terisak mendengar perkataan Ervina. Teringat olehnya suatu waktu dia pernah berkeinginan agar Ervina bisa menjadi iparnya dengan menikahi adik kandungnya.

"Dimana Justine? Aku ingin memeluknya untuk terakhir kalinya."

Buntara mendekat dan menyerahkan Justine ke pangkuan badan gadis itu tanpa melepaskan pegangannya di tubuh anjing kecil itu.

"Justine sayang..." Gadis itu berkata lemah. Tangannya membelai pelan anjing kesayangannya itu. "Maaf ya, aku hanya bisa menyayangimu, tak bisa memelukmu lagi.."

GUUKK!! Anjing kecil itu menyalak seakan mengerti apa yang dikatakan majikannya.

"Kiss..."

Buntara mendekatkan wajah Justine ke wajah Ervina. Bibirnya mencoba mencium anjing kecil itu. Seperti biasanya, Justine membalas dengan jilatan lidahnya.

"Hmm, sayang... Aku pergi ya. Kamu nanti ikut dengan Alex. Jangan nakal.."

Kata-kata itu membuat Buntara merasakan air matanya menetes jatuh ke ranjang tempat Ervina berbaring.

"Lex...Tolong jaga Justine bersamamu."

Kembali Ervina terdiam. Tampak gadis itu mencoba mengambil nafas-nafas terakhirnya. Dengan susah payah, kepalanya dipalingkannya ke arah mamanya yang berada di sebelah kirinya.

"Ma..."

Mamanya hanya bisa meremas jari-jari tangan putrinya untuk terakhir kalinya. Tak henti-hentinya dia menyeka air matanya yang terus mengalir.

"Al...Vin...De..ngar...kan ma...ma..."

"Ja..jang..an...bang...kang..." Suara Ervina terdengar semakin lemah.

Alvin yang berdiri di samping mamanya terdiam sambil menggigit bibirnya, berusaha menahan tangisnya. Namun air matanya sudah keburu mengalir membasahi pipinya saat itu.

"Lek...cin..ta..ku..." Tak sanggup lagi gadis itu memanggil Lex, hanya tersisa Lek yang masih bisa diucapkannya.

Asiong tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya saat itu. Dia kehilangan kata-kata melhat kenyataan yang harus diterima di depan matanya itu.

"S...e..l..a...m..a...t...ti...ng...g..a...l...." Kepala Ervina terkulai, seiring matanya yang menutup. Bunyi nada EKG pun tak lagi bergelombang, namun telah menjadi datar seketika.

"Vinnnnaaaaaaaaaaaaaaaaaa............" Asiong menjerit kencang sambil meremas jemari kekasihnya. Air matanya bagaikan hujan tak hentinya menetes.

"Vinnnaaaaaaaaa....." Mama Ervina pun menjerit lirih melihat kepergian Ervina. Namun wanita itu tak bisa menahan kesedihannya. Kesadarannya hilang harus menerima kenyataan itu. Tubuhnya yang pingsan sampai dipapah oleh Jun Nyen dan Achiung.

"Cik... Jangan pergi..." Alvin menggigit bibir bawahnya namun tangisnya tak dapat terbendung lagi.

"Vinaaa...." Bukan hanya Asiong yang menjerit pilu. Semua orang yang hadir di ruangan itu menjrit pilu dan bergegas mendekati tubuh gadis yang tegar itu. Semua tak ingin kehilangannya.

Justine juga tak henti-hentinya menyalak. Membawa binatang piaraan ke rumah sakit adalah suatu hal yang sebenarnya dilarang. Namun di saat keadaan sedang berduka, perawat pun tak berkomentar seperti ikut hanyut dalam suasana sedih disana.

Asiong, salah satu yang tak bisa menerima kenyataan menyakitkan ini, memeluk tubuh kaku Ervina sambil menangis di atasnya. Teringat olehnya awal perjumpaannya dengan gadis itu di sebuah pameran tahunan di Jakarta. Karena rokoklah mereka berdua bisa bertemu.

Lalu pertarungannya menyelamatkan Ervina dari tangan Roni. Tangis Ervina yang meledak dalam pelukannya di suatu malam. Kecupan pertama mereka.

"Aku... Aku tak bisa menerima semua ini. Aku mencintaimu..." Bibir Asiong bergetar saat mengucapkannya.

"Ini semua tidak adil!" Asiong menggelengkan kepalanya. "Sungguh tidak adil!"

Justine menggonggong pelan seperti mengerti apa yang sedang terjadi disana. Suaranya membuat Asiong teringat kembali saat mereka berdua berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa anjing kecil itu, sementara anak buah Roni terus mengejar mereka.

"Nyawa kecil Justine selamat, tapi kamu tak bisa bertahan... Apa artinya semua perjuangan kita selama ini?"

Perjuangan Asiong yang menyelamatkan Ervina dari ilmu tenung yang menyerang gadis itu, hingga ke pedalaman Dayak Iban. Hingga saat gadis itu dikenalkan kepada teman gengnya.

Saat mereka berdua untuk pertama kalinya berselisih paham karena kehadiran Meilan. Walaupun akhirnya Ervina bisa menerima dan mempercayai Asiong.

Perjuangannya membayar hutang keluarganya hingga pertarungan terakhir yang mengakibatkan nyawa Ervina sebagai korbannya.

Asiong menggelengkan kepalanya mengingat semua itu.

"Hari ini aku menangis untuk orang yang kucintai. Aku sangat jarang sekali menangis. Tapi kini, aku ibarat dirimu yang menangis dalam pelukanku..."

Pemuda itu terdiam beberapa saat. Air matanya tak terbendung mengalir bagaikan ingin membasahi badan kaku di hadapannya. Secara tak sengaja, sepasang matanya melihat cincin yang masih melingkar di jari manis tangan kanan Ervina, cincin dengan nama Alex di dalamnya. Di jari manis lengan kirinya sendiri tersemat cincin yang bertuliskan nama Ervina.

"Ada kamu di hatiku dan ada aku di hatimu." Asiong menggumam pelan saat teringat makna yang terkandung pada sepasang cincin yang mereka pakai itu.

"Tidaaakkk. Ini tidak adil!!" Asiong menjerit histeris sambil meremas jemari tangan kekasihnya yang telah kaku itu.

Asiong mengangkat kepalanya. Terlihat olehnya kini, Ervina yang pernah dicintainya, telah terbujur tak bergerak di hadapannya. Tak ada lagi senyumnya, lirikan matanya yang membuat dirinya berdesir, suara lembutnya yang merdu dan ketegarannya sebagai anak sulung keluarganya.

Bukan Asiong saja yang merasa sedih dengan kepergian Ervina, namun juga semua yang ditinggalkannya. Ruang UGD itu mendadak menjadi ajang adu tangis, sehingga perawat yang menangani Ervina sebelumnya harus menunggu hingga keadaan agak tenang sebelum bisa membereskan semuanya.

Isak tangis masih memenuhi ruangan UGD untuk beberapa saat lamanya. Perawat yang menangani Ervina sedang membelakangi semua yang bersedih dan membereskan peralatan medis di sekitar ranjangnya. Setelah beberapa saat, dia membalikkan badannya dan tangannya bergerak menekan tombol mesin EKG.

TIT! TIT!

Perawat tersebut terhenyak mendengar suara detak mesin EKG sebanyak dua kali itu. Namun dia tidak mempedulikannya dan tangannya kembali hendak menekan tombol mematikan mesih Elektrokardiogram tersebut.

TIT! TIT! TIT!

"Itu..." Kembali si perawat terhenyak saat mendengar suara detak mesin EKG kembali. Mesin yang seharusnya berbunyi panjang tanpa terputus, namun hingga detik itu dia telah mendengar mesin tersebut berbunyi lima kali detakan setelah suara panjang tak terputus itu.

TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT!

"Ti... Tidak mungkin..." Tampak kedua mata si perawat terbelalak melihat layar EKG mulai beraktivitas kembali dan gelombang yang tadinya lurus kini mulai naik dan turun.

"Siong..." Adalah Jun Nyen yang pertama menyadari keanehan tersebut dari semua yang hadir di ruangan itu. Suaranya membuat Asiong menatapnya.

"Ada apa?" Asiong bertanya saat melihat Jun Nyen.

"Itu..." Jun Nyen menunjuk layar mesin EKG yang mulai berubah gelombangnya.

Asiong menengok ke arah yang ditunjukkan oleh Jun Nyen. Di saat yang bersamaan, semua mata berpaling ke tempat yang sama.

TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT! TIT!

"Lho... Kok..." Asiong menatap tak percaya pada layar EKG di hadapannya. Termasuk semua yang hadir disana juga sulit menerima apa yang sedang terjadi.

"Mustahil. Tadi kan sudah tidak ada!" Si perawat juga terpaku tak bergerak menyaksikan keanehan tersebut. Gelombang EKG semakin lama semakin cepat. Mulai dari detak jantung hingga akhirnya sinyal nafas.

Semua mata disana dibuat terbelalak oleh keanehan disana. Mesin EKG yang seyogyanya diam dan menunjukkan kepergian pasien, kini beraktivitas kembali.

"Ini... Ini..." Asiong menatap tak percaya.

"Siong, kenapa begini?" Chun Hwa juga tak lepas dari rasa tercengangnya.

"Wa tak tahu, Ce..." Ujar Asiong.

Saat semua mata dibuat terbelalak oleh perubahan yang terjadi secara aneh tersebut, sesuatu yang terjadi selanjutnya lebih membuat semuanya terhenyak.

"Nggghhhhh...." Terdengar suara lenguhan. Semua orang yang mendengarkan berpaling ke arah suara tersebut.

"Nggghhh... Lexx..."

"Vina??" Asiong yang paling dahulu tersentak menyadarinya. Yang memanggilnya dengan nama Alex, siapa lagi kalau bukan Ervina. Ditatapnya tubuh kekasihnya, yang perlahan mulai ada pergerakan, di bagian wajahnya, terutama di bagian matanya.

"Lex..." Terdengar suara Ervina kembali sambil membuka matanya. Kedua bola matanya melirik sesaat.

Semua yang hadir disana tertegun tak bergerak, tak terkecuali si perawat yang menatap dengan mulut melongo.

Perlahan Ervina bergerak. Diawali dengan gerakan lengannya dan lalu badannya bangun dari tertidurnya. Spontan semua yang berada di ruangan itu terloncat saking kagetnya.

"Hantuuu!!" Teriak Buntara. "Hantunya Ervina!"

"Setaaannn!!" Achiung yang berikutnya memberikan komentar yang sama. Ekspresinya menunjukkan antara takut dan tak percaya.

"Apa? Kok pada panggil aku hantu sih? Setan lagi..." Ervina yang baru bangun itu menatap mereka semua dengan pandangan bingung. "Ini aku, Vina..."

"Tapi.. Tapi..." Alvin yang berkata itu terdengar bergetar suaranya. "Cicik kan sudah mati?"

"Sembarangan! Siapa bilang aku mati?!" Ervina memelototi adiknya.

"Iya, hantu. Jangan-jangan gak injak tanah lagi. Hiiiii...." Jun Nyen bergidik menyadari hal itu.

"Kalian kok gak percaya sama aku sih? Ini aku, Ervina."

Asiong menatap Justine yang saat itu berada dalam pelukan Buntara. Anjing kecil itu tampak tidak melolong, tapi menyalak gembira.

"Justine tidak melolong, tapi menggonggong senang..." Gumam Asiong.

Dengan tak percaya, Asiong menyibakkan baju yang dipakai kekasihnya.

"Alex, apa-apaan sih? Nakal!" Ervina sudah melancarkan protesnya saat Asiong menyibakkan bajunya di bagian pinggangnya dan memeriksa badannya, tempat dimana menjadi tempat tusukan pisau sebelumnya.

"Hah!!" Terbelalak Asiong melihat kulit dan daging Ervina yang sebelumnya tertusuk dan luka berdarah, kini seperti tak pernah terjadi apapun sama sekali.

"Nakal!" Ervina merengut. "Banyak orang disini, kamu ngapain?"

"Aduuhhh!!" Asiong menjerit saat kepalanya mendapat ketukan dari tangan Ervina. Bukannya marah, namun pemuda itu tersenyum karenanya.

Ervina yang sempat mengetuk kepala Asiong, memegang tangan kanan kekasihnya yang tadi menyingkap bagian bawah bajunya itu.

"Lex... Gelangmu?" Ervina mengangkat lengan kanan Asiong dan melihatnya dengan lebih jelas. "Kemana gelangmu? Yang katamu dikasih Tetua Iban itu?"

"Hah?!" Asiong sendiri tersentak mendengar pertanyaan kekasihnya. Diperhatikannya lengan kanannya yang kini telah polos. Gelang pemberian Tetua Iban yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, kini tak lagi melingkar disana. Hilang entah kemana.

"Siong, tadinya wa juga kaget melihatnya." Tahu-tahu terdengar Chun Hwa berkata. Semua mata kini tertuju kepadanya.

"Saat kau sedang menangis di badan Vina, gelang di tanganmu itu berpijar sesaat." Lanjut Chun Hwa. "Walau cahayanya tidak terang, namun tak ada yang memperhatikan karena semua sedang sedih."

"Tapi wa sempat lihat. Setelah pijarannya hilang, tak lama kemudian Vina pun bangun."

"Hah?!" Kembali Asiong terbelalak mendengar penjelasan kakak kandungnya itu. "Dan Vina juga tidak kenapa-kenapa?"

"Berarti..." Asiong melihat ke arah kekasihnya. "Vina, kamu... kamu kembali!"

Pemuda itu memeluk erat tubuh Ervina yang berada di hadapannya.

"Nyawamu ditukar dengan gelang Iban." Kata Asiong dengan suara bergetar. "Terima kasih, Tetua Iban. Terima kasih."

"Ini... Ini..." Giliran sang perawat yang kini terbelalak tak percaya melihat keajaiban di depan matanya itu. Tubuhnya mendadak lemas dan terkulai.

"Astaga, dia pingsan!" Kata Jun Nyen saat melihat sang perawat terkulai tak sadarkan dirinya.

Walaupun nyaris tak bisa diterima dengan akal sehat, namun gelang Iban yang melingkar di pergelangan lengan Asiong lah yang menyelamatkan nyawa Ervina. Gelang Iban yang kini telah hilang, namun nyawa orang yang dikasihi oleh Asiong dan banyak orang kini telah kembali.

Di saat semuanya bergembira menyambut kedatangan Ervina kembali, di saat Alvin mendapat penjelasan tentang gelang Iban yang telah hilang dari pergelangan tangan Asiong, di saat itulah mama Ervina mulai siuman dari pingsannya.

"Ervina..." Gumamnya saat teringat kembali putrinya itu. Matanya berpaling ke ranjang di ruangan itu.

"Hah! Itu siapa?! Vi.." Kedua mata wanita itu terbelalak saat melihat anak gadisnya telah duduk di ranjang dengan tersenyum dan memanggilnya.

"Mama, ini aku, Vina..."

"Oh, tidaaaaakkkk!!" Wanita itu menjerit dan untuk detik berikutnya, kembali pingsan tak sadarkan dirinya. Mengira Ervina adalah hantu yang hidup setelah kematiannya.

Kejadian mana membuat semuanya tertawa lepas. Setelah semuanya melewati saat sedih, kini, semuanya bisa kembali tertawa lepas.

Tak ada yang lebih bahagia saat itu selain Asiong dan Ervina...


-------------------Epilog-------------------

Lima bulan kemudian...

Asiong dan Ervina kembali ke Pontianak dan dengan panduan Jun Nyen - yang ikut pulang bersama mereka - mengunjungi Perkampungan Dayak Iban. Sepasang kekasih itu ingin mengucapkan terima kasih atas jasa Tetua Iban yang telah dua kali menolong Ervina dengan mengembalikan nyawanya dan juga Asiong dengan memberikan gelang Iban kepadanya sehingga nyawanya selamat dari bahaya yang mengancamnya.

"Jadi gelang Iban itu mengorbankan dirinya untuk menukarnya dengan nyawa Ervina." Kata Jun Nyen yang menjadi penterjemah untuk mereka berdua. Saat itu mereka bertiga duduk di dalam rumah betang milik Tetua Iban yang pernah mereka kinjungi sebelumnya. Sang Tetua berpamit ke dalam, meninggalkan mereka bertiga menikmati Saguer yang dihidangkan. Beberapa gadis Dayak tampak sedang menenun di dalam rumah betang tersebut.

"Andai saja Vina tidak celaka dan terluka, hingga merenggut nyawa, gelang Iban itu kini masih ada di tanganmu, Siong."

"Tak apa, Nyen." Asiong tersenyum. "Wa sudah senang bisa mendapatkan Vina kembali."

"Ya, wa juga sempat berkunjung ke Singkawang kemarin." Sahut Jun Nyen. "Meilan telah kembali lagi kemari setelah kejadian waktu itu. Nasibnya kurang lebih sama dengan kokonya, gegar otak dan sudah dungu."

"Wa sebenarnya kasihan dengan keluarganya. Kedua anaknya menjadi hancur gara-gara wa." Kata Asiong.

"Jangan sekali-kali kamu kesana ya, Lex." Ervina menasehati. Gadis itu kini tak lagi memirangkan rambutnya, namun telah mengembalikannya seperti sedia kala. Rambut hitam alami dan dibiarkan panjang tergerai lepas. "Namamu disana sudah black list."

"Tentulah." Jawab Asiong sambil tersenyum. "Wa kini mau hidup tenang. Kalau bisa wa ingin berhenti bertarung, karena sudah ada yang mengurus. Gadis cantik di samping wa ini."

"Mulai lagi isengnya ya..." Ervina mendelikkan matanya.

Asiong tertawa lepas. Kasus mereka dengan Roni kini telah selesai. Setelah pertarungan mereka, Roni menderita luka yang bukan ringan. Setelah dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan pertolongan medis, kini Roni harus rela kehilangan sebelah badannya yang lumpuh akibat pertarungannya dengan Asiong. Sementara ayahnya meninggal saat dilarikan ke rumah sakit akibat pendarahan di sekitar otaknya setelah dihantam Ervina dengan kayu pemukul baseball. Sementara Lukman yang telah keluar dari penjara, menghilang entah kemana.

"Oh ya, Siong." Jun Nyen tertawa cengengesan. "Wa ada kejutan ini untuk kalian."

"Apa?" Tanya Asiong dan Ervina secara bersamaan.

"Bentar ya!" Jun Nyen melirik ke seseorang yang berjalan mendekatinya setelah tangannya melambai kepadanya. Seorang gadis dayak Iban yang sangat cantik dan berkulit bening cerah duduk di sampingnya.

"Kenalkan, gadis Iban ini calon pasangan hidupku..." Kata Jun Nyen sambil tersenyum. "Namanya... Aduuuhhh..."

Jun Nyen menjerit kesakitan saat lengannya mendapat sentilan dari gadis Dayak Iban di sampingnya, yang tertawa setelah itu.

"Oh, namanya Aduh ya?" Ujar Ervina sambil tertawa. Leluconnya membuat Asiong juga ikut terpengaruh dan tertawa. Sementara Jun Nyen hanya menggaruj kepalanya yang tidak gatal itu dengan ekspresi kecewa.

***

"Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau"
Based on A True Story (berdasarkan sebuah kisah nyata).
Kisah ini ditulis seperti yang diceritakan kepada pengarang.
Dengan tidak mengurangi maksud dan inti cerita, penulis mengembangkan kisah hanya semata-mata untuk estetika cerita.

Bila ada kesamaan nama atau tempat, itu hanya suatu kebetulan belaka.


TAMAT




Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-December 2010

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates