Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Bagian 129~140)
"Siong, mau makan mie gak?" Sambil membawa semangkuk mie yang masih panas di tangannya, Achiung duduk di meja panjang konveksi dan melipat kakinya. Asiong yang baru saja selesai mandi pagi itu mendapat tawaran makan dari sahabatnya.
"Nanti saja. Kau duluan makanlah." Jawab Asiong sambil mengeringkan rambutnya yang kini telah rapi dipotong pendek itu. Dengan bertelanjang dada yang menunjukkan kekar badannya, pemuda itu berjalan ke arah kamarnya.
"Wa duluan ya..." Kata Achiung sambil meniup mie yang diambilnya dengan sendok makan.
"Lex, udah mandinya?" Suara Ervina menyambut kedatangan Asiong ke dalam kamar. Hanya itu yang sempat terdengar oleh Achiung saat itu, karena saat berikutnya dia tidak lagi bisa mendengar sepasang kekasih tersebut berbicara. Yang dia tahu hanya saat Ervina melangkah keluar kamar tidur sambil tertawa kecil.
"Kalau gitu, aku masak dulu deh." Achiung melihat Ervina berjalan sambil tersenyum. "Masak dua ya?"
Sambil meneruskan makannya, Achiung melihat Ervina menyalakan kompor gas di dapur dan mempersiapkan air dan dua bungkus mie instan. Rupanya Asiong meminta gadis itu memasakkan mie untuknya.
Ketika Ervina sedang asyik memasak mie, Chun Hwa berjalan turun dari lantai atas dan menghampirinya. Kakak kandung Asiong itu tersenyum saat melihat Ervina yang memasak dengan seru, gadis itupun menggoda kekasih adiknya tersebut.
"Wah, pagi-pagi udah masak mie untuk Asiong. Masaknya dengan bumbu cinta ya?"
Ervina menoleh dan tersenyum mendengar perkataan Chun Hwa. "Cik Chun Hwa bisa aja. Alex malas makan diluar hari ini, jadinya ya aku masakin untuknya."
"Hmm... Semakin cinta dong jadinya ya?" Chun Hwa tertawa lepas sambil memegang kedua pundak calon iparnya itu.
"Cik..." Ervina masih tersenyum mendengar godaan Chun Hwa.
"Gimana Asiong gak sayang kamu, biasanya dia jarang mau gunting rambut. Tapi begitu ada kamu, dia langsung gunting rambut."
"Masa sih, Cik, Alex jarang mau gunting rambut?" Ervina membalikkan badannya dan menatap Chun Hwa.
Chun Hwa mengangguk. "Adik-adik wa semua jarang mau gunting rambut. Walaupun Asiong sangat wa sayang, tapi dia gak mau mendengar wa kalau udah urusan tentang rambut. Juga termasuk kedua orang tuanya. Alasannya dia merasa bukan dirinya yang sebenarnya. Makanya waktu wa liat Asiong gunting rambut, wa jadi ketawa. Ternyata dia begitu mendengarmu, Vin."
"Kalau memang udah cinta ya begitulah." Chun Hwa tertawa. "Hanya kamu yang bisa menasehati Asiong tentang rambutnya..."
Ervina merasa kedua pipinya memerah saat itu. Dipalingkannya wajahnya ke arah lain.
"Lho, Vin, mie nya... Nanti kematangan lho..." Mata Chun Hwa terbelalak sambil jarinya menunjuk mie yang sedang dimasak oleh Ervina. Spontan mendengarnya, spontan pula Ervina terhenyak dan membalikkan badannya mengaduk mie yang sudah mulai matang itu.
Sementara Achiung sudah selesai menikmati makan paginya dan Chun Hwa berdiri menyandar di dinding sambil menikmati minumnya, saat Asiong berjalan keluar dari kamarnya sambil bersiul-siul kecil.
"Wah, sudah kenyang nih." Kata Asiong saat melihat Achiung menurunkan kakinya dari meja panjang yang sedang didudukinya. "Giliranku kapan ya?"
Pemuda itu menghampiri Ervina yang sedang mengangkat mie ke dalam sebuah mangkuk. Diintipnya kekasihnya yang sedang memasak itu.
"Wah, sudah matang nih," Ujarnya sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Kelihatannya sedap. Hmmm..."
Dengan hidungnya, Asiong mengendus wangi yang keluar dari asap panas saat mie tersebut dipindahkan dari panci ke dalam mangkok.
"Alex, jangan dekat-dekat, panas nih..." Ervina yang mengetahui kedatangan kekasihnya itu berkata singkat sambil kembali meneruskan kerjanya.
"Dasar manja kau, Siong. Dulu belum ada Ervina, masak mie aja bisa sendiri. Sekarang begitu ada Ervina aja, minta dimasakin."
Yang berkata seperti itu kepada Asiong, siapa lagi kalau bukan Chun Hwa. Gadis itu tersenyum melihat kemesraan adiknya dengan Ervina.
"Vin, sepertinya ada yang iri tuh." Bukannya membalas ledekan kakaknya, Asiong malah sengaja berkata menyindir. Walaupun yang diajak berbicara adalah Ervina, namun tujuan perkataannya jelas adalah Chun Hwa.
"Seingat wa bukannya dulu yang masakin buat Asiong itu Ce Chun Hwa?" Achiung menimpali sambil tersenyum. "Wa belum pernah melihat Asiong masak sendiri deh."
"Jangan gitu, Chiung." Kata Asiong. "Fitnah itu lebih sakit daripada kena panah..."
Ervina langsung tertawa mendengar celotehan kekasihnya. Untung saja kuah mie yang sedang dituangnya tidak tumpah ke tangannya akibat guncangan saat dia tertawa.
"Kata siapa, Siong?" Chun Hwa menaikkan alisnya menatap Achiung. "Kalau kena panah asmara, masa bisa sakit? Bukannya malah sebaliknya?"
"Meriang, panas dingin, walau dikerok juga tetap aja sama..." Sambung Achiung sambil menyengir.
"Udah deh, Alex kan belum makan pagi..." Ervina memberikan mangkuk mie kepada kekasihnya. "Ini, Lex. Mungkin gak cocok dengan seleramu..."
"Oh, udah pasti cocok dong." Chun Hwa menjawab. "Yang masak kan yayangnya, mana mungkin gak cocok selera. Ya kan, Chiung?"
"Betul, Ce. Asiong ada yang bela lho... Ehemm..."
"Kalian ini... Tidak boleh lihat orang senang dikit ya..." Ujar Asiong sambil duduk di atas meja panjang dan menunggu Ervina bergabung dengannya. Kekasihnya itu sedang berjalan dan membawa seporsi mie lagi untuk dirinya sendiri. "Pasti saja dikomentarin..."
Pada saat itu dimana mereka sedang bercanda ria, sebuah bunyi musik menghentikan semuanya. Achiung bergegas mengambil ponsel yang tadi diletakkannya di atas meja panjang saat dia sedang makan mie.
"Ya, Nyen, kenapa?" Achiung mendekatkan ponselnya ke telinganya dan mendengar pembicaraan dari seberang saluran.
"Hah? Diserang? Gimana keadaanmu sekarang?" Wajah Achiung mendadak berubah menjadi serius. "Ya, kami segera kesana."
"Kenapa, Chiung?" Tanya Asiong sambil menyedot mie dengan mulutnya. Matanya melihat Achiung yang mengantongkan ponselnya dengan wajah cemas.
"Jun Nyen diserang Abui semalam. Motornya ditabrak dan Meilan membokongnya." Achiung menjelaskan.
"Hah?!" Terbelalak mata Asiong mendengar penjelasan Achiung. Mulutnya berhenti mengunyah dan menatap Achiung dengan mata membelalak lebar.
"Anyen minta kita kesana." Kata Achiung lagi. "Kau habiskan makan dulu. Wa siap-siap sekarang."
"Ya, Lex, habiskan dulu makannya, baru kesana." Ervina mengusap tangan kekasihnya yang tak lagi menadah mangkuk mienya setelah mendengar kabar tentang Jun Nyen.
"Masalah lagi ya, Siong?" Chun Hwa menghela nafasnya saat mendengar semuanya itu. Pada saat yang bersamaan, matanya dan mata Ervina, yang memalingkan wajahnya ke arahnya, saling bertatapan satu sama lain.
Bagian 130
Asiong mengepalkan tangannya dengan geram saat mendengar cerita dari Jun Nyen yang mendapat serangan mendadak semalam. Kini Jun Nyen telah pulang ke rumah saudaranya setelah mendapatkan pertolongan dari beberapa orang yang kemungkinan masih warga di sekitar tempat kejadian tersebut.
Dengan bersusah payah menahan sakit di sekujur badan akibat terjatuh dari motor dan sebuah hantaman di kepalanya oleh kayu pemukul baseball yang dilancarkan Meilan di tengkuknya, Jun Nyen mengendarai motornya yang sudah rusak tertabrak mobil itu dan tiba di rumah saudaranya.
Setelah mandi membersihkan badannya yang lusuh dari pertarungan, Jun Nyen mengistirahatkan badannya. Karena terlalu lelah ditambah dengan rasa sakit hampir di sekujur badannya, pemuda itupun akhirnya tertidur sebelum sempat memberi kabar kepada Asiong tentang insiden yang ditemuinya.
Barulah pada keesokan paginya, Jun Nyen menghubungi Asiong melalui ponsel. Saat mendengar kabar mengejutkan dari sahabatnya tersebut, Asiong langsung meluncur ke rumah saudara Jun Nyen untuk menjenguknya. Bersama Asiong, ikut pula Achiung yang berangkat bersama dengan satu kendaraan bermotor milik Asiong. Sementara Ervina tidak ikut, tetap berada di rumah konveksi.
"Kurang ajar!" Kedua mata Asiong mendelik. "Meilan benar-benar sudah keterlaluan!"
"Andai saja tak ada kayu pentungan itu, wa sudah pasti merobohkan Abui." Kata Jun Nyen. "Tapi Meilan licik. Membokong dari belakang dan membuat keadaan berubah total."
"Pengecut!" Asiong, yang terkenal sangat menjunjung tinggi sportivitas, mengumpat dengan keras.
"Wa tak apa-apa, Siong. Tenang aja!" Sahut Jun Nyen. "Kalau hanya pukulan di perut dan di kepala, ini masih lebih enteng dibandingkan perkelahian kita di Pontianak yang membuat kita terluka parah itu."
"Itu sih pertempuran dengan orang Madura." Achiung membetulkan perkataan Jun Nyen. "Gara-gara mereka dengan seenaknya mengusik keberadaan kita disana."
"Apapun itu, hal seperti ini tidak sepatutnya terjadi." Kata Asiong. "Berani sekali Meilan menghajarmu sampai begitu, padahal dia berurusan dengan wa. Bukan denganmu."
"Itu karena usahanya menculik Mei Ce gagal karena campur tangan kita malam itu," Achiung menimpali. "Mungkin dari sana dia dendam kepada kami."
"Tetap saja tak bisa dibenarkan, apapun alasannya!" Kata Asiong tegas.
Jun Nyen menggosok tengkuknya dengan arak gosok yang diminta dari saudaranya. Bau arak langsung menyeruak di ruang tamu dimana ketiga pemuda itu berada saat Jun Nyen menggosok badannya yang sakit itu. Juga kakinya yang terluka telah diobati dengan obat merah.
"Sudahlah, Siong, yang penting wa gak apa-apa." Sahut Jun Nyen sambil menatap Asiong. "Yang perlu dijaga itu bukan wa, tapi Ervina."
"Ya, semoga saja setelah Roni dan antek-anteknya dijebloskan ke penjara, Ervina bisa merasa lebih tenang." Achiung menanggapi.
Asiong mengangguk. "Ya, tapi kita juga jangan berpangku tangan sampai disini. Wa masih harus berhati-hati karena anak buah Roni masih ada di luar dan juga sekarang Meilan dan Abui sudah mulai mengincarmu, Nyen."
"Kejadian kemarin menjadi pengalaman bagiku. Jangan pernah merendahkan kemampuan seorang wanita. Ada kalanya seorang wanita bisa lebih sadis dari seorang pria." Kata Jun Nyen.
"Ya, itu betul sekali." Jawab Achiung sambil merogoh sakunya. Dari dalamnya, dia mengeluarkan sebungkus rokok yang isinya tersisa setengah.
"Ayo, kita merokok dulu untuk menenangkan diri." Katanya sambil menawarkan rokoknya pada kedua sahabatnya. Asiong dan Jun Nyen mengikutinya, dan menyalakan masing-masing sebatang rokok sambil meneruskan pembicaraan mereka.
Pada saat yang bersamaan...
"Sudah setengah jam lebih. Wa rasa sudah saatnya..." Sebuah suara misterius berkata. "Semua rencana berjalan dengan sempurna."
"Ya, kau hebat, Mei." Sahut sebuah suara lain. "Tak perlu susah payah, Asiong dengan sendirinya sudah masuk dalam perangkap kita."
"Ayo, Ko Abui, kita mulai! Mampuslah kau, Koko Asiong! Hahahahaha..."
Bagian 131
"Kau yakin ini nomornya?"
"Ya, Mei, wa yakin sekali."
"Darimana kau bisa tau, Ko Abui?"
"Udahlah. Jangan meragukan kemampuan wa kalau urusan begituan." Jawab orang yang bernama Abui itu. "Wa berani jamin, ini pasti nomornya."
"Darimana?" Tegas Meilan lagi.
"Mei, Mei." Abui menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. "Orang tidak selamanya terus memegang hape. Ada saatnya dia akan meninggalkannya. Begitu pula dengan Roni."
"Saat wa kesal karena usaha kita gagal, wa berniat membalas Roni." Sambung Abui. "Sewaktu wa melihat dia meninggalkan hapenya di atas meja, wa menyelinap dan mengambilnya. Namun bukannya wa berhasil mencari tahu nomornya, malah wa melihat nomor Ervina dari pesan yang masih disimpan di hapenya."
"Wa mencatatnya. Baru wa cari tahu nomornya Roni, tapi telat. Seorang anak buahnya datang, jadi wa taruh lagi hapenya ke meja seakan-akan tak terjadi apa-apa."
"Berikan pada wa! Biar wa yang hubungi dia!" Seorang lagi yang bukan lain adalah Meilan adanya merebut ponsel yang dipegang oleh Abui. Dengannya gadis berambut pendek itu mulai menjalankan aksinya.
Sementara itu...
"Aduh, kok Alex gak ada kabar ya?" Ervina berjalan risau ke dalam kamarnya setelah sekitar satu jam tak ada kabar berita dari Asiong. "Gak biasanya begitu deh. Gak sms, telepon juga gak."
Saat melangkah masuk ke dalam kamarnya, mata gadis itu terpaku pada sebuah benda yang tergeletak di atas tempat tidur. Tangannya segera bergerak menyambarnya.
"Ya ampun, Alex lupa membawa hapenya." Ervina menggenggam hape Asiong yang lupa dibawa itu. "Pantas dia gak menghubungiku..."
"Tapi kan dia bisa menghubungiku dengan hape Achiung ya..." Gumam Ervina lagi. "Ah, mungkin dia lupa karena pikirannya kalut Anyen mendapat musibah."
"Ya sudahlah. Mudah-mudahan aja mereka gak kenapa-kenapa." Ervina duduk di pinggir tempat tidurnya.
"Tapi kok perasaanku jadi gak tenang begini ya?"
"Apa aku aja kali ya yang hubung Alex ke hapenya Achiung?" Jari-jari lentiknya bermain di tombol nomor ponsel Asiong. Pikirannya sedang berkecamuk mencari jawaban atas keraguan hatinya itu.
"Okelah, aku hubungi Achiung." Ujar Ervina sambil menekan tombol di ponsel Asiong.
"Achiung. Achiung. Aduh kok gak ada? Alex simpannya pakai nama apa nih?"
Tepat pada saat gadis itu sedang mencari nama Achiung dari sekian banyak nama yang tersimpan di ponsel kekasihnya, terdengar bunyi yang berasal dari ponselnya sendiri. Terperangah gadis itu sambil tersenyum.
"Itu pasti Alex." Dihentikannya tangannya yang sedang mencari nama di ponsel kekasihnya dan beralih untuk menyambar ponselnya sendiri yang tergeletak di atas meja kecil di depan ranjang yang didudukinya.
Dilihatnya sebuah pesan sms di layar ponselnya. Dengan nomor yang tidak tertera di memori teleponnya, praktis gadis itu mengira pesan tersebut dikirim oleh kekasihnya melalui ponsel Achiung.
"Ervina. Asiong alias Alex yang kamu cinta itu sudah kami bekuk dan sekarang berada dalam tawanan kami. Bila kamu cinta padanya dan masih ingin bertemu dengannya, segera datang ke tempat yang kami tentukan. Salam, Meilan."
"Meilan?" Sepasang mata Ervina terbelalak. "Alex, Alex ditawan?"
"Ahhh... Tidakkk!!" Gadis itu berdiri dan mengusap rambut pirangnya. "Alex ditawan, Alex ditawan."
Tanpa disadarinya, dua bulir air bening menetes keluar dari sepasang matanya. "Alex dalam bahaya. Aku... Aku harus kesana..."
Pikiran Ervina yang sudah kalut karena tak ada kabar berita dari Asiong, ditambah lagi dia mendengar insiden yang menimpa Jun Nyen, membuat kecemasannya semakin bertambah. Kepanikannya mencapai puncaknya tatkala mendapat kabar dari Meilan bahwa kekasihnya telah dibekuk dan tertawan.
"Jangan-jangan Alex juga dibokong..." Memikir hingga kesana, keringat dingin memercik keluar di kening gadis itu. Digelengkannya kepalanya dengan putus asa. Air matanya telah menetes ke lantai kamar saat itu. "Tidak. Alex... Tidaaakkkk!"
"Aku harus kesana. Aku harus menolong Alex..."
Dengan matanya yang telah berair, gadis itu menatap ponsel yang masih dipegangnya. Jari-jarinya gemetar saat dia menekan tombol membalas pesan singkat dari Meilan.
"Meilan, dimana Alex? Tolong jangan sakiti dia. Bila kamu menginginkan aku kesana, aku turuti permintaanmu. Tapi jangan sakiti Alex, kumohon. Ervina."
Tak ada balasan dari pengirim yang bernama Meilan itu. Ervina semakin panik menunggunya.
"Ayo, balas, balas, balas..." Gadis itu memekik pelan sambil matanya terus menerus melihat layat ponselnya berharap adanya balasan pesan. Rasa cemas berkepanjangan membuatnya duduk kembali di ujung tempat tidur. Tangannya bergetar memegang ponselnya. Jantungnya semakin kencang berdegup. Air matanya semakin jatuh menetes.
Ponsel berbunyi. Ervina segera membacanya.
"Bila kamu ingin menemui Alex, datanglah ke alamat ini." Sebuah alamat tertulis sebagai lanjutan pesannya. "Kami beri waktu setengah jam atau ucapkan selamat tinggal kepada Alex-mu!"
"Tidaaakkkkk!!!" Memekik lirih Ervina membaca pesan tersebut. Air mata telah membasahi wajahnya yang cantik. Rambutnya yang mulai tak beraturan pun tak lagi dipedulikannya.
Tanpa berpikir panjang lagi, gadis itu berdiri dan berlari keluar kamar. Tak dipedulikannya pintu kamar yang tak lagi dikuncinya. Chun Hwa yang saat itu baru pulang dari pasar sampai nyaris ditabraknya di depan pintu masuk.
"Vina, mau kemana? Kok buru-buru?" Tanya Chun Hwa yang terkejut melihat Ervina yang berlari cepat ke arah pintu. Lebih terkejut lagi Chun Hwa saat melihat lebih jelas wajah Ervina yang telah basah oleh air mata.
Chun Hwa masih mencoba menggapai dan memegang Ervina dengan raihan tangannya, namun calon iparnya itu lebih cepat bergerak dan dalam sekejap telah menghilang ke pintu pagar dan berlari menghentikan sebuah Bajaj yang kebetulan melintas di depannya.
Tanpa menawar harga lagi, Ervina langsung naik dan duduk di Bajaj yang dipanggilnya. Meninggalkan Chun Hwa yang terbengong melihat semua tingkah lakunya yang aneh itu.
Bagian 132
"Bagus." Meilan tertawa saat melihat balasan pesan singkat dari Ervina di ponselnya. "Sesuai perkiraan, gadis dungu itu akan datang menemui kita."
"Dengan begini, rencana kita berjalan sukses. Kita tak perlu susah payah mencarinya." Lanjut Meilan.
Abui yang duduk di sampingnya memegang setir mobil mendengus mendengar komentar adik kandung sahabatnya itu. "Kau tak ada bedanya dengan Thai Nyiu. Tak berperasaan."
"Apakah Asiong berperasaan waktu bertarung sampai koko wa gegar otak?" Meilan balik bertanya. "Dia telah merenggut orang yang wa sayangi."
"Wa juga akan melakukan hal yang sama. Merenggut orang yang dia sayangi..." Kedua mata Meilan membesar dan berbinar. "Ervina."
"Wa ingin lihat bagaimana Asiong kalau orang yang disayanginya sudah tidak bisa apa-apa..."
'Kejam.' Kata Abui dalam hati. 'Wa sama sekali tak menyangka kau akan seperti itu, Mei. Kadang wa tak tega juga melihat semua ini terjadi.'
"Ko Abui..." Meilan berpaling menatap Abui yang duduk di sampingnya itu. "Kita meluncur."
"Kita beri kejutan kepada Ervina, apa artinya kehilangan orang yang disayanginya..."
Abui tak dapat berbuat banyak kecuali mengikuti keinginan Meilan pergi ke tempat yang telah dijanjikan kepada Ervina. Dijalankannya mobilnya meluncur ke tujuan yang dimaksudkan.
Sementara itu Ervina dengan gelisah dan terus menerus berdecak, duduk tak tenang di dalam Bajaj yang ditumpanginya. Berharap kendaraan roda tiga tersebut bisa membawanya secepatnya ke tempat yang diberitahukan kepadanya, tempat dimana Asiong ditawan.
"Alex.... Kamu bertahan ya... Aku sedang kesana..." Kata Ervina dalam hatinya. Tangannya mengepal kencang namun tergetar.
"Ya Tuhan, lindungi Alex. Jangan sampai dia kenapa-kenapa..." Gadis itu merangkupkan tangannya dan berdoa. Matanya masih berkaca-kaca hingga saat itu. "Aku tidak mau dia kenapa-kenapa..."
"Dimana, Non?" Tiba-tiba terdengar sopir Bajaj bersuara di depannya.
Ervina mengangkat kepalanya yang tertunduk dalam doa itu. Matanya melirik ke sekeliling.
"Ini dimana ya, Mas?" Tanya Ervina.
"Tadi kata Non mau ke tempat ini." Sahut sopir Bajaj. "Lah, ini dia tempatnya."
"Oh iya, maaf..." Ervina terperanjat menyadari kesalahannya. "Iya, aku yang salah."
"Aku turun disini, Mas..." Gadis itu membuka pintu Bajaj dan melangkah turun. Lalu merogoh uang dari sakunya dan membayar sopir Bajaj tersebut.
"Kurang, Non. Masa cuma dua puluh ribu?" Sopir Bajaj mengernyitkan keningnya menatap Ervina.
"Lho, Mas, kan gak gitu jauh. Malah aku mau minta kembalian dari Mas, tapi gak jadi. Semuanya untuk Mas aja..."
"Tetap aja ini masih kurang." Gerutu sopir Bajaj. "Tambah sepuluh ribu lagi."
Karena tak mau berdebat panjang lebar dengannya, Ervina pun mengeluarkan uang kekurangan yang diminta si sopir. Begitu menerimanya, sopir itupun langsung berlalu dengan senyum puas.
"Ambillah, Mas. Aku lebih mencemaskan nyawa Alex daripada uang itu." Gumam Ervina sambil melangkah ke dalam gedung yang berada di depannya.
Gedung tersebut adalah sebuah gedung bertingkat yang dipakai sebagai tempat parkir mobil. Berpuluh-puluh mobil tampak diparkir di dalamnya. Di sebelah kiri gedung tersebut adalah sebuah gedung perkantoran mewah dan di sebelah kanannya adalah sebuah hypermart.
"Alex, dimana kamu? Aku sudah tiba disini..." Ervina berkata pada dirinya sendiri. Jantungnya berdegup kencang sepanjang langkahnya menuju lantai parkir tersebut.
"Lantai 4." Gadis itu membaca lantai yang dilaluinya melalui tangga itu. Degup jantungnya semakin kencang. Keringat dingin mengucur di keningnya. Nafasnya terasa memburu sehingga dia harus menelan ludah untuk menenangkan dirinya.
"Alex..." Ervina memandang ke sekeliling lantai 4 dimana dia berada sekarang. Tempat itu sepi, hanya ada kendaraan-kendaraan yang diparkir tak bertuan. Saking sepinya, gadis itu bisa mendengar tarikan nafasnya sendiri.
"Itu dia!" Dari balik sebuah mobil yang dimatikan lampu dan mesinnya, sepasang suara terdengar sedang berbicara. Seorang perempuan dan seorang laki-laki. Dari tempat mereka berada, mereka dengan leluasa bisa melihat Ervina yang berdiri dalam kegelisahannya.
"Ko Abui, kau sudah siap?" Perempuan yang bukan lain adalah Meilan itu bertanya.
Abui mengangguk. Di tangannya tergenggam sebuah botol kaca bening.
Keduanya membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan tenang. Perlahan, setelah memastikan tidak ada siapapun di lantai parkir tersebut, mereka berjalan mendekati Ervina. Beberapa meter di depan, keduanya berpencar. Meilan ke sebelah kiri dan Abui berbalik menuju samping kanannya.
"Alex... Dimana Alex...?" Gumam Ervina gusar sambil memandang ke sekeliling. Dengan bergetar tangannya mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menekan beberapa tombol, bermaksud untuk menuliskan pesan singkat menghubungi Meilan.
Namun belum selesai Ervina menuliskan pesannya, sebuah suara perempuan terdengar memanggilnya.
"Ervina... Kau datang juga akhirnya..." Dengan langkah arogan, Meilan berjalan perlahan mendekati Ervina.
"Meilan..." Ervina terkejut mendengar suara yang memanggil namanya dan matanya menatap lawan bicaranya itu. Tangannya menyisipkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. "Dimana Alex?"
"Alex?" Meilan mencibir sambil tertawa.
"Ya, aku sudah datang memenuhi permintaanmu. Sekarang dimana Alex?"
Meilan masih tertawa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ibu jari tangannya diacungkannya ke bawah.
"Hah?!" Terbelalak Ervina melihat maksud dari isyarat tangan Meilan. "Ti.. Tidak mungkin... Alex... Alex..."
Ervina yang sudah sangat cemas akan keadaan kekasihnya itu bereaksi spontan dengan bergerak maju ke depan. Namun pada saat kakinya hendak melangkah, sebuah lengan kekar terjulur ke arah wajahnya.
"Apanya yang tidak mungkin, Ervina?" Terdengar sebuah suara berkata dari arah belakangnya.
Ervina terperanjat dan bermaksud menengok, ingin melihat siapa yang berkata itu. Namun sebelum niatnya terlaksana, tangan yang terjulur tersebut telah mendekap erat wajahnya, tepat di hidung dan mulutnya, membungkusnya dengan saputangan yang berbau obat.
"Ughhhh.... Nggghhhhh....." Ervina mencoba meronta saat hidung dan mulutnya telah ditutup paksa oleh saputangan berbau obat tersebut. Dirasakannya tubuhnya dipeluk oleh tangan yang melingkar dari belakang ke arah badannya.
Bersamaan dengan itu, dekapan saputangan di wajahnya semakin kencang membekapnya. Ervina kehabisan nafas. Dia mencoba menarik nafas. Tangannya mencekal erat tangan yang membekap wajahnya itu.
Fatal! Dengan bernafas, justru obat bius yang berada di saputangan tersebut terhirup olehnya!
"Mmmpppphhhhhh...." Ervina masih mencoba meronta, tangannya mencoba mencakar lengan yang membekap wajahnya.
Namun kepalanya terasa pusing, teramat pusing. Sangat mendadak sekali. Pandangannya menjadi nanar. Secara samar-samar terlihat olehnya Meilan yang berdiri di depannya seperti sedang tertawa melihat pergumulannya dengan orang yang membekapnya dari belakang.
"Mmmmhhhhhhhhhh...." Ervina mengeluh panjang. Tenaganya hilang seketika. Pandangannya berubah gelap. Kegelapan yang menyelimuti dirinya saat itu. Tangannya tak lagi mencekal lengan orang yang membiusnya, namun telah terkulai ke bawah.
Ervina telah terkulai lemas tak sadarkan dirinya dalam pelukan Abui. Kepalanya terkulai lemas di dada pemuda itu saat saputangan yang membekap hidungnya dilepaskan. Badannya dengan lunglai menyandar dalam papahan Abui, yang siap sewaktu-waktu terjatuh bila tidak dipapah.
Meilan tertawa lepas melihat Ervina yang sudah tak sadarkan diri itu. Dihampirinya Ervina yang tak sadarkan diri itu. Lengannya menjulur memegang dagu gadis kekasih Asiong itu.
"Cantik sekali. Pantas saja Ko Asiong tergila-gila padanya." Kata Meilan dengan sinis. "Tapi sebentar lagi, sebentar lagi, pertunjukan akan dimulai."
Bagian 132
"Bagus." Meilan tertawa saat melihat balasan pesan singkat dari Ervina di ponselnya. "Sesuai perkiraan, gadis dungu itu akan datang menemui kita."
"Dengan begini, rencana kita berjalan sukses. Kita tak perlu susah payah mencarinya." Lanjut Meilan.
Abui yang duduk di sampingnya memegang setir mobil mendengus mendengar komentar adik kandung sahabatnya itu. "Kau tak ada bedanya dengan Thai Nyiu. Tak berperasaan."
"Apakah Asiong berperasaan waktu bertarung sampai koko wa gegar otak?" Meilan balik bertanya. "Dia telah merenggut orang yang wa sayangi."
"Wa juga akan melakukan hal yang sama. Merenggut orang yang dia sayangi..." Kedua mata Meilan membesar dan berbinar. "Ervina."
"Wa ingin lihat bagaimana Asiong kalau orang yang disayanginya sudah tidak bisa apa-apa..."
'Kejam.' Kata Abui dalam hati. 'Wa sama sekali tak menyangka kau akan seperti itu, Mei. Kadang wa tak tega juga melihat semua ini terjadi.'
"Ko Abui..." Meilan berpaling menatap Abui yang duduk di sampingnya itu. "Kita meluncur."
"Kita beri kejutan kepada Ervina, apa artinya kehilangan orang yang disayanginya..."
Abui tak dapat berbuat banyak kecuali mengikuti keinginan Meilan pergi ke tempat yang telah dijanjikan kepada Ervina. Dijalankannya mobilnya meluncur ke tujuan yang dimaksudkan.
Sementara itu Ervina dengan gelisah dan terus menerus berdecak, duduk tak tenang di dalam Bajaj yang ditumpanginya. Berharap kendaraan roda tiga tersebut bisa membawanya secepatnya ke tempat yang diberitahukan kepadanya, tempat dimana Asiong ditawan.
"Alex.... Kamu bertahan ya... Aku sedang kesana..." Kata Ervina dalam hatinya. Tangannya mengepal kencang namun tergetar.
"Ya Tuhan, lindungi Alex. Jangan sampai dia kenapa-kenapa..." Gadis itu merangkupkan tangannya dan berdoa. Matanya masih berkaca-kaca hingga saat itu. "Aku tidak mau dia kenapa-kenapa..."
"Dimana, Non?" Tiba-tiba terdengar sopir Bajaj bersuara di depannya.
Ervina mengangkat kepalanya yang tertunduk dalam doa itu. Matanya melirik ke sekeliling.
"Ini dimana ya, Mas?" Tanya Ervina.
"Tadi kata Non mau ke tempat ini." Sahut sopir Bajaj. "Lah, ini dia tempatnya."
"Oh iya, maaf..." Ervina terperanjat menyadari kesalahannya. "Iya, aku yang salah."
"Aku turun disini, Mas..." Gadis itu membuka pintu Bajaj dan melangkah turun. Lalu merogoh uang dari sakunya dan membayar sopir Bajaj tersebut.
"Kurang, Non. Masa cuma dua puluh ribu?" Sopir Bajaj mengernyitkan keningnya menatap Ervina.
"Lho, Mas, kan gak gitu jauh. Malah aku mau minta kembalian dari Mas, tapi gak jadi. Semuanya untuk Mas aja..."
"Tetap aja ini masih kurang." Gerutu sopir Bajaj. "Tambah sepuluh ribu lagi."
Karena tak mau berdebat panjang lebar dengannya, Ervina pun mengeluarkan uang kekurangan yang diminta si sopir. Begitu menerimanya, sopir itupun langsung berlalu dengan senyum puas.
"Ambillah, Mas. Aku lebih mencemaskan nyawa Alex daripada uang itu." Gumam Ervina sambil melangkah ke dalam gedung yang berada di depannya.
Gedung tersebut adalah sebuah gedung bertingkat yang dipakai sebagai tempat parkir mobil. Berpuluh-puluh mobil tampak diparkir di dalamnya. Di sebelah kiri gedung tersebut adalah sebuah gedung perkantoran mewah dan di sebelah kanannya adalah sebuah hypermart.
"Alex, dimana kamu? Aku sudah tiba disini..." Ervina berkata pada dirinya sendiri. Jantungnya berdegup kencang sepanjang langkahnya menuju lantai parkir tersebut.
"Lantai 4." Gadis itu membaca lantai yang dilaluinya melalui tangga itu. Degup jantungnya semakin kencang. Keringat dingin mengucur di keningnya. Nafasnya terasa memburu sehingga dia harus menelan ludah untuk menenangkan dirinya.
"Alex..." Ervina memandang ke sekeliling lantai 4 dimana dia berada sekarang. Tempat itu sepi, hanya ada kendaraan-kendaraan yang diparkir tak bertuan. Saking sepinya, gadis itu bisa mendengar tarikan nafasnya sendiri.
"Itu dia!" Dari balik sebuah mobil yang dimatikan lampu dan mesinnya, sepasang suara terdengar sedang berbicara. Seorang perempuan dan seorang laki-laki. Dari tempat mereka berada, mereka dengan leluasa bisa melihat Ervina yang berdiri dalam kegelisahannya.
"Ko Abui, kau sudah siap?" Perempuan yang bukan lain adalah Meilan itu bertanya.
Abui mengangguk. Di tangannya tergenggam sebuah botol kaca bening.
Keduanya membuka pintu mobil dan melangkah keluar dengan tenang. Perlahan, setelah memastikan tidak ada siapapun di lantai parkir tersebut, mereka berjalan mendekati Ervina. Beberapa meter di depan, keduanya berpencar. Meilan ke sebelah kiri dan Abui berbalik menuju samping kanannya.
"Alex... Dimana Alex...?" Gumam Ervina gusar sambil memandang ke sekeliling. Dengan bergetar tangannya mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menekan beberapa tombol, bermaksud untuk menuliskan pesan singkat menghubungi Meilan.
Namun belum selesai Ervina menuliskan pesannya, sebuah suara perempuan terdengar memanggilnya.
"Ervina... Kau datang juga akhirnya..." Dengan langkah arogan, Meilan berjalan perlahan mendekati Ervina.
"Meilan..." Ervina terkejut mendengar suara yang memanggil namanya dan matanya menatap lawan bicaranya itu. Tangannya menyisipkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. "Dimana Alex?"
"Alex?" Meilan mencibir sambil tertawa.
"Ya, aku sudah datang memenuhi permintaanmu. Sekarang dimana Alex?"
Meilan masih tertawa. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ibu jari tangannya diacungkannya ke bawah.
"Hah?!" Terbelalak Ervina melihat maksud dari isyarat tangan Meilan. "Ti.. Tidak mungkin... Alex... Alex..."
Ervina yang sudah sangat cemas akan keadaan kekasihnya itu bereaksi spontan dengan bergerak maju ke depan. Namun pada saat kakinya hendak melangkah, sebuah lengan kekar terjulur ke arah wajahnya.
"Apanya yang tidak mungkin, Ervina?" Terdengar sebuah suara berkata dari arah belakangnya.
Ervina terperanjat dan bermaksud menengok, ingin melihat siapa yang berkata itu. Namun sebelum niatnya terlaksana, tangan yang terjulur tersebut telah mendekap erat wajahnya, tepat di hidung dan mulutnya, membungkusnya dengan saputangan yang berbau obat.
"Ughhhh.... Nggghhhhh....." Ervina mencoba meronta saat hidung dan mulutnya telah ditutup paksa oleh saputangan berbau obat tersebut. Dirasakannya tubuhnya dipeluk oleh tangan yang melingkar dari belakang ke arah badannya.
Bersamaan dengan itu, dekapan saputangan di wajahnya semakin kencang membekapnya. Ervina kehabisan nafas. Dia mencoba menarik nafas. Tangannya mencekal erat tangan yang membekap wajahnya itu.
Fatal! Dengan bernafas, justru obat bius yang berada di saputangan tersebut terhirup olehnya!
"Mmmpppphhhhhh...." Ervina masih mencoba meronta, tangannya mencoba mencakar lengan yang membekap wajahnya.
Namun kepalanya terasa pusing, teramat pusing. Sangat mendadak sekali. Pandangannya menjadi nanar. Secara samar-samar terlihat olehnya Meilan yang berdiri di depannya seperti sedang tertawa melihat pergumulannya dengan orang yang membekapnya dari belakang.
"Mmmmhhhhhhhhhh...." Ervina mengeluh panjang. Tenaganya hilang seketika. Pandangannya berubah gelap. Kegelapan yang menyelimuti dirinya saat itu. Tangannya tak lagi mencekal lengan orang yang membiusnya, namun telah terkulai ke bawah.
Ervina telah terkulai lemas tak sadarkan dirinya dalam pelukan Abui. Kepalanya terkulai lemas di dada pemuda itu saat saputangan yang membekap hidungnya dilepaskan. Badannya dengan lunglai menyandar dalam papahan Abui, yang siap sewaktu-waktu terjatuh bila tidak dipapah.
Meilan tertawa lepas melihat Ervina yang sudah tak sadarkan diri itu. Dihampirinya Ervina yang tak sadarkan diri itu. Lengannya menjulur memegang dagu gadis kekasih Asiong itu.
"Cantik sekali. Pantas saja Ko Asiong tergila-gila padanya." Kata Meilan dengan sinis. "Tapi sebentar lagi, sebentar lagi, pertunjukan akan dimulai."
Bagian 133
Selang dua jam diantaranya, Asiong pulang ke rumah konveksinya dengan mengendarai motornya. Achiung membonceng di belakangnya. Kedua pemuda itu masih sempat bercengkrama sepanjang perjalanan pulang. Namun topik yang mereka bicarakan tidak lain tentang Meilan dan Jun Nyen yang mendapat musibah.
"Kita sudah mau sampai, Siong." Kata Achiung. "Perut wa lapar banget. Kita mampir beli makan dulu yuk?"
"Boleh." Jawan Asiong memperpelan laju motornya. "Mau beli makan apa?"
"Padang ajalah." Achiung menunjuk sebuah rumah makan Padang yang tak jauh dari tempat mereka berada saat itu.
"Oke." Asiong menghentikan motornya di depan rumah makan Padang, sementara Achiung turun dan melangkah masuk ke dalamnya.
"Vina mau makan apa ya?" Gumam Asiong sambil mengikuti sahabatnya masuk ke dalam rumah makan Padang tersebut. Tangannya bergerak merogoh saku celananya.
"Lho..." Wajahnya berubah saat menyadari tak ada ponsel yang tersentuh olehnya dari dalam saku celananya. "Aneh. Hapeku kemana ya?"
"Kenapa, Siong?" Tanya Achiung saat melihat Asiong yang kebingungan itu.
"Hape wa. Kok tidak ada ya?"
"Gak bawa mungkin..." Achiung mengingatkan. "Kita kan tadi buru-buru..."
"Mungkin juga..." Sahut Asiong. "Wah, bingung nih. Vina mau makan apa ya?"
"Biasa dia makan apa?" Tanya Achiung. "Kau kan pacarnya, pasti lebih tau seleranya kan?"
"Iya sih." Asiong menggaruk kepalanya. "Tadinya wa mau telepon dia, tapi tak ada hape. Ya sudahlah. Wa belikan dia yang biasa dia makan saja."
"Pasti dia maulah, Siong." Achiung menepuk pundak sahabatnya. "Vina bukan orang yang suka milih-milih makanan kan?"
"Iya..." Sahut Asiong melirik menu yang terhidang di lemari kaca rumah makan Padang tersebut.
Kedua pemuda tersebut memesan makanan dan membungkusnya pulang. Asiong membeli dua bungkus untuk dirinya dan Ervina. Setelah selesai mendapatkan apa yang mereka inginkan, keduanya kembali menjalankan motornya pulang ke rumah konveksi.
Tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk pulang ke rumah konveksi. Tak kurang dari 5 menit, keduanya telah menginjakkan kakinya kembali kesana.
"Vina. Aku bawa masakan Padang nih." Kata Asiong sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Tampak sepi, mungkin karena saat itu menjelang jam istirahat.
"Lho, sepi?" Gumam Achiung.
"Asiong ya?" Dari lantai atas terdengar suara teriakan. Suara Chun Hwa.
"Ya, Ce. Ini wa." Sahut Asiong saat mendengar suara kakaknya itu. "Vina di atas ya? Wa bawa nasi Padang nih."
Suara derap langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar melangkah turun dari lantas atas. Setelah tiba di lantai bawah, Chun Hwa segera berlari menghampiri adiknya. Achiung yang sedang duduk di atas meja panjang dan membuka bungkusan nasi Padang dibuatnya terperanjat dengan tingkahnya yang terburu-buru tersebut.
"Siong." Chun Hwa menatap adiknya dengan pandangan cemas. "Vina pergi dari rumah dengan terburu-buru tadi."
"Hah? Kemana, Ce?" Asiong tak kalah terperanjatnya saat mendengar penjelasan Chun Hwa.
"Wa gak tau." Chun Hwa menceritakan saat dia berpapasan dengan Ervina yang berlari dengan tergesa-gesa dan bertabrakan dengannya beberapa jam sebelumnya.
"Dia pergi naik Bajaj, entah kemana." Chun Hwa menutup ceritanya.
"Aneh." Ujar Asiong. "Tidak biasanya Vina begitu. Dia pasti minta kuantar kemanapun dia pergi."
"Justru itu, Siong. Wa jadi curiga." Kata Chun Hwa. "Wajahnya terlihat cemas dan pucat tadi."
"Pucat?" Asiong menggaruk kepalanya. "Apa mungkin ada apa-apa dengan keluarganya?"
"Kalaupun urusan keluarganya, biasanya juga dia minta kau antar kan, Siong?" Achiung menimpali.
"Itu dia." Sahut Chun Hwa. "Dia keluar sambil memegang hape di tangannya."
"Hape?" Asiong langsung berlari ke kamarnya dan mencari hapenya yang dikiranya tertinggal di dalam. Namun dia tak menemukan hapenya sama sekali disana.
"Hape wa tidak ada ya?" Kata Asiong sambil melangkah keluar dari kamar dengan bingung.
Saat itu dari lantai atas terdengar suara salakan anjing yang disusul dengan melesatnya seekor anjing kecil ke arah kaki Asiong yang sedang berdiri.
"Justine..." Asiong berjongkok dan mengangkat anjing kecil piaraan kekasihnya itu. "Kamu kenapa?"
GUUKKKK!! GUUKKKK!!!
Justine seperti meronta dalam pelukan Asiong dan tak henti-hentinya menyalak ribut. Kelakuannya membuat Asiong terheran-heran dan menatap Chun Hwa dan Achiung bergantian.
"Ada apa ini?" Gumam Asiong. "Kenapa Justine jadi ribut begini?"
Seketika Asiong merasakan jantungnya seperti berdetak dua kali lebih cepat dibanding biasanya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres, namun dia tidak bisa mengetahui apa yang tidak beres itu.
Asiong hanya bisa menggendong Justine dengan hati risau, sambil tak henti-hentinya menatap Chun Hwa dan Achiung. Dalam pikirannya berkecamuk teka-teki yang masih belum bisa disingkapkan jawabannya.
Jawaban teka-teki yang tidak ingin diketahuinya. Jawaban teka-teki yang akan menariknya ke dalam situasi berbahaya...
Bagian 134
Meilan dan Abui menghentikan mobilnya di rumah yang menjadi sarang pertemuan Roni dan anak buahnya. Ervina yang masih tak sadarkan diri saat itu dipondong oleh Abui menuju tempat sindikat rentenir tersebut. Keduanya berjalan melintasi lorong yang menghubungkan pintu masuk dengan ruangan yang menjadi markas mereka.
"Dengan ini akan kubuktikan kepada Roni bahwa kita tidak pernah bermain-main dengan semua ini." Meilan berkata sambil melangkah.
Sejak mereka berdua diusir dari markas Roni, keduanya tidak mengetahui bahwa Roni dan komplotannya telah digulung pihak kepolisian dan mendekam di penjara. Mereka berdua menjalankan rencana mereka sendiri tanpa bantuan anak buah Roni lagi. Karena Roni bertaruh, andaikata sekali lagi mereka gagal, maka nyawa mereka menjadi taruhannya.
Kini dengan adanya Ervina di tangan mereka dan terlebih gadis tersebut sudah tak sadarkan dirinya, Meilan yakin Roni akan bisa menerima kenyataan bahwa mereka berdua bersungguh-sungguh dengan maksud dan rencana mereka menghancurkan Asiong.
Meilan membuka pintu. Di balik pintu itulah ruangan tempat berkumpul Roni. Dalam bayangannya, Roni dan anak buahnya akan menyambut keberhasilan mereka dengan tepukan tangan.
"Aneh, Ko Abui. Kenapa dari pintu masuk sampai disini gak ada satupun anak buah Roni ya?" Kata Meilan.
"Iya, Mei." Sahut Abui. Kedua tangannya menggendong Ervina yang terkulai pingsan dalam pondongannya. Rambut pirangnya yang panjang tergerai lepas seiring dengan wajahnya yang terdongak itu. "Wa juga merasa sama. Biasanya minimal ada satu anak buah yang berjaga-jaga. Tapi sekali ini kok gak ada sama sekali ya?"
"Apapun itu..." Meilan menekan gagang pintu dan membukanya. "Wa cuma ingin bertemu Ro..."
"..ni..." Terbelalak Meilan saat melihat ruangan yang biasanya terisi dengan Roni dan Lukman, kini tampak kosong melompong, tak ada orang satupun.
"Heh... Tak ada siapa-siapa disini?" Terperangah Meilan melihat ke sekeliling ruangan yang kosong itu. "Kemana si keparat itu?"
"Apa mungkin mereka berada di lantai bawah?" Abui berkomentar. "Biasanya kan mereka sering berkumpul disana."
"Hmm... Kalau begitu kita kesana, Ko Abui." Sahut Meilan. Dia melangkah mendahului Abui yang membopong tubuh lemas Ervina itu. Berjalan mendahului di lorong yang membelah dan di sisi lainnya menghubungkan mereka ke tangga yang membawa mereka ke ruang bawah tanah.
Kembali Meilan membuka pintu, kali ini pintu ruang bawah tanah. Bau pengap dan hawa dingin langsung menyambut keduanya saat mereka melangkah ke bawahnya. Sebuah ruang bawah tanah yang cukup besar dan lebar dengan hanya dilengkapi dengan sebuah lampu neon putih.
"Kosong juga..." Kata Meilan. Matanya tertumbuk pada beberapa kursi yang tergeletak berantakan di sana. Dengan sebelah kakinya, dia membangunkan sebuah kursi.
"Kita ikat Ervina disini." Perintahnya kepada Abui yang langsung mengikuti perkataannya. Karena dari awal keduanya sudah berencana menjebak Asiong dan Ervina, maka tak sulit bagi mereka mengeluarkan tali tambang yang sengaja mereka bawa untuk mendukung rencana mereka tersebut.
Abui mendudukkan badan lemas Ervina di kursi berdebu dan mengikatkan tali tambang di badan sang gadis. Kedua lengannya diikat di samping tubuhnya dan pergelangan tangannya diikat di belakang kursi. Kedua pergelangan kakinya pun tak urung diikat di kaki kursi.
Kepala Ervina masih tertunduk saat badannya diikat oleh Abui dengan tali tambang. Sementara Abui sibuk mengikat Ervina, Meilan mengeluarkan ponsel yang sempat dirampasnya dari kantong celana Ervina selama perjalanan di mobil. Dua buah ponsel yang dibawa oleh Ervina kini telah berpindah ke tangannya.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum jahat saat tangannya menekan tombol di ponsel dan mendekatkannya ke telinganya. Terdengar nada sambung di saluran telepon genggam tersebut.
Pada saat yang bersamaan, Asiong masih terbengong dengan tingkah laku Justine yang tak henti-hentinya menyalak. Walau sudah dalam pelukannya, anjing mungil tersebut tak mau berhenti menyalak.
"Kenapa ya, Justine? Kok aneh begini?" Gumam Asiong sambil menatap Chun Hwa yang menjawab dengan mengangkat kedua pundaknya.
Tiba-tiba bunyi nyaring salakan Justine ditimpal oleh bunyi yang berasal dari badan Achiung. Pemuda itu terperanjat saat menyadari ponsel yang dikantonginya berbunyi dan bergetar. Segera saja dia mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang menelepon.
"Kok? Dari Asiong?" Achiung menatap tak percaya pada nama yang tertera di layar ponselnya. "Asiong kan disini?"
"Bisa jadi itu Ervina..." Sahut Asiong. "Siapa tahu hape wa terbawa olehnya..."
"Kalau begitu kau sajalah yang terima..." Achiung menyodorkan ponselnya kepada sahabatnya itu.
Dengan sebelah tangan masih menggendong Justine yang masih sibuk menyalak, sebelah tangannya lagi Asiong menerima ponsel yang diberikan Achiung kepadanya.
"Ya, disini Alex..." Ujar Asiong dengan penuh keyakinan diri bahwa yang menelepon tersebut adalah kekasihnya, Ervina.
"Alex? Wow, sungguh romantis!" Terdengar sahutan dari seberang saluran.
Asiong terperanjat. Keningnya berkerut. "Bukan Ervina." Katanya pelan. Diserahkannya Justine yang sedang digendongnya ke pelukan kakak kandungnya.
"Siapa ini?" Tanya Asiong setelah memberikan Justine kepada Chun Hwa.
"Alex... Bahkan suaraku pun kau sudah tak mengenalnya..."
"Siapa? Kau bukan Ervina." Nada suara Asiong terdengar serius sekarang. Hal mana membuat Achiung dan Chun Hwa menatapnya tanpa berkedip.
Justine masih terus menyalak mengganggu pembicaraan Asiong di telepon. Chun Hwa akhirnya memutuskan untuk membawa Justine ke depan halaman sehingga adiknya bisa berbicara tanpa perlu terganggu oleh salakan Justine.
"Kata siapa aku bukan Ervina?" Terdengar suara dari saluran seberang lagi.
"Jangan macam-macam! Siapa kau? Dimana Ervina?" Suara Asiong mulai meninggi saat itu. Mendadak jantungnya berdetak saat menyadari siapa yang sedang berbicara dengannya itu.
"Meilan!" Gumam Asiong dingin.
Terdengar suara tertawa dari saluran seberang. "Hebat sekali. Kalian memang pasangan yang saling bisa memahami."
"Ko Asiong sampai tak mengenali suara wa, namun bisa tau ini bukan suara Ervina." Sahut suara itu lagi. "Ternyata kalian sudah sangat dekat sehingga bisa langsung mengenali satu sama lain..."
"Mau apa kau? Dimana Vina?" Asiong yang mulai kesal itu terdengar membentak Meilan.
"Vina? Koko mencarinya?" Kata Meilan. "Cari dia disini! Vina sudah wa tawan disini."
"Apa?" Terbelalak mata Asiong mendengar perkataan itu. "Kalau sampai Vina..."
"Koko... Sabarlah. Vina takkan kenapa-kenapa bila Koko datang menemuinya..."
"Dimana Vina?" Teriak Asiong mulai gusar. Tangannya mengepal tanda amarahnya mulai naik.
"Dia aman bersama kami...."
"DIMANA VINA??!!!"
"Wow... Wow.. Koko... Wa takutttt...." Terdengar Meilan berkata. "Jangan galak, Ko...."
"Atau Vina akan menderita disini...." Sambung Meilan lagi.
Saat itu Asiong sudah mulai memuncak amarahnya. Nafasnya mulai memburu seiring ototnya yang mulai mengeras.
"Beritahu dimana Vina berada sekarang?!" Dengan menggemeretakkan giginya, Asiong bersuara.
"Oke... Wa beritahu..." Sahut Meilan. "Karena wa tau Koko pasti akan datang untuknya. Karena Koko sayang padanya. Cinta padanya..."
"Katakannnn!!!"
"Oke, Ko. Akan wa katakan..." Jawab Meilan. Disusul dengan disebutkannya sebuah alamat olehnya. "Kami tunggu jam 2 siang disini. Datang sendiri! Atau Ervina yang menjadi taruhannya!"
"Baik! Wa kesana!" Ujar Asiong. "Jika selembar rambut saja kau menyentuh Vina, wa buat kau cacat seperti Thai Siu Nyiu!"
"Thai Siu Nyiu katamu, Ko?" Meilan mendengus. "Ingat, Ervina-mu ada disini bersama kami."
"Hey..." Asiong masih berniat berkata-kata ketika sambungan telepon diputuskan begitu saja oleh Meilan.
"Ahhh... Sialan!!" Dengan kesalnya Asiong menghantamkan kepalan tangannya ke atas meja panjang konveksi. Achiung dibuatnya sampai terlonjak karena kaget.
"Kenapa, Siong?" Tanya Achiung.
Asiong masih menyempatkan diri bercerita sesaat kepada Achiung. Sedikit rencana mendadak yang masih sempat disusulnya bersama sahabatnya itu.
"Siong, jangan lupa." Achiung mengingatkan sahabatnya itu.
"Apa?"
"Puntung rokok kita!"
Asiong mengangguk dan bergegas ke kamar mengambil pesanan Achiung. Lalu pemuda itu pergi meninggalkan rumah konveksi, menemui Meilan yang berjanji akan mempertemukannya dengan Ervina.
Sepasang kekasih, Asiong dan Ervina, kini terlibat dalam situasi berbahaya. Seperti apakah bahaya yang akan mereka temui disana? Mampukah Asiong kembali menjadi pahlawan bagi Ervina dan menyelamatkan kekasihnya itu, seperti yang sudah pernah dilakukannya beberapa kali sebelumnya?
Pertarungan terakhir akan segera dimulai. Asiong, bersiaplah menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi!!
Bagian 135
"Bagus, rencana berhasil!" Meilan tersenyum sinis sambil menutup ponselnya setelah dia sukses memancing Asiong datang menemuinya di tempat yang telah dijanjikan.
"Kenapa kau bilang tempat ini pada Asiong?" Abui menatap adik sahabatnya. "Ini kan markas yang seharusnya menjadi tempat persembunyian. Kenapa kau justru malah memintanya datang kemari?"
"Kau tidak takut kalau nanti Roni mengetahuinya dan kita dalam bahaya lagi?"
Meilan tertawa terbahak mendengar ucapan Abui. "Ko Abui, lihat. Kita punya ini."
Gadis berambut pendek itu menyentuh dagu Ervina yang sampai saat itu masih belum sadarkan dirinya. Dinaikkannya wajah Ervina yang bagaikan tertidur itu, memperlihatkan segala kecantikan yang dimilikinya.
"Ervina! Dialah yang akan membuat Roni melupakan semuanya." Sambung Meilan lagi.
"Bukankah Roni sudah sejak lama mencarinya?"
Abui memandangi wajah cantik Ervina dan mempelajarinya sesaat. Baru saat itu dia melihat langsung kecantikan oriental gadis kekasih Asiong itu.
"Cantik sekali, bahkan dalam keadaan tertidur sekalipun...' Kata Abui dalam hati. 'Wa jadi gak tega melakukan ini semua kepadanya. Kalaupun wa jadi Asiong, wa juga pasti akan melindungi gadis ini mati-matian.'
'Meilan, kau benar-benar iblis kejam tak berperasaan.' Pandangan mata Abui kini tertuju pada Meilan yang seperti menikmati waktunya dengan Ervina yang masih belum siuman tersebut.
Di saat pikiran Abui sedang bergolak, di saat Meilan sedang menikmati kemenangannya atas Ervina, tahu-tahu dari arah pintu terdengar suara yang muncul mendadak.
"Luar biasa! Sangat luar biasa!" Sebuah suara yang dilanjuti oleh suara tepuk tangan membuat Abui dan Meilan berpaling secara bersamaan.
"Roni!" Hampir bersamaan Abui dan Meilan berseru saat melihat sosok yang sedang berjalan masuk itu.
Sosok yang baru masuk itu memang Roni Susilo adanya. Di belakangnya seorang lelaki tua tampak berjalan dengan pelan sambil tertawa jumawa. Dua orang lelaki berbadan kekar berdiri masing-masing di samping kiri dan kanan lelaki berambut uban ini.
Roni masih tertawa saat dia mendekati Ervina yang terikat di kursi itu. Seperti halnya yang dilakukan Meilan, Roni juga mengangkat wajah gadis itu dari tertunduknya. Walau sudah sering dia melihatnya, namun tak urung, Roni masih berdecak kagum menatap wajah sang gadis.
"Cantik..." Roni mengelus pipi Ervina. "Sangat cantik..."
Elusannya menurun ke rambut pirang Ervina yang tergerai lepas itu.
"Akhirnya kau singgah juga di tempat ini, Vina. Hahahahahaha..." Roni tertawa dengan tangan yang masih membelai rambut halus Ervina.
"Semua itu usaha saya, Roni." Meilan menyahut di sela-sela tertawa Roni. "Kau hanya menikmati kesuksesan kami saja."
"Jangan menjilat!" Roni memelototi Meilan. "Apa rencanamu dengan ini, hah?"
Meilan tertawa jumawa. Dia tak ingin kalah pamor di depan Roni.
"Rencana? Tentu saja memancing Asiong datang kemari!" Sahut Meilan.
"Dengan adanya Ervina disini, dia pasti akan datang." Lanjutnya. "Karena dia sangat mencintai Ervina."
Lelaki tua yang berjalan di belakang Roni tadi mendekat dan bergabung dengan mereka. Kedua mata tuanya masih cukup awas untuk mengamati gadis yang terikat dalam keadaan tak sadarkan diri itu.
"Jadi ini Ervina?" Gumamnya pelan. Matanya menjalari Ervina yang terkulai lemas itu.
"Lama tak berjumpa, semakin dewasa dan cantik saja dia!" Katanya sambil tertawa kecil.
"Asiong sebentar lagi akan datang kemari." Meilan menjelaskan. "Dia akan datang menolong Ervina."
"Begitu?!" Roni menatapnya tak berkedip lalu berpindah ke lelaki tua yang berdiri di depannya itu. "Bagaimana, Pa?"
"Siapa Asiong?" Lelaki tua yang ternyata adalah Ahmad Susilo, ayah Roni Susilo, bertanya kebingungan.
"Asiong dan gengnya yang telah menjebloskan kami ke penjara." Sahut Roni. "Saya akan membalas semua yang pernah dilakukannya kepada kami."
"Begitu?" Jawab Ahmad Susilo. "Lalu siapa gadis ini?"
"Dia pacarnya lelaki sialan itu." Roni mendengus. Tangannya terkepal.
"Lalu ini?" Ahmad menunjuk Meilan dan Abui yang juga berada di ruangan bawah tanah tersebut.
"Ron, katamu kalian masuk penjara? Asiong yang menyebabkannya?"
"Anak sial itu banyak ulahnya." Geram Roni. "Lihat saja! Walau tanpa anak-anak buahku, kali ini dia akan kubuat tak berkutik!"
"Tentu saja." Meilan menimpali. "Khawatir akan Ervina, dia pasti akan datang sendiri kemari, jadi tak mudah bagi kita untuk melumpuhkannya. Mau sehebat apapun dirinya, tetap dengan Ervina di tangan kita, Asiong pasti akan menyerah."
"Tenang Ron. Masih ada dua anak buah Papa." Sahut Ahmad sambil melirik dua lelaki berbadan besar yang masuk bersamanya. Rupanya keduanya adalah bodyguard Ahmad Susilo, rentenir sadis yang sudah pensiun dan digantikan oleh anaknya.
"Dan saya..." Sebuah suara menimpali pembicaraan mereka. Suara yang baru datang itu dimiliki seorang lelaki berbadan besar yang berjalan dengan santainya memasuki ruangan itu.
"Lukman!" Roni terkesiap saat melihat kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya.
Bagian 136
Asiong pergi ke tempat yang dijanjikan Meilan dengan mengendarai motornya. Dengan kecepatan tinggi, pemuda rantau itu berusaha tiba di tempat yang dijanjikan sebelum jam 2 siang. Bukan karena dia takut kepada ancaman Meilan, namun dia lebih mencemaskan keadaan Ervina di atas segala-galanya.
Sepanjang perjalanannya, tak lupa Asiong menjatuhkan puntung rokok yang telah diberikan tanda khusus berupa titik merah di kedua ujungnya. Dua titik merah yang dipakai sebagai lambang untuk dirinya di geng yang dipimpinnya. Setiap anggota memiliki warna dan ciri yang berbeda dari puntung rokok yang menjadi kode rahasia di gengnya. Sebagai pemimpin, Asiong mendapatkan dua titik merah di setiap ujung puntung rokoknya. Dengannya, teman-temannya yang mencarinya bisa mengetahui kemana dirinya pergi dan berada terakhir kalinya.
"Kalau sampai Ervina kenapa-kenapa, kau takkan pernah kuampuni, Mei." Asiong menggeram. Gas motor digebernya kencang sebagai ungkapan kekesalan hatinya.
Setelah beberapa waktu dihabiskannya dalam perjalanannya, Asiong menghentikan motornya di tempat yang agak jauh dan tersembunyi dari tempat yang dijanjikan kepadanya. Sebuah alamat yang adalah letak sebuah bekas apartemen yang sudah tak terawat dan terletak di daerah terpencil dan agak terpelosok yang diperkirakan menjadi sarang berkumpul.
Sebatang puntung rokok dilemparkannya kembali ke tanah yang dipijaknya. Lalu dengan langkah mantap, Asiong berjalan ke jalan setapak di depannya yang menurutnya akan menuntunnya menuju sebuah rumah yang dijanjikan Meilan kepadanya.
Sambil terus berjalan, jarinya menjentikkan puntung rokok ke atas tanah, meninggalkan jejak kepada sahabatnya. Beberapa puluh meter melangkah, di depannya terlihat sebuah rumah berbentuk apartemen yang tak begitu terawat berdiri menjulang menyambut kedatangannya.
"Wa tak tahu ini rumah siapa. Wa hanya berharap bisa bertemu Vina disana." Asiong berhenti sesaat mempelajari situasi di sana. Tubuhnya bersembunyi di balik sebatang pohon dan mengintai rumah berbentuk apartemen yang tampak kosong di depan matanya itu.
Tak ada rasa takut sedikitpun yang tersisa di hatinya saat pemuda rantau itu melangkah menuju halaman rumah di depannya. Matanya terus mengawasi keadaan sekitarnya. Kedua tangannya terkepal, bersiap-siap menjaga segala kemungkinan serbuan mendadak yang akan datang menyerang.
Namun hingga di depan rumah kosong tersebut, tak ada tanda-tanda sedikitpun kalau rumah tersebut berpenghuni. Dengan diam-diam, Asiong melemparkan puntung rokok terakhir ke atas tanah. Dipelajarinya sekeliling rumah tersebut.
"Sepi, tak ada tanda-tanda orang disini." Bisiknya. "Mencurigakan sekali."
Kesal tak ada yang datang hingga beberapa menit dia menunggu di sana, akhirnya Asiong memutuskan untuk memanggil Meilan.
"Meilan. Wa Asiong. Wa datang memenuhi janji. Dimana kau?"
Sementara dari dalam ruang bawah tanah, suara Asiong yang berteriak memang agak sulit terdengar. Terlebih di kamar kecil yang terpisah dari lantai dasar, suara teriakan Asiong seperti tak berarti sama sekali.
"Ya, Lukman ada disini." Ujar lelaki berbadan besar yang baru melangkah masuk tersebut. Tangannya bergerak menyalami tangan berotot Roni.
"Apa kabar, Ron?" Matanya memandang lekat-lekat wajah sahabat sekaligus pimpinannya itu.
"Seperti yang kau lihat." Sambut Roni sambil tertawa.
"Tak kusangka, ternyata kau juga terjebak oleh anak sialan itu." Lukman membuka pembicaraan. "Semuanya. Andai saja waktu itu saya ikut, sudah pasti semuanya habis tak bersisa."
"Anak itu memang brengsek!" Roni menggeram. Namun sesaat kemudian dia tersenyum.
"Tapi ada Ervina disini. Anak brengsek itu pasti tidak bisa macam-macam."
"Hmmm..." Lukman menatap Ervina yang terikat di kursi dengan kepala tertunduk pertanda kesadaran masih belum menguasainya.
"Dan ini, papaku. Kau sudah tau kan?" Ujar Roni menunjuk Ahmad Susilo yang tersenyum simpul itu.
"Tentu, Ron." Lukman menyahut sambil menyalami tangan Ahmad Susilo. "Lama tak jumpa, Om. Apa kabar?"
"Baik!" Ahmad Susilo tertawa. "Semakin kuat saja tenagamu."
Lukman membalas dengan tertawa. Sekilas matanya melirik ke arah dua tukang pukul Ahmad. Keduanya tak bedanya dengan anak-anak buah Roni yang telah masuk penjara tersebut. Bertampang sangar dan bertubuh besar.
"Mei. Dimana kau?!"
Samar-samar sekali terdengar teriakan dari atas ruangan. Jejak kaki seperti orang berjalan terdengar dari atas langit-langit tempat mereka berada.
"Itu Asiong!" Abui yang berdiri dekat ke pintu masuk memastikan suara panggilan tersebut.
"Dia sudah sampai rupanya!" Gumam Meilan. Tangannya segera mengambil tongkat pemukul bola kasti yang diletakkannya di atas meja.
"Saatnya berburu!" Sahut Meilan sambil melangkah. Dia tidak memperdulikan kehadiran Roni dan juga ayahnya disana.
"Seret dia kesini!" Terdengar suara Roni dari belakang Meilan. "Kita buktikan siapa penguasa yang sebenarnya!"
Meilan mendengus sebagai jawaban perintah Roni. Dia tak menggubris perkataan Roni, namun justru kakinya naik dan berpijak ke tangga yang akan membawanya ke lantai atas. Bersama dengan Abui, Meilan keluar dari ruangan bawah tanah.
Begitu melihat Meilan keluar, Roni memberi tanda dengan matanya agar Lukman mengikuti keduanya. "Ikuti dia! Dan bawa anak brengsek itu kemari!"
Di luar sana, Asiong yang telah berhasil masuk ke dalam rumah, tampang bengong saat melihat situasi rumah yang sepi dan tak berpenghuni.
"Kemana orang-orang ini? Sangat mencurigakan!" Gumamnya sambil memandang ke sekeliling. Di depannya telah terbentang dua buah lorong, di sebelah kiri dan kanan. Asiong memutarkan badannya melihat sekitarnya, berharap bisa mendapatkan sedikit petunjuk.
Tau-tahu, suara yang muncul mendadak di keheningan membuatnya berpaling. Tak jauh dari arah kanannya, dia melihat sesosok tubuh yang telah dikenalnya berjalan dengan langkah jumawa, dengan kedua tangan disembunyikan di belakang badannya.
"Ko Asiong. Akhirnya kau datang juga."
Siapa lagi orang yang memanggilnya dengan Ko Asiong kalu bukan Meilan adanya. Sementara, di belakangnya, seorang pemuda yang bukan lain adalah Abui berjalan mengiringi jalan Meilan.
"Mei. Dimana Ervina?" Asiong langsung bertanya kepada gadis berambut pendek yang baru muncul itu. Tangannya mengepal dan giginya gemertak.
Bagian 137
Meilan tertawa mendengus mendengar pertanyaan Asiong.
"Ervina?" Ditengoknya Abui yang kini telah berjalan di sampingnya. "Dimana Ervina, Ko Abui?"
Abui tertawa kecil, seperti tertahan. Matanya melirik Asiong yang terus menggemeretak giginya. Terlihat jelas olehnya urat di samping kedua pipinya, tak jauh dari rahangnya, bergerak-gerak, pertanda pemuda itu sedang menahan amarah dalam hatinya.
"Katakan dimana Ervina?!" Asiong mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Matanya melotot menatap tajam kepada Meilan.
"Hoho..." Meilan mengangkat tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih disembunyikan di belakang punggungnya. "Sabarlah, Ko. Sabar."
"DIMANA ERVINA?!!" Asiong menggeram dalam ucapannya. Matanya semakin tajam menatap Meilan. Langkahnya terhenti beberapa meter di depan gadis yang pernah dicintainya itu.
Meilan tertawa lepas. "Ko Asiong, Ko Asiong. Dulu kau tidak peduli wa seperti kau peduli kepada Ervina sekarang. Andai saja waktu itu kau bisa seperti ini, wa akan senang..."
"DIAMM!!!" Asiong membentak. Suaranya yang kencang dan bergetar membuat Meilan terkesiap dan menghentikan perkataannya.
"Wa tanya sekali lagi, dimana Ervina?" Ujar Asiong masih dengan nada dingin.
"Koko ingin melihatnya?" Tukas Meilan. "Baik. Tapi tentunya tak semudah yang koko kira."
Meilan menatap Abui di sampingnya. "Ko Abui, ingat apa yang telah Ko Asiong lakukan kepada koko wa?"
"Kau sebagai sahabatnya, bukankah kau dendam kepada orang yang mengakibatkan Ko Thai Nyiu sampai begitu?"
"Bukankan Ko Abui pernah bilang akan membalas sendiri Ko Asiong yang mencederai Ko Thai Nyiu?"
Kedua mata Meilan berbinar-binar saat memancing kemarahan Abui. Senyum sinisnya tersembul di mulutnya.
"Di depanmu, itu Ko Asiong." Meilan menunjuk Asiong yang berdiri tegak di depannya. "Lakukanlah! Balaskan dendammu, Ko Abui!"
Abui masih terdiam tak bergerak. Begitupun dengan Asiong yang masih menunggu situasi yang akan terjadi selanjutnya.
"Tunggu apalagi, Ko Abui. Bukankah ini saat yang Ko Abui tunggu? Ko Asiong datang mengantarkan nyawanya kepada kita!"
Dari arah pintu di belakang mereka, muncul seorang lelaki berbadan besar yang sudah Asiong kenal. Dialah Lukman.
Begitu muncul di depannya, Lukman langsung menatap Asiong dengan pandangan dingin. Namun selebihnya tak ada perkataan yang keluar dari mulutnya.
Sepertinya terbakar oleh kata-kata hasutan Meilan, Abui berlari ke arah Asiong berdiri dengan tangan mengepal yang terangkat, siap untuk melancarkan serangan.
Asiong sendiri saat melihat Abui datang menyerangnya, segera mundur selangkah dan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya yang sudah lama terkepal, kini mengepal semakin kencang. Sepasang matanya semakin waspada melihat segala pergerakan.
Abui menyerang! Pukulan tangan kanannya hanya mengenai udara di atas kepala Asiong saat pemuda rantau itu membungkukkan badannya dan menghindar. Di saat bersamaan, lengan kirinya bergerak melancarkan serangan balasan.
BUKKK!!
"Aargghhh!!!" Terpekik Abui saat pukulan yang dilancarkan Asiong masuk dengan telak ke arah ketiaknya, tepat pada saat tangan kanannya masih berada di udara setelah memukul angin.
Pukulan kencang yang keluar dari lengan kekar Asiong dan mengenai ketiaknya membuat Abui melompat mundur sambil menggoyang-goyangkan lengan kanannya yang seketika kesemutan akibat serangan tersebut.
Ketiak adalah salah satu titik vital di tubuh. Bila daerah tersebut mendapat pukulan, seluruh syaraf dan otot lengan akan bereaksi. Akibatnya rasa kesemutan pun muncul dan lengan tak bisa diangkat untuk beberapa detik.
Saat melihat Abui berdiri kesakitan dengan menggoyang-goyangkan lengannya, Asiong tak tinggal diam. Pemuda itu bersiap melancarkan serangan lanjutan lagi.
"Belajar lebih banyak lagi untuk mengalahkan Asiong!" Ujar Asiong dingin sambil mengangkat kakinya dalam gerakan berputar setengah lingkaran dan...
DIEESSHHH!!
"Oooukkkhhhh!!" Abui menjerit kesakitan saat tendangan yang dilancarkan Asiong menghantam rahangnya dengan telak. Membuat pemuda itu berputar ke udara untuk beberapa saat lamanya dan jatuh berdebam di tanah dengan kencang.
"Itu bayaran telah berani menggangu Mei Ce!" Kata Asiong dingin sambil menatap lawannya yang terjatuh terkapar di tanah dan langsung tak sadarkan dirinya.
Pada saat Asiong menatap ke depan kembali, dia tak menyadari ketika sebuah pukulan yang dilancarkan diam-diam dari arah belakangnya, menghantam tulang tengkorak kepalanya.
DUAKKHH!!
"Ughhhh!!" Asiong mengeluh saat kepalanya terhantam keras oleh pukulan yang datang mendadak tersebut. Pandangannya seketika berputar-putar dan mendadak menjadi gelap. Tubuhnya dirasakannya menjadi tak bertenaga.
Dirasakannya tubuhnya menjadi lemas dan jatuh lunglai ke tanah, bersamaan dengan menutupnya kedua matanya.
Beberapa detik sebelum kegelapan menguasai dirinya, Asiong masih sempat mendengar secara samar-samar suara tertawa perempuan di belakangnya.
"Ko Asiong! Mampus kau!" Disusul suara tertawa dingin yang menutupi ketidaksadarannya.
Asiong terkapar menelungkup di atas lantai setelah bokongan yang dilancarkan Meilan ke arah kepalanya membuat kesadarannya sirna.
Bagian 138
Sepeninggal Asiong ke tempat yang dijanjikan Meilan, Achiung segera menghubungi Buntara yang nomornya telah diketahuinya sebelumnya. Pada saat itu Buntara sedang berada di luar kantor, jadi pemuda itu bisa meluangkan waktunya berkunjung ke rumah konveksi Asiong menemui Achiung.Begitu Buntara tiba di sana, Achiung segera menceritakan perihal yang sedang terjadi kepada Asiong dan Ervina. Menyadari sepupunya berada dalam situasi yang rumit, Buntara segera menawarkan diri untuk membantu.
"Apakah kita juga menghubungi Jun Nyen?" Achiung bertanya kepada Buntara.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Buntara bertanya balik.
"Wa rasa dia masih sakit di perut akibat dihajar Abui dan juga luka di lutut karena jatuh dari motor."
"Kalau bagi wa, luka segitu masih belum seberapa." Ujar Buntara. "Masih sanggup untuk memberi perlawanan."
"Begitu juga wa." Achiung menjawab. "Tapi wa rasa Jun Nyen menyanggupinya. Wa sudah lama kenal dia, kalau hanya luka begitu, dia masih bisa berjuang."
"Kalau begitu coba minta bantuannya." Sahut Buntara. "Semakin banyak orang akan semakin bagus."
Achiung mengangguk.
"Meilan licik. Wa tak sangka dia akan menjalankan siasat ini untuk memecah belah kita."
Jun Nyen dihubungi via ponsel oleh Achiung dan ternyata pemuda itu menyanggupi untuk ikut membantu perjuangan Asiong.
"Wa ikut." Jawab Jun Nyen dari saluran seberang. "Tangan wa udah gatal mau menghajar Abui. Belum puas kalau wa belum balas pukulannya di perut wa ini."
"Bagus." Kata Achiung. "Mau kami jemput atau kau datang sendiri?"
"Wa yang kesana." Kata Achiung. "Wa masih bisa membawa motor."
"Kalau begitu kami tunggu." Achiung menutup pembicaraan di telepon. Ditatapnya Buntara yang sedang menikmati sebatang rokok dan duduk di sampingnya.
"Gimana, bisa?" Tanya Buntara saat Achiung menatapnya.
Achiung mengangguk. "Tidak masalah."
"Kalau begitu, wa juga harus siap-siap." Buntara mematikan rokoknya di asbak di atas meja panjang yang sedang didudukinya. Lalu tangannya bergerak membuka kancing baju kemeja yang dikenakannya, memperlihatkan tubuhnya yang tegap, namun tidak sekekar Asiong.
"Wah, persiapan juga kau rupanya, Bun." Achiung mengomentari sepupu Asiong itu saat melihatnya mengambil selembar kaos T-shirt berwarna putih dari dalam tasnya. Baju kemeja yang telah dibukanya disimpan di dalam tas kerjanya.
"Ya, sudah lama wa menantikan saat-saat ini." Sahut Buntara sambil menarik turun kaosnya menutupi badannya. "Berjuang bersama dengan Asiong."
"Jujur aja, wa iri dengan perjuangan kalian di Pontianak sana." Katanya lagi sambil memandang Achiung. "Sepak terjang kalian membuat wa jadi ingin ikut terlibat, sekalian menguji sejauh mana wa masih mampu bertarung."
"Kau ini, Bun..." Achiung menepuk pundak Buntara. "Tak ada bedanya dengan Asiong. Darah petarung sepertinya ada di keturunan kalian."
"Sepertinya begitu." Kata Buntara sambil menyengir. "Yah, paling tidak kali ini wa bisa ikut berjuang bersama dengan Asiong."
Achiung tertawa pelan. Sambil menunggu kedatangan Jun Nyen disana, dia berbagi cerita sedikit tentang pertarungan demi pertarungan yang melelahkan di Pontianak sana. Perjuangannya bersama dengan Asiong dan anak-anak gengnya, baik dengan anak geng kampung sebelah, juga dengan sesama geng di wilayahnya sendiri, hingga pertikaian dengan orang-orang Madura sampai beberapa di antara mereka terluka parah dalam pertarungan menggunakan senjata tajam. Pertarungan-pertarungan yang membuat Asiong dan kawan-kawannya semakin matang dan berpengalaman, walau badan dan bahkan nyawa yang harus menjadi taruhannya. Semua itu dilakukan demi menegakkan keadilan.
Tak sampai satu jam di antaranya Jun Nyen pun tiba di rumah konveksi Asiong. Setelah memarkir motornya di dalam pekarangan, bersama dengan Achiung dan Buntara, Jun Nyen meluncur ke tempat dimana Asiong sedang melewati masa-masa yang sulit. Dengan menggunakan mobil yang dikemudikan Buntara, ketiga anak muda itu pun bergerak menuju sarang musuh.
Karena tak tahu arah pasti kemana Asiong pergi, akhirnya mereka menggunakan kode puntung rokok yang menjadi siasat geng mereka. Sepanjang perjalanan, Achiung melihat di kiri dan Jun Nyen di kanan, memperhatikan dengan seksama puntung rokok berwarna merah di kedua ujungnya, yang menjadi kode bahwa Asiong pernah melewati jalan tersebut.
Berbekal petunjuk puntung rokok tersebut, ketiga pemuda tersebut kini dalam perjalanan menuju ke sarang musuh yang penuh dengan bahaya.
Bagian 139
Asiong menggoyangkan kepalanya perlahan. Rasa pusing di kepalanya masih menghinggapinya saat itu. Dengan perlahan, kedua matanya membuka. Terlihat pandangan di depannya masih samar-samar dan tidak jelas."Ugghhh...." Asiong mengeluh. Diangkatnya kepalanya yang masih pusing itu. Pandangannya yang masih belum sempurna itu seperti menangkap sebuah ruangan tertutup dengan beberapa lelaki di sana. Seorang gadis sedang duduk di sebuah kursi yang terpisah jauh di depannya.
Sedikit demi sedikit penglihatannya kembali normal. Sambil menggoyangkan kepalanya kembali, Asiong mencoba memandang ke depan. Kini dia bisa melihat dengan jelas siapa yang berada di ruangan itu. Yang dilihat olehnya pertama kalinya adalah gadis yang terduduk di kursi tersebut.
"Vina!!" Asiong berteriak saat menyadari siapa gadis yang berada di depannya itu. Tubuhnya hendak bergerak maju mendekati sang gadis, namun tak bisa. Ada kekuatan yang seperti menahannya untuk maju. Asiong menengok dan melihat kedua tangannya terikat oleh tali tambang besar dan kuat di kiri kanannya, tali yang melilit kencang di pergelangan tangannya di sebuah besi panjang berupa tiang. Tidak cukup hanya disitu. Sama seperti tangannya, kedua pergelangan kakinya juga terikat oleh tali tambang di tiang yang sama. Ternyata itulah yang membuat tubuhnya tertahan, tak dapat maju lebih jauh lagi.
Pada saat itu Ervina sudah siuman dari obat bius yang membuat kesadarannya hilang. Gadis itu menyadari tubuhnya terduduk di sebuah kursi dengan badan yang terikat tali tambang seperti yang mengikat tangan Asiong. Kedua lengannya juga terikat di samping tubuhnya dengan pergelangan tangan terikat di belakang kursi. Sementara kedua pergelangan kakinya juga terikat di kaki kursi. Hanya saja saat itu mulutnya dibungkam dengan sebuah kain yang diikat di belakang kepalanya, membekap mulutnya dengan kencang sehingga gadis itu tak bisa bersuara.
"Kamu baik-baik saja?" Asiong kembali berteriak saat melihat situasi Ervina yang terikat itu. Tentu saja Ervina sedang tidak dalam kondisi yang baik saat itu mengingat dirinya terikat seperti itu. Hanya saja Asiong berkata dengan spontan, melampiaskan apa yang terbersit pertama kali di pikirannya.
Matanya melirik ke orang-orang yang berada di ruangan itu. Seorang gadis berambut pendek sedang tersenyum menatapnya. Di tangannya tergenggam sebilah kayu pemukul baseball.
"Meilan." Gumamnya pelan. Matanya tertumbuk di kayu baseball tersebut. Seketika hatinya membathin. 'Pasti kayu itu yang telah membokongku barusan...'
Di samping Meilan, berdiri sosok yang sudah sangat dikenalnya, yang beberapa waktu lalu pernah dijebak olehnya dan kawan-kawannya hingga ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Siapa lagi kalau bukan Roni adanya.
'Roni? Bagaimana dia bisa berada disini? Bukankah dia sudah dipenjara?' Bathin Asiong saat melihat musuh besarnya itu. 'Mungkinkah ada yang menjaminnya keluar? Jangan-jangan anak buahnya juga sama nasibnya. Kalau begini caranya, sama juga bohong, semua usaha kami sia-sia.'
Tak jauh dari Roni berdiri Lukman yang juga sudah dikenalnya. Namun selebihnya tiga lelaki lainnya tidak dikenali oleh Asiong. Seorang lelaki tua dengan dua orang lelaki berbadan besar dan kekar di belakangnya.
'Siapa mereka? Tapi wajahnya mirip wajah Roni. Apa dia ayahnya yang pernah disebut Vina itu? Atau jangan-jangan dia yang menebus Roni keluar dari penjara?' Bathin Asiong lagi. Namun dia tak terlalu mengambil pusing dengannya. Dia lebih memperhatikan keselamatan Ervina di atas segalanya.
"Asiong... Asiong... Akhirnya kau mampir juga di tempat ini." Terdengar Roni mendengus.
"Mau apa kau?" Asiong meronta mencoba melepaskan ikatan di tangannya. Namun ikatan tersebut sangat kuat. Terlebih tenaganya belum sepenuhnya pulih akibat bokongan di tengkuknya yang membuatnya pingsan selama beberapa lama waktunya. "Lepaskan Vina!!"
"Hahahahaha..." Roni tertawa lepas. Dengan langkah angkuh, rentenir itu berjalan mendekati Asiong. "Lepaskan?"
"Susah payah kami mendapatkannya, kau minta dilepaskan begitu saja?" Roni mengambil alih tongkat pemukul baseball dari tangan Meilan. Sambil memukul-mukul pelan telapak tangannya dengan tongkat tersebut, Roni berhenti tak jauh di depan tubuh Asiong yang terikat itu.
Asiong menatap tongkat tersebut dengan tatapan mata melotot. Begitupun dengan Ervina, yang tak berkedip menatap setiap tindakan Roni saat itu.
"Selama ini, semua usaha kami telah menemui kegagalan gara-gara campur tangan lelaki ini!" Roni berkata seakan memberi penjelasan kepada ayahnya dan kedua kaki tangannya disana. "Lelaki ini mengacaukan semuanya!"
"Lelaki ini juga yang telah mengalahkan anak-anak buahku. Menjebak kami dan membuat kami semua masuk penjara."
"Lelaki yang mengaku dirinya kuat dengan segala yang dilakukannya."
"Tapi lelaki ini juga mencintai Ervina." Roni menyeringai lebar. Tangannya masih terus memukulkan kayu baseball ke telapak tangannya.
"Apa yang kau inginkan, Roni?" Asiong membentak rentenir tersebut dengan suara kencang. Matanya melirik ke arah kekasihnya yang menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil matanya tak lepas dari tindak tanduk Roni saat itu.
"Bagaimana, Meilan?" Roni berpaling kepada Meilan yang tersenyum jumawa. "Apakah pertunjukan ini sudah bisa kita mulai?"
Meilan mengangkat kepalanya dengan mata melotot menatap Asiong. Mata yang seakan ingin menelan mangsanya hidup-hidup.
"Lakukan!" Sahut Meilan dingin.
"Wuuuhhuuuu.... Mantap sekali!!" Teriak Roni. "Itu yang kutunggu-tunggu darimu!"
"Ervina...." Roni mendelikkan matanya ke arah Ervina. "Pertunjukkan akan segera dimulai."
"Buka matamu dan lihat baik-baik! Lelaki yang mencintaimu ini akan membuktikan kepada kita semua apakah dia benar mencintaimu."
Asiong menelan ludah melihat situasi berbahaya yang sedang dihadapinya itu. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin dirasakannya mulai mengalir. Mendadak perasaannya menjadi tidak enak.
"Kita lihat seberapa kuat dia bisa menahannya." Kata Roni lagi. Kedua tangannya terangkat dengan kayu pemukul baseball dipegang di atas kepalanya. Siap untuk diayunkan.
Roni menatap Ervina yang mulai duduk tak tenang itu. "Bila dia mengeluh, satu kali saja..."
"Maka kau akan kutampar satu kali."
Bukan hanya Ervina yang dibuat semakin tegang dengan ini semua, namun juga Asiong. Pemuda rantau itu terbelalak mendengar pertunjukan yang dimaksud oleh Roni tersebut. Namun, sebelum sempat Asiong menyadari semuanya, sebuah pukulan yang dilancarkan Roni dengan mengayunkan tongkat pemukul baseball tersebut, telah bersarang di badannya!
BUKK!!
Bagian 140
Pukulan keras yang diayunkan Roni dari kayu pemukul baseball mendarat telak di badan Asiong, menimbulkan bunyi keras karena badan yang terhantam.Ervina meronta mendengarnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng-geleng, namun dia tak bisa berkata apa-apa.
'Hentikan!! Jangan sakiti Alex...' Ervina merasakan air matanya mulai mengalir dari matanya saat pukulan pertama mendarat keras di badan kekasihnya.
Berbeda dengan Ervina yang sudah nyaris menangis, Meilan justru tertawa melihat mantan kekasihnya mendapat pukulan keras dari Roni di badannya. Bukan hanya Meilan saja. Lukman dan ketiga orang lainnya disana juga ikut tertawa menyaksikan pertunjukan yang menurut mereka sangat menarik tersebut.
Anehnya, pukulan keras yang mendarat di badannya, tidak membuat Asiong mengeluh. Pukulan tersebut terasa olehnya seperti dipukul oleh botol air minum mineral yang telah kosong, seperti tak terasa.
'Kenapa? Kenapa aku tak merasakan sakit?' Gumam Asiong keheranan. 'Harusnya kayu pemukul itu telah membuatku mengerang. Tapi kenapa aku justru merasa seperti dipukul oleh kapas saja?'
Pukulan kedua kembali bersarang di badannya.
BUKKHH!!
Kembali Asiong tidak merasakan sakit sedikitpun saat pukulan tersebut mendarat telak di badannya. Dan kembali...
BUUKKKK!!
'Oh ya. Aku ingat sekarang. Gelang dari Tetua Iban.' Ujar Asiong dalam hati saat teringat gelang yang berada di pergelangan tangan kanannya itu. 'Pasti itu yang membuatku tidak merasa sakit sedikitpun. Tapi mengapa aku bisa pingsan dibokong tadi?'
Asiong belum mendapatkan jawabannya saat ujung matanya melihat pergerakan Ervina yang terikat di kursi itu.
Ervina meronta seperti ingin bangun berdiri dari kursi yang didudukinya. Kedua matanya telah basah oleh air mata yang menetes deras membasahi wajahnya. Mulutnya berusaha untuk mengatakan sesuatu, atau bahkan berteriak, namun yang terdengar hanya suara yang tertahan oleh bekapan kain yang mengikat mulutnya.
Reaksi yang diberikan oleh Ervina justru semakin memancing keganasan Roni. Rentenir itu menatap gadis berambut pirang itu dengan senyuman licik penuh arti.
"Vina, kau mencintainya kan?" Tanya Roni kembali mengarahkan kayu pemukul baseball itu ke badan Asiong.
"Aku ingin melihat apa kau masih bisa mencintainya," Diayunkannya besi panjangnya menghantam perut Asiong. "Seperti ini..."
BUKKK!!
"Mmmbbppphhhhh!!!" Ervina tak tega melihat semua penyiksaan yang ditujukan kepada kekasihnya itu. Kepalanya menggeleng-geleng, matanya basah oleh air mata, mulutnya seperti ingin berteriak namun tidak mampu mengeluarkan suara.
"Cuihhh!!!" Asiong meludahi wajah Roni yang berada tak jauh darinya. Kedua matanya melotot penuh amarah. Badannya meronta ingin melepaskan ikatan di tangan dan kakinya, namun ikatan yang kuat membuatnya tak bisa berbuat banyak.
"Bangsaatt!!" Roni menyeka ludah yang menempel di wajahnya itu. Dengan marahnya, kembali rentenir itu mengayunkan tongkatnya. "Hihhh!"
BUKKK!!!
Asiong melotot menatap Roni dengan garang. "Hanya begini saja pukulanmu, Ron? Bahkan sakitpun aku tak berasa."
"Apa? Ternyata kau minta lebih...." Roni kembali memukulkan tongkatnya. Kali ini ke arah pinggang Asiong. Pemuda rantau itu hanya menggerakkan badannya sesuai arah pukulan tongkat, namun tak ada sakit yang dirasakannya sedikitpun. Bahkan matanya kembali memelototi Roni dengan tatapan garang.
"Wah, ternyata Ko Asiong kuat juga ya." Meilan yang sedari tadi terdiam kini mulai bersuara. "Entah karena benar-benar kuat atau karena cintanya dia bertahan dan tidak mengeluh..."
Roni mengangguk. Bibirnya masih tersungging senyum licik. Kembali tongkat terayun.
BUKKK!!
Selain tubuhnya yang disengaja ditarik ke belakang untuk menimbulkan kesan seperti menahan sakit, Asiong tidak merasakan apapun di badannya akibat pukulan tongkat tersebut.
"Masih belum mengeluh..." Kata Roni. "Bagaimana kalau ini?"
BUKK!!
Lalu disusul lagi...
BUKKKK!!! BUUAKKK!!!
BUUAAGGGHHH!!
"Cuiihhh!!" Kembali Asiong meludahi wajah Roni. Ekspresi wajahnya saat itu seperti orang yang sudah murka.
Roni sendiri semakin gusar dengan diludahi Asiong kedua kalinya. Pukulan demi pukulan kembali terayun di badan pemuda rantau itu.
'Tidaaaaaaaaakkkk....' Ervina meronta melihat penyiksaan itu. Gadis itu saking paniknya terlupa bahwa gelang di tangan Asiong bisa meredam semua pukulan yang membuatnya cedera. 'Alex, kamu... Kamu bertahan demi aku....'
'Jahanammm!!' Jerit Ervina dalam hati. Matanya yang telah basah oleh air mata ditutupnya dan wajahnya dipalingkannya. Tak tega dia melihat penyiksaan yang terjadi di depan matanya itu, terlebih yang menjadi sasarannya adalah kekasihnya sendiri.
'Vina... Aku tidak apa-apa. Kamu jangan cemas. Aku tidak merasakan sakit sedikitpun.' Asiong berkata dalam hati sambil menahan pukulan yang kembali masuk dengan mendorong badannya ke belakang. 'Jangan-jangan Vina lupa aku masih punya gelang ini...'
"Bagus! Pemuda ini sangat mencintaimu, Vina! Dia berani menahan sakit hanya demi kamu!" Roni berseru sambil terus memukulkan tongkatnya. "Salut! Sungguh salut!!"
Kata-kata Roni membuat Ervina kembali membuka matanya. Perlahan gadis yang sudah mengharu biru dalam tangis itu mencoba menatap ke depan. Namun penyiksaan masih terus berlangsung. Bahkan sampai posisi Meilan digantikan oleh Roni, Asiong masih belum mengeluh sedikitpun.
"Benar-benar cinta sejati!" Ujar Meilan sambil mengayunkan tongkat yang dipegangnya sekuat tenaga. "Sampai bertahan begitu demi sebuah tamparan..."
BUKKK!!!
'Alex.... Cukup!! Aku sudah tahu cintamu... Kamu... Kamu tak perlu lagi membuktikannya...' Ervina semakin terpekik dalam hati. Andai saja gadis itu diperbolehkan berbicara oleh Roni, sudah dapat dipastikan dia akan menjerit saat itu.
'Jangan menyiksa tubuhmu begitu, Lex. Aku... Aku tidak mau kamu terluka...' Jeritan hati Ervina masih bergema. 'Hanya karena tak ingin aku disiksa, kamu bertahan seperti itu. Kalian jahanam busuk! Hentikan semua ini!! Hentikan menyiksa Alex!'
"Luar biasa!" Kata Meilan berdecak kagum. "Vina, kau seharusnya bangga pada Ko Asiong!"
BUUGGGHHH!!!
Ervina kembali tak tega melihat semua penyiksaan yang ditujukan kepada kekasihnya. Kepalanya semakin menggeleng-geleng, air mata telah mengalir di wajah cantiknya dan membasahi kain yang mengikat mulutnya, badannya meronta-ronta dan mulutnya seperti ingin berteriak di balik kain yang membebat erat mulutnya itu.
Yang terjadi hanya tubuhnya yang terangkat bersama dengan kursi yang mengikat tubuhnya itu. Sementara Asiong yang masih lemas dan belum pulih tenaganya, walaupun tidak sakit dengan siksaan seperti itu, namun tenaganya belum sepenuhnya pulih. Suara kursi yang terangkat membuat pandangannya teralih kepada kekasihnya yang sudah semakin putus asa itu.
"Sialan kau, Mei! Bedebah kalian semua! Tunggu sampai tenagaku pulih dan aku terlepas dari ikatan ini! Takkan kuampuni kalian semua telah membuat Ervina menderita seperti ini.' Asiong merutuk dalam hatinya. Kedua tangannya terkepal penuh amarah.
BERSAMBUNG
Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-November 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
0 komentar:
Posting Komentar