09/08/10

Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau



Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau






"Segelas arak ini lambang persahabatan. Kehilanganmu berarti kehilangan secangkir arak. Ingatlah selalu persahabatan kita setiap saat kau meneguk arak ini. Karena persahabatan kita akan semakin hangat dengan secangkir arak. Walaupun arak ini akan dingin, namun ketika masuk ke dalam tubuh, arak ini menjadi hangat. Walaupun kita berjauhan, selama arak masih bisa menghangatkan badan, selama itulah persahabatan kita akan terjalin."

BAGIAN 1
Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pukul 05:45 WIB.
"Tahan, tahan, jangan turun dulu. Tunggu kapal menepi." Terdengar suara teriakan lantang seorang lelaki dari atas sebuah kapal di pagi yang sebenarnya sudah sibuk dan ramai di pelabuhan itu.
Di hari yang masih pagi itu, aktivitas di pelabuhan seakan tak pernah tidur. Selalu sibuk dengan hiruk pikuk yang menandai dimulainya kesibukan dan rutinitas.
Lelaki yang berteriak tadi melempar jangkar tambang kepada seorang anak muda di atas dermaga yang segera mengikatnya di sebuah tiang berukuran besar, sambil menarik kapal agar lebih mendekat lagi.
Para penumpang sendiri sudah berdiri dan ingin turun secepatnya dari perahu. Di antara para penumpang yang sibuk dengan urusannya sendiri, tampak seorang pemuda bertubuh sekitar 170an cm tinggi dan berbadan tegap, dengan wajah khas oriental yang masih totok, berambut gondrong seleher dan beranting satu di telinga kirinya, menggigit sebatang korek api di giginya. Sebuah kalung model rantai yang cukup besar menghiasi lehernya di atas baju kaos berwarna kuning yang membalut di badannya.
"Kenapa pada tak sabaran ya orang-orang ini?" Pemuda tersebut memandangi para penumpang yang bergegas turun dengan pandangan cuek. Tas ransel yang digenggamnya disampirkannya di pundaknya.
Dari sebelah kanannya, seseorang tanpa sengaja menyenggol pundak pemuda itu. Untung saja si penabrak itu menyadarinya dan sambil membalikkan wajahnya, lelaki muda yang berjalan bergegas itu meminta maaf kepada pemuda itu.
"Maaf, Ko," Lelaki muda itu menyunggingkan senyum dengan malas-malasan. "Saya buru-buru."
Pemuda gondrong beranting satu itu menggertakkan giginya diminta maaf seperti itu. Ditatapnya lelaki muda yang menabrak lengannya itu. "Buru-buru mau kemana? Bukannya kapal baru merapat?"
Ditanya dengan suara yang tenang namun terkesan mendalam, lelaki muda itu selain merasa bersalah, juga merasakan bulu kuduknya berdiri sesaat. Dilihatnya lengan pemuda berambut gondrong itu cukup kekar karena otot bisepnya yang mengeras saat menyampirkan tas ransel ke balik punggungnya. Sebuah rantai gelang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
"I...iya...sudah dijemput saudara...per...permisi..." Lelaki muda itu mengeluarkan keringat dingin saat berkata dengan suara gugup. Setiap gerakan tubuhnya diikuti dengan tatapan mata pemuda beranting satu itu.
Mungkin dengan mengumpulkan keberanian, lelaki muda itu buru-buru bergegas meninggalkan si pemuda beranting satu yang masih mengekor kepergiannya dengan tatapan matanya.
"Dijemput? Kenapa kalau dijemput itu justru buru-buru?" Si anting satu geleng-geleng kepala. Dia beranjak mengikuti yang lainnya meninggalkan perahu.
Ketika kakinya menginjak jembatan di dermaga, pemuda itu menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. "Jakarta. Aku datang lagi. Sambutan apa lagi yang akan kau berikan padaku kali ini?"
Memang itu adalah kali kedua pemuda itu menginjakkan kakinya ke Jakarta. Ketika setahun yang lalu pemuda itu tiba di Jakarta, itu ketika dia masih lugu dan banyak mendapatkan pengalaman pahit. Dimulai dari dicopet di dermaga, kebut-kebutan motor dengan geng pembalap, sampai difitnah seorang temannya hingga terjadi perkelahian massal antar geng. Hal itulah yang membuatnya dipulangkan saudaranya yang telah lama bermukim di Jakarta dan setelah keadaan tenang, barulah dia diperkenankan datang kembali ke Jakarta.
Pagi itu bulan Mei, tiga bulan sudah ketika dia pulang kembali ke Pontianak, kota kelahirannya dan kampung halamannya di bulan Februari untuk menyambut Tahun Baru Imlek. Kim Siong, nama pemuda itu, kembali menginjakkan kakinya ke Jakarta, mencari pengalaman hidup dan sesuap nasi, bergabung dengan saudara-saudaranya yang telah lebih dulu mengecap pengalaman di Jakarta.
Kim Siong, 24 tahun, pemuda yang terkenal sangat setia kawan. Di kampungnya, Pontianak, Asiong, begitu biasa dia dipanggil, memiliki banyak teman seperjuangan. Bila ada satu teman yang mendapat masalah atau kesulitan, maka teman-teman yang lainnya akan datang memberikan bantuan. Bila tak bisa berupa materi, maka nasehat ataupun dukungan pun akan diberikan.
Selama ini, Asiong termasuk salah satu dari mereka yang paling membela teman. Sikap kesetiakawannya sudah terkenal di kalangan anak muda. Banyak anak muda yang mengagumi, bahkan tak jarang bergabung dengan kelompoknya. Tak jarang banyak pula gadis-gadis yang tertarik kepada keberanian dan kesetiakawanan Asiong itu.
Suatu ketika di saat Asiong membantu seorang temannya yang terlibat masalah karena ketidakadilan pihak polisi yang ingin menilangnya, Asiong sampai berurusan dengan pihak kepolisian setempat. Setelah masalah berhasil diselesaikannya, Asiong bukan saja telah menolong temannya, tapi beberapa polisi 'bersih' bahkan mendukung perbuatannya. Dari sanalah Asiong mulai mendapat bekingan.
Lahir di sebuah keluarga dengan 5 saudara, Asiong adalah putra tertua di keluarganya. Anak ketiga dari lima bersaudara, dimana dua kakaknya adalah perempuan. Menjadi seorang kakak dari 2 adik laki-laki membuat Asiong menjadi seorang yang tangguh.
Tak jarang, dia harus mengajari kedua adiknya ilmu bela diri yang pernah didapatnya dari pengalamannya sebagai anak geng hanya supaya sang adik tidak dipermainkan oleh teman-teman sekolahnya.
Bahkan Asiong tak segan-segan menyebrang ke perbatasan wilayah hanya untuk mencari seseorang yang dianggapnya menjadi biang keladi permasalahan.
Dengan semua sepak terjangnya itu, Asiong bukan saja dikenal, namun juga menjadi sosok yang disegani di Pontianak, khususnya di daerah Siantan.
Ketika Asiong akan bertolak ke Jakarta, semua teman seperjuangannya merasa kehilangan sosok yang sangat mereka dukung itu. Namun, Asiong bersikap teguh untuk mengadu nasib di Jakarta. Termasuk ketika Asiong harus kembali lagi ke Jakarta untuk kedua kalinya. Semua teman-temannya merasa keberatan akan kepergiannya.
Permasalahan sepertinya tak pernah meninggalkan pemuda itu. Kemanapun dia pergi, hampir setiap saat masalah selalu mengikutinya. Semestinya di pelabuhan di hari sepagi itu tidaklah ada kejadian. Namun sepertinya nasib berkata lain.
Ketika Asiong melangkah sambil menyalakan sebatang rokok yang tersisa di kantongnya, seorang wanita muda yang menggandeng anak perempuannya tampak berjalan di depannya. Tas bawaan mereka sepertinya cukup berat karena keduanya mengeluarkan tenaga ekstra untuk membawanya. Ketika melihat hal itu, timbul niat Asiong untuk membantu membawakan tas mereka.
Baru saja Asiong mempercepat jalannya dengan maksud mendekati mereka agar bisa menawarkan bantuan, dari arah belakang dirasakannya selarik angin berhembus cukup kencang dan semua yang terjadi setelah itu sangat cepat.
"Tasku. Kemana tasku?" Terdengar teriakan wanita muda di depan Asiong. Langkahnya terhenti. Wajahnya panik menengok ke arah tas gandengnya yang hilang itu. Secepat kilat, wanita itu menyadari apa yang terjadi dan berteriak, "Copet! Tasku dicopet!!"
"Hahh!!" Asiong yang berada paling dekat dengan wanita itu terperanjat. Sebagian orang di dermaga juga terperanjat mendengar teriakan wanita itu. Segera Asiong memandang ke arah tas yang dicopet itu. Angin yang menerpanya dari belakang itu ternyata adalah angin yang ditimbulkan oleh si pencopet yang berlari kencang mendahuluinya dan merebut tas gandeng wanita muda itu lalu kabur.
"Toloooong! Copeeett!!" Teriak wanita muda itu lagi, panik kehilangan tas gandengnya yang baru saja dicopet.


BAGIAN 2
Asiong bertindak cepat. Melihat tak ada yang bereaksi atas teriakan wanita muda itu, Asiong menurunkan tas bawaannya yang ditenteng di pundaknya. Dia meletakkan tas itu di atas dermaga. Rokok yang baru dihisapnya dibuangnya tanpa berpikir panjang lagi. Dengan ancang-ancang, Asiong mulai berlari mengejar copet itu.


Dari berbagai arah, beberapa orang juga telah bersiap-siap mengejar si pencopet. Mengetahui dirinya dikejar, si pencopet mempercepat larinya. Langkahnya larinya diperlebar. Sementara pengejar lainnya, beberapa pemuda di dermaga, berlari sambil berteriak copet agar orang di sekitar bisa tergerak hatinya membantu.

Asiong mengerahkan tenaganya, dia berlari lebih cepat dari kebanyakan orang di dermaga itu. Si pencopet terus berlari namun Asiong sendiri tak kalah cepatnya. Dilihatnya si pencopet telah naik ke atas jalanan.

'Gawat! Sudah naik jalanan susah dikejar! Licin juga dia!' Asiong berkata dalam harinya. Dipercepat larinya mengejarnya.


Asiong terus berlari dan mengejar. Tak dipedulikannya keadaan disana yang mulai memanas dan pengejar-pengejar lainnya yang tertinggal di belakang. Dalam waktu kurang dari semenit, jarak Asiong dengan si pencopet berjarak sekitar 60 meter. Tanpa pikir panjang lagi, Asiong mengambil inisiatif melompat!

Si pencopet tersentak ketika merasakan pundaknya terpegang dan tak lama kemudian dirinya terjatuh terguling. Seseorang tampak berada di atasnya, menindihnya.

Belum sempat menyadari apa yang sedang terjadi, si pencopet merasakan badannya seperti dibalikkan oleh orang yang menindihnya itu. Kini punggungnya telah rata dengan jalan. Mendadak, secepat kilat...


BUKKK!!!

Sebuah pukulan keras menghantam wajahnya. Karena tak sempat bereaksi, pukulan telak itu membuat kepalanya pusing. Di saat mulai pusing itu, kembali...

BUUAAKKKKHHH!!!


Kali ini pukulan tersebut mampir tepat di hidungnya. Pukulan keras itu membuat kepalanya terhantam jalanan di bawahnya. Dirasakannya sesuatu seperti mengalir keluar dari hidungnya yang terpukul itu, sementara kepalanya semakin pusing.


Belum sadar apa yang sedang terjadi itu, si pencopet merasakan kerah bajunya seperti ditarik. Kepalanya yang pusing itu ikut tertarik dan membuatnya mengerang. Untung saja tak ada lagi pukulan yang bersarang di wajahnya saat itu. Dua pukulan telak, namun cukup untuk membuatnya pusing dan terkapar.

"Dasar pencopet!" Terdengar makian sosok laki-laki yang duduk di atas perutnya itu. "Pagi-pagi bisanya bikin keributan!" Dilihatnya sosok itu mengangkat tangan kanannya yang masih mengepal dan hendak diarahkan ke wajahnya kembali.


"Ampun...ampun... Jangan pukul lagi... Ampun..." Pencopet itu mengangkat kedua tangannya melindungi wajahnya. Dirasakannya ketakutan mulai menerpanya. Saat dia menyadari sosok yang menduduki badannya itu bertubuh tegap dan tangannya yang terangkat itu sangat berotot, saat itu juga ketakutan semakin melandanya.


Seketika banyak orang yang berkumpul dan mengerumuni mereka berdua. Semuanya ramai berkomentar.
"Hajar lagi aja! Ngapain dikasih ampun!"
"Topo lagi, Topo lagi!"
"Kena lu kali ini, Po. Sukurin!!"
Bermacam-macam komentar mengisi kerumunan tempat itu. Sementara kedua wanita yang menjadi korban pencopetan tergopoh-gopoh bergabung dengan mereka disana.
"Copetnya sudah ketangkap, Bu!" Terdengar teriakan lagi.


Kerumunan itu sesaat tersibak dan kedua perempuan itu muncul sambil berlari-lari. Mereka memberi jalan kepada keduanya untuk bergabung disana. Di belakang mereka tampak dua orang berpakaian seperti seragam keamanan mengikuti.

"Tasku!" Wanita itu berjongkok dan mengambil tas yang teronggok di jalan akibat si pencopet kaget disergap oleh Asiong. Diperiksanya isi tasnya itu.


Sementara Asiong merasa keadaan sudah aman, dia pun berdiri. Namun, tangannya menarik si pencopet agar ikut berdiri juga. Dengan lunglai si pencopet mau tak mau ikut berdiri ditariknya seperti itu.
Kedua petugas mendekat. Asiong menyerahkan si pencopet kepada mereka.
"Bapak ikut dengan kami ke kantor." Ujar salah seorang dari mereka kepada Asiong.
Sementara bersamaan dengan itu, kerumunan mulai menyingkir, Asiong dan kedua wanita itu berjalan ke kantor keamanan pelabuhan. Si pencopet dibawa oleh kedua pengaman pelabuhan itu.
Selang lima belas menit kemudian...


"Terima kasih atas pertolongannya, Ko." Wanita muda itu berkata kepada Asiong ketika pemuda itu berdiri sambil menepuk celananya yang kotor terkena debu saat bergumul dengan si pencopet itu. Si pencopet sendiri sudah diamankan ke kantor polisi terdekat.

Asiong mengangkat wajahnya yang tertunduk itu. "Tidak perlu, Bu. Itu bukan masalah besar untukku."

"Maaf, ini tasnya." Kata wanita yang lebih muda itu menyerahkan tas ransel Asiong. Rupanya saat Asiong meletakkan tasnya begitu saja dan mengejar si pencopet, keduanya segera mengambil untuk mengamankannya. Dan tas itu dibawa serta ke kantor keamanan pelabuhan oleh kedua wanita itu.


"Terima kasih." Asiong tersenyum melihat gadis itu. Dengan potongan rambut sepundak lebih, hitam dan halus. Sebuah senyum menghias di bibirnya saat gadis itu menyerahkan tas itu kepada Asiong. "Cantik juga."

"Ini, Nak, sedikit balas budi kami." Kata wanita muda di sebelahnya membuat pandangan Asiong berpindah. Di tangan wanita itu tergenggam dua lembar uang lima puluh ribuan.

"Apa-apaan ini?" Asiong membentak. "Aku menolong dengan ikhlas, tidak mengharap begituan." Disampirkannya tas ranselnya di pundaknya.

"Simpan saja uang itu! Hati-hati! Jangan sampai dicopet lagi!" Kata Asiong kepada wanita itu. "Permisi!" Dibalikkannya badannya dan melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.


"Tunggu!" Terdengar wanita muda itu memanggil. Asiong menghentikan langkahnya dan membalikkan setengah badannya.

"Ya?" Dengan ujung matanya, Asiong melirik wanita itu.

"Siapa namamu?" Tanya wanita itu lagi.

"Asiong. Panggil aku Asiong!" Jawab Asiong sambil tersenyum. Dibalikkannya kembali badannya dan diteruskannya langkahnya.

"Te... Terima kasih, Ko Asiong..." Terdengar kedua wanita itu berkata bersamaan di belakangnya.
Asiong mengangkat tangan kirinya dan melambai, pertanda tak ada menjadi masalah baginya. Kakinya terus melangkah meninggalkan dermaga itu.






BAGIAN 3
Asiong tinggal bersama dengan tiga dari empat saudara kandungnya di Jakarta. Kedua kakak perempuannya dan juga seorang adiknya. Kedua kakak perempuannya belum menikah, dan satu di antara mereka telah memiliki calon. Sementara adik lelakinya bekerja sebagai salesman di sebuah perusahaan distributor aksesoris kendaraan bermotor.



Bersatu padu keempat bersaudara itu mengontrak sebuah rumah sederhana bertingkat dua yang mereka tempati bersama. Sementara di Pontianak masih menetap kedua orang tuanya dan adik bungsunya, yang telah duduk di bangku kelas 3 SMA. Bersama dengan kedua kakak perempuannya, Asiong bekerja di konveksi milik bersama itu.



Di malam minggu ketika pekerjaan tidak banyak, Asiong terkadang keluar bersama dengan saudara-saudara sepupunya yang berasal dari keluarga papanya. Menonton film di bioskop, makan malam bersama, bowling, bermain billiard, karaoke, ataupun aktivitas hang-out lainnya di malam minggu, serta jalan-jalan ke mall, berenang ataupun fitness di hari minggunya.



Asiong termasuk pemuda yang menyukai olahraga fisik seperti berenang, fitness dan sepakbola. Khususnya fitness, Asiong membuatkan dirinya sebuah barbel dari semen yang bisa dipakainya untuk membentuk badannya menjadi lebih kekar.



Sebulan kemudian...



Pertengahan bulan Juni, menjelang hari ulang tahun Jakarta, selalu terdapat satu festival tahunan yang diselenggarakan selama kurang lebih sebulan lamanya. Biasanya di antara bulan Juni dan berakhir di pertengahan Juli. Selain untuk menyambut liburan sekolah, festival tahunan itu juga menjadi ajang promosi bagi perusahaan-perusahaan dan sekaligus menjadi tempat mengisi waktu liburan bagi para gadis yang ingin mencari kerja sebagai Sales Promotion Girl juga remaja putra sebagai Sales Promotion Boy. Festival tahunan itu dikenal dengan nama Pekan Raya Jakarta atau PRJ.



"Siong, kerja terus nih, kapan istirahatnya?" Seorang sepupunya yang kebetulan bermain di rumah kontrakan Asiong menepuk pundak pemuda itu. Asiong sedang melipat baju buatan konveksi mereka untuk dimasukkan ke dalam kantong.

"Tanggung nih, Bun. Nanti sore mau dikirim dan yang packing gak ada." Jawab Asiong.



"Yah, gak bisa keluar dong nanti malam..." Sepupunya yang bernama A Bun alias Buntara membuka sebungkus rokok dan menawarkannya kepada Asiong. Umurnya tak berbeda jauh dengan Asiong, setahun lebih tua, namun wajahnya masih baby face karena penampilannya yang senantiasa ceria. Dengan tinggi badan hampir setara dengan Asiong, hanya saja badannya agak sedikit kurang berisi dibanding saudaranya. Rambutnya dibiarkannya terbelah tengah dengan sendirinya.



"Memangnya ada rencana mau kemana?" Tanya Asiong menerima sodoran rokok Abun dan menjepitnya di antara kedua bibirnya.

"Jakarta Fair," Jawab Abun sambil menyalakan rokoknya.

"Jakarta Fair?" Kedua tangan Asiong kembali sibuk melakukan packing setelah menyalakan rokoknya.

"Itu lho, PRJ..." Sahut Abun.

"Oohhh, itu..." Asiong menatap Abun. "Memangnya ada apa disana?"

"Wah, Asiong, Asiong..." Abun menepuk pundak sepupunya itu. "Belum pernah tau ya?"

"Kalau sudah tahu, untuk apa aku tanya lagi?" Asiong membuang debu rokoknya.

"Tahu kan yang namanya pameran?" Tanya Abun. Asiong mengangguk.

"Nah, seperti itu." Ujar Abun lagi.

"Yah, tidak seru dong." Kata Asiong.

"Eh, Cik Mei Hwa mana? Koko gak keliatan?" Mei Hwa itu kakak sulung Asiong. Umurnya 29 tahun dan telah bertunangan.

"Katanya sih tadi pergi ke Tanah Abang cari kain." Jawab Asiong.

"Terus Cik Chun Hwa?" Chun Hwa, adik perempuan Mei Hwa, kakak kedua Asiong. Chun Hwa berarti bunga musim semi. Umurnya 27 tahun.

"Berdua tuh perginya." Kata Asiong.

"Pantes sepi. Jadi cuma ada pegawai aja nih?" Abun mengambil baju yang telah jadi dan membantu Asiong packing.

Asiong mengangguk. "Terus yang pergi kesana siapa saja?"



"Kitalah satu geng." Kata Abun. Yang dimaksud Abun dengan satu geng itu adalah kelompok saudara sepupu dari papa-papa mereka, dengan Abun dan Asiong, kelompok mereka membentuk 7-8 orang.

"Tapi mau ngapain ke pameran? Bosan ah kalau cuma pameran saja." Kata Asiong lagi.

"Wah, jangan salah, Siong. Disana gak cuma ada pameran aja." Ujar Abun.

"Terus?"

"Satu hal yang pasti, gue tahu lu suka yang satu ini..." Abun tertawa. "Ceweknya cantik-cantik."

Asiong terhenti sejenak dan menatap Abun. "Ah, yang benar?"

"Iya lah. Gak cuma cantik, tapi juga seksi." Abun melanjutkan bujukannya.

"Tapi kalau bukan Chinese untuk apa?" Kata Asiong.

"Justru mereka itu Chinese." Abun tersenyum. "SPG cantik, seksi, Chinese lagi. Masa lu gak mau?"

"Ah, yang benar?"

"Ah, yang benar mulu..." Abun memonyongkan bibirnya. "Gue udah sering kesana, makanya gue tau. Cantik, seksi, rambut panjang, pokoknya selera lu banget dah..."

"Wah!! Tapi mereka jualan apa?"



"Macam-macam! Ada yang rokok," Abun memamerkan rokoknya yang sudah pendek terbakar itu. "Ada SPG mobil, motor, makanan, minuman, macam-macam deh. Dengan dandanan yang aduhai dan pakaian yang wow!! Dijamin lu pasti suka!!"

"Wah, sepertinya menarik tuh." Asiong mematikan rokok yang dihisapnya di bawah meja tempaynya packing.

"Bukan sepertinya lagi. Tapi kenyataannya." Abun tertawa. "Siapa tau kan lu bisa dapat ketemu cewek idaman disana?"

"Hmmm..." Asiong memegang dagunya dan menatap Abun.

"Secara banyak lho yang dapet pacar disana." Sambung Abun mengompori Asiong lagi. "Gimana, tertarik?"

"Tapi kalau tidak membeli barang, tidak apa-apa kan? Soalnya lagi belum ada uang nih. Tanggung bulan."

"Itu sih suka-suka lu mau beli atau gak." Jawab Abun. "Lu mau kesana cuma untuk kenalan juga boleh."

"Wah, kalau begitu, aku mau deh." Asiong tersenyum. "Jam berapa?"

"Jam enam sore dari sini."

"Kok, pagi amat?" Tanya Asiong.

"Itu sih udah gak pagi. Sabtu PRJ buka jam sebelasan, jadi kalau jam enam sore sih udah buka lama."

"Hmmm... Boleh. Yang pergi siapa saja?" Tanya Asiong lagi.

"Nih, gue kasih tau ya." Abun menyalakan sebatang rokok lagi sebelum melanjutkan perkataannya. Asiong mengangguk-angguk saat Abun memberi penjelasan itu.

"Gimana, ikut dong?" Tanya Abun lagi.

"Mau. Aku pasti ikut!" Kata Asiong dengan bersemangat.




BAGIAN 4
Sambil bersiul-siul kecil, Asiong, yang baru saja selesai mandi itu, berpindah dari kamar mandi menuju kamarnya. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul enam sore. Selang beberapa menit kemudian, Asiong pun keluar dari kamarnya dengan penampilan beda.



Kaos putih dengan jaket kulit hitam yang dipadu dengan celana jeans hitam menjadi pilihan busananya saat itu. Rambut panjangnya disisir sambil lalu. Tak lupa aksesoris kebanggaannya: rantai gelang di lengan kanan, anting di telinga kirinya dan kalung rantai yang menggantung di lehernya.



"Mau kemana, Siong?" Tanya seorang gadis yang berpapasan dengannya saat pemuda itu keluar dari kamarnya.

"Mau ke PRJ, Ce." Jawab Asiong singkat.

"Sendiri?" Tanya gadis itu lagi. Wajahnya cantik, dengan kulit putih dan rambut sebahu. Postur badannya tidak setinggi Asiong, namun ramping. Dialah Chun Hwa, kakak kedua Asiong.

"Sama Abun dan yang lainnya." Kata Asiong.

Chun Hwa mengangguk. "Pergilah, biar rumah aku yang jaga."

"Lho, Mei Ce kemana?" Asiong selalu memanggil kakak sulungnya, Mei Hwa, dengan panggilan Mei Ce.

Chun Hwa tertawa lepas. "Ini hari apa? Lupa ya?"

"Oh, dengan cowoknya ya?" Asiong menaikkan alis matanya.

"Begitulah." Jawab Chun Hwa tersenyum.

"Terus, ce kapan?" Asiong tertawa. "Jangan mau kalah dengan Mei Ce dong."

Chun Hwa menggoyangkan ponsel yang sedang digenggamnya itu. "Nih, disini."

"Pacaran lewat telepon? Mana enak, Ce?" Tanya Asiong sambil mengambil air di dapur dan meminumnya.

Chun Hwa terkikik mendengar celotehan adiknya. "Hihihi. Baru kenal gak lama, masih PDKT. Masa udah disuruh datang sih?"



"Ya tak apa-apalah." Kata Asiong mendekati Chun Hwa. Dibanding Mei Hwa, Asiong lebih suka menggoda kakaknya yang satu ini. "Ce kan sudah 27, bukannya muda lagi."

"Cepetan lah, wa udah tak sabar nih mau lihat koko ipar." Asiong tertawa.

Dari ruang tamu terdengar suara memanggil nama Asiong.

"Tuh, Abun datang." Chun Hwa tersenyum. "Sana pergi."

"Hahaha..." Asiong tertawa. "Wa tahu sekarang..."

"Tahu apa?" Chun Hwa menatap adiknya dengan bingung.



"Sepeninggal wa, pasti Ce langsung deh minta koko ipar datang kesini. Jadi kan Ce tak terganggu." Asiong mengedipkan matanya ke arah Chun Hwa. "Berduaan di tempat sepi begini, seru lho. Apalagi para pegawai sudah pada pulang. Ehem ehem. Dunia serasa milik berdua deh. Hahahaha..."



"Eh, Siong, mulai deh isengnya." Chun Hwa tertawa mendengar guyonan adiknya itu. "Kalaupun dia datang, wa juga gak akan kasih tau..."

"Wa juga tak mau tahu, Ce." Jawab Asiong sambil membuka pintu. "Bila perlu wa pulang malam jadi Ce bisa berduaan lebih lama. Hahaha. Selamat malam minggu!"



Chun Hwa bergeleng-geleng kecil melihat ulah adiknya itu. Ditutup dan dikuncinya pintu rumah sepeninggal Asiong. Lalu gadis itu kembali duduk di sofa meneruskan kencannya melalui telepon.

Sementara itu, Asiong membawa motornya sendiri, Yamaha Scorpio, dengan beberapa saudara sepupunya yang telah menunggunya di luar pintu rumahnya. Selain Abun yang membawa motornya sendiri, juga terdapat Chandra yang juga membawa motor sendiri.



Papa Asiong memiliki 5 saudara, 1 kakak perempuan yang merupakan paling sulung dari enam bersaudara, 2 kakak laki-laki dan papa Asiong adalah anak keempat atau putra ketiga. Dibawahnya masih ada adik laki-laki dan seorang adik wanita yang paling bungsu. Kecuali orang tua Asiong, semuanya sudah tinggal menetap bertahun-tahun di Jakarta.



Chandra alias Achan adalah anak kedua dari paman tertua Asiong, berumur 22 tahun. Abun alias Buntara anak bungsu dari paman kedua, 25 tahun. Juga ada pula anak angkat bibi sulungnya, seorang pemuda berusia sepantaran dengan Asiong, bernama Akong, 24 tahun. Terakhir, Apo alias Poniman, 21 tahun, termuda dari semuanya, sepupunya, anak dari paman keempat Asiong.



Buntara berboncengan bersama dengan Akong, sementara Chandra berboncengan dengan Poniman, dan Asiong sendiri memakai satu motor. Dengan tiga kendaraan beroda dua tersebut, kelima pemuda itu mengunjungi Jakarta Fair yang berjarak beberapa kilometer dari rumah kontrakan Asiong.






BAGIAN 5

"Gila, ramai banget." Ujar Asiong yang takjub melihat situasi di pameran yang bertajuk PRJ itu. Berbeda dengan sepupu-sepupunya, kali itu adalah pertama kalinya Asiong menginjakkan kakinya ke festival tahunan tersebut. Setelah mengantri cukup lama untuk membeli tiket, kelima pemuda itu akhirnya berhasil masuk ke dalam ajang pameran tersebut.



"Ya, beginilah Jakarta Fair itu, Siong." Kata Akong. Perawakannya kurus namun wajah khas Pontianaknya terpancar jelas sekali.

"Apalagi Sabtu begini. Malam minggu pula." Sambung Apo. Di antara semuanya, Apo yang bertubuh paling pendek dengan badan yang agak gemuk.

Asiong memandang ke sekeliling dan semakin takjub dengan situasi di PRJ itu. Tampak olehnya, orang yang berlalu lalang dengan suara yang hiruk pikuk sangat bising.

"Wah, kalau begini, mau berbicara saja harus dengan teriak," Kata Asiong. Keempat saudaranya berjalan tak jauh darinya.



"Ya, betul." Teriak Abun sambil menyalakan sebatang rokok. Asiong pun mengeluarkan bungkus rokok yang disimpan di kantong celananya.

Kelima pemuda itu berjalan berkeliling tak tentu arah. Tiba-tiba terdengar bunyi kencang dari belakang mereka.



"Po, kereta!!" Asiong menarik tangan Apo. Sebuah mobil gandeng yang menyerupai kereta berjalan sambil membunyikan klakson tak henti-hentinya. Di dalamnya terdapat banyak penumpang yang dimanjakan dengan diajak berkeliling mengitari area seputar pameran untuk waktu sekitar lima belas menit sampai setengah jam.



"Gimana sih lu? Udah sering kesini, masih juga ngaco!" Abun yang diplot sebagai pimpinan geng itu menepuk pundak Apo. "Liat-liat dong. Nyasar udah susah nih. Udah tau rame begini."

"Ya, thai ko, sorry deh." Apo mengusap-usap kepalanya dengan salah tingkah. Sementara Achan dan Akong geleng-geleng kepalanya.



"Apa itu?" Kata Asiong menunjuk ke seorang lelaki yang bertelanjang dada dan sekujur badannya dicat hitam mengkilat, sementara lelaki itu berjalan dalam gerakan slow motion dan berhenti beberapa saat tanpa bergerak dan kembali berjalan lagi dengan lambat.



"Itu orang-orangan yang dibayar untuk jadi menarik produk perusahaan agar laku," Kata Chandra. Pemuda itu sehari-harinya bekerja sebagai kepala sales, jadi tak heran kalau dia cukup mengetahui tentang produk dan barang dagangan.



"Oh begitu." Asiong berhenti dan melihat orang-orangan tersebut beraksi. Kerumunan disana dibuat tertawa-tawa oleh ulah dan tingkah orang-orangan tersebut. Tak jarang ada yang menepuknya, mencubitnya bahkan meninjunya, hanya sekedar untuk memastikan orang-orangan tersebut adalah manusia yang disamarkan. Namun tak sedikitpun 'siksaan' tersebut membuat manusia bertubuh serba hitam itu bergeming ataupun menyeringai kesakitan.



Apo masih sempat meminta difoto bersama dengan orang-orangan tersebut. Beranjak dari tempat tersebut, kelima pemuda itu kembali meneruskan langkah tak tentu arahnya.

Seorang gadis cantik berpakaian SPG berjalan melewati mereka. Kelima pemuda yang memang masih single itu menatapnya tak berkedip, bahkan Apo tak tahan untuk menggodanya.



"Kita ke show room motor yuk." Kata Akong ketika SPG tersebut telah jauh meninggalkan mereka.

"Ayo!" Jawab Chandra sambil berjalan. "Siapa tahu bisa ketemu yang oke disana."

Kelima pemuda tersebut tertawa.

"Aku ada usul nih. Gimana kalau kita berlomba?" Kata Abun tiba-tiba.

"Maksudmu?" Tanya Akong, yang sejatinya bukan saudara kandung mereka, namun sudah dianggap sebagai saudara kandung oleh keluarga mereka.

"Kita kan berlima nih." Abun melanjutkan. "Siapa yang diantara kita berlima ini yang duluan mendapatkan gebetan?? Tapi harus di PRJ sini lho, gak boleh di tempat lain. Gimana?"



"Wah, boleh tuh usulnya." Kata Apo. "Gue terima."

"Boleh saja!" Asiong menimpali sambil tangannya merogoh kantong celananya. "Ah, rokokku habis!"

"Mau lagi, Siong?" Abun menawarkan sebungkus rokok yang diambilnya dari celananya. "Nih, gue masih ada..."



Terlalu asyik dengan perjalanan mereka membuat kelima pemuda itu tak menyadari kalau saat itu mereka sedang melintasi tempat pameran rokok Marlboro. Seorang gadis yang sedari tadi memperhatikan mereka mendekati kelima pemuda itu, khususnya Asiong dan Abun.



"Ko, beli rokoknya dong. Marlboro. Kalau beli dua, aku kasih tiga!" Terdengar sebuah suara yang walaupun dalam suasana yang ramai, namun suara gadis itu masih terdengar manis di telinga kelima pemuda itu.

Asiong tersadar akan suara itu dan memalingkan kepalanya. Di samping kirinya, berdiri seorang gadis ramping dan berbadan cukup tinggi, dengan pakaian SPG berwarna kuning khas produk rokok, menawarkan dua bungkus Marlboro kepadanya sambil tersenyum. Seorang gadis keturunan dengan rambut panjang sepunggung yang disemir pirang. Beberapa helai poni tampak menutupi keningnya, menambah daya tarik gadis itu.



Terpana Asiong melihat siapa yang berdiri di sampingnya itu. Kedua matanya tak berkedip melihat sang gadis. Saat itu kedua mata bening sang gadis juga tepat membalas tatapannya. Kedua pasang mata mereka saling beradu pandang!

"Astaga, cantiknya!!" Asiong tak kuasa menahan kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Matanya masih tak lepas memandangi gadis SPG yang berdiri di dekatnya itu. Mendadak jantungnya berdegup kencang saat itu. Sebuah perasaan merinding mendadak menghampirinya.

'Perasaan ini...' Batin Asiong mencoba memahami perubahan mendadak itu. 'Ini...'


BAGIAN 6

Mendengar komentar Asiong yang mendadak itu, keempat saudaranya tertawa terkekeh, sementara si gadis SPG yang menawarkan rokok tersebut seperti tak bergeming dipuji seperti itu. Dengan profesinya sebagai SPG sepertinya sudah terbiasa dengan pujian seperti itu.



"Ko, beli ya, aku kasih murah deh." Gadis itu tersenyum manis. "Bonus satu bungkus lho kalau Koko beli dua bungkus sekaligus."

Akong yang juga merokok namun tak separah Abun dan Asiong itu tampak tertarik dengan penawaran gadis SPG itu. Akong mendekat ikut terlibat dalam pembicaraan itu.

Sementara Asiong masih merasakan degup jantungnya. 'Untung ramai, jadi detak jantung ini tak terdengar.' Batinnya. 'Tapi nih cewek cantik juga.'



"Namanya siapa ya? Kenalan dong." Akong menjulurkan tangan hendak menyalami SPG rokok itu. Tahu-tahu Asiong mendehem kencang membuat sepupu-sepupunya terkejut. Akong menarik lengannya kembali saking kagetnya oleh deheman Asiong.

"Ehhhmmmmmm!!!" Perlahan Asiong melirik ke kiri kanan tempat keempat sepupunya berada. Lalu dengan menggeretakkan giginya, pemuda itu berbicara pelan dengan gigi terkatup rapat.

"Aduh, tolong ya." Karena giginya terkatup, suara yang terdengar tak begitu kencang, namun cukup untuk didengar keempat saudaranya. Kedua tangannya diselipkannya di kantong celana jeansnya. "Dia mendekatiku dulu, menawarkan rokok padaku. Jadi kasih aku kesempatan ya..."



Terdengar keempat saudaranya menggerutu sebagai tanggapan perkataan Asiong itu.

"Sudah, sana...." Asiong mengangkat tangannya dari sakunya dan membuat gerakan seperti mengusir. "Katanya mau lihat pameran motor, terus ngapain juga masih disini?"

Keempat sepupunya masih menggerutu kesal, namun mereka pergi juga memberi kesempatan kepada Asiong dengan gadis SPG itu.

"Dasar Asiong! Cepet banget sih kalo soal cewek!" Kata Buntara sambil menyulut rokoknya.

"Lu kurang ganteng sih, makanya gak dilirik tuh cewek." Tukas Akong tertawa.

"Enak aja! Itu sih bukan gue yang kurang ganteng, tapi Asiong aja yang emang lebih ganteng." Jawab Buntara, kekonyolannya keluar.



"Sama aja kaleee..." Poniman terkekeh.

"Tapi kalo lu mah gak bakal dilirik, Po." Chandra nyeletuk dalam pembicaraan mereka.

"Emangnya gue kenapa? Apa yang kurang dari gue?" Tanya Poniman lagi.

Ketiga sepupunya tertawa lebar mendengar pertanyaan Poniman itu. "Masih gak sadar lu?" Tanya Buntara yang memang aslinya sudah konyol itu.



"Kalo dia tau pasti gak bakal tanya lagi dong." Timpal Akong.

Chandra menempelkan tangannya di pinggang Poniman membuatnya melompat karena kegelian.

"Nih, nih jawabannya..."Kata Chandra sambil tertawa. "Lebar badan lu tuh..."

"Sama pendek lu tuh..." Sambung Buntara. Disambut oleh tertawa yang lainnya.

"Kena lagi deh gue..." Poniman menunduk sambil menggaruk kepalanya. Diantara semua sepupu, Poniman memang yang paling sering menjadi sasaran kekonyolan.

Sambil tertawa renyah, keempatnya memasuki showroom motor Yamaha.

Sementara itu, di saat yang bersamaan, Asiong tengah terlibat pembicaraan serius dengan SPG Marlboro.



"Maaf ya, tadi itu sepupuku..." Dengan tingkah yang agak kaku, Asiong memulai pembicaraannya dengan SPG Marlboro itu. Dengan ibu jarinya, pemuda itu menunjuk sepupu-sepupunya yang telah berjalan di belakangnya menjauh darinya.

"Ah, gak apa-apa kok..." Gadis itu tersenyum. "Kalian ternyata kompak juga ya."

'Wow! Senyumnya manis!' Detak jantung Asiong semakin kencang melihat keindahan itu. Matanya tak lepas dari wajah cantik gadis di hadapannya itu.

"Ko..." Sapaan gadis itu membuat Asiong tersadar. Sekilas kedua mata gadis itu bergerak-gerak mempelajari wajah Asiong, mulai dari rambut gondrongnya, antingnya, hingga kalungnya.



"Eh iya, kenapa?" Asiong tersentak dari panggilan si gadis.

"Beli dong, Ko. Bantu aku ya." Gadis itu berkata dengan suara manja.

"Maksudnya bantu?" Pemuda itu melihat beberapa teman si gadis yang berseragam sama berseliweran di sekitar tempat itu menjajakan rokok kepada pengunjung yang lewat disana. "Oh ya, namamu siapa? Boleh tau?"

"Boleh, Ko." Jawab gadis itu. "Aku Ervina."

"Hah? Erika?" Teriak Asiong ketika bunyi klakson mobil kereta mengalahkan suara mereka.

Gadis itu tersipu. "Ervina, Ko, bukan Erika. Er-Vi-Na."

"Ohhh. Ervina." Manggut-manggut Asiong mendengarnya. "Tak perlu dieja lah, aku masih bisa baca."

"Hihihi... Koko lucu..." Gadis yang bernama Ervina itu tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangannya.

"Lho, kok malah tertawa?" Asiong menaikkan alisnya, pertanda bingung sambil hatinya membathin. 'Kupikir tadi malah marah aku tanya begitu. Tak tahunya malah tertawa.'



"Gak apa-apa." Ervina masih tersenyum kecil. "Koko namanya siapa?"

"Aku? Asiong." Jawab pemuda itu.

Tawa Ervina yang sudah mereda kini kembali meledak mendengar ucapan Asiong itu.

"Lho, kok tertawa lagi?" Kembali Asiong menaikkan alisnya, semakin bingung rupanya pemuda itu.

"Hihihi... Nama Koko lucu. Asli Pontianak ya, Ko?" Kata Ervina ketika tawanya mulai reda kembali.

"Lho, kok bisa tahu?" Alis Asiong semakin tinggi dibuatnya.

Ervina tak dapat menahan tertawanya yang kembali meledak melihat keluguan Asiong.

"Koko, dari tadi lho kok, lho kok terus. Hihihi..." Ervina masih terkikik. "Rokok lah, Ko, bukan lho kok. Beli rokok ku, bukan lho kok mu lah..."

Jawaban Ervina yang lucu itu membuat Asiong tertawa lepas. Keduanya tertawa di antara hiruk pikuknya suasana pameran yang tak kalah ramainya dengan suasana di pasar tradisional.




BAGIAN 7


Di sela-sela tertawanya, Asiong menyadari satu hal. Baru sekali itu seorang gadis bisa membuatnya kebingungan dan tertawa lepas seperti itu. Di balik sikapnya yang cool dan terkesan berani itu, tak banyak gadis yang bisa mendekatinya. Terlebih Asiong adalah tipe pemilih. Selama ini gadis yang akrab dengan dirinya dan menjadi pasangannya bisa dihitung dengan jari.



"Dari mana bisa tahu aku datang dari Pontianak?" Tanya Asiong lagi. Rupanya dia belum puas bila belum mendapat jawabannya.

"Aku tebak aja, Ko." Jawab Ervina. "Pertama aku lihat wajah Koko yang totok banget itu. Waktu Koko bilang nama, aku jadi makin yakin Koko berasal dari sana."

"Ooo... Ervina sendiri berasal dari mana?" Asiong tak mau kalah dan bertanya balik.

"Aku asli sini, Ko." Sahut gadis itu. "Jadi nama Koko cuma Asiong aja ya?"

"Kim Siong, panggilannya Asiong." Kata pemuda itu disusul oleh suara dari hatinya. 'Kok aku jadi jujur begini sih? Asiong, sadar, jangan jujur di depan orang yang belum dikenal.'



"Nah itu bagus namanya." Ervina tertawa. "Ayo, Ko, beli. Masih belum tercapai target nih."

"Oh, jadi itu maksudmu dengan bantu itu?" Tanya Asiong sambil mengambil dompet di kantong belakang celananya.

Ervina mengangguk. "Iya, Ko. Kami bergantian jaga, dengan shift. Mau berapa, Ko?"

"Maksudnya shift? Dua bungkus ya."

Ervina menyerahkan tiga bungkus rokok kepada Asiong. "Nih, Ko, bonus sebungkus."

"Iya, Ko. Yang jualan banyak, jadi kami bergantian hari." Lanjut Ervina lagi. "Kalau hari ini aku jualan, besok aku libur, lusa jualan lagi. Begitu seterusnya, Ko."



"Ooo..." Asiong membuka sebungkus rokok yang baru dibelinya itu dan sisa dua bungkusnya dimasukkan ke dalam celananya. "Berapa dua bungkus?"

"Harga promosi untuk Koko, lima belas ribu saja." Jawab Ervina.

"Murah amat?" Asiong terperanjat. "Apa bisa untung?" Diberikannya selembar uang duapuluh ribu kepada Ervina.

"Udahlah, Ko. Ini cuma untuk Koko aja. Orang lain aku gak kasih segitu." Kata Ervina sambil menyerahkan kembalian selembar uang lima ribu. "Terima kasih ya, Ko."

Gadis bernama Ervina itu hendak berbalik dan menjajakan rokoknya kepada yang lainnya juga, ketika Asiong memanggilnya kembali.

"Ada apa, Ko?" Tanya gadis itu.

"Boleh aku tahu apa kamu sudah punya pasangan?" Asiong bertanya. 'Gila, mana mungkin dikasih tahu?'

"Maksud Koko, pacar?" Gadis itu tersipu.

Asiong mengangguk.

Ervina menggeleng perlahan.



"Berarti belum ada dong ya?" Tanya Asiong lagi. 'Wah, ada harapan nih aku.'

"Bukan, Ko." Jawab Ervina menatap Asiong. "Aku belum yakin."

"Belum yakin?" Alis Asiong terangkat. "Maksudmu?"

Sebuah tepukan di pundak membuat Asiong menoleh.



"Wah, cogan kita nih, sampai dimana tuh PDKT-nya?" Terdengar sebuah suara yang sangat dikenal Asiong. Suara Buntara, alias Abun. Dia jugalah yang menepuk pundaknya. Sementara ketiga sepupu lainnya tak jauh berdiri di belakangnya sambil cengar cengir.



Asiong tak memperdulikan kehadiran mereka disana. Dialihkannya pandangannya ke depan kembali, ke arah Ervina. Saat itu seorang teman Ervina, sesama SPG, berdiri di dekatnya dan tampak sedang berbicara. Tak lama kemudian Ervina menengok ke arah Asiong.

"Ko, aku dipanggil, aku tinggal dulu ya." Kata gadis itu sambil berlalu tanpa meminta jawaban Asiong terlebih dulu. Sementara gadis temannya itu melangkah mendekati mereka.

"Ko, beli dong. Lagi sepi nih. Beli dua dapat tiga lho." Gadis itu mengacungkan dua bungkus Marlboro yang dipegangnya.

"Wah, aku sudah beli tadi." Asiong mengepulkan asap rokok dari mulutnya. "Mereka saja deh."

'Rasakan tuh! Kukerjain kalian sudah buat Ervina pergi cepat begitu.' Kata Asiong dalam hati. 'Gara-gara kalian, gagal deh aku dapat info.'

Benar saja! SPG tersebut mendekati Buntara dan ketiga saudaranya sembari menawarkan produk yang dijualnya.



"Berapa harganya?" Tanya Akong.

"Tiga bungkus dua puluh ribu." Jawab SPG itu.

"Kok mahal sih?" Tanya Buntara, namun dia mengeluarkan uang untuk membayar juga.

"Gak dong, Ko. Kan udah gratis sebungkus." Jawab SPG itu lagi. "Kalau eceran bisa lebih mahal."

Diam-diam Asiong tertawa mendengar percakapan mereka. "Kena deh kalian!! Segitu tetap saja mahal. Aku cuma lima belas ribu."



Setelah transaksi selesai, Asiong berjalan di depan keempat saudaranya dengan bibir masih tertawa kecil. Di belakangnya Buntara membagikan Akong sebungkus Marlboro yang dibelinya dan dia mengambil dua bungkus.

'Makanya, kalau orang sedang usaha, jangan diganggu.' Bathin Asiong lagi sambil tertawa tanpa diketahui sepupu satu geng yang berjalan di belakangnya.






BAGIAN 8
Malam itu berlalu dengan cepat. Terlebih di tengah suasana ramai dan hiruk pikuk khas festival, waktu terasa berlalu bukan dengan merangkak, melainkan seperti melompat. Sampai saat pulang, Asiong tak berhasil menjumpai SPG yang bernama Ervina itu lagi. Niatnya untuk bertemu dengannya dan meminta nomor teleponnya tak terpenuhi, selain karena padatnya pengunjung, juga karena Ervina tak berada di tempatnya lagi ketika Asiong dan keempat sepupunya kembali kesana.



Sejak pertemuannya dengan Ervina, pikiran dan kepala Asiong senantiasa dipenuhi oleh wajah dan tingkah gadis keturunan itu. Perkataan gadis itu terngiang-ngiang di telinganya.

"Yang jualan banyak, jadi kami bergantian hari. Kalau hari ini aku jualan, besok aku libur, lusa jualan lagi. Begitu seterusnya."

Saat itu hari Rabu, empat hari berlalu setelah perjumpaan Asiong dengan Ervina secara tak sengaja di PRJ. Asiong melihat ke kalender yang tergantung di dinding rumah kontrakannya.

"Rabu." Digerakkannya jemari seperti menghitung. "Berarti ini hari Ervina shift jualan."

Dimatikannya rokok yang dihisapnya di sebuah asbak di meja kerjanya. Dia sedang menghitung stock kain yang baru datang pagi itu. "Apa aku kesana saja ya?"

"Tapi kalau kesana hanya untuk menemuinya," Asiong menyalakan sebatang rokok baru. "Ah, karcis masuknya saja sudah belasan ribu. Bisa dapat untuk beli rokok ya?"



"Tak usah lah, biar saja." Asiong menghembuskan asap rokok yang dihisapnya. "Mending uangnya untuk beli rokok saja."

Dengan pemikiran itu, Asiong kembali menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya menghitung stok kain.

Namun bayangan Ervina seakan tak bisa menghilang dari ingatannya. Senyumnya manisnya, wajah cantiknya, rambut pirangnya dan suara merdunya, semuanya seperti terus bergantian mengusik pikiran pemuda itu.

Rabu malam dilalui pemuda itu dengan hati galau. Kamis esoknya, Asiong mulai tampak uring-uringan. Beberapa pegawai yang melakukan kesalahan kecil mendapat teguran darinya. Suatu hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya kepada para pegawai konveksinya.



Hari Jumat, Asiong memutuskan untuk membuang sejumlah uang untuk pergi ke PRJ dan menemui gadis SPG bernama Ervina yang membuatnya uring-uringan. Pemuda itu berharap hari segera berganti malam, sehingga pekerjaan bisa ditinggalkan dan dia bisa ke PRJ kembali menemui Ervina.

Saat malam tiba, dengan mempersiapkan dirinya, Asiong pergi ke PRJ sendiri tanpa mengajak seorang pun saudara atau temannya.



"Aku harus bisa menemui Ervina hari ini. Harus!" Kata pemuda itu ketika melangkah masuk ke arena PRJ. Hari Jumat termasuk awal dari akhir pekan, tak heran jumlah pengunjung saat itu cukup ramai. Dibanding hari Sabtu sebelumnya, malam itu tidak seramai malam minggu saat keduanya saling bertemu.



Asiong mengacuhkan SPG yang menawarkan brosur dan produk sepanjang jalannya ke stand Marlboro tempat Ervina berjualan.

"Tunggu aku ya. Malam ini aku harus bisa mendapatkan nomormu." Kata Asiong lagi. Dia sudah berada di stand Marlboro dan tampak celingukan kesana kemari.

"Ada yang bisa dibantu, Ko?" Terdengar sebuah suara wanita dari arah belakangnya. Asiong menengok. Seorang gadis berpakaian SPG Marlboro seperti Ervina sedang tersenyum menatapnya.



"Aku mencari seseorang." Kata Asiong. "Namanya Ervina."

"Oh, Ervina ya." SPG itu menyahut.

Asiong mengangguk bersemangat. "Ya, Ervina. Hari ini jadwal dia jaga kan?"

"Betul, Bapak." SPG itu tersenyum. "Tapi hari ini Ervina gak masuk."

"Hah? Tidak masuk?" Asiong mengulangi jawaban SPG. Dia tak bisa mempercayainya.

"Ya, Ervina hari ini tidak masuk." Kata SPG itu mempertegas perkataannya.

"Kalau boleh tahu, kenapa ya dia tidak masuk?"

"Wah, saya gak tau deh kalau itu, Pak." Kata SPG itu.

"Ooo." Hati Asiong terasa jatuh saat itu juga. Pengorbanannya malam itu terasa percuma. Dengan berat hati, pemuda itu membalikkan badannya dan meninggalkan tempat itu.

"Rokoknya, Pak. Kami sedang ada promosi." Terdengar SPG itu memanggilnya.

"Lain kali saja. Aku sedang tidak merokok!" Ujar Asiong datar sambil melangkah pergi.






BAGIAN 9

"Jadi ceritanya lu gagal nih bertemu dengan Ervina?" Tanya Buntara alias Abun yang Sabtu itu kembali bermain di konveksi Asiong. Hampir setiap Sabtu, Abun menyempatkan dirinya bermain di konveksi Asiong dikarenakan dia libur kerja.



Asiong menganguk. Namun pemuda itu tak ingin berlarut-larut dalam kesedihannya. Saat itu sedang tidak banyak kerja di konveksi, jadi pemuda itu bisa duduk di depan pintu pagar rumah kontrakannya sambil merokok ditemani oleh Abun yang duduk di sebelahnya.



"Sudahlah, lupakan saja!" Kata Asiong. "Cewek bukan cuma dia saja."

"Nah, itu dia, Siong!" Abun menjentikkan jarinya. "Kita bisa cari yang lain malam ini."

"Cari yang lain?" Asiong mengangkat alisnya. "Maksudmu?"

"Masih ada tempat yang juga gak kalah hebohnya kalo soal cewek." Kata Abun.

"Dimana?" Asiong menjentikkan abu dari rokoknya.

"Diskotik." Jawab Abun.

"Tak salah dengar nih?" Asiong menatap sepupunya itu.

"Gak lah. Diskotik." Ujar Abun. "Nanti malam kita dugem, gimana?"

"Wah, itu dunia yang sudah lama kutinggalkan." Kata Asiong.

"Sekali-kali lah, kembali lagi ke kebiasaan lama." Abun masih membujuk Asiong. "Hitung-hitung mengusir stress karena gak ketemu Ervina kan?"

Asiong terdiam sesaat, seperti sedang berpikir. Rokok di mulutnya dihisapnya dalam-dalam.

"Boleh deh. Tak penting bagiku mendapatkan cewek disana, yang penting aku bisa senang-senang dan melupakan Ervina." Kata Asiong tak lama kemudian.



"Nah!! Mantap tuh!" Abun tersenyum. "Kita beramai-ramai kesana nanti malam."

"Pakai motor?" Tanya Asiong.

"Gak lah. Pake mobil dong." Jawab Abun. "Gue yang bawa nanti malam ya. Lu siap-siap aja. Jam 8 kita makan dulu di Pecenongan. Pulang dari sana baru kita dugem. Oke?"

"Oke!" Asiong membuang puntung rokoknya ke jalan di depan rumahnya. "Jemput aku ya!"

"Pasti dong!" Abun tertawa sambil berdiri. "Gue mau masuk ke dalam dulu, lu ada minuman apa?"

Kedua pemuda itu pun masuk ke dalam rumah kontrakan Asiong dan kedua kakaknya itu.

Beberapa jam kemudian...



Kelima bersaudara itu menyatu dengan hentakan musik yang berada di diskotik yang mereka masuki malam itu. Kepala mereka menghentak keras mengikuti alunan musik yang berdentum tak kalah kerasnya. Sementara badan mereka bergoyang mengiringinya.

Seperti suasana diskotik pada umumnya, di dalam ruangan tertutup tampak remang-remang dengan sesekali diselingi kilatan lampu disko yang berputar di atas kepala. Banyak pemuda pemudi yang larut dalam suasana bising itu. Ada yang sendiri dan ada pula yang berpasangan.



Semakin malam suasana di klub malam itu semakin ramai, baik ramai oleh hentakan musik dan ramai oleh pengunjung yang terus bertambah. Saat itu waktu sudah lewat tengah malam. Kelima pemuda itu tidak berdansa di satu tempat yang sama. Kelimanya terpencar sambil sesekali berharap bisa mendapatkan gadis yang tak memiliki pasangan dalam dansa itu. Ini adalah ketiga kalinya mereka turun dan berdansa di tengah ruangan.



Asiong menyusul Poniman yang sudah duduk di sofa terlebih dahulu. Buntara alias Abun juga sudah duduk menikmati minumannya. Sementara Chandra dan Akong masih turun bergoyang di bawah.



"Gimana, udah gak inget lagi kan?" Abun mengepulkan asap rokoknya.



Asiong meletakkan gelas minumannya dan menyambar bungkus rokok yang tergeletak di meja. "Ya, lumayan. Tapi tak ada yang sebanding dengan Ervina."



Abun dan Apo tertawa secara bersamaan. "Sudahlah, kita semua sudah disini. Kita nikmati saja!" Kata Apo menuang minuman dari botol ke dalam gelasnya.

"Nah, itu," Abun menunjuk Apo. "Betul banget tuh!"

Saat itu musik berhenti sesaat dan berganti lagu. Chandra dan Akong bergabung dengan mereka di sofa. Sedangkan Abun berdiri saat melihat keduanya datang.

"Gue turun dulu ya." Ujar Abun sambil melangkah ke tengah arena dugem.

"Gue juga." Apo pun berdiri dan mengikuti langkah Abun.

Chandra menghempaskan badannya di sofa, sementara Akong menyandarkan punggung dan kepalanya. Keduanya tampak lelah dan membutuhkan istirahat.

"Gak turun, Siong?" Tanya Chandra yang kepalanya menghentak mengikuti irama musik yang sedang diputar itu.



"Ya, bentar lagi. Habisin rokok ini dulu." Asiong menjawab. Secara iseng-iseng kepalanya menoleh kiri kanan, sekedar untuk melihat suasana di sana. Hampir semua sofa dan kursi di diskotik tampak kosong dikarenakan pengunjung sedang bergoyang menikmati alunan musik di tengah-tengah arena.



Berputar pandangan dari arah kanan ke arah kiri, sekilas Asiong melihat seorang gadis seperti bersandar di sebuah sofa dekat pojok ruangan, bersandar seperti halnya Akong. Namun wajah gadis itu tampak tenang, seperti sedang tertidur, namun nafasnya juga tidak memburu seperti Akong. Di sampingnya terdapat seorang lelaki yang berbadan cukup besar, tampak tertawa melihat sang gadis yang tersandar itu dan tangannya mengambil gelas yang terlepas dari pegangan si gadis saat terkulai lemas itu.



"Dasar lelaki buaya!" Gumam Asiong melihat hal itu. Matanya masih belum lepas dari keduanya. "Tak boleh lihat yang bagus sedikit, langsung beraksi."

Gadis yang terkulai lemas di sofa itu ternyata seorang gadis yang masih muda, cantik dengan rambutnya yang pirang. Pakaiannya saat itu tergolong seksi, dengan kaos pas badan sebagai atasannya dan celana panjang jeans sebagai bawahan.

Asiong kembali menikmati sebatang rokok yang baru dinyalakannya. "Mendingan merokok lah, daripada ikut campur urusan orang lain."



Mendadak Asiong merasakan sesuatu yang membuatnya kembali berpaling ke arah kedua insan di pojokan tersebut. "Heh, rambut pirang?" Gumamnya.

Diperhatikannya gadis yang lemas terbaring di sofa itu dengan lebih seksama. Sedetik, dua detik, tiga detik...

"Astaga!!" Terbelalak sepasang mata Asiong saat menyadari yang sedang dilihatnya. "Itu sepertinya Ervina."

Tak percaya pada pandangannya sendiri, Asiong pun berdiri dan memandang lebih seksama lagi.

"Ya Tuhan!" Semakin terbelalak kedua mata Asiong. "Itu Ervina!!"





BAGIAN 10

"Sial!" Asiong melempar rokok yang baru saja dinyalakannya itu. Dengan sepatu kets nya, pemuda itu mematikan bara api di puntung rokok tersebut.



"Kenapa, Siong?" Chandra menghentikan kepalanya yang sedang bergoyang mengikuti hentakan musik dan menatap sepupunya dengan pandangan bingung.

"Itu." Asiong menunjuk ke pojokan tempat insiden itu terjadi. Chandra memalingkan wajahnya mengikuti telunjuk Asiong.

"Oh, itu sih biasa lah." Ujar Chandra tenang. "Udah sering itu terjadi."



"Perhatikan cewek itu benar-benar." Kata Asiong lagi, suaranya terdengar bergetar. Saat itu pemuda berbadan besar itu kembali beraksi. Kali ini dia memindahkan posisi badan Ervina yang sedang terbaring menyandar ke posisi duduk.

"Ooohhhh...." Kepala Ervina terkulai lemas ke belakang saat posisi badannya didudukkan dari posisi menyandar oleh lelaki di sampingnya. Kemudian dilanjutkan dengan dipapahnya gadis itu berdiri oleh lelaki tersebut.



Dengan meletakkan sebelah tangan Ervina di pundaknya, lelaki itu memapah gadis itu berdiri dan mengajaknya berjalan. Kembali gadis itu mengeluh dan kepalanya tertunduk saat diajak berjalan itu, atau lebih tepatnya diseret oleh lelaki itu.

"Gawat!!" Asiong beranjak dari tempatnya berdiri. Melihat tindakannya yang mendadak itu, Chandra dan Akong, yang sudah bangun dari tertidurnya di sofa, berteriak memanggil pemuda itu. Namun Asiong sudah keburu menjauh.



"Ada apa dengan Asiong?" Tanya Chandra menatap Akong, yang menjawab dengan menaikkan kedua bahunya.

Tak urung Akong juga melihat ke arah yang diceritakan oleh Chandra. "Chan, firasatku jelek nih. Sepertinya sesaat lagi bakal terjadi keributan. Kau kenal siapa Asiong kan?"

Chandra mengangguk. Pemuda itu rupanya cepat menangkap maksud perkataan Akong. "Tapi siapa gadis itu?"

"Siapa gadis yang dikenal Asiong?" Akong bertanya balik.

"Mana kutahu. Banyak begitu." Jawab Chandra. "Tapi ini hanya dugaanku saja. Andaikan ini benar."

"Apa pikiranmu sama denganku?" Tanya Akong.

"Gadis SPG itu!" Keduanya berkata bersamaan lalu saling bertatapan satu sama lain.

"Ada kemungkinan itu dia." Kata Akong. "Kalau gak, kenapa Asiong jadi uring-uringan begitu?"

"Bahaya!" Kata Chandra. Pemuda itu bangun dari duduknya.

"Panggil Abun dan Apo, aku akan bantu Asiong," Ujar Akong yang juga sudah bangun dari duduknya itu.

Keduanya berpencar. Chandra berlari kecil menghampiri Buntara dan Apo yang masih bergoyang di tengah ruangan, sementara Akong mengikuti Asiong.



Dengan bergerak cepat, Asiong mengikuti lelaki berbadan besar yang membawa pergi Ervina itu. Dengan dentuman musik yang hingar bingar dan suasana yang hiruk pikuk, tak sulit bagi Asiong untuk mengintai dan mengikuti lelaki itu.

"Gadis ini mabuk." Terdengar lelaki itu berkata kepada petugas penjaga pintu yang kemudian membukakan pintu untuknya. Lelaki itu pun keluar dari diskotik dengan sebuah senyum menghias di wajahnya.



"Malam ini kau tak bisa lepas lagi dariku, manis." Terdengar lelaki itu bergumam sambil membawa Ervina ke parkiran mobilnya. Karena sudah lewat tengah malam, maka tempat parkir mobil sudah cukup sepi. Terlebih parkiran tersebut berada di lantai dasar, basement.

Asiong mendorong pintu, meninggalkan kebisingan dentam musik di ruangan dalam. Matanya melihat ke sekeliling sesaat dan setelah menemukan orang yang dicarinya, pemuda itu memburu ke arah si lelaki yang telah tiba di depan sebuah mobil.



BAGIAN 11

Dikejar oleh degup kencang jantungnya, lelaki itu tampak terburu-buru merogoh kantongnya mencari kunci dari saku celananya. Tangannya bergetar saat menarik kunci mobil dari saku celananya. Akibatnya kunci tersebut jatuh ke tanah dekat sepatunya.



"Ahh, pakai jatuh segala." Lelaki itu mengomel. Dengan menahan agar gadis yang dipapahnya tidak terlepas, lelaki itu berjongkok dan sebelah tangannya mengambil kuncinya yang terjatuh itu. Gerakannya membuat kepala Ervina kembali berputar, dengan lemas bergoyang ke kiri dan kanan dalam keadaan tertunduk dan rambut pirang yang menutupi.



Setelah mendapatkan kunci dan berdiri kembali, lelaki itu tersenyum lebar memasukkan kunci pintu mobil dan memutarnya. Pada saat pintu mobil dibukanya, dirasakannya sebuah tepukan di pundaknya.

"Permisi, bisa tanya sesuatu?" Terdengar suara tak lama setelah tepukan di pundaknya itu. Lelaki itu menengok.

BUUAAAKKKK!!!!



Sebelum sempat menyadari siapa yang memanggilnya atau menepuk pundaknya, sebuah pukulan keras telah mendarat di wajahnya tanpa dapat dihindarinya.

"Ugghhh!!" Lelaki itu mengerang. Kepalanya mendadak pusing oleh serangan yang mendadak itu. Beruntung gadis yang dipapahnya tidak terlepas.



Digoyangkannya kepalanya yang terasa pusing itu. "Sialan!!" Umpat lelaki itu. Merasa agak baikan, lelaki itu mencoba memandang ke depan. Tapi dia terlambat menyadari.

BUUUKKKKK!!!

"AAAAkkkhhhhhhhhh!!!!" Kembali lelaki itu mengerang tatkala wajahya kembali menjadi sasaran hantaman. Kali ini dagunya yang mendapat pukulan dari arah bawah. Badan besar lelaki itu terangkat sesaat.



"Oohhh...." Terdengar Ervina mengeluh. Tubuh lemasnya terlepas dari papahan lengan lelaki bertubuh besar itu. Pada saat yang bersamaan tubuh besar yang tadi memapahnya limbung.

Asiong, yang menghantam wajah lelaki berbadan besar itu, bergerak cepat. Sebelah lengannya bergerak memapah tubuh lemas Ervina. Kembali gadis itu mengeluh ketika tubuhnya dipeluk dan disandarkan di lengan kirinya.



"Kurang ajar!" Lelaki itu berteriak. Pukulan Asiong ternyata hanya sanggup membuatnya limbung sesaat. Dikarenakan pada saat melancarkan pukulan, posisi Asiong tidak tepat berada di depannya, melainkan pukulan yang dilancarkannya berasal dari samping. Hal ini dikarenakan lelaki tersebut masih memapah tubuh lemas Ervina di lengannya, posisi yang membuat Asiong tak leluasa melancarkan pukulan.



Dengan badan besarnya, yang kini sudah mulai bergetar akibat efek pukulan di dagunya yang masih terasa, lelaki itu maju mendekati Asiong.

"Siong!" Terdengar sebuah suara memanggil dari belakang. Asiong menengok. Fatal! Kesempatan Asiong menengok dipergunakan oleh lelaki berbadan besar itu untuk menyerangnya.

BUUUKKK!!!

"AARGGHHH!!!" Kepala Asiong sampai tertarik ke samping saat pukulan si lelaki berbadan besar itu mendarat di wajahnya. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.



Pada saat Asiong terhuyung ke belakang, kesempatan itu dipakai oleh lelaki berbadan besar itu untuk menarik Ervina kembali dari pelukan tangan kiri Asiong. Beruntung Asiong sigap dan bertindak cepat sebelum lelaki tersebut berhasil melakukannya. Dipeluknya pinggang gadis itu dengan lebih erat dan didekapnya menyatu dengan badannya, sehingga jangkauan lelaki berbadan besar itu hanya menangkap angin.



Namun tak urung, Ervina yang sedang dipeluk dengan tangan kirinya ikut terseret olehnya ketika dia terhuyung mundur ke belakang. "Ngghhhh...." Kembali terdengar keluhan dari bibir Ervina pada saat terjadi adu tarik tersebut.



"Sini kubantu!" Kata si pendatang yang memanggil Asiong, yang tak lain adalah Akong, sepupunya. Akong bergerak menolong Asiong mengambil tubuh lemas Ervina dari pelukan pemuda itu.

"Ke pinggir, Kong! Jaga dia. Yang satu ini urusanku!" Kata Asiong sambil menyerahkan badan lemas Ervina kepada sepupunya. Akong segera menghindar ke tempat yang aman, dengan Ervina yang dalam papahan lengannya. Kembali kepala gadis itu tertunduk lemas saat Akong memapahkan lengannya ke atas pundaknya.



Asiong kembali berdiri tegak sambil mengusap bibirnya dengan ibu jarinya. Sebersit cairan berwarna merah kental menempel di jarinya.

"Sial!" Asiong mengumpat. Tanpa melepaskan pandangan matanya ke arah lelaki berbadan besar itu, Asiong meludah membuang darah yang mengalir di mulutnya.

"Kurang ajar! Siapa kau berani ikut campur urusan ini?" Lelaki berbadan besar itu berteriak.

"Aku tak suka gayamu bekerja, Bung!" Kata Asiong tak mau kalah menggertak. "Itu sama sekali tidak gentleman!"



"Cuih!!" Lelaki berbadan besar itu meludah. "Kau sudah ikut campur dalam urusan ini. Kau yang memintanya, jangan salahkan saya!" Bersamaan dengan itu, si lelaki mengeluarkan handphone-nya dan tampak berbicara menghubungi seseorang.

Jantung Asiong yang saat itu sudah berdetak kencang karena ketegangan yang dialaminya, saat melihat tindakan lelaki itu semakin berdegup kencang. Dari pengalamannya sebelumnya, dia mendapatkan perasaan bahwa situasi akan bertambah buruk.



"Kong!" Teriak Asiong tanpa melepaskan pandangan dari lawannya.

"Ya." Akong yang dipanggil menyahut dari tempatnya berlindung.

"Bawa Ervina pergi dari sini!" Teriak Asiong lagi. "Cepat!!"

"Ya!" Akong segera berbalik badan dan membawa tubuh lemas Ervina pergi dari tempat itu. Pada saat yang bersamaan, Chandra datang dari pintu yang sama, pintu yang dipakai lelaki berbadan besar dan Asiong tadi keluar. Bersama dengan Chandra, Buntara dan Poniman berlari di belakangnya.



"Kenapa, Kong?" Tanya Poniman yang memang agak lamban dibanding semua saudaranya.

"Sudah, jelasinnya nanti aja." Kata Akong. "Ambil mobil, Bun. Cepat!"

Buntara yang baru tiba disana, mendapat perintah begitu dari Akong, hanya bisa berbalik badan dan berlari menuju mobilnya.

"Asiong gimana? Masa kita tinggal sendirian disana?" Tanya Buntara dalam perjalanannya menuju mobilnya.

"Habisnya gimana?" Tanya Chandra. "Lu mau kesana bantu?"

"Gimanapun juga dia itu saudara kita." Kata Buntara. Diserahkannya kunci mobilnya kepada Chandra. "Kalian bawa gadis ini ke tempat yang aman. Gue balik kesana dulu."



"Bun, lu udah gila?" Tanya Poniman.

"Gue masih waras." Tukas Buntara.

"Tapi, Bun, kalau mereka main keroyokan, gimana?" Tanya Akong.

"Kalian mau Asiong dikeroyok sendiri?" Jawab Buntara sambil berlari kecil. "Kita janjian lagi ketemu dimana. OK?"






BAGIAN 12

Asiong sudah terbiasa dengan situasi menegangkan seperti ini. Ketika pemuda itu kembali dihadapkan kepada situasi yang sama, tak ada rasa takut sedikitpun dirasakan olehnya.



Saat itu tiga orang lelaki, yang juga berbadan kekar namun tidak sebesar lelaki yang mengundang mereka, telah berdiri di samping kiri kanan lelaki yang sempat dihajar Asiong tadi. Bukan saja badan mereka yang kekar, namun juga penampilan mereka yang bertato di lengan dan pakaian model anak jalanan, jaket kulit hitam tak berlengan, baju kaos kumal dan celana jeans belel dengan sobekan di lutut, menambah keangkeran mereka.



"Jadi aku harus berhadapan dengan empat orang ini sekaligus!" Gumam Asiong. "Oke. Satu geng pun, bila perlu, aku akan layani."



Suara tapak kaki yang seperti sedang berlari terdengar mendekat. Suara yang berasal dari belakang Asiong. Sambil menambah kewaspadaan akan datangnya serangan mendadak dari depan, Asiong mencoba melirik ke belakang, mencari tahu siapa yang mendekatinya.



"Siong!" Terdengar sebuah suara yang sudah sangat dikenalnya. Suara Buntara. "Tenang, Siong. Ada gue yang bantu!"

"Kenapa disini? Ervina gimana?" Bisik Asiong. Kedua pemuda itu berdiri berdampingan.

"Ada sama yang lain, tenang aja." Kata Buntara. Diarahkannya pandangannya ke depan. "Wah, empat orang nih?"

"Seperti yang terlihat." Ujar Asiong.



"Bagus! Udah lama gue gak berantem nih." Kata Buntara sambil meluruskan dan menggoyang-goyangkan kedua lengannya, lalu dibunyikannya buku-buku jemari tangannya dengan melipat masing-masing jari ke dalam. "Tangan gue udah gatal gak mukul orang sekian lama."



"Heh!" Asiong mendengus mendengar komentar sepupunya itu. Dia memang mengetahui kalau Buntara adalah seorang petarung di sekolahnya, ketika masih di tingkat SD sampai SMA. Hampir sama seperti dirinya, selain sebagai seorang tidak menyukai ketidakadilan, Buntara juga sosok yang menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan kemenangan demi keadilan.



Di seberang sana, keempat lelaki yang semuanya berusia di atas kepala tiga, tampaknya telah siap maju setelah basa basi di antara mereka sesaat.



"Hei, kalian!" Mendadak terdengar suara keras dari arah parkiran tempat mereka berdiri berhadap-hadapan. "Sedang apa kalian disana?"

Seorang pria berpakaian Satpam berlari kecil menghampiri keenam lelaki itu. Tongkat khusus Satpam mengayun-ayun di tangannya.

Lelaki berbadan besar yang menjadi pimpinan dari ketiga temannya itu memberi tanda dengan gerakan kepala ke arah temannya. Begitu mendapat aba-aba itu, salah seorang lelaki mendekati ke arah Satpam yang kini telah berjalan ke arah mereka itu.



Asiong yang melihat keadaan tak menguntungkan segera mengambil inisiatif. Didahului dengan suara teriakan, pemuda itu berlari ke arah Satpam dan lelaki berjaket hitam yang sedang menghampirinya itu.

"Pak, awas!" Teriak Asiong sambil berlari cepat dan menyergap lelaki berjaket hitam, tepat ketika lelaki itu tinggal beberapa langkah lagi dengan Satpam yang diincarnya.

Satpam terperangah melihat sergapan Asiong kepada pemuda yang mendekatinya itu. Langkahnya terhenti saking kagetnya. Matanya hanya bisa memandang melotot dengan mulut ternganga lebar melihat yang terjadi di depan matanya.



"UUUGGGHHHHH!!!" Lelaki yang disergap oleh Asiong tersungkur, sama sekali tak menyadari dirinya akan mendapat sambutan seperti itu. Bersama dengan Asiong yang memeluk erat badannya, keduanya berguling sesaat di jalanan.

Keduanya bergulingan dan saling menekan lawannya, bergumul untuk mencoba berada di atas dari yang lain. Tepat pada saat Asiong berada di atas lelaki itu, pemuda itu gerakkan lengan kirinya menjambak rambut lawannya dari belakang kepalanya.

"Heyyy!! Arrggghhh!!" Lelaki itu menjerit kesakitan merasakan jambakan di rambutnya. Tangannya berusaha menggapai wajah Asiong.



Namun niat lelaki itu mencakar wajah Asiong urung tatkala pemuda itu terlebih dulu mendaratkan sebuah pukulan tepat ke arah rahangnya. Dengan lengan kiri menjambak rambut dari belakang, Asiong menghantam wajah lawannya dengan tangan kanannya.

BUUUUKKKKK!!!

"Ooouuukkkhhhhhhh!!!!" Lelaki itu berteriak saat pukulan Asiong mendarat tepat di wajahnya. Sakit di rahangnya dirasakannya merayap naik hingga ke ubun-ubun kepalanya.



Merasakan dirinya berada di atas angin, Asiong menggandakan serangannya. Dengan memanfaatkan momen lawan yang masih pusing itu, Asiong menjambak rambut lawannya dan mendirikannya. Lelaki itu mau tak mau berdiri dengan 'bantuan' jambakan di rambutnya.

Setelah melihat lawannya berdiri, Asiong melepaskan jambakannya. Keadaan pening membuat tubuh lelaki itu berdiri dengan sempoyongan. Asiong tak menyia-nyiakan kesempatan itu.



Didahului oleh sebuah pukulan yang mendarat tepat di hidung lawannya. Lelaki berjaket hitam itu terundur beberapa langkah oleh pukulan itu. Belum cukup, Asiong masih menambahkan lagi dengan sebuah pukulan. Kali ini diarahkan tepat ke perut sang lawan.

"OOOOFFFFFFFF!!!" Udara seperti meluncur keluar dari paru-paru ketika mendapat pukulan di arah perut seperti itu. Kesakitan, lelaki itu tampak membungkuk memegangi perutnya.



BUAAKKKKHHHH!!!



Sebuah pukulan kembali mendarat di wajahnya pada saat dirinya terbungkuk dengan perut sakit. Dalam posisi agak membungkuk, Asiong menghantam lelaki itu dengan sebuah pukulan yang tepat diarahkan di dagu bawahnya. Sebuah pukulan uppercut! Pukulan yang dilontarkan dari arah bawah, dengan posisi tangan dan siku petinju membentuk huruf V dan dengan sasaran utama perut, ulu hati dan dagu lawan.



Tanpa banyak bersuara, lelaki tersebut roboh dengan mendarat keras di atas jalan. Punggungnya rata menghempas tanah, KO oleh pukulan uppercut, salah satu pukulan yang sangat ditakuti dalam olahraga tinju.

Dagu adalah salah satu daerah rawan yang harus dilindungi dalam bertinju. Bila terkena pukulan di dagu, terlebih oleh uppercut yang dilancarkan dari arah bawah, bukan tidak mungkin, badan sebesar apapun akan roboh olehnya.

Asiong menepuk telapak tangannya seolah debu yang menempel mengotorinya saat melihat lawannya terkapar roboh.

"Ya, satu roboh! Tiga lagi tersisa!" Asiong membalikkan badannya dan berjalan kembali ke tempatnya semula.






BAGIAN 13

Bersamaan dengan aksi Asiong menyergap lelaki yang ingin menyerang Pak Satpam, kedua lelaki temannya bergerak maju menyerang. Buntara pun sudah siap melayani saat keduanya bergerak maju dengan serentak.



Kedua lelaki itu menyebar. Satu menuju ke arah Satpam, sedangkan yang satu lagi bergerak ke arah Buntara.



"Pak!! Awas! Dia mau menyerang Bapak!!!" Buntara berteriak sambil membungkuk menghindari ayunan tangan lawan yang mengincar wajahnya.



Ketika mengangkat badannya lagi, kembali serangan lawan mengincarnya. Buntara menggerakkan lengannya. Jurus yang pernah diajarkan oleh papanya dan dipendamnya bertahun-tahun setelah melepas status sebagai murid petarung, kini kembali dikeluarkannya.



Masa kecil Buntara diisi dengan perkelahian hampir setiap harinya. Dikarenakan Buntara kecil tidak senang temannya dipermainkan, pertikaianpun jarang terelakkan. Suatu hari, Buntara kecil pulang dalam keadaan babak belur. Dia gagal membela temannya yang diincar anak-anak kampung sebelah, yang memang terkenal sangat merendahkan kaum keturunan. Karena jumlah mereka yang lebih banyak, Buntara kalah dalam perkelahian tersebut dan sepeda temannya yang diberikan ayahnya untuk ulang tahunnya direbut mereka. Ketika mengetahui bahwa anaknya berkelahi demi membela kebenaran, Papa Buntara mengajarkan sedikit ilmu bela diri yang pernah dipelajarinya semasa masih melajang. Baru diajarkan 3 hari oleh Papanya, Buntara kecil menantang anak-anak kampung sebelah berkelahi. Pertemuan kali ini berhasil dimenangkannya dan sepeda temannya diambilnya kembali. Keadaan berlanjut selama Buntara bersekolah. Manakala dilihatnya ada temannya yang diganggu, tak perduli kakak kelasnya sekalipun, Buntara dengan berani menantang mereka.



Sebuah pukulan sang lawan yang dilancarkan ke arah wajahnya berhasil dihalau lengan kirinya yang digerakkan dari arah dalam keluar membentuk sebuah jurus menepis.

Melihat pukulan tangan kanannya berhasil dihindari, sang lawan kembali melancarkan serangan. Kali ini dengan tangan kiri, sebuah pukulan kembali dilancarkan.

Dengan menggunakan jurus yang sama, kembali serangan lawan berhasil dikandaskan Buntara. Dengan kedua tangan yang ditepis begitu, posisi lawan berada dalam keadaan terbuka di bagian dada. Sebuah daerah serang yang bagus dan sudah diincar oleh Buntara.



Didahului oleh serangan siku tangan kanan yang mendarat tepat di ulu hati sang lawan. Sebuah serangan yang membuat lawan seperti 'tersengat' dan terhenti gerakannya. Dengan mulut seperti ingin muntah akibat telaknya serangan yang masuk itu.

Disusul dengan sapuan lengan yang digerakkan ke atas menghantam tepat wajah yang sedang terkejut itu, menghantam wajah sang lawan dengan punggung tangan yang mengepal, cukup untuk membuat lawan mundur beberapa tindak ke belakang.

"Hooeekk..." Lelaki itu memegang ulu hatinya yang terpukul dan mulutnya pun memuntahkan cairan.



"Satu peringatan bagimu! Jangan pernah berurusan dengan murid petarung sepertiku ini!" Ujar Buntara yang melancarkan sebuah tendangan lurus ke arah dagu sang lawan, membuat lelaki bertubuh kekar tersebut mental beberapa meter ke udara sebelum akhirnya tubuhnya jatuh terhempas ke tanah dengan keadaan tak sadarkan diri.



Sementara itu seorang lelaki lain yang bergerak menyerang Satpam melancarkan pukulan dengan gerakan tangan melingkar. Dengan membungkuk, Pak Satpam tersebut berhasil menghindari pukulan berputar si lelaki.

Dengan sigap, Pak Satpam mengambil peluit yang digantung di lengan seragamnya dan meniupnya. Di suasana tengah malam yang tenang itu, suara peluit yang sejatinya tidak begitu kencang itu, terdengar keras dan membuat dua orang temannya - yang juga berseragam keamanan - berlarian datang dari kejauhan.



Menyadari situasi yang tak menguntungkan, lelaki yang menyerang Pak Satpam mengurungkan niatnya. Dilihatnya lelaki berbadan besar yang menjadi pimpinannya itu. Sebuah gerakan lengan mengisyaratkan pergi membuat lelaki itu membalikkan badannya meninggalkan tempat itu.



Ketika melewati temannya yang terkapar oleh tendangan Buntara, lelaki itu berhenti untuk memapah tubuh lemas temannya dan kabur dengan langkah tertatih-tatih.

Tepat pada saat Asiong kembali ke tempat tersebut, lelaki berbadan besar itu berpapasan dengannya. Saat melihat Asiong, lelaki itu menggemeretakkan giginya.



"Urusan kita belum selesai! Tunggu pembalasanku!!" Lelaki berbadan besar itu mengacungkan jari tengahnya ke wajah Asiong yang disambut dengan cibiran pemuda itu.

"Kapanpun, Bung!" Jawab Asiong. Diarahkannya jempol tangan kirinya ke bawah, membuat lelaki berbadan besar itu semakin emosional.

"Oh ya!" Asiong berhenti sesaat dan menatap si badan besar. "Jangan lupakan temanmu! Atau kami akan membawanya bersama!"



Si badan besar dan temannya berlalu dari tempat itu. Dengan mobil mereka, keduanya membawa serta kedua teman mereka yang masih tak sadarkan dirinya ketika dinaikkan ke atas mobil.

Sementara itu, Buntara diwawancarai oleh Pak Satpam dan beberapa petugas keamanan diskotik.

"Saya tak tau banyak, Pak. Saya hanya membantu saudara saya yang dikeroyok!" Terdengar jawaban Buntara ketika Asiong mendekat. "Nah, ini dia orangnya."

"Tak ada masalah yang berarti, Pak." Jawab Asiong. "Mereka mengganggu temanku."



"Lalu dimana temanmu sekarang?" Tanya Pak Satpam.

"Sudah pulang ke rumahnya." Kata Asiong lagi sambil dalam hatinya bergumam, 'Tak perlu kuceritakan kalau dia bersama saudara-saudaraku sekarang. Nanti malah ditanya panjang lebar.'

"Oh begitu." Ujar Pak Satpam.

"Kalau boleh tahu, Pak, siapa orang berbadan besar tadi?" Tanya Asiong.

Pak Satpam dan kedua temannya saling bertatapan, sebelum balik bertanya.

"Kalian orang baru disini?" Tanya Pak Satpam.

Asiong menatap Buntara.

"Tidak, Pak. Saya sering datang kesini." Jawab Buntara. "Hanya saja saya belum pernah melihat mereka."



"Oh," Teman Pak Satpam menggaruk kepalanya. "Mustinya kalau sering datang kemari, kau mengenalnya. Dia terkenal disini."



"Terkenal?" Buntara melirik Asiong. "Maksud Bapak?"

"Saya juga masih baru disini, tapi yang saya tahu mereka itu preman disini." Jawab Pak Satpam.

"He eh. Preman ya? Mau rokok, Pak?" Buntara mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan kepada mereka.

Ketiga orang itu menerima pemberian Buntara, menyalakan rokok masing-masing, baru melanjutkan pembicaraannya.

"Dia bernama Roni Susilo, putra Ahmad Susilo, salah seorang rentenir yang terkenal sadis." Kata Pak Satpam menjelaskan.

Kedua mata Asiong terbelalak mendengar perkataan Pak Satpam itu. Buntara juga tak berbeda keadaannya. Keduanya saling bertatapan satu sama lain.
"Rentenir?" Gumam kedua bersaudara itu bersamaan.



BAGIAN 14

"Terima kasih atas bantuanmu ya." Kata Asiong kepada Buntara. Kedua pemuda itu sedang berjalan menyusuri trotoar dan telah meninggalkan diskotik yang tak berapa lama sebelumnya terjadi pertikaian antara keduanya dengan sekelompok pemuda yang mengambil kesempatan pada seorang gadis kenalan Asiong. Diskotik yang telah mereka tinggalkan beberapa meter di belakang.



"Tak masalah, selama aku masih bisa membantu." Jawab Buntara menepuk pundak Asiong. "Hitung-hitung olahraga setelah lama tak menekuni hobi..."

Asiong tertawa. "Hebat juga berkelahimu. Sudah lama aku mendengarnya, tapi baru tadi kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Asuk yang mengajarkan ya?" Asuk berarti paman, adik ayah atau ibu.

Buntara mengangguk. "Hanya sedikit saja." Katanya merendah.



"Yang lainnya kemana?" Asiong memasukkan jemarinya ke dalam saku celana jeans-nya dan memandang ke sekeliling. Mereka sedang berada di sebuah perempatan jalan saat itu. Lalu lintas pada dini hari itu masih cukup ramai oleh lintasan kendaraan-kendaraan pribadi dan juga taksi. Mungkin karena malam itu adalah malam minggu.



"Aku tidak tenang melihat keadaan Ervina." Sambung Asiong.

"Tak perlu khawatir." Buntara menjawab sambil menyalakan sebatang rokok dengan pemantik gas. "Mereka menunggu tak jauh dari sini."

"Kita bisa kesana sekarang?" Asiong menatap saudaranya itu.

"Kenapa gak?" Buntara menghembuskan asap rokok yang dihisapnya. "Ayo!"



Kedua pemuda itu meneruskan perjalanan mereka dengan Asiong mengikuti di belakang Buntara yang memimpin di depan. Setelah berjalan beberapa meter kemudian, Asiong melihat sebuah mobil Kijang Inova berwarna putih terparkir di pinggir jalan, mobil yang malam itu dibawa oleh Buntara ke diskotik.

Hati Asiong berdegup kencang saat makin mendekati mobil tersebut. Pemuda itu mengkhawatirkan Ervina.



"Wah, itu mereka datang." Terdengar suara Poniman dari balik jendela mobil yang diturunkan. Chandra duduk di balik kemudi dan Akong berada di bangku di belakangnya bersama dengan Poniman. Di tengah-tengah kedua pemuda itu tampak Ervina yang masih dalam keadaan tertidur dengan kepala dan punggung bersandar di bangku.



"Gimana, Siong?" Akong langsung mengajukan pertanyaan saat Asiong dan Buntara membuka pintu mobil.

"Gue satu, Asiong satu. Dua-duanya KO!" Buntara menyela sambil tersenyum.

"Maksud lu? Gue gak ngerti..." Poniman menatap kedua saudaranya yang baru bergabung itu dengan pandangan bingung.

"Turun, Po!" Asiong yang membuka pintu belakang meminta tempat di samping Ervina yang saat itu masih ditempati Poniman.

"Wah yang punya pacar," Dengan tersenyum, Poniman beranjak turun dan tempatnya diganti oleh Asiong.

"Berisik!" Asiong menimpali dan duduk di samping Ervina. Sesaat matanya memeriksa keadaan sang gadis dan kemudian diliriknya Akong yang duduk di samping kiri Ervina. "Bagaimana keadaannya?"



"Masih belum bangun. Mungkin dosisnya tinggi." Ujar Akong. "Lu jaga dia ya. Gue pindah ke belakang."

Bersama dengan Poniman, Akong beranjak duduk di barisan paling belakang, meninggalkan Asiong dan Ervina di barisan tengah. Sementara Chandra berpindah ke samping kemudi dikarenakan Buntara yang membawa mobil tersebut duduk di belakang kemudi.

"Kita kemana nih, Siong?" Buntara membuang sisa rokok yang dihisapnya ke jalan dan memegang kemudi.

"Jalan saja, Bun. Aku masih belum tahu akan kemana. Kita pergi dari sini saja." Jawab Asiong.

"Oke." Buntara pun memutar kunci menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya melintasi lalu lintas di pagi dini hari itu.



Sepanjang perjalanan, Buntara dan Asiong bergantian bercerita mengenai pertarungan yang mereka temui sebelumnya. Adalah Buntara yang lebih banyak berbicara, sementara Asiong terus menerus memeriksa keadaan Ervina yang sampai waktu itu masih terkulai tak sadarkan dirinya.

"Siong, sebelumnya sori ya, tapi gue rasa gak bagus nih kalau pas dia bangun dan liat kita semua disini." Chandra tiba-tiba menimpali percakapan mereka. "Image lu bisa jelek di depannya, Siong."

Asiong mengangkat kepalanya. "Benar juga ya. Tapi apa yang harus kulakukan?"



"Gini aja, Siong." Buntara menjawab sambil sibuk mengendarai mobilnya. "Lu naik taksi aja. Jadi kalaupun dia bangun, kan cuma ada lu aja. Jadi gak ada kita."

"Jujur, Siong. Gue sih gak mau terlibat." Poniman menambahkan. "Bisa berabe."

"Tapi aku musti kemana?" Asiong menatap keempat saudaranya dengan bingung.

Akong tertawa sambil menepuk pundak Asiong. "Kalau lu emang sayang pada Ervina, lu pasti tau harus ngapain."

'Sayang katanya?' Bathin Asiong dalam hati. 'Terlalu cepat untuk bilang itu.'

Buntara menghentikan kendaraannya di pinggir jalan. "Gimana, Siong?"

"Mumpung Ervina belum sadar lho. Nanti kalau udah bangun, repot lho." Tambah Chandra.

"Ya sudahlah. Aku turun disini saja." Asiong pun membuka pintu mobil dan turun.

"Sorry, Siong. Ini demi lu juga." Kata Buntara lagi.

"Aku mengerti." Asiong menjulurkan lengannya memeluk pinggang Ervina dan memapah gadis itu turun dari mobil. Sesaat gadis itu mengeluh saat Asiong membuatnya turun dari mobil tinggi tersebut.



"Oke, sampai disini saja." Kata Asiong. "Terima kasih semuanya."

Keempat sepupu Asiong tersenyum. Akong dan Poniman kembali ke barisan tengah dan pintu yang dibuka Asiong untuk turun, ditutup salah seorang dari mereka.

"Kami jalan dulu, Siong." Keempat saudaranya berkata bersamaan sebelum mobil Toyota Inova tersebut meluncur pergi meninggalkan Asiong dan Ervina disana.






BAGIAN 15

Tak perlu lama bagi Asiong untuk mendapatkan taksi yang bisa ditumpanginya. Tak sampai sepuluh menit berdiri sambil memeluk pinggang Ervina yang kepalanya terbaring lemas di pundaknya, pemuda itupun sudah duduk di dalam taksi yang membawanya.



"Mau kemana, Pak?" Tanya supir taksi memandang Asiong dengan pandangan curiga. Mungkin sebersit pikiran kotor terlintas di benak sang supir melihat seorang pemuda masuk sambil memeluk seorang gadis yang tak sadarkan dirinya.

"Aku belum tahu mau kemana, tapi Bapak jalan saja." Jawab Asiong sambil membaringkan kepala Ervina ke kepala kursi.

"Maksudnya Bapak?" Sopir taksi itu masih tampak jelalatan melihat tingkah laku Asiong yang menjadi penumpangnya itu.

"Bapak jalankan taksi saja. Aku masih belum ada tujuan sampai dia bangun." Pukas Asiong yang mulai agak kesal melihat 'perhatian' si sopir taksi.



"Baik, Pak." Sambil memulai menjalankan taksinya, mata si sopir taksi masih melirik spion atas yang memungkinkannya melihat ke belakang dimana Asiong duduk berdampingan dengan Ervina.

'Atau aku bangunkan saja dia ya?' Bathin Asiong kebingungan dalam hatinya. Saat itu dia menatap wajah tenang Ervina yang sedang tertidur itu. Dengan kedua mata terpejam, rambut pirang yang tergerai lepas, dan semua keindahan di wajah Ervina, membuat Asiong seperti terpukau dan tak ingin melepaskan pandangannya pada wajah gadis itu.

'Cantik sekali.' Gumam Asiong dalam hati. 'Andai saja aku bisa mengenalnya lebih jauh.'



Perjalanan tak tentu arah tersebut berlanjut. Argo taksi sudah menunjukkan harga sekitar dua puluh ribu rupiah saat itu dan pembicaraan Asiong dengan sopir taksi pun menjadi hening karena kehabisan topik pembicaraan, namun belum ada tanda-tanda Ervina akan terbangun dari ketidaksadarannya.



'Bangun dong. Sampai berapa lama lagi harus menggantung seperti ini?' Bathin Asiong dalam hati sambil melirik gadis yang rebah di sampingnya.

Sesaat terlihat kedua bibir gadis itu membuka. Dari antara kedua bibirnya keluarlah suara keluhan.

"Ervina." Asiong memegang lengan gadis itu dan mencoba mengguncangnya pelan. Berharap gadis itu bisa sadar dan membuka matanya.

"Uuuhhhhh....." Terdengar keluhan gadis itu kembali. Melihat kesempatan itu, Asiong pun tak menyia-nyiakannya. Dipanggilnya nama gadis itu sambil mengguncang lengannya lebih keras lagi.



Samar-samar Ervina merasa namanya seperti dipanggil. Suaranya jauh, sangat jauh. Pelan sekali, namun bisa terdengar olehnya. Suara yang terus menerus memanggil namanya dan sebuah kata lain yang masih belum jelas terdengar olehnya.

"Ngghhhh..." Kepala Ervina berputar ke kanan dalam sandarannya, menjauhi Asiong yang duduk di sebelah kirinya. Melihat hal itu, Asiong memberanikan dirinya memegang kedua pipi gadis itu dan ditepuknya perlahan sambil memanggil namanya.

"Ervina, bangun." Pemuda itu terus menepuk pelan pipi gadis itu.



Suara yang terngiang di telinga Ervina mulai terdengar jelas. Terasa semakin dekat terdengar. Keadaan sekelilingnya juga sudah tidak lagi hitam tak berujung, namun kini telah bergulir sedikit lebih terang, seperti ada seberkas cahaya yang menyeruak masuk.



Makin lama cahaya terang itu semakin menyelimuti tempat tersebut. Keadaan sekitarnya menjadi seperti kelabu. Sementara suara yang memanggil namanya kian terdengar mendekat.

Keadaan mulai memutih. Sedikit demi sedikit putih semakin menguasai pandangannya. Gelap bertukar menjadi lebih cerah, lebih terang.

"Ooohhhhh..." Ervina mengeluh dan perlahan kedua matanya membuka. Dilihatnya di depan pandangan matanya, sebuah permukaan yang tertutup seperti busa namun seperti sedang bergerak.



"Dimana aku?? Ini..." Gadis itu kembali mengeluh. Diangkatnya kepalanya yang baru disadarinya sedang rebah itu. Seketika pusing melanda kepalanya.

"Ohhh, pusing..." Tak kuasa Ervina mengangkat kepalanya. Disandarkannya kembali kepalanya, membiarkan rasa pusing menghilang. Matanya kembali dipejamkan.

'Suara itu? Suara yang memanggil namaku itu? Kenapa suara itu berhenti?' Tiba-tiba bathin Ervina berkata. '

Penasaran, gadis itu kembali membuka matanya dan mengangkat kepalanya. Rasa pusing yang melandanya saat itu ditahannya. Dirasakannya tempatnya duduk seperti sedang bergerak saat itu.

"Ervina, kamu sudah bangun?" Terdengar namanya kembali dipanggil. Suara itu!



Tiba-tiba benak gadis itu teringat ketika terakhir kalinya dia masih berdansa di tengah ruangan diskotik dengan hantaman musik keras, sebelum seorang lelaki yang mengajaknya kesana menawarkan minum. Karena merasa kepalanya pusing, gadis itu memilih untuk duduk di sifa daripada meneruskan dansanya. Setelah itu, dirinya tak ingat apa-apa lagi, sampai suara itu menyadarkannya kembali.



"Ervina..." Suara itu kembali terdengar. Gadis itu menengok ke arah suara tersebut berasal. "Er..."

Suara tersebut berhenti memanggil. Sebuah suara yang lebih kencang menghentikan suara yang terus menerus memanggil namanya itu.

PLAAKKKK!!!

Sebuah tamparan keras tangan kanan Ervina membuat pemilik suara tersebut terdiam. Kepala itu diam tak bergerak, terpaku di tempat terakhir kali tamparan tersebut membuatnya berhenti.






BAGIAN 16

Setelah melancarkan sebuah tamparan yang membuat pemilik suara berhenti memanggil namanya, Ervina memberanikan diri untuk melihat lebih jelas situasi yang sedang dialaminya saat itu.



Sementara Asiong yang pipinya ditampar Ervina itu terdiam tak bergerak. Sekilas terlihat anting yang melekat di telinga kirinya dari posisi wajahnya setelah mendapat tamparan. Pandangannya terarah ke sofa yang sedang didudukinya tersebut.



"Hah!! Kamu..." Tiba-tiba terdengar Ervina terpekik saat menyadari siapa yang berada di hadapannya itu. "Kamu bukannya Koko yang di PRJ itu?"

Kedua mata Ervina terbelalak saat menyadari perbuatannya. "Koko, maaf, aku..."

Asiong mengangkat wajahnya yang diam tak bergerak itu. Ditatapnya kedua mata indah Ervina.

"Maafkan aku, Koko. Aku spontan. Maaf, aku sungguh minta maaf." Kembali terdengar suara Ervina. Tangannya bergerak seakan ingin mengusap pipi pemuda yang ditamparnya itu, namun diurungkannya.



Asiong menghela nafas panjang dan dihembuskannya. Pemuda itu tidaklah marah akan perbuatan Ervina kepadanya. Dia bisa memaklumi kenapa Ervina berbuat seperti itu kepadanya. Sebuah reaksi spontan yang bisa dilakukan siapapun yang sedang panik.



"Koko kenapa bisa berada disini?" Ervina menatap Asiong dan melihat ke sekeliling. Baru gadis itu menyadari, tempat duduknya yang bergerak ternyata karena dirinya berada di dalam sebuah taksi.

"Syukurlah kamu sudah sadar." Asiong berkata. "Kamu tidak apa-apa?"

Ervina terperanjat. Kedua lengannya segera memeriksa tubuhnya dengan memegang saku di celana dan beberapa tempat lain di tubuhnya. Lalu ditatapnya Asiong kembali.



"Aku gak apa-apa, Ko." Kata gadis itu. Suaranya terdengar bergetar. Rasa pusing di kepalanya masih tersisa sedikit. "Terima kasih kalau memang benar Koko yang menolongku."

"Badanmu masih lemah, istirahatlah dulu." Asiong kembali berkata. Matanya bertatapan dengan mata indah Ervina. "Aku akan mengantarmu pulang."

"Tapi, Ko..."

"Istirahatlah!" Nada suara Asiong terdengar dalam membuat Ervina tak ada jalan lain kecuali menurutinya dan menyandarkan badannya di sofa di belakangnya.

Sesaat keduanya terdiam seribu bahasa. Asiong mengarahkan pandangannya keluar jendela. Walaupun hatinya tidak marah, namun bekas tamparan Ervina di pipinya masih terasa pedas saat itu.



'Pedas juga tamparanmu, Ervina.' Bathin Asiong. 'Untung saja perasaan hati ini berkata lain. Andai aku tak ada rasa padamu, aku takkan diam seperti ini.'

Ervina sendiri terpaku bersandar di sofa taksi. Ingin sekali dia bersuara membuka pembicaraan dengan pemuda di sampingnya itu. Namun tamparan yang dilakukannya sebagai reaksi spontan, membuatnya menjadi sungkan untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.



'Aku takut Koko marah, aku telah bersalah menamparnya.' Gadis itu berkata dalam hatinya. 'Please, Koko, jangan marah padaku. Aku tak bermaksud menamparmu tadi. Kupikir kamu adalah Roni.'

'Tapi kalau aku diam begini, mau sampai kapan?' Kembali Asiong membathin. 'Bukankah aku ingin bertemu dengan Ervina lagi? Kenapa justru sekarang sudah bertemu dan aku malah diam begini?'

'Ayo, Vina, panggil dia terlebih dulu. Minta maaf sekali lagi. Jangan bohongi perasaanmu sendiri.'

'Siong, ayo, kenapa diam saja? Selama ini Asiong tak pernah mengenal rasa takut kepada lawan kan? Kenapa kepada lawan jenis justru sepertinya ketakutan?'



Asiong memutuskan untuk menengok dan membuka pembicaraan terlebih dahulu dengan memanggil gadis yang duduk di sampingnya itu, tepat ketika Ervina memalingkan wajahnya dan bersiap-siap untuk membuka mulut meminta maaf kepada pemuda yang membuatnya tertarik itu.



"Kamu..." Kata Asiong. Suaranya terhenti ketika Ervina ternyata juga berkata pada saat itu.

"Koko..." Disaat bersamaan Ervina juga bersuara. Gadis itu terdiam manakala menyadari panggilannya membuat pemuda di sampingnya menjadi terdiam.

Wajah keduanya saat itu saling bertatapan, mata ke mata. Kembali keheningan mencekam. Keduanya terdiam tak bersuara kembali.



"Pak, jadi kita kemana ya?" Justru yang membuka mulut memecah kebuntuan disana adalah supir taksi, membuat kedua anak muda tersebut terperanjat dan berpaling mengalihkan pandangan ke arah sopir taksi dari sebelumnya yang saling bertatapan satu sama lain itu.






BAGIAN 17

"Kita pulang saja, Pak." Jawab Asiong setelah terdiam beberapa lama. Ditatapnya Ervina yang duduk di sebelahnya itu. "Dimana rumahmu?"

"Aku tidak mau pulang." Jawab Ervina mendadak.

"Ini sudah malam. Tidak baik untuk seorang gadis berada di luar sendirian." Asiong berkata memberikan penjelasan.



"Kata siapa aku sendirian? Aku tidak sendirian." Ervina menyibakkan rambut pirangnya ke belakang. Perbuatannya ini menarik perhatian Asiong yang tak berkedip memandangnya.

"Kan ada Koko disini. Jadi aku tidak sendirian kan?" Sambung Ervina lagi dengan nada menggoda dan tatapan mata yang membuat Asiong memalingkan wajahnya.



'Gadis ini. Kenapa aku tak kuasa memandangnya?' Gumam Asiong dalam hati. 'Kenapa juga aku tak kuasa menolaknya? Kenapa?'

Ervina mengalihkan pandangannya ke arah sopir taksi. "Pak, antarkan kami ke Jalan Hayam Wuruk."

"Baik, Non." Sopir taksi menjawab sambil mengangguk.

"Kenapa ke Hayam Wuruk? Ada apa disana?" Asiong kebingungan mendengar tempat tujuan mereka.

"Sudahlah, nanti Koko juga akan tau." Ervina dengan santainya menyandarkan tubuhnya kembali ke sofa taksi.

"Kenapa kamu tidak pulang saja?" Kembali Asiong bertanya. Hati pemuda itu bimbang bercampur bingung.



Ervina menatap pemuda itu sebelum menjawab, "Koko. Aku belum mau pulang. Aku masih ingin menikmati malam ini..."

'Bersamamu.' Lanjut gadis itu dalam hatinya. Dia belum ingin Asiong menyadari perasaannya secepat itu.

Karena lalu lintas yang lengang di dini hari itu, tak sulit bagi supir taksi membawa keduanya ke Jalan Hayam Wuruk. Berbeda dengan beberapa ruas jalan lainnya, suasana di jalan semi protokol itu masih cukup ramai saat itu.



"Berhenti di Fast Food depan itu, Pak." Ervina berkata dengan semangat. Sementara Asiong melihat keluar, ke arah Hayam Wuruk. Selain suasana jalan yang masih ramai, juga terdapat beberapa fast food yang masih buka 24 jam. Salah satu yang ada disana adalah Dunkin Donuts.



"Pinggir, Pak." Kata Ervina lagi sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dompet yang disimpan di saku celananya dan menyerahkannya kepada supir taksi. "Ambil kembaliannya."

Asiong melihat semua tingkah Ervina dengan pandangan terbelalak tak percaya. Bahkan pemuda itu masih belum menyadari ketika Ervina telah membuka pintu taksi dan menjejakkan kaki kanannya keluar.

"Koko, ayo! Kenapa bengong?" Suara Ervina menyadarkan lamunan Asiong. Pemuda itu akhirnya membuka pintu dan beranjak keluar dari taksi. Ketika berdiri di atas trotoar, kembali pemuda itu terbengong, seperti masih belum menyadari apa yang sedang terjadi.



Sebuah tarikan di lengannya membuat Asiong tersadar.

"Ayo, Ko, kita masuk!" Ervina yang ternyata menarik lengan pemuda itu untuk kemudian mengajaknya masuk ke dalam restoran fast food tersebut.

Tak ada suara yang keluar dari mulut Asiong saat lengannya ditarik Ervina. Yang ada hanya degupan jantung yang mendadak dan dirasakannya semakin lama semakin kencang.

'Ada apa dengan semua ini? Apa yang sedang terjadi?' Kata Asiong dalam hati.

Dengan sebelah tangannya, Ervina mendorong pintu restoran fast food tersebut. Lalu sebelah lengannya yang menggandeng Asiong mengajak pemuda itu melangkah masuk ke dalam.



"Nah, Koko." Kata Ervina. Genggaman tangannya pada tangan Asiong masih belum dilepas. "Kita berdua akan melewati malam ini disini."

Asiong terperanjat mendengar perkataan Ervina. 'Melewati malam ini disini? Berdua katanya?' Gumamnya dalam hati.





BAGIAN 18

"Brengsek!!" Roni Susilo memukul setir mobilnya. "Semuanya berantakan! Sial!!"
 Mobil sedan Audi keluaran terbaru yang sedang dikendarainya tampak gesit melintas di jalan. Roni sendiri yang mengendarai mobil tersebut, tak pernah memberikannya kepada siapapun untuk membawanya. Di sampingnya duduk seorang temannya, sementara kedua temannya yang tak sadarkan diri dalam pertarungan sebelumnya terkapar di bangku belakang.

"Gara-gara pemuda brengsek itu!" Teriak Roni kembali. Sepertinya emosional pemuda ini sedang meninggi. Dikendarainya mobilnya dalam kecepatan tinggi sebagai pelampiasan kekesalan emosinya.
"Sabar, Ron." Pemuda yang duduk di sampingnya berusaha menghiburnya.
"Siapa pemuda yang suka ikut campur urusan itu?!" Hardik Roni.
"Gue juga gak tau, Ron." Jawab temannya itu sambil menawarkan rokok dari bungkusannya. "Rokok dulu, bro." Namun ternyata tawarannya ternyata tidak digubris oleh Roni.

"Martin dan Niko juga goblok!!" Kembali Roni berteriak dengan kemarahan yang memuncak. "Bisa-bisanya KO pada dua pecundang itu!!"
"Tapi Ron, sepertinya mereka bukan orang sembarangan deh."
"Maksud lu?"
"Ya, kita kan hampir setiap hari latihan fisik. Kalau sampai mereka bisa mengalahkan Martin dan Niko, apalagi sampai membuat mereka KO begitu, itu artinya mereka bukan sembarangan."

Roni memegang dagunya yang masih sakit akibat hantaman tinju Asiong. Dari sana dia bisa mendapatkan pembuktian perkataan temannya itu.
"Itu belum seberapa." Sela Roni sesumbar. "Tapi gue masih ingin menghajarnya. Gue mau liat mereka, bukan, anak sial itu menderita karena sudah ikut campur urusan kita!"
"Pasti bisa, Ron. Gue yakin lu pasti bisa."
"Harus bisa!!" Roni kembali berteriak. "Tunggu aja pembalasan Roni!"

"Tapi emang lu udah tau dia anak mana, Ron?"
"Buntu! Gue sama sekali gak tau, baru sekali ini ketemu dia."
"Temennya yang satu juga jago lho. Martin sampe melintir kena tendangannya."
"Hah! Itu cuma hoki aja, Man. Gue gak yakin mereka sejago yang lu bilang!" Roni berkata sambil mengusap-usap dagunya. 'Brengsek! Sakitnya masih berasa...'
"Coba tadi semuanya berjalan lancar ya. Lu pasti udah senang-senang dengan Vina ya?" Sahut temannya sambil tertawa lepas.
Roni tertawa mengikuti temannya itu. "Tenang aja, kita kasih dia bebas dulu."
"Maksud lu gimana?"
"Gue biarin Vina bebas dulu. Sambil cari tau siapa dua orang brengsek itu." Roni membelokkan mobilnya memasuki lantai bawah sebuah gedung apartemen.

"Lukman, kita bagi tugas aja, bro." Lanjut Roni lagi. "Lu orang cari tau siapa dua orang brengsek itu. Terserah lu mau apain mereka. Bila perlu lu bunuh juga gue gak peduli."
 "Nah, lu ngapain?" Tanya temannya yang bernama Lukman itu.
 "Vina dong, coy! Mantap kan?"
 "Wah, pintar lu, Ron!" Lukman tersenyum licik. "Jadi sekali kena dua target ya?"
 "Hahaha... tenang aja. Selalu ada bonus kalo lu orang berhasil. Gue gak pernah lupain temen kok, Man...."
 "Lu emang sahabat sejati, Ron!" Lukman tertawa lepas mengikuti Roni yang telah tertawa terlebih dahulu.





BAGIAN 19

Suasana di Dunkin Donuts cukup ramai oleh pasangan-pasangan anak muda yang sedang melewati malam minggu bersama. Ada juga sekumpulan anak muda yang bercengkrama bersama disana. Terdapat beberapa meja kosong yang masih belum ditempati.

Setelah mempelajari suasana di sekeliling, Ervina menggandeng tangan Asiong untuk menempati sebuah meja kosong di pinggir tembok dan agak berada di pojok. Kedua anak muda itu duduk hampir bersamaan waktunya, saling berhadapan satu sama lain.
"Koko mau pesan apa, biar sekalian kuambilkan." Kata Ervina menatap Asiong sesaat setelah keduanya duduk.
Asiong masih kebingungan dengan situasi yang serba mendadak itu, sehingga pertanyaan Ervina dijawabnya dengan seadanya.

"Apa sajalah. Terserah kamu yang pesan." Asiong membalas tatapan Ervina.
 "Kalau donat, mau ya, Ko?" Ervina menyentuh lengan Asiong.
 "Boleh."
"Minumnya apa?" Gadis itu tersenyum. "Orange juice, lemon tea atau soft drink?"
"Lemon tea saja." Jawab Asiong sambil menyalakan sebatang rokok.
"Koko tunggu disini ya, aku pesan dulu." Ervina bangun dari duduknya dan sambil tersenyum, gadis itu berlari kecil ke meja pemesanan.
'Semangat sekali. Tidak seperti seorang yang kena obat penenang sebelumnya.' Gumam Asiong dalam hati.
Selang beberapa menit kemudian, Ervina kembali dengan sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua piring dan dua gelas minuman. Diletakkannya nampan tersebut ke atas meja.

"Ini pesanan Koko." Gadis itu mengambil salah satu piring yang berisi dua donat dan lemon tea yang kemudian diserahkan kepada Asiong. Sedangkan dia sendiri mengambil piring yang tersisa dan gelas minuman yang sepertinya berisi soft drink.
"Terima kasih ya," Asiong meletakkan rokok yang dihisapnya ke asbak sebelum mengambil garpu dan pisau.
"Iya, Koko." Ervina tersenyum manis sebagai jawabannya. Tangannya menancapkan sedotan ke gelasnya dan gelas minuman Asiong. "Itu rasa stroberi, Ko. Satunya lagi keju. Koko suka gak ya?"
Asiong tersenyum mendengar komentar Ervina. "Terima kasih sudah membelikan donat ini. Tak masalah bagiku mau rasa apa."
"Oke, Koko." Ervina mengambil gelas minumannya dan berniat meminumnya. "Dimakan, Ko."
"Tunggu!" Asiong berkata dengan tiba-tiba. "Jangan diminum dulu!"
Dengan gerakan cepat, pemuda itu mengambil gelas plastik berisi soft drink itu dan menukarkannya dengan gelas berisi lemon tea yang menjadi pesanannya.
"Lho, Koko. Kenapa?" Ervina menatap perbuatan Asiong dengan pandangan bingung.
"Ini soft drink kan?" Tanya Asiong memperhatikan isi minuman itu.
Ervina mengangguk.
"Apa ini? Coca Cola ya?"
Ervina mengangguk lagi.
"Kamu tak boleh minum ini dulu untuk malam ini." Kata Asiong. Dengan santainya pemuda itu meminum Coca Cola dari sedotannya. "Minum lemon tea saja. Jangan Coca Cola!"
"Lho, kenapa?" Ervina semakin bingung melihat tingkah laku Asiong tersebut.
"Bukannya kamu baru sadar dari efek..." Asiong berhenti sesaat untuk memelankan nada suaranya. "...obat penenang?"
Tak ada suara yang keluar dari bibir Ervina mendengar alasan yang dikemukakan Asiong itu.

"Ini minuman bersoda. Soda bisa bereaksi dengan zat kimia yang terdapat pada obat." Asiong melanjutkan penjelasannya. "Aku lupa apa istilahnya. Tapi yang pasti kamu minum lemon tea ini saja. Lebih aman."
"Nih, minumlah." Asiong menyodorkan gelasnya yang berisi lemon tea kepada Ervina. "Aku belum menyentuhnya. Apalagi meminumnya."
Ervina menerima gelas berisi lemon tea dengan hati tak menentu. 'Koko, kamu perhatian sekali, sampai hal sedetil itu pun kamu perhatian?'
'Aku sendiri sudah lupa kalau akan terjadi reaksi kimia ini kalau saja kamu tidak mengingatkanku, Ko.' Ervina menatap wajah Asiong yang tengah asyik menikmati rokoknya. 'Entah apa jadinya kalau kamu tak memperingatkanku tadi.'
"Terima kasih ya, Koko." Ucapan itu meluncur begitu saja keluar dari mulut Ervina.

"Heh, terima kasih? Untuk apa ya?" Asiong mematikan rokoknya di asbak dan menghembuskan asapnya dari mulut.
"Terima kasih telah menolongku." Ervina menyunggingkan senyum manisnya. 'Dua kali.'
"Sudahlah, kita makan saja yuk." Seru Asiong sambil mengambil donat dengan tangannya dan langsung melahapnya tanpa memotongnya lagi. "Upppsss!!"
Pemuda itu terloncat dari duduknya ketika selai stroberi yang menjadi isi donat yang sedang digigitnya meleleh dan menetes di tangannya. Buru-buru pemuda itu meletakkan donat itu ke atas piring dan mengambil serbet tisu untuk membersihkan tangannya dari selai stroberi.

"Hihihi..." Di saat bersamaan Ervina tertawa lepas melihat tingkah Asiong tersebut. "Makannya sabar aja, Ko. Gak perlu buru-buru. Kita disini sampai pagi kok."
"Sampai pagi?" Ujar Asiong sambil membersihkan tangannya. "Mau ngapain disini lama-lama?"
"Hihihi... Koko..." Ervina menatap Asiong dengan tatapan menggoda. "Ada yang ingin kutanyakan padamu, Ko."
"Apa itu?"
"Tapi aku mau Koko jawabnya jujur ya." Nada suara gadis itu terdengar memikat di telinga Asiong, membuat pemuda itu tak sanggup menolaknya. "Boleh ya, Ko?"

'Gadis ini? Kenapa aku lagi-lagi terpikat padanya? Kenapa lagi-lagi aku tak sanggup menolaknya?' Gumam Asiong dalam hati. Jantungnya mendadak berdegup kencang saat itu, bulu-bulu halus di lengannya terasa meremang dengan mendadak.
'Perasaan ini...' Asiong tak berkedip menatap pesona gadis keturunan yang berada di hadapannya itu. Gadis yang sedang tersenyum manis dan membalas tatapannya dengan kerdipan matanya.
"Koko," Ervina lagi-lagi memanggil dengan suaranya yang memikat. "Bagaimana Koko bisa tau kalau semalam aku sedang berada di diskotik?"
Sebenarnya itu merupakan sebuah pertanyaan sederhana saja, namun cukup membuat Asiong tersentak untuk beberapa detik. Sementara Ervina yang mengajukan pertanyaan itu menatapnya dengan pandangan tak berkedip.





BAGIAN 20

Untuk mengusir rasa gugupnya, Asiong kembali menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam dan dihembuskannya melalui hidungnya.

'Mana mungkin aku cerita kalau aku jadi salah tingkah sejak pertama kali mengenalmu?' Gumam Asiong dalam hati. 'Padahal itulah yang membuatku pergi ke diskotik dan bertemu kembali denganmu.'
"Koko, kok diam? Jawab dong pertanyaan Vina..." Gadis di depan Asiong itu mengerdipkan matanya, membuat Asiong seperti terbangun dari mimpi.
"Eh... gimana ya?" Asiong menghembuskan asap rokoknya lagi. 'Mati deh aku. Di depannya aku malah tak berkutik.'
"Koko gak tanya temenku yang jaga stand kemarin kan?" Ervina mengibaskan rambut pirangnya ke belakang, menyisakan sebagian poni di keningnya.
'Ah, cantiknya.' Asiong tak bisa berhenti terkesima melihatnya. 'Tapi darimana dia bisa tahu aku ke PRJ mencarinya? Jangan-jangan temannya cerita lagi...'

"Kenapa kamu bisa tau kalau aku mencarimu kemarin?" Asiong berbalik tanya. "Jangan-jangan temanmu yang cerita ya?"
Ervina tersenyum. "Tentunya, Ko."
"Oh ya? Dia bilang apa?" Penasaran, Asiong kembali bertanya.
"Ada deh, Koko. Mau tau aja ya... Hihihi..." Sahut Ervina sambil tertawa. Diambilnya gelas minuman berisi lemon tea dan diminumnya beberapa teguk melalui sedotan.
"Sebenarnya aku cuma iseng pergi ke diskotik, Vin." Kata Asiong setelah berhasil mengatasi kegugupannya, dengan susah payah. "Itu juga karena diajak..."
"Siapa yang mengajak?"
"Saudaraku."
"Oh, yang waktu itu bersamamu ke PRJ ya?"
"Iya, benar." Asiong tersenyum. "Siapa sangka malah bertemu kamu disana."
"Kalian kompak ya? Aku jadi iri, Ko." Sela Ervina sambil menunduk.
"Lho memangnya keluargamu gak kompak ya sampai kamu bilang begitu?"
"Bukan gitu, Ko." Ervina mengangkat wajahnya kembali. "Ceritanya panjang."
"Oh, maaf kalau begitu. Aku tak bermaksud mengungkit masa lalumu."
"Gak apa-apa kok, Koko." Gadis itu tersenyum kembali. "Aku gak keberatan juga..."
"Begitu ya?" Asiong kembali menyemburkan asap rokoknya.
"Tapi, Ko. Jujur padaku." Ervina lagi-lagi berkata dengan suaranya yang menggoda.

'Apa lagi nih?' Bathin Asiong. 'Daya tarikmu membuatku tak berkutik, apa kamu tau itu?'
"Pada waktu Koko melihatku dan menolongku, Koko sempat terlibat perkelahian gak tadi?" Kembali pertanyaan sederhana yang diajukan Ervina membuat lidah Asiong kelu tak bisa menjawabnya.
"Tolong jujur padaku, Ko." Kedua mata bening gadis itu menatap lurus ke sepasang mata Asiong. "Please..."
'Mungkin aku bisa pakai kesempatan ini untuk mencari tau siapa Roni itu dan kenapa Ervina bisa kenal dengannya.' Bathin Asiong kembali. 'Cerita tukar cerita, kurasa bukan masalah yang besar.'
Memikir kesana, Asiong menjawab. "Baik, aku akan cerita. Tapi aku juga ingin kamu jujur."
"Tentang?" Ervina mengangkat alisnya.
Asiong mematikan rokok yang telah habis dihisapnya ke asbak. "Roni. Roni Susilo. Bagaimana kamu bisa mengenalnya?"
Alis mata Ervina tidak lagi terangkat, namun kedua matanya kini memandang Asiong dengan terbelalak. "Koko kenal dengan Roni?"

"Gimana ya?" Asiong menengok ke samping sesaat. Terlihat beberapa anak muda duduk bersama, mengobrol dan bercanda sambil tertawa-tawa.
"Yah, aku mau bilang, dalam usaha menolongmu, mau tidak mau kami terlibat pertarungan." Asiong mengungkapkan.
"Hah?! Koko..." Ervina semakin terbelalak mendengarnya. "Tapi Koko gak apa-apa kan? Soalnya Roni itu ganas."
"Ya, aku tahu. Tapi aku tidak apa-apa, Vina." Asiong tersenyum. Pemuda itu tidak melanjutkan bahwa dia dan sepupunya merobohkan dua orang anak buah Roni dalam pertarungan itu.

"Syukurlah, aku sudah khawatir saja Koko kenapa-kenapa..." Ujar Ervina.
'Heh? Khawatir? Sudah seperti pacar saja...' Asiong membathin. Jantungnya semakin berdegup kencang setelah mendengar perkataan gadis itu.
"Kalau aku boleh tau, kejadiannya gimana, Ko?"
'Aduh, ini sih sama saja aku harus cerita kalau Buntara dan aku merobohkan dua orangnya Roni.' Bathin Asiong lagi.
"Cerita padaku ya." Suara Ervina terdengar memelas. "Please, Koko..."
Sepertinya tak ada pilihan lagi bagi Asiong untuk menghindar, apalagi menolak. Pemuda itu menarik nafas sebelum bersiap untuk menceritakan pertemuan mereka yang terjadi secara kebetulan di diskotik semalam.



BAGIAN 21


Sambil menyalakan sebatang rokok, Asiong mulai bercerita. Diawali dari kepergiannya ke PRJ kemarin dan bertemu dengan salah seorang SPG teman Ervina disana hingga diajak pergi ke diskotik oleh Buntara keesokan harinya.



Namun sesuatu yang tidak pernah disangkanya akan berjumpa adalah pertemuannya dengan Ervina. Bisa dibilang itu suatu kebetulan yang tidak disengaja. Bisa juga mungkin Tuhan yang menghendaki keduanya bertemu kembali. Dilanjutkan dengan pertarungan fisik dengan Roni dalam upaya menolong Ervina dan merebut gadis itu dari tangan jahat Roni.



"Jadi selama itu kamu memeluk aku ya?" Ervina menyela di tengah cerita Asiong. Pertanyaannya membuat wajah pemuda itu jengah.

"Aku tak ada pilihan lain. Maafkan bila aku sudah lancang memelukmu." Kata Asiong.

"Kenapa harus minta maaf?" Ervina bertanya balik. "Aku tidak merasakan itu suatu hal yang salah."

'Jadi apa yang kurasakan selama aku tak sadarkan itu adalah pelukanmu di pinggangku dan usahamu mempertahankan diriku agar tak direbut oleh Roni?' Ervina membathin. 'Sungguh suatu perjuangan yang tak mudah dan kamu tak mengeluh sedikitpun?'



Asiong masih melanjutkan ceritanya tentang pertempurannya dengan Roni dan dua anak buahnya, yang salah satunya dirobohkan oleh Buntara.

"Jadi kamu dan Buntara masing-masing merobohkan satu orang ya?" Ervina menatapnya dengan tak berkedip. "Hebat! Sekali lagi terima kasih ya sudah susah payah menolongku."

Asiong melambaikan tangannya. "Kamu sendiri, kalau boleh tahu, kenapa bisa sampai terjebak olehnya?"

"Roni mengajakku hangout." Jawab Ervina. "Aku tak tahu harus bagaimana."

"Apanya yang bagaimana? Kalau kamu tahu Roni orangnya seperti apa, kenapa tidak kamu tolak saja?"

Ervina terdiam.

"Roni itu pacarmu?" Tanya Asiong tiba-tiba.

Terhenyak Ervina mendengar pertanyaan Asiong itu. "Gak, bukan. Dia bukan siapa-siapa."

"Lantas kenapa kamu mau keluar dengannya kalau kamu sudah tau dia orangnya begitu?"

Ervina menghela nafas. Tampak ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Pandangannya dialihkan ke samping.

"Apa karena alasan tertentu?" Asiong tak berhenti bertanya. "Hutang barangkali?"

"Darimana kamu bisa tau?" Ervina menatap pemuda itu. Kedua mata gadis itu tampak berkaca-kaca.



Melihat kedua mata Ervina yang berkaca-kaca itu, mendadak Asiong menjadi tidak tega. "Maaf, aku tidak bermaksud memaksamu. Tapi itu hanya dugaanku saja."

Pemuda itu menawarkan gelas minuman yang berada di meja kepada Ervina.

"Minumlah. Tenangkan pikiranmu dulu." Kata pemuda itu sambil menyerahkan gelas plastik yang kemudian diambil oleh Ervina.

"Maafkan aku sebelumnya." Asiong mematikan rokok yang baru setengah dihisapnya ke dalam asbak. "Kalau memang benar begitu, kasusnya serupa dengan yang terjadi pada temanku."



"Dia menjual putrinya untuk melunasi hutang keluarganya." Asiong terdiam sesaat, membiarkan Ervina memperhatikannya lebih lanjut.

"Dan putrinya ini adalah temanku." Lanjut Asiong ketika Ervina menatapnya.



Ervina mengeluarkan tisu yang dibawanya di kantong celananya dan menyeka matanya yang mulai basah oleh air mata.

"Ceritanya panjang." Kata gadis itu pada akhirnya. "Mudah-mudahan kamu bisa kupercaya kalau aku menceritakan ini semua."

Asiong mengangguk dan menyedot minumannya. "Boleh kalau memang kamu bisa mempercayaiku."



"Awalnya keluargaku adalah keluarga yang sederhana." Ervina memulai ceritanya. "Perlahan-lahan karena giat, Papa mulai berhasil membuka usaha sendiri. Papa menyewa sebuah kios yang waktu itu baru diresmikan. Boleh dibilang kios Papa adalah kios pemula di tempat itu."

"Usaha apa?"



"Toko spare part motor." Jawab Ervina. "Usahanya semakin lama semakin berkembang. Sementara kios-kios lainnya juga semakin banyak yang dibuka. Salah satunya adalah kios yang menjadi saingan Papa, sama-sama menjual spare part motor juga."

"Awalnya kami bersaing secara sehat. Namun saingan tak selamanya baik. Suatu hari kios kami kemasukan maling. Papa mengalami kerugian sebesar ratusan juta rupiah. Anehnya, kios-kios lainnya tak tersentuh, hanya kios kami saja. Tapi kami masih belum mau menaruh curiga yang tak beralasan. Papa juga belum menyerah. Dia masih bertahan disana."



Asiong menyimak cerita Ervina sambil menikmati rokoknya.

"Ternyata kami kembali dijebak. Karena barang yang tercuri itu sebagian belum lunas, kami kesulitan mendapatkan order dari distributor langganan kami lagi. Barang kami pun banyak yang tak ada stok lagi. Lalu kami dikenalkan kepada seorang yang mengaku sebagai distributor spare part dimana kami bisa mengambil barang dan membayar dalam tempo 3 bulan di muka."



"Sebentar." Asiong memotong cerita Ervina. "Distributor yang lama itu berapa lama tempo waktu pembayarannya?"

"Sebulan, Ko. Kami tidak menyadarinya karena sudah terlanjur senang dengan kondisi boleh dilunasi 3 bulan di muka. Ternyata pada saat kami membayarnya, hutang kami menjadi semakin banyak, semakin berlipat ganda. Ternyata setelah diselidiki, orang ini bukan distributor, tapi..."

"Rentenir..." Asiong memotong perkataan Ervina sambil menghembuskan asap rokoknya.

"Lho," Ervina menatap Asiong dengan pandangan tak percaya. "Darimana Koko bisa tau?"





BAGIAN 22

"Tepatnya rentenir yang mengaku sebagai distributor kan?" Tanya Asiong lagi. "Menyamar sebagai distributor, padahal belang sebenarnya tukang jerat tak berperasaan alias rentenir kan?"

"Kamu bisa tau darimana?" Ervina menatap Asiong, masih dengan pandangan tak percaya.

"Berapa hutang papamu padanya?" Tanya Asiong lagi.

"Ratusan juta rupiah." Jawab Ervina.

"Seharga barang yang hilang dicuri itu ya?"

"Kurang lebih segitu, Ko." Kata Ervina.



"Jadi kios papamu tutup gara-gara tak sanggup membayar bunganya? Ditambah hilangnya kepercayaan dari distributor lain. Dan pesaingnya sekarang semakin maju, begitu?"

Ervina mengangguk.

"Licik!" Pemuda itu mengepalkan tangan kanannya, matanya membesar penuh amarah.

"Bukan cuma itu, Koko." Ujar Ervina. "Aku juga curiga kematian Papaku karena akibat hutang juga."

"Heh! Maksudmu?" Mata Asiong bertambah besar, kini terbelalak kaget.

"Papa meninggal mendadak suatu siang dan ketika diperiksa oleh dokter, katanya terkena serangan jantung. Seingatku Papa gak ada penyakit jantung deh."

"Bagaimana kondisinya waktu meninggal itu?"



"Tubuhnya membiru kehijauan. Seperti terkena racun." Bibir gadis itu seperti bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

"Bukan. Itu bukan racun." Jawab Asiong. "Itu kegagalan jantung. Papamu merasa tidak mendapat oksigen yang cukup waktu itu. Jantungnya gagal memompa oksigen, jadi tubuh kehabisan oksigen."

"Aku tidak ada di rumah waktu itu, aku masih di sekolah. Ketika aku diminta pulang, Papa sudah tiada." Ervina menunduk sedih dan air matanya kembali menetes saat itu. "Terbujur kaku di ruang tamu rumah kami."

"Kalau boleh tau, sebelumnya Papamu kemana atau apa dia makan sesuatu?"



"Apa yang Koko katakan persis seperti yang dikatakan dokter." Sahut Ervina sambil menyeka air matanya. "Aku curiga dari makanan yang dimakannya."

"Oh, di rumah ya makannya?"

"Bukan, Ko. Yang aku tau Papa diundang makan siang itu."

"Siapa yang mengundang?"

"Saingan bisnis Papa."

"Benar-benar licik!" Dengan geram, Asiong menggebrak meja dengan telapak tangannya. Piring dan tatakan yang berada di atasnya melayang beberapa centimeter ke udara sebelum jatuh lagi. Hal itu membuat orang-orang di sekitar mereka berdua menengok dan berpaling ke arah pemuda itu.



Tanpa rasa bersalah sedikitpun, Asiong tak memperdulikan orang-orang yang memandangnya. "Usaha dimatikan. Pemiliknya juga ikut ditiadakan. Tapi kan Papamu bisa menolaknya, kenapa dia malah pergi?"

"Karena Papa diiming-iming hutangnya yang ratusan juta itu akan lunas bila datang ke undangan makan tersebut. Padahal sudah kami larang malam sebelumnya, tapi Papa lebih percaya mereka daripada kami."

"Tunggu. Darimana saingan bisnis Papamu ini bisa tahu Papamu terjerat hutang dengan rentenir?"



"Ahmad Susilo, rentenir yang menjerat Papa itu, berteman dengan Babah Chen Kuang." Ujar Ervina. "Dan dia datang ke undangan makan itu. Mungkin mereka bertiga makan siang bersama."

'Ahmad Susilo? Berarti yang dikatakan si satpam itu benar?' Gumam Asiong dalam hatinya. 'Kasus ini makin lama makin pelik.'



"Ohya, tadi kamu panggil dia Babah, berarti sudah tua ya?" Asiong menyalakan sebatang rokok baru untuk mengusir kepenatannya.

"Enam puluhan tahun, Ko." Jawab Ervina. "Nah, karena kami tak sanggup lagi membayar hutang, kami pun pindah sepeninggal Papa. Kami mengungsi ke perumahan yang lebih murah harga sewanya."



"Apa mereka tahu kamu pindah?"

"Semula mereka gak tau, Ko. Kami bisa tinggal dengan tenang selama hampir setahun lebih. Tapi entah gimana caranya, mereka bisa tau rumah kontrakan kami."

"Yah, yang namanya rentenir itu punya cara tersendiri untuk menjerat korbannya." Jawab Asiong.



"Akhirnya, di suatu pagi buta, saat semua tetangga sedang tidur, kami pun pindah lagi. Masih tetap menempati komplek perumahan, hanya saja harga kontraknya sudah jauh lebih murah."
Ervina memandang pemuda yang duduk di hadapannya itu. "Begitu Ko, ceritanya."

"Hmmm... Aku masih kurang jelas nih." Kata Asiong. Dimatikannya rokok yang masih tersisa sedikit itu. "Jam berapa ya sekarang?"

Ervina mengeluarkan hape dari saku celananya. "Hampir setengah empat."

"Oh ya, kamu minum kopi tidak?" Tanya pemuda itu sambil bersiap-siap berdiri. "Mataku sudah mulai mengantuk, tapi aku masih belum puas dengan ceritamu."

"Boleh, Ko." Gadis itu mengganguk.



"Kalau begitu, tunggu disini ya. Aku pergi beli kopi dulu." Berkata begitu, Asiong pun bergegas meninggalkan Ervina dan menuju ke meja pemesanan.

Sepeninggal Asiong memesan minuman, Ervina bergumam kepada dirinya sendiri, masih tersisa sejumlah pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban.

"Aneh, darimana Koko bisa tau tentang rentenir ya? Juga dia bisa tau tentang Roni?" Gadis itu memalingkan wajahnya melirik Asiong sedang berdiri memesan minumannya. "Siapa dirimu sebenarnya?"




BAGIAN 23

"Nih kopimu." Asiong meletakkan secangkir kopi ke atas meja di depan Ervina dan dia sendiri duduk di hadapan gadis itu.



"Terima kasih." Sahut Ervina memperhatikan pemuda itu mengambil posisi duduknya. Rambut yang gondrong seleher, kalung yang dikenakan pemuda itu di lehernya, anting yang hanya sebelah dan lengannya yang memakai rantai gelang, semuanya tak luput dari perhatian gadis itu. 'Macho juga pemuda ini. Bila memang benar dia bertarung demi menyelamatkanku...'



Gadis itu menunggu Asiong duduk dan bibirnya mulai terbuka melontarkan pertanyaan. Asiong sendiri yang sudah duduk itu bersiap-siap mengajukan pertanyaan berikutnya kepada gadis di hadapannya itu.

"Kamu..." Terdengar suara keduanya secara bersamaan. Keduanya saling bertatapan satu sama lain.

"Ah..." Ervina menarik perkataannya, matanya melirik ke arah lain. "Koko dulu..."

"Tidak, kamu dulu..." Asiong membuang mukanya bertatapan langsung dengan Ervina. 'Terjadi lagi, padahal tadi sudah terjadi di taksi.'



'Vina, kamu kenapa? Terulang lagi ya? Ada apa sebenarnya padamu, Vina?' Ervina juga tak kalah terkejut dan membathin.

'Aku diam saja lah, biarkan dia yang bertanya dulu.' Asiong kembali membathin.

'Aku dulu atau gimana nih?' Gumam Ervina penuh kebimbangan dalam hatinya. 'Nanti nabrak kata lagi.'

Kedua insan itu terdiam untuk beberapa detik lamanya. Tak ada yang bersuara, baik Asiong maupun Ervina. Keduanya saling menunggu.

"Ladies first." Akhirnya Asiong memecah kebuntuan. Dipersilakannya Ervina bertanya terlebih dulu.

Ervina menatap Asiong yang dikaguminya itu. "Aku hanya ingin tau, darimana kamu bisa kenal Roni dan juga tau kalau dia itu rentenir?"



"Itu mudah saja." Asiong mengambil sebatang rokok dari bungkusannya dan menyalakannya. "Setelah perkelahian kami, kami sempat berbicara dengan petugas keamanan diskotik. Dari merekalah aku bisa tahu siapa orang yang kurang ajar kepadamu itu."

'Kurang ajar katanya?' Bathin Ervina, namun gadis itu masih sempat menjawab. "Oh, begitu ya."

"Nah, sekarang giliranku ya." Kata Asiong sambil menjentik abu rokok.

"Oke..." Ervina tersenyum.

"Sepeninggal Papamu, siapa yang menjadi penanggung beban keluarga? Mama ya?" Tanya Asiong blak-blakan.

Ervina mengangguk. "Ya, Mama dan aku."

"Kamu?" Asiong menatap gadis itu tak percaya.

"Iya. Tak lama setelah Papa meninggal, aku lulus. Saat itu aku sudah 18 tahun, jadi sudah bisa mencari kerja sebagai SPG."

"Sudah berapa lama Papamu meninggal?"

"Dua tahun lebih."

"Berarti kamu sekarang berusia dua puluh tahun ya?"

"Iya. Aku 20 tahun. Koko berapa?"

"24." Jawab Asiong singkat.

"Terus nama Koko Asiong kan?"

Asiong mengangguk.

"Cuma Asiong aja? Gak ada yang lain?"

"Kim Siong."

Ervina tertawa mendengar nama pemuda itu. "Namamu oriental banget ya."

"Ya, pemberian orang tua. Mau gimana lagi."

"Memangnya gak ada nama Indonesia gitu?"

Asiong menggeleng. "Namaku hanya Asiong, Kim Siong."



"Aku kasih nama untukmu ya? Tapi nama ini hanya boleh kita berdua yang tau dan hanya kita berdua yang boleh panggil nama ini." Kata Ervina tiba-tiba.

"Heh, maksudmu?" Asiong menatap wajah gadis itu.

Ervina memalingkan wajahnya sesaat ke sekeliling tempat di ruang makan restoran fastfood itu. Otaknya berputar mencari sebuah petunjuk yang sekiranya bisa dipergunakan sebagai nama untuk pemuda di hadapannya itu. Namun akhirnya gadis itu menyerah karena di tempat itu tak ada suatu petunjukpun yang bisa dipakai olehnya.



"Margamu apa, Ko?" Tanya gadis itu tiba-tiba.

"Liu."

"Jadi Liu Kim Siong ya?"

Asiong mengangguk.

"Nama yang bagus. Tapi kalau cuma Asiong terkesan lucu." Kata Ervina. "Aku kasih nama Alex ya. Jadinya kalau nama Baratnya menjadi Alex Lau. Wah, kereeeeen."

"Saudaranya Andy Lau ya?" Asiong tertawa mendengar nama pemberian Ervina itu. Gadis itu juga tertawa mendengar guyonan pemuda itu.



"Gimana, mau?" Ervina bertanya lagi.

"Alex Lau, Alex Lau." Ujar Asiong. "Keren juga sih."

"Tapi cuma aku yang boleh memanggil kamu begitu ya. Orang lain gak boleh." Tegas Ervina.

"Lho kenapa? Nama bukannya untuk dipanggil?" Asiong menatap bingung gadis di hadapannya.

"Pokoknya nama Alex cuma boleh aku yang panggil, lainnya gak boleh. " Kata Ervina lagi.

"Iya deh, iya..." Jawab Asiong mengalah. "Tapi kok, begitu banyak nama, kenapa dipilih Alex?"

"Karena namaku Patricia Ervina Wijaya."

"Wow, namamu bagus sekali." Terkagum Asiong mendengar nama panjang Ervina itu. "Tapi aku masih bingung, apa hubungannya Patricia Ervina Wijaya dengan Alex Lau?"






BAGIAN 24

"Alex Lau Ching Siang. Itu bahasa Mandarinnya." Ujar Ervina menatap Asiong.



"Kamu pintar bahasa Mandarin ya?" Tanya Asiong. "Aku saja tidak tahu nama Mandarinku seperti apa. Yang aku tahu hanya Liu Kim Siong saja."



"Hanya sedikit. Itu juga kalau benar terjemahan Kim Siong menjadi Ching Siang." Ervina tersenyum.



"Tapi tetap tak menjawab pertanyaanku, kenapa Alex?"



"Karena Patricia."



"Patricia?"



"Ya, Patricia." Senyum Ervina semakin merekah. "Alex dan Patricia. Alexander Patricia Ramsay."



"Hah?! Apa itu?" Asiong yang semakin kebingungan hanya bisa ternganga menatap Ervina.



"Pernah dengar sejarah Pangeran Arthur? Nah, Alexander Patricia Ramsay ini salah satu tokoh di dalam sejarah itu."



"Aku tidak mengerti yang seperti itu." Ujar Asiong. "Tapi nama Alex Lau bagus dan aku menerimanya."



"Baiklah. Kalau begitu, mulai detik ini aku akan memanggilmu Alex." Kata Ervina masih tersenyum.



"Tapi kenapa hanya kamu yang boleh memanggilku begitu?" Kembali Asiong yang masih bingung itu bertanya.



"Karena nama Alex hanya khusus untukku saja. Orang lain tetap memanggilmu dengan Asiong, atau Kim Siong."



"Tetap tidak menjawab pertanyaanku."



'Aduh. Alex itu panggilan sayangku untukmu. Kamu masih belum mengerti juga? Tidak mungkin dong aku ceritakan hal itu juga?' Gumam Ervina dalam hatinya. 'Aku mau kamu menyadarinya, bukan aku yang mengingatkannya.'



"Ya sudah, tak apa-apa. Kan ada pertanyaan yang tidak terjawab. Mungkin ini salah satunya." Kata Asiong tertawa.



'Sebenarnya bukan tidak terjawab. Kalau kamu teliti, kamu pasti akan mencari tau tentang Pangeran Arthur dan Alexander Patricia Ramsay.' Kata Ervina lagi dalam hatinya. 'Saat kamu mengetahuinya, kamu akan menyadarinya, mengapa aku memilih nama Alex untukmu.'



"Kalau kamu, nama Mandarinmu apa?" Tanya Asiong tiba-tiba.



"Hui Na." Jawab Ervina. "Dari kata Vina."



"Oh..." Asiong manggut-manggut mendengar perkataan Ervina. "Bagus namanya. Hui Na, Vina. Hui Na, Vina..."



Pembicaraan keduanya terus berlanjut untuk beberapa lama waktunya. Suatu momen yang membuat keduanya semakin akrab dan bisa saling mengenal lebih dekat. Sementara pengunjung di Dunkin Donuts yang tadinya ramai, kini sudah banyak berkurang karena sebagian yang sudah pulang dan hanya tersisa beberapa pengunjung saja disana.



Tak terasa keakraban keduanya membawa mereka mengarungi waktu hingga sekitar pukul lima pagi. Asiong sudah menguap beberapa kali, begitu pula dengan Ervina. Hidangan di depan meja mereka sudah tak bersisa dan keduanya juga sudah tak berniat menambah pesanan lagi. Sebungkus kosong rokok Marlboro tergeletak di atas meja, isinya yang telah menjadi puntung-puntung rokok itu memenuhi asbak yang terletak di samping bungkus kosong rokok tersebut.



"Pulang yuk, aku sudah mengantuk nih." Asiong menguap lagi sambil mengajak Ervina untuk pulang.



Seperti halnya penyakit, menguap selalu menyebar. Kali ini Ervina yang menguap setelah Asiong.



"Boleh, Lex. Aku juga udah ngantuk." Gadis itu berdiri. "Kamu mau mengantarku kan?"



"Ya, sampai di rumahmu kalau boleh." Jawab Asiong mengikuti gadis itu berdiri.



"Boleh dong, siapa yang melarang?" Ervina tersenyum dan berjalan bersama dengan Asiong meninggalkan Dunkin Donut.



Saat keduanya mendorong pintu keluar yang terbuat dari kaca, saat itu waktu menunjukkan pukul 05:23 pagi. Petualangan yang sebenarnya baru akan dimulai.




BAGIAN 25
Embun pagi bergulir menggantikan kegelapan malam dengan sinaran cerah mentari. Taksi yang ditumpangi Asiong dan Ervina berhenti di sebuah rumah sederhana berlantai dua di kawasan perumahan di Jakarta Barat.

"Ini rumahku, Lex." Kata Ervina ketika keduanya telah turun dari taksi dan taksi tersebut pergi. Gadis itu membuka pintu pagar yang ternyata tidak dikunci itu.

Asiong memandang ke rumah sederhana berlantai dua itu. Pekarangan yang luas diperuntukkan parkir mobil. Namun berhubung keluarga Ervina tidak memiliki mobil, maka pekarangan rumah terasa lebih luas dan lega. Sebuah motor jet-matic merk Yamaha Mio berwarna pink terparkir disana.

"Ayo, masuk. Rumahku sederhana lho." Kata Ervina lagi sambil membuka pintu rumahnya. Setelah membuka sepatu kets yang dipakainya, Asiong melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Kedatangannya disambut oleh gonggongan anjing yang melompat dari dalam menuju ruang tamu.

Binatang berkaki empat itu menggonggong ke arah Asiong yang berdiri terpaku saat itu. Gonggongannya semakin lama semakin kencang dan cepat, sambil sesekali mundur dan mendengus, kemudian menggonggong lagi.

"Justine, sini!" Ervina berjongkok dan menjulurkan tangannya. Anjing yang dipanggil dengan nama Justine itu berhenti menggonggong sesaat dan berlari ke pelukan Ervina yang segera berdiri dengan Justine di pelukannya. Sesaat anjing itu menjulurkan lidah menjilat majikannya.

"Udah, udah, Justine, diam ya." Ervina mencoba menghindari jilatan peliharaannya itu.
Ini namanya Asiong. Tapi aku panggil dia Alex." Lalu gadis itu memegang lengan depan anjing itu dan menggoyangkannya. "Ayo kenalan."

Anjing itu masih menggonggong sesaat sebelum akhirnya tangannya disambut salaman Asiong yang tersenyum. "Namanya Justine ya. Lucu ya?"

Anjing yang berada dalam pelukan Ervina itu berbulu lebat berwarna dominan putih dengan bulu hitam di bagian kedua telinga dan di bagian kelopak mata. Bagian pinggul dan ekornya berwarna abu-abu. Badannya masih tergolong anjing kecil, imut, lucu dan menggemaskan.

Ketika Asiong mengajaknya bersalaman, Justine menggeliat di pelukan Ervina. Lidahnya terjulur dengan nafas terengah-engah menatap sosok Asiong yang baru pertama kali dilihatnya itu.

"Ini anjing ras ya?" Tanya Asiong menerima sodoran Ervina yang memberikan Justine ke pelukan pemuda itu. Justine tak mau dipeluk Asiong. Dengan kaki belakangnya, anjing kecil itu berdiri dan menjilati wajah pemuda itu dengan lidahnya.

"Justine, gak boleh gitu, hayo..." Ujar Ervina saat melihat Asiong tersenyum saat wajahnya dijilati anjing piaraannya. "Ya, anjing ras Shih Tzu, umurnya baru 3 bulan."

Justine berhenti menjilati wajah Asiong dan sebagai gantinya anjing jantan itu menggonggong pelan dengan ekor bergoyang-goyang.

"Dia memintamu sebagai temannya tuh," Ervina berkata sambil tersenyum.

Asiong mengangkat Justine yang berada dalam pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah binatang tersebut. "Justine...hmmmm..."

"Gukk..." Gonggong Justine. Lidahnya menjulur dengan nafas terengah-engah.

"Justine, udah ya... Sini, sayang..." Ervina menjulurkan lengannya menampung anjing kecil itu yang segera berpindah pelukan. Gadis itu merangkul anjing piaraannya sambil mengelus-elus punggungnya yang berbulu lebat itu.

"Dia lucu, aku suka." Kata Asiong dengan mata masih memandang Justine.

"Ya, sepertina Justine juga suka padamu." Sahut Ervina sambil tertawa kecil.

Asiong memandang ke sekeliling ruang yang luput dari perhatiannya karena Justine. Tampak di pojok dinding yang terhubung ke koridor, sebuah altar sembahyang dengan sepasang lampu merah dan guci kecil di depannya. Beberapa batang hio yang telah habis terbakar masih menancap di tempat abu di depan guci. Sebuah foto bergambar wajah seorang laki-laki terletak di belakangnya.

"Lho, kamu Buddhis ya? Kupikir kamu Katholik." Asiong memandang Ervina saat melihat altar sembahyang itu.

"Aku memang Katholik, Lex. Itu abu Papaku." Jelas Ervina.

"Oh," Asiong terpana. Diperhatikannya foto itu dengan seksama.

"Lex, kamu duduk dulu ya. Aku mau ke dalam dulu." Gadis itu berkata sambil menurunkan Justine dari pelukannya.

"Tidak apa-apa. Aku langsung pulang saja ya." Asiong menjawab. Wajahnya sudah mengantuk saat itu. Bibirnya menguap lebar.

"Tuh, kamu udah ngantuk. Duduk dulu sana." Kata Ervina lagi. "Tunggu aku keluar ya."

Asiong mau tak mau menurut kepada gadis itu. Sambil duduk di sofa di ruang tamu, pemuda itu memandang ke sekeliling ruang tamu. Sebuah lemari berukuran besar seakan menempel di dinding yang menjadi pemisah dengan ruangan di belakangnya. Sofa berukuran sedang mengisi ruangan tamu sederhana itu.

Merasa cukup lelah setelah petualangannya semalam, Asiong menyandarkan dirinya di sofa yang sedang didudukinya. Tak lupa kepalanya juga disandarkan di kepala sofa.

'Lelah juga badanku.' Gumam pemuda itu dalam hati. 'Baru terasa kelelahan ini.'

Ditutupnya kedua matanya sesaat, menikmati saat tenang dan nyaman waktu itu. Namun karena lelah yang menggelayut di badannya, hanya beberapa menit kemudian, pemuda itupun terlelap dalam tidur.

Ketika Ervina keluar dari dalam menuju ruang tamu, Asiong sudah tertidur pulas dengan kepala menengadah. Nafasnya tenang dan teratur.

"Kasian, Alex. Susah payah menolongku, sekarang kamu kelelahan." Kata gadis itu. "Tidurlah. Aku tak mau mengganggu istirahatmu."

Akhirnya Ervina memutuskan untuk duduk di sofa menemani Asiong yang tertidur itu. Walau dia tak mengetahui kapan pemuda itu akan bangun, namun gadis itu tidak mengeluh. Dia sendiri menyandarkan badannya ke sofa dan menutup matanya. Kelelahan membuatnya juga terlelap dalam tidurnya. Masing-masing terbuai dalam mimpi di sofa yang bersebelahan letaknya.




BAGIAN 26
Ervina membuka matanya ketika terdengar suara mendengus pelan disertai nafas yang hangat. Diturunkannya kepalanya yang tersandar di sofa. Dilihatnya Justine berada di pangkuannya, berdiri dengan lidah menjulur dan ekor bergoyang-goyang.

"Justine..." Gadis itu membelai kepala anjing piaraannya. Tiba-tiba dia teringat akan Asiong. "Alex..."

Dialihkannya pandangannya ke kanan dimana Asiong masih tertidur. Lalu diliriknya jam dinding. Pukul 8:34.

Seorang wanita masuk dari pintu langsung menuju ke ruang tamu. Kehadirannya menarik perhatian Ervina.

"Mama." Gadis itu menyapa wanita itu yang ternyata adalah mamanya. Wanita itu menengok ke arah suara yang memanggilnya.

"Vina. Kamu sudah pulang?" Wanita itu menghampiri Ervina. Usianya sekitar lima puluhan tahun, namun rambutnya masih belum memutih dan belum ada tanda-tanda keriput di wajah dan kulitnya. Wajahnya menyerupai wajah Ervina.

"Sudah, Ma. Mama dari gereja ya?" Ervina berdiri dan melepaskan Justine di sofa, untuk kemudian memeluk mamanya. Saat berikutnya anjing tersebut beranjak turun dari sofa dan menghilang di belakang kursi, mendekam sambil memeluk badannya.

Wanita itu mengangguk dan tersenyum menerima pelukan putrinya. Matanya melirik ke arah sofa dimana Asiong masih tertidur pulas.

"Siapa dia?" Dilepaskannya pelukan putrinya sambil memandangi Asiong.

"Dia Alex, Ma." Ujar Ervina.

"Pacarmu?"

"Ah, Mama." Gadis itu tersenyum. "Belum resmi, Ma. Tapi yang pasti, dia sudah menolongku semalam."

Mamanya mengerutkan keningnya. "Menolongmu?"

"Iya, Ma." Kata Ervina sambil menarik lengan Mamanya. "Sini deh, Ma, aku jelasin."

Gadis itu mengajak Mamanya duduk di sofa tempat tadi dia tertidur dan menceritakan peristiwa semalam, termasuk perkelahian Asiong dengan Roni.

"Dia menolongku dan mengantarku pulang, Ma." Kata Ervina menutup ceritanya. "Karena kelelahan, dia ketiduran disini."

"Oh, begitu." Mamanya meneruskan pandangannya ke arah Asiong, yang sudah dilakukannya sedari Ervina bercerita. "Orang mana dia?"

"Pontianak, Ma. Anak rantau." Ervina tersenyum.

"Begitu ya."

"Boleh ya, Ma?" Ervina masih tersenyum dan menatap Mamanya.

"Apa maksudmu dengan boleh?"

Ervina menunjuk Asiong dengan telunjuknya dan kemudian menunjuk dirinya. "Aku dengan dia, boleh ya, Ma?"

Mamanya tersenyum melihat tingkah putrinya itu. "Maksudmu pacaran dengannya?"

Ervina mengangguk malu.

"Ya, kalau menurutmu dia lelaki yang kamu mau, Mama tidak pernah melarang kan?" Wanita itu menjawab. "Asalkan dia tidak seperti Roni saja."

"Terima kasih, Mama." Ervina memeluk Mamanya kembali sambil mencium kedua pipinya. "Aku jamin, Alex bukan orang seperti itu."

Dari ujung matanya, Ervina melihat Asiong bergerak perlahan, lalu tak lama kemudian kepalanya terangkat. Melihat itu, Ervina melepaskan pelukannya.

"Alex," Gadis itu memanggil Asiong perlahan. Pemuda itu yang rupanya masih pening kepala terbangun mendadak seperti itu, menggelengkan kepalanya sesaat sebelum benar-benar melihat situasi di depan matanya.

"Alex," Panggilan Ervina membuat Asiong menengok.

"Hmm..." Pemuda itu mengeluh pelan sebelum melihat Ervina. Gadis itu sedang tersenyum, sementara di sampingnya duduk seorang wanita yang wajahnya sama dengannya.

"Kebetulan, aku mau kenalkan, ini Mamaku." Kata Ervina. "Dan Mama, ini Alex."

Asiong menjulurkan tangannya menyalami wanita yang disebut oleh Ervina sebagai mamanya. Sementara wanita itu sendiri memandangi penampilan Asiong seakan-akan mempelajari dan bisa mengetahui karakternya dari caranya berpenampilan.

"Asiong." Pemuda itu memperkenalkan dirinya saat bersalaman. Hal mana membuat wanita yang disalaminya mengernyitkan alisnya keheranan.

"Alex, apa-apaan sih kamu?" Ervina menepuk lengan Asiong saat itu. "Mama bingung tuh."

"Oh, maaf." Asiong terperangah menyadari kesalahan yang dibuatnya. Kemudian sambil tersenyum salah tingkah, pemuda itu kembali menyebut namanya. "Namaku Alex. Hehe..."

"Yang mana nih yang benar, Alex atau Asiong?" Wanita itu menatap putrinya dan Asiong bergantian.

"Dua-duanya benar, Iih." Jawab Asiong. "Asiong itu nama asliku. Vina memanggilku Alex."

"Oh ya, ya, ya. Aku mengerti sekarang." Wanita itu tersenyum. 'Walaupun penampilannya terkesan urakan, namun sikapnya sangat sopan.'

"Asiong, maksud saya, Alex." Wanita itu kembali berkata. "Terima kasih sudah menolong Ervina."

"Oh, tidak apa-apa, Iih. Itu bukan suatu hal yang besar." Asiong menjawab sungkan.

Wanita itu menoleh ke putrinya yang duduk di sebelahnya. "Vina, kenapa kamu tidak menawarkan Alex minum?"

"Oh iya, aku lupa." Gadis itu berdiri. "Sebentar ya. Kamu mau minum apa, Lex?"

"Tidak usah repot-repot. Aku sudah banyak minum kok." Sahut Asiong.

"Sudahlah." Mama Ervina tersenyum. "Ayo, mau minum apa?"

"Terserah Ervina saja, Iih." Asiong tersenyum.

"Kalau begitu aku buatkan kamu es jeruk, mau?" Ervina membalas senyum pemuda yang disukainya itu.

"Boleh." Sahut Asiong dengan anggukan pelan.

"Kalau begitu, tunggu ya. Aku buatin dulu." Gadis itu membalikkan badannya dan berjalan menuju ke ruangan dalam.

Ketika Ervina sedang menyiapkan minuman, Mamanya mempergunakan waktu untuk berbincang sejenak dengan Asiong. Sebagai orang tua lainnya, dia bertanya asal usul Asiong, keluarga dan pekerjaannya, juga latar belakang pendidikannya.

Semua pertanyaan yang diajukan dijawab oleh Asiong. Terakhir, wanita tersebut menanyakan bagaimana dia dapat bertemu dengan putrinya untuk pertama kalinya.

"Aku bertemu Vina di PRJ, Iih. Dia menjadi SPG rokok." Ujar Asiong.

"Kamu merokok?" Tanya wanita itu.

"Iya, Ih. Aku merokok."

"Pantas kamu bisa bertemu dengan Vina disana. Ya, sejak lulus SMA, Ervina mencari kerja sebagai SPG. Dari satu agen ke agen lainnya." Wanita itu kembali berkata. "Papanya sudah tiada, jadi dia memutuskan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Sebagian penghasilannya dia berikan kepada saya untuk membantu menyekolahkan adiknya."

Asiong terbelalak mendengar penjelasan Mama Ervina itu. 'Hmm... Tulang punggung keluarga. Vina tidak bercerita sedikitpun mengenai hal ini di Dunkin.'

"Oh, Ervina masih punya adik ya?" Asiong bertanya.

"Ya, adik laki-laki." Jawab wanita di hadapannya. "Baru saja masuk kelas 1 SMA."

'Luar biasa!' Gumam Asiong. 'Sama sekali tak pernah kusangka kalau Ervina seperti itu.'

Saat itu Ervina sudah kembali dengan dua gelas air jeruk di tangannya dan keduanya diletakkanya di meja.

"Silakan minum." Kata gadis itu mengambil posisi duduk di samping mamanya.

"Ya, diminum dulu, Nak." Wanita itu berdiri. "Saya mau ke dalam dulu. Silakan ngobrol dengan Vina ya."

"Iya, Iih, terima kasih." Asiong mengangguk pelan dan melepas kepergian wanita orang tua Ervina dengan pandangan matanya.

"Lex, diminum." Panggilan Ervina menyadarkan lamunannya.

"Eh, iya." Asiong mengambil gelas berisi air jeruk buatan gadis itu dan meminumnya beberapa teguk. "Enak."

"Kemanisan gak?" Ervina yang juga meminum dari gelas yang lain mengajukan pertanyaan.

"Gak, pas kok." Sahut Asiong. Tangannya meletakkan gelas yang isinya sudah habis setengah itu. "Terima kasih ya."

"Harusnya aku yang terima kasih telah menolongku." Kata Ervina. Matanya tak lepas memperhatikan wajah tampan pemuda di hadapannya itu.

Asiong melambaikan tangannya. "Ah, sudah, jangan ungkit-ungkit itu lagi."

Keduanya terlibat pembicaraan santai sambil tertawa lepas untuk beberapa saat lamanya. Percakapan ringan, namun membuat keduanya semakin akrab, termasuk ketika keduanya saling bertukar nomor telepon. Sementara keduanya asyik dalam dunianya sendiri, sang dunia yang sebenarnya tak henti dan tak lelah terus berputar dan berputar.





BAGIAN 27
Ketika waktu bergulir menuju jam sembilan lewat, Asiong berinisiatif untuk pamit.
"Aku pulang dulu ya. Sudah jam sembilan nih. Konveksi sudah buka." Pemuda itu berdiri dari sofa. Ervina mengikutinya berdiri.

"Oh ya, besok giliranmu jaga kan?" Tanya Asiong.

Ervina mengangguk. Sebuah senyum terhias di bibirnya. "Ya, besok aku ada shift. Kamu mau datang?"

"Kalau aku sempat ya." Jawab Asiong. "Aku takut di konveksi banyak pekerjaan."

"Hmm, kalau begitu kamu tunggu sebentar ya," Ervina berujar dan dengan gerakan lincah, gadis itu berbalik dan berlari ke dalam. Sekitar semenit kemudian, gadis itu keluar dengan sebuah kartu di tangan.

"Ini untukmu." Kata Ervina menyerahkan kartu di tangannya kepada Asiong.

"Apa ini?" Asiong menerima kartu pemberian gadis itu dan menatapnya dengan bingung.

"Ini kartu VIP untuk akses ke PRJ. Dengan kartu ini, kamu bisa bebas keluar masuk PRJ tanpa perlu membayar."

"Wah, asyiknya. Tapi ini kan punyamu?"

Ervina menggeleng. "Aku pinjamkan untukmu."

"Lalu kamu? Bagaimana nanti masuk ke sana?"

"Tenanglah. Aku kan tenant disana."

"Tenant. Apa itu?"

Gadis itu tersenyum sebelum menjawab. "Tenant itu Bahasa Inggris. Artinya penyewa tempat usaha."

"Ohh... Tapi benar ya kamu bisa masuk gratis?"

Ervina masih tersenyum sambil mengangkat dua jarinya. "Swear!"

"Ya sudah, kalau begitu aku ambil ya." Asiong menyimpan kartu itu ke dalam saku celananya.

"Datang ya, Lex. Aku tunggu lho." Gadis itu berkata dengan nada membujuk.

"Ya, aku pasti datang. Aku akan kasih kabar dulu kalau aku mau datang."

"Oke. Kutunggu."

Asiong berbalik dan hendak melangkah pergi. Tiba-tiba gerakannya terhenti dan badannya berputar kembali menghadap Ervina.

"Oh ya, aku lupa." Kata pemuda itu menatap Ervina. Gadis itu menaikkan alisnya menunggu kata-kata Asiong selanjutnya.

"Kamu pergi ke PRJ naik apa?"

"Itu." Ervina menunjuk motor Yamaha Mio di pekarangan rumahnya.

"Oh, kamu bisa naik motor ya?"

Ervina mengangguk. Dikibaskannya rambut pirangnya ke belakang menyisakan poni di keningnya.

"Kupikir tadinya kalau kamu naik kendaraan umum, aku..." Asiong terdiam tak meneruskan kata-katanya.

"Kapan-kapan boleh kok kalau kamu mau antar aku." Ujar Ervina yang menangkap maksud perkataan Asiong. "Aku tidak mau menyusahkanmu, kan konveksimu sibuk."

"Iya juga ya." Asiong mengusap rambut gondrongnya. "Ya sudahlah. Aku pulang ya."

"Kamu naik apa?"

"Gampang lah. Jangan khawatir." Sahut Asiong sambil membalikkan badannya kembali.

"Lex," Kali ini suara Ervina yang menghentikan gerakan pemuda itu.

"Ya?" Pemuda itu tidak berbalik, hanya memalingkan wajahnya melirik ke belakang.

"Boleh aku minta tolong satu hal lagi?" Terdengar Ervina berkata.

"Ya, katakan saja."

"Sms aku kalau kamu sudah sampai di rumah." Kata gadis itu.

DEGG!! Jantung Asiong berdetak kencang mendengar perkataan tersebut. Namun pemuda itu menyembunyikannya dengan sebuah anggukan kepalanya.

"Baik, nanti aku sms."

Ervina bergegas membukakan pintu untuk Asiong. 'Yah, pulang deh. Padahal aku masih ingin lebih lama lagi bersama denganmu.' Hatinya bergumam.

Sebuah gonggongan dari dalam ruang tamu disertai dengan melesatnya seekor makhluk kecil berkaki empat ke pekarangan tempat keduanya berdiri, seakan ingin turut serta mengucapkan selamat jalan kepada pemuda perantauan itu.

"Justine. Aku pulang ya." Asiong tersenyum menatap anjing kecil yang lucu itu. "Nanti aku datang lagi."

"GUKKK!!" Justine menggonggong sambil mengibaskan ekornya.

"Sini." Ervina berjongkok dan Justine berlari dan melompat ke pelukannya.

Asiong menjulurkan lengannya, bermaksud membelai kepala mungil Justine. Namun yang tersentuh lengannya saat itu bukannya kepala Justine, melainkan tangan Ervina yang sedang memeluk anjing itu.

"Maaf," Pemuda itu menarik lengannya kembali. Sementara Ervina tersenyum melihat tingkah lakunya.

'Kenapa malu, Lex? Kamu sudah pernah memelukku erat-erat, kenapa hanya tersentuh tanganku kamu jadi malu?' Bathin gadis itu.

Asiong melambai kepada sang gadis dan berjalan meninggalkan rumahnya. Ervina melepaskan kepergian pemuda itu dengan pandangan matanya hingga pemuda itu menghilang di kejauhan.

"Alex." Gadis itu berkata kepada dirinya sendiri. Saat itu baru disadarinya bahwa jantungnya masih berdetak kencang. Detak jantung yang jelas terdengar oleh Justine yang masih dalam pelukannya. Dengan tatapan mata teduh, anjing berbulu lebat itu menatap majikannya dengan pandangan bertanya-tanya. Andai saja anjing mungil itu bisa berkata-kata seperti layaknya manusia.





BAGIAN 28
Keesokan harinya, di suatu tempat...
"Apa semuanya sudah berkumpul disini?" Terdengar sebuah suara keras dan lantang menghardik sekitar 8 orang lelaki berbadan tegap yang berkumpul di sebuah tempat yang menyerupai gudang bawah tanah.

"Sudah, Ron! Semuanya sudah lengkap!" Sebuah suara lelaki menyahut. Dia berdiri di samping lelaki yang baru saja berteriak lantang itu. Keduanya berada di jarak agak jauh di depan delapan lelaki yang berdiri tersebut. Satu dari dua lelaki itu duduk di kursi, sedangkan lelaki yang menjawabnya berdiri di sampingnya.

Setelah sahutan itu, suasana menjadi hening. Para lelaki berbadan tegap yang berdiri berjejer itu tak mengeluarkan suara sedikitpun. Nafas mereka pun nyaris tak terdengar.

"BODOHHH!!!!" Tiba-tiba suara bentakan kembali terdengar. Kali ini disertai dengan bunyi meja yang digebrak dengan tangan. "Kalian badannya saja yang besar. Menghadapi dua anak ingusan saja tidak bisa!!"

"Gara-gara kalian, Ervina lolos dari tanganku!" Suara lantang itu kembali bergema. "TOLOL!! Pecundang semuanya."

"Maaf, Bos. Tapi anak itu memang hebat." Seorang lelaki berjaket hitam menjawab. Tangannya mengusap-usap dagunya. "Rahangku masih sakit tiap kali aku bicara."

"Iya, Bos. Yang satunya juga hebat. Dadaku sampai sekarang masih sakit gara-gara hantamannya." Temannya yang berdiri di sampingnya menimpali.

BRUAAKKKK!!!

Lelaki yang menjadi pimpinan dari delapan pria berbadan kekar itu, yang bukan lain adalah Roni Susilo berdiri dari kursinya dan berjalan menghampiri kedua pria yang menjawabnya itu. Tanpa bersuara dia melayangkan beberapa tamparan yang mendarat telak di pipi kedua lelaki itu tanpa bisa dihindari.

Mendapat tamparan seperti itu, lelaki yang mengatakan rahangnya masih terasa sakit itu, meringis. Rupanya tamparan Roni membuat rasa sakit di rahangnya bertambah.

"Badan aja gede, nyali tempe!" Bentak Roni lagi. "Beresin dua anak amatiran aja gak becus!!"

"Maaf, Bos." Jawab kedua lelaki yang ditampar Roni itu secara bersamaan. Ternyata mereka adalah Martin dan Niko, yang terlibat pertarungan fisik dengan Asiong dan sepupunya dua hari yang lalu. Bila Niko dihajar Asiong hingga KO dengan pukulan upper-cut di dagunya, Martin harus menerima hantaman siku Buntara di dadanya dan tendangan di dagunya yang membuatnya terbang sebelum kegelapan menyelimutinya.

"Apa Bos memanggil kami semua kemari karena ada rencana lagi?" Salah seorang yang wajahnya bercodet di pipinya memberanikan diri bertanya kepada Roni.

"Jelas ada! Pake tanya lagi!! Codet bego!!" Roni menjawab dengan bentakan. Lelaki bercodet itu terhenyak mendengar suara keras Roni yang membentaknya.

"I...iya...iya, Bos... Maaf..." Si codet menunduk tak berani bertatapan mata langsung dengan Roni.

"Lukman!" Roni berteriak lagi.

"Ya." Lelaki yang tadinya berdiri di samping Roni itu menjawab.

"Sini lu!"

Lelaki bernama Lukman bergegas dan berdiri di samping Roni. "Ada apa, Ron?"

"Dengar ya! Martin, Niko, Iksan dan Faisal, kalian saya beri tugas mencari tau siapa dua pemuda amatiran itu. Tak peduli bagaimana kalian melakukannya! Bila perlu, habiskan mereka! Terserah mau kalian bunuh atau apapun. Saya mau mereka berdua mengerti bila sudah berurusan dengan Roni Susilo! Dan kau, Lukman, pimpin mereka!"

"Siap, Bos!" Kelima lelaki yang telah diberi tugas oleh Roni itu menjawab serentak.

"Sisanya ikut saya mengurusi Ervina!" Roni kembali berkata. Kedua tangannya terlipat ke belakang pinggang dan nada suaranya terdengar tegas.

"Oke, Bos!!" Sahut empat lelaki lainnya lantang.

"Lakukan!" Bentak Roni lagi, sekaligus membubarkan para lelaki yang berkumpul disana.





BAGIAN 29
 Seminggu sudah sejak insiden pertarungan Asiong di diskotik dalam menolong Ervina dari incaran rentenir bernama Roni Susilo. Selama seminggu ini, hubungan Asiong dengan Ervina semakin terjalin akrab. Dengan kartu VIP yang diberikan oleh Ervina, Asiong kerap berkunjung ke PRJ dan menemui gadis keturunan yang ambutnya dicat pirang tersebut.

Selama seminggu ini pula, tak ada kejadian yang berasal dari Roni Susilo yang mereka waspadai itu. Semuanya berjalan normal seperti tak akan ada suatupun yang akan terjadi. Namun begitu, keduanya tetap mewaspadai kehadiran pemuda rentenir dengan gengnya sewaktu-waktu.

Hari Jum'at, sekitar jam 7 malam.

Pengunjung PRJ malam itu bisa dikatakan membludak, mungkin dikarenakan akhir pekan dimana keesokan harinya sebagian besar orang libur bekerja.

Ervina menyeka keringat yang mengalir di keningnya sambil menghembuskan nafas melalui mulutnya. Baru saja dia melayani seorang pengunjung yang membeli rokok Marlboro yang dijualnya dan mengajaknya berfoto bersama.

"Capek banget, padahal baru jam 7." Kata gadis itu sambil melirik arloji di lengan kirinya. Beberapa teman seprofesinya tampak sedang melayani pengunjung tak jauh dari tempatnya berdiri. "Tumben, Alex kok belum datang ya?"

Melihat pengunjung yang menghampirinya agak berkurang, gadis itu memakai kesempatan itu untuk masuk ke dalam ruangan pameran dan menghampiri dispencer. Diambilnya gelas plastik dari samping dispencer dan mengisinya dengan air dingin dari galon dispencer tersebut.

Saat sedang menikmati minuman dingin yang menyegarkan itu, terdengar sebuah suara panggilan di belakangnya. "Permisi, aku ingin membeli rokoknya. Apa masih ada stok?"

Gadis itu menengok ingin mengetahui siapa yang memanggilnya. Saat mengenali sosok yang memanggilnya itu, kedua matanya terbelalak sesaat dan seulas senyum merekah lebar dari bibirnya.

"Alex! Kupikir kamu gak datang malam ini!" Gadis itu masih tersenyum menatap pemuda di hadapannya yang ternyata adalah Asiong itu. Malam itu, Asiong masih dalam aksesoris utamanya: anting, kalung dan rantai gelangnya, sementara baju kaos putih dibalik jaket hitamnya dan celana jeans hitam menjadi pilihan penampilannya.

"Hahaha... Datang dong. Kan ada ini..." Asiong mengacungkan kartu VIP pemberian Ervina kepadanya.

Ervina tertawa lepas menyambut perkataan Asiong. "Mau minum, Lex?" Katanya setelah tertawanya selesai.

"Nih, aku bawa." Kembali Asiong mengacungkan sebotol plastik minuman teh rasa melati. "Untukmu."

Pemuda itu menyerahkan botol yang dipegangnya kepada Ervina sambil tersenyum.

"Lho, kamu?" Ervina menerima botol yang disodorkan kepadanya itu.

"Gampang lah. Aku kan tidak sedang bekerja, jadi tidak begitu haus. Sedang kamu kan bekerja, jadi pasti lebih haus." Asiong menjawab sambil sedikit berdiplomasi.

Tawa lepas Ervina kembali terdengar. Tangannya memutar tutup botol yang masih disegel. Karena tangan gadis itu masih basah oleh air dispencer, dia menemui kesulitan saat membukanya.

"Sini, aku saja." Asiong mengambil botol plastik tersebut dari tangan gadis itu dan membantunya membuka segel dan memutar tutupnya.

"Nih," Asiong tersenyum sambil menyerahkan botol itu kepada Ervina. Ditatapnya wajah gadis itu. Walau terlihat lelah, namun kecantikannya tidaklah pudar.

"Terima kasih, Lex." Ervina langsung meneguk air teh dari dalam botol tersebut. Gadis itu tidak menyadari kalau saat itu dirinya sedang diperhatikan lekat-lekat oleh Asiong yang berada di depannya itu. Kecantikannya yang membuat pemuda perantauan itu jatuh hati.

"Wah segarnya." Gadis itu tersenyum setelah selesai meneguk sebagian isi botol tersebut. "Aku gak bisa lama-lama ya, nanti targetku gak tercapai."

"Oke. Aku mengerti kok." Asiong menjulurkan tangannya menerima sodoran Ervina yang memberinya botol minuman tadi. Dia memegangkan botol tersebut untuk sang gadis.

Sambil melihat ke sekeliling ruang pameran sekilas, pemuda itu mengikuti Ervina keluar. Dia bermaksud duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari stand rokok tersebut.

Mendadak pemuda itu terkesiap saat melihat langkah Ervina terhenti. Wajah gadis itu memandang ke arah teman agak jauh di sebelah kanannya yang sedang melayani dua orang pengunjung.

"Ada apa, Vin, kok berhenti?" Asiong berkata persis dari belakang telinga Ervina.

"Gawat nih!" Ervina tidak menjawab pertanyaan pemuda itu. Pandangannya masih tertuju pada temannya yang masih melayani dua orang pengunjung itu. Seketika wajahnya berubah menjadi pucat.

Asiong melayangkan pandangannya ke arah yang dilihat Ervina. Tampak seorang gadis berpakaian SPG seperti Ervina sedang berbicara dengan dua orang lelaki berbadan besar yang tampak seperti ingin membeli produk, namun sebenarnya mereka juga sedang berupaya merayu si gadis.

"Vina kenapa?" Pemuda itu kembali bertanya. Kedua mata Ervina membelalak menyadari situasi tersebut.

"Lex, itu..." Ervina tampak tergagap saat menjawab pertanyaan Asiong.

"Bukannya itu sudah biasa? Profesi SPG kan memang rawan dengan rayuan-rayuan gombal begitu." Jawab Asiong.

"Bukan, Lex. Bukan itu..." Suara Ervina terdengar bergetar. Sesaat gadis itu menelan ludah sebelum melanjutkan perkataannya. "Mereka itu orangnya Roni."

"Hah?!" Terkejut bukan kepalang Asiong saat mendengar kata-kata Ervina. Dialihkannya kembali pandangannya ke sosok dua lelaki yang sedang berbicara dengan teman Ervina itu.

Pada saat yang bersamaan, salah satu dari kedua lelaki itu juga menengok ke arahnya, ke arah Ervina dan dirinya. Seperti terbangun dari tidurnya, lelaki yang menatap mereka itu mengacungkan jarinya menunjuk ke arah mereka.

"Itu dia orangnya!" Terdengar lelaki itu berteriak, menyadarkan temannya yang sekarang telah ikut menengok.

Sementara Asiong dan Ervina masih terpaku dalam keterkejutan mereka.






BAGIAN 30

Kedua lelaki berbadan besar dengan mengenakan jaket hitam dari kulit itu berlari ke arah Asiong dan Ervina yang masih terpaku karena terkejut melihat kehadiran keduanya di pameran tersebut.

"Itu orangnya!!" Terdengar salah seorang dari mereka berteriak dalam larinya.

"Lex. Lari!!" Melihat kedatangan kedua lelaki itu, Ervina memekik sambil melempar barang dagangan yang dipegangnya. Dengan segenap kekuatannya, gadis itu bergerak cepat berlari keluar dari ruang pameran, menghindar sebelum kedua lelaki itu berhasil mendekatinya.

Asiong menyadari teriakan Ervina yang mengajaknya lari. Pemuda itupun tak kalah lincahnya, bergerak cepat mengikuti gadis tersebut.

Ruang pameran yang awalnya sudah ramai, menjadi lebih ramai dengan kejadian tersebut. Semua mata tertuju pada kedua anak muda yang berlari menghindari kejaran dua lelaki berbadan besar tersebut.

Ervina telah berada beberapa langkah di depan terlebih dulu, ketika Asiong baru bereaksi mengikutinya. Tepat ketika salah satu dari lelaki berbadan besar itu mendekat dan menjulurkan tangannya menyambar pemuda itu.

"Berhenti!" Lelaki tersebut berteriak. Tangannya hanya sepersekian centimeter berhasil meraih baju Asiong.

Dengan ujung matanya, Asiong sempat melihat juluran lengan lelaki tersebut. Dengan gesit pemuda itu berhasil menghindari sambaran tangan yang mengincarnya dan berlari mengikuti Ervina yang sudah beberapa meter di depannya.

Kedua anak muda itu berlari menembus kerumunan dan lalu lalang pengunjung PRJ yang berjalan kesana kemari, menghindar dari satu arah ke arah lain, tak peduli badan mereka menabrak ataupun menyenggol pengunjung yang berpapasan atau menghalangi mereka. Sementara tak jauh di belakang keduanya, tampak dua lelaki sedang berlari mengejarnya sambil berteriak-teriak. Insiden tersebut mengundang semua mata memandang ke arah mereka.

"Vin..." Asiong berhasil mengejar Ervina dan kini berlari di sampingnya. "Kita tidak bisa berlari jauh di tempat seperti ini."

"Aku tau," Ervina menjawab dengan terengah-engah. Matanya melirik ke belakang, kedua lelaki itu masih mengejarnya. "Tapi kita mau kemana? Mereka terus mengejar kita."

Di depan mereka tampak seseorang yang berpakaian boneka maskot sebuah produk menghalangi mereka. Tampak boneka tersebut terkejut mengetahui kehadiran keduanya. Dengan gerakan lenggak lenggok khas boneka besar, dia mencoba menghindar.

"Kalau kita tidak bisa menghindar," Ujar Asiong sambil berusaha mengimbangi lari Ervina di sampingnya agar tidak saling mendahului. "Ya, kita lawan saja. Hanya itu jalan satu-satunya."

"Tapi mereka berdua." Kata Ervina. Saat melihat boneka besar di depannya, timbul sebuah ide di kepalanya. Disambarnya boneka besar yang sedang berusaha menghindar itu. "Maafkan aku."

Dengan sekuat tenaga, gadis itu mendorong boneka besar itu tepat ketika kedua lelaki tersebut mendekatinya. Walaupun tenaganya tidak sekuat tenaga seorang laki-laki, namun boneka besar yang didorongnya berhasil menghantam lelaki yang berlari paling depan.

"Ehhh...ehhh....addduuuhhhhh......" Sosok yang berada dalam pakaian boneka besar yang tak menduga akan didorong itu, terkejut dan mencoba menahan laju dorongan di tubuhnya. Namun pakaian boneka yang dikenakannya tak mendukungnya untuk berhenti. Tubuhnya yang terbalut pakaian serba busa itu terus menerjang ke depan.

"Ugghhh...." Lelaki yang mendapat serangan boneka besar itu mengeluh, tak menduga sama sekali akan diserbu oleh benda sebesar itu. Meskipun badannya besar, namun badan boneka yang lebih besar darinya ditambah tenaga dorongan yang tak bisa dicegah si boneka besar itu sendiri, membuatnya jatuh tersungkur dengan boneka besar tersebut menimpa di atas badannya.

"Pul..." Temannya yang berlari di belakangnya tersentak melihat temannya terjatuh dengan ditiban boneka besar. Dia berhenti dan mencoba menolong temannya yang terjatuh itu.

"Gak usah tolong gue! Lu kejar aja tuh cewek!" Hardik Ipul, lelaki yang terjatuh ditimpa boneka besar itu sambil berusaha mendorong boneka yang menimpa badannya.

"Oh, oke..." Temannya kembali berdiri dan meneruskan larinya mengejar Asiong dan Ervina yang sudah semakin menjauh.

"Sial! Brengsek!!" Ipul akhirnya berhasil mendorong boneka besar itu menjauh dari badannya. Lelaki bertampang ganas itu berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor oleh debu jalan. Sementara boneka besar tersebut masih tampak kesulitan untuk bangun dari posisi telungkupnya.

Beberapa detik kemudian, ketika Ipul masih sibuk menepuk celananya, boneka besar itu tampak berlutut dengan kedua tangan menopang di depan untuk bangun. Selesai dengan pekerjaannya, Ipul melihat boneka yang menimpanya masih berusaha untuk bangun dan berada dalam posisi berlutut.

"Makan nih! Gara-gara lu, gue kehilangan mangsa!" Merasa masih dongkol, Ipul menendang bokong boneka itu dengan kaki kanannya.

"Uuuuffff!!! Addduuuhhhhh!!!" Sosok dalam boneka besar itu kembali mengeluh saat tubuhnya kembali terjerembab. Usahanya untuk bangun dalam pakaian boneka besar serba busa itu pun gagal.

"Hey, apa-apaan nih?!" Terdengar seseorang berteriak.

Ipul menengok ke arah suara tersebut. Seseorang berpakaian keamanan diikuti seorang lelaki berseragam dengan name tag di saku bajunya berjalan cepat ke lokasi insiden. Melihat situasi yang kurang menguntungkan, Ipul membalikkan badannya dan berlari dari tempat itu.

"Kurang ajar!" Lelaki berseragam itu mengumpat kesal. Diliriknya petugas keamanan yang bersamanya itu. "Pak, tolong tangkap dia, saya ingin tau apa yang sedang terjadi disini."

"Baik, Pak!" Mendapat perintah dari lelaki berseragam, petugas keamanan itu segera berlari mengejar Ipul yang sudah lari terlebih dulu.

"Hei, berhenti!!" Petugas keamanan itu berteriak sambil mengejar Ipul yang telah menghilang di tengah kerumunan banyak pengunjung yang kebingungan.





BAGIAN 31

"Wah, hebat juga kamu, Vin." Asiong memuji Ervina dalam pelarian mereka. Keduanya masih berlari menghindari kejaran anak buah Roni yang secara tidak sengaja mengunjungi PRJ tempat Ervina bekerja dan bertemu gadis itu. "Tapi kasian orang yang jadi boneka itu."

"Tak ada pilihan lain, Lex." Ervina melirik ke belakang sesaat. "Tapi di belakang kita masih ada satu lagi."

"Yang ini bagianku." Ujar Asiong. Larinya terhenti dan dia berdiri menunggu kedatangan lelaki yang mengejar mereka itu.

"Lex, kamu mau apa?" Tanya Ervina yang mau tak mau ikut terhenti larinya. Nafasnya terengah-engah. Keringat mengucur di wajahnya yang mengenakan make-up ringan itu.

Sambil menyeringai, Asiong menggerak-gerakkan kedua lengannya. "Olahraga sedikit dulu."

"Jangan disini!" Ervina mengetahui apa yang ingin dilakukan Asiong. Dia mendekati pemuda itu. "Disini terlalu ramai. Kamu bisa dihakimi karena menghajar orang."

"Ikut aku!" Gadis itu menyambar lengan Asiong dan menariknya. Pemuda itu menurut dan keduanya kembali meneruskan larinya.

"Sorry, bukannya aku melarangmu, tapi aku tidak mau kamu dihakimi banyak orang." Kata Ervina dalam larinya.

"Oke, aku mengerti." Jawab Asiong sambil berlari.

Berlari beberapa menit kemudian, keduanya tiba di sebuah tempat yang agak gelap dan sepi pengunjung. Semacam tanah lapang berumput dengan pepohonan di sekitar yang tidak dibuka untuk ruang pameran.

"Bagaimana kalau disini saja? Sepertinya tempat ini cukup sepi." Asiong berhenti dan melihat ke sekeliling. Hanya beberapa orang yang melewati tempat tersebut.

"Terserah..." Jawab Ervina sambil setengah membungkuk. Nafasnya semakin terengah-engah. "Aku capek..."

"Istirahat dulu. Biar lelaki itu bagianku." Ujar Asiong. Tak seperti Ervina, nafas pemuda itu tidak begitu memburu.

'Aneh.' Ervina berkata kepada dirinya sendiri. 'Aku sudah kecapekan disini, tapi kenapa Alex masih belum terlihat capek? Padahal dia merokok, tapi nafasnya lebih kuat dariku.'

Tangan gadis itu menyentuh pohon yang berada di dekatnya, nafasnya tersengal-sengal. Rambut pirangnya tampak berantakan dan peluh menetes di keningnya. Sementara busana SPG yang dikenakannya tampak basah oleh keringat.

Lelaki berbadan besar yang mengejar mereka itu tiba di tempat itu. Nafasnya juga tersengal-sengal ketika dia menginjakkan kaki ke tanah lapang dimana Asiong sudah menunggunya.

"Mau lari kemana kau!!" Lelaki berbadan besar itu berseru. Dilihatnya Ervina yang kelelahan dan sedang mengambil nafas di bawah sebatang pohon, sedangkan Asiong berdiri tegap beberapa meter di depan gadis itu.

Melihat Asiong diam tak bergerak, lelaki itu dengan bernafsu maju ke depan, menerjang pemuda yang telah sedari tadi diincarnya. Lengan kanannya terangkat siap melancarkan serangan.

"Vin, mundur!" Asiong berkata kepada Ervina sambil mengganti posisi kakinya membentuk kuda-kuda bertarung. Gadis itu menurut dan bersembunyi di balik pohon besar yang dipegangnya tadi.

Serangan lelaki itu merangsek masuk. Asiong membungkuk dan memutar badannya sembari menghindari serangan. Dengan kedua tangannya, lengan lelaki berbadan besar itu dicekal dan ditariknya, untuk kemudian kaki kanannya bergerak menyapu kaki kiri lawannya.

"AAARRRGGHHH!!!" Lelaki berbadan besar itu menjerit saat tubuhnya terangkat dan kemudian terbanting berdebam dengan dada menghantam tanah.

Melihat lawannya tersungkur akibat serangannya, Asiong mundur beberapa langkah dan kembali bersiap dengan kuda-kuda bertarung.

"Sialan!!!" Lelaki berbadan besar itu mendorong badannya dengan bantuan kedua tangannya dan bangun untuk kemudian berdiri. Matanya tampak marah melotot menatap Asiong yang baru saja telah menjatuhkannya itu. Jaraknya dengan Asiong tidak begitu jauh, hanya terpisah beberapa meter.

Dengan teriakan nyaring, lelaki itu kembali maju menyerang. Kali ini dia lebih berhati-hati untuk tidak menyerang sambil berlari. Dia berjalan cepat mendekati Asiong dan menghendaki pertarungan jarak dekat.

Melihat lawannya mendekat, Asiong bergerak terlebih dulu melancarkan sebuah pukulan lurus yang diarahkan ke wajah lawan. Namun pukulan pemuda itu tertahan oleh lengan kekar lawannya.

Merasa lengan kanannya gagal menyarangkan pukulan, pemuda itu melancarkan serangan tangan kiri. Namun lagi-lagi serangannya kandas tertahan lengan kanan lelaki berbadan besar yang menjadi lawannya itu.

Belum lagi Asiong sadar sepenuhnya, lelaki bertampang sangar itu melepaskan pukulan dari sebelah kanan Asiong dengan tangan kirinya. Arahnya ke wajah Asiong dari pukulan menyamping!

Asiong bukan pemuda kemarin yang masih hijau bila serangan seperti itu tak bisa diantisipasinya. Dengan menggerakkan badannya membungkuk dalam, serangan lelaki berbadan besar itu hanya mengenai udara.

"Maaf, aku tak ada waktu lama melayanimu." Pemuda itu berkata sambil melayangkan sebuah pukulan setengah lingkaran dari posisi membungkuk, dengan kepalan mengarah ke hidung lawannya.

BUUAAKKKKHHH!!!

"Ooorrrgggghhhhhhhh!!!" Lelaki berbadan besar itu mengeluh kencang saat wajahnya yang tak terlindung itu menjadi sasaran hantaman pukulan Asiong. Terlebih pukulan tangan kosong itu dengan telak mengenai hidungnya!

Terhuyung mundur lelaki berbadan besar itu sambil memegangi hidungnya dengan kedua tangannya. Mulutnya tak henti-hentinya menjerit.

Beberapa detik kemudian, kedua mata lelaki itu membesar saat merasakan telapak tangannya mendadak telah basah dan bau amis tercium darinya. Saat diturunkannya kedua telapak tangan yang menutup hidungnya itu, terlihat olehnya tetesan darah segar yang masih menetes di tangannya dan yang lebih banyak lagi menetes dari hidungnya.

"Sialannn!!" Lelaki berbadan besar itu murka dan dengan amarah maju menyerang Asiong. Serangannya yang terbakar amarah itu dengan mudah dihindari oleh Asiong yang memutar badannya ke arah samping. Lengan pemuda itu menjulur.

DIESSHHH!!!

Sebuah bacokan keras telapak tangan yang terarah dilancarkan Asiong ke belakang leher lawannya, mengenai tepat di tengkuk. Tanpa banyak bersuara, sosok berbadan besar itu roboh dengan tubuh berdebam ke tanah untuk kedua kalinya. Kali ini sosok itu tidak bangun kembali. Bokongan lengan di tengkuknya membuat kesadaran lelaki berbadan besar itu pudar seketika dan terkapar tak sadarkan diri.

Sebuah pertarungan yang terjadi dengan singkat, sehingga tak menyita perhatian banyak orang. Setelah memastikan lawannya tak bangun lagi, Asiong melangkah meninggalkan lawannya dan bergabung dengan Ervina yang berlindung di balik sebuah pohon besar.





BAGIAN 32

Pada waktu yang bersamaan...Kejar-kejaran antara Ipul dengan petugas keamanan pameran masih berlangsung. Ipul yang menyadari dirinya sedang dikejar oleh seorang petugas, berlari cepat sambil menyelinap di antara pengunjung yang memandangi adegan kejar-kejaran tersebut dengan pandangan bingung. Sementara petugas yang mengejarnya tak henti-hentinya berteriak.

"Sial tuh orang. Lama-lama yang ngejar gue bukan cuma dia. Bisa-bisa orang disini pada ikut ngejar nih." Ipul berkata dalam pelariannya. "Ini gak boleh dibiarin nih."

Ipul menggenjot larinya lebih kencang lagi menghindari petugas yang mengejarnya. Dan usahanya berhasil. Dalam waktu kurang dari satu menit, jaraknya dengan pengejarnya sudah jauh.

Merasa sudah aman, Ipul berhenti berlari. Saat melihat ke sekeliling, dia mendapatkan dirinya berada di sebuah taman bermain anak-anak, dengan arena boom car, kereta kincir, jungkat jungkit dan permainan lainnya. Suasana taman bermain tersebut sangat ramai. Banyak pengunjung yang membawa anak-anak mereka bermain di sana. Suara teriakan dan tertawa anak-anak dan orang tua mewarnai situasi tempat itu.

Kehadiran Ipul di tempat itu sempat menarik perhatian beberapa pengunjung, terlebih lelaki itu datang dalam keadaan berlari. Namun selanjutnya, karena tak ada kejadian yang berlanjut, para pengunjung pun melupakannya dan kembali kepada kesibukannya masing-masing.

Sementara petugas keamanan yang mengejarnya kehilangan buruannya. Larinya terhenti dan matanya memandang ke sekeliling mencari Ipul. Setelah tak ditemuinya, dia pun membalikkan badan dan kembali ke tempat kejadian sebelumnya.

"Bagus dia gak lanjut mengejar." Ipul mengusap-usap rambutnya. "Jadi gue gak perlu mengotori tangan ini."

"Tapi kemana si Taufik ya?" Gumam Ipul lagi sambil berjalan tak tentu arah. Dia berharap bisa bertemu dengan Taufik, yang sebenarnya sudah dilumpuhkan oleh Asiong.

Sementara itu, dengan mata kepalanya sendiri, Ervina yang bersembunyi di belakang sebuah pohon besar melihat pertarungan antara Asiong dengan seorang lelaki berbadan besar yang terjadi di depannya. Saat pertarungan sedang berlangsung, gadis itu tampak was-was akan sesuatu menimpa diri pemuda yang ditaksirnya itu. Namun saat pertarungan sudah berakhir dengan kemenangan Asiong, Ervina menyimpan rasa kagum sekaligus penasaran dan tak percaya kepada pemuda perantauan tersebut.

Gadis itu berlari keluar dari belakang pohon menyambut kedatangan Asiong. "Alex, kamu gak apa-apa?"

"Aku tidak apa-apa." Jawab Asiong. "Kamu?"

Gadis itu menggeleng. "Kamu hebat bisa mengalahkannya. Padahal badannya besar lho. Aku udah khawatir padamu."

Asiong tertawa kecil. "Aku terbiasa berkelahi semasa masih di Pontianak. Kekalahan bukan lagi hal yang asing bagiku."

"Wow! Jangan-jangan kamu ada geng di sana ya?" Ervina berjalan bersama dengan pemuda itu meninggalkan tanah lapang tersebut.

"Yah, semacamnya. Begitulah kehidupan anak muda sepertiku di sana." Ujar Asiong.

"Hebaattt!" Ervina bertepuk tangan. "Kapan-kapan aku ingin bertemu dengan geng kamu itu."

Asiong tertawa lepas. "Kenapa tidak? Asalkan kamu siap, akupun siap."

"Lex, kita minum dulu ya." Ujar Ervina dalam perjalanan balik mereka ke ruang pameran. Nafasnya sudah tak lagi tersengal-sengal saat itu. "Tuh, disana ada yang jual minuman."

Keduanya pun mampir ke sebuah tenda gerobak yang menjual minuman. Air yang mengalir melalui tenggorokan mereka membuat keduanya menjadi segar kembali setelah berlarian menempuh jarak yang tidak dekat.

"Segar ya." Ervina berkata sambil mereguk kembali minumannya dari botol plastik.

Asiong mengangguk. "Jadi kamu gimana nih nanti?"

"Apanya gimana?" Gadis itu menurunkan botolnya.

"Kamu kan melarikan diri pada jam kerjamu, itu bisa berpengaruh ke pekerjaanmu."

"Biarlah. Kalaupun aku dipecat, aku masih bisa mencari lagi di tempat lain." Jawab gadis itu. "Bagiku, keselamatan lebih penting daripada uang..."

"Betul. Aku sependapat." Ujar Asiong sambil mereguk minumannya kembali.

Sembari minum, Asiong memandang ke sekeliling tempat mereka berada. Secara tak sengaja matanya menangkap satu sosok bayangan yang mencurigakan. Di antara banyaknya pengunjung yang berjalan hilir mudik, tampak seseorang yang sedang berjalan tak tentu arah dan tampak kebingungan seperti sedang mencari sesuatu.

"Vin, coba lihat itu." Kata Asiong sambil menunjuk ke sosok yang dicurigainya itu. Gadis itu mengikuti arah yang ditunjuk pemuda itu. "Itu bukannya yang tadi mengejar kita juga?"

Mata Ervina terbelalak mengenali sosok yang ditunjuk Asiong. "Ya, itu temannya. Gimana nih?"

"Tenang dulu. Dia tidak melihat kita disini kan?" Kata Asiong.

"Jangan sampai, Lex." Sahut Ervina dengan suara bergetar. Sepertinya gadis itu masih belum tenang setelah insiden yang terjadi barusan.

"Bagaimana kalau kita lumpuhkan dia dulu sebelum dia melihat kita?" Tanya Asiong lagi meminta pendapat Ervina.

"Terserah kamu, Lex. Aku tak masalah." Jawab Ervina.

"Kalau begitu, ikut aku." Asiong membuang botol minumannya yang telah kosong dan mulai melangkah. Ervina mengikutinya dari belakang beberapa detik kemudian.





BAGIAN 33
Ipul tampak celingak celinguk berjalan tak tentu arah. Sebenarnya tujuannya adalah untuk mencari Taufik., namun setelah berjalan sekian lamanya dia tak juga menjumpai orang yang dicarinya tersebut.

"Kemana sih tuh Taufik?" Ipul membuka sebungkus rokok. Dia merogoh-rogoh saku celananya kembali. "Sial, gue lupa bawa korek."

Lelaki itu melihat ke sekeliling tempatnya berdiri yang memang cukup ramai itu. Dilihatnya orang-orang yang berlalu lalang di tempat itu. Dalam hati dia berharap bisa menemui seorang yang merokok dan mencoba mendekatinya.

Saat itu di depannya lewat sepasang kekasih yang sedang berjalan pelan sambil bercanda. Lengan keduanya bergandengan mesra dan keduanya seperti tidak menyadari sekitarnya karena serius mengobrol.

"Heh, Tong..." Ipul memanggil si pemuda dari pasangan itu. "Tong..."

Di tempat yang ramai seperti itu tak mudah bagi kedua anak muda itu untuk mendengar panggilan Ipul. Namun panggilan dan nada yang terus menerus dan monoton itu membuat si gadis menengok.

"Api, ada korek api gak?" Tanya Ipul ketika gadis itu menengok. Jari-jarinya bergerak membentuk gerakan seperti merokok.

"Mas," Si gadis menengok dan memberi tanda kepada pasangannya. Tak lama kemudian, pasangannya itu menengok dan keduanya memandang Ipul bersamaan.

"Api, minta api..." Kata Ipul lagi kepada si pemuda yang memandangnya dengan bingung.

"Oh," Pemuda itu mendekat bersama pasangannya ketika menyadari arti dari isyarat yang diperlihatkan Ipul dan menyerahkan rokok yang sedang dihisapnya itu kepada Ipul.

Dengan bantuan rokok yang menyala, Ipul menyalakan rokoknya. Tampang sangarnya yang memang sebagai tukang pukul itu membuat kedua anak muda itu bergidik diam-diam.

"Nih." Ipul menyerahkan rokok menyala itu ke pemuda itu lagi. Kemudian keduanya berlalu dengan cepat, seakan takut Ipul akan berbuat sesuatu yang jahat kepada mereka.

"Brengsek! Kemana si Taufik ye?" Dihisapnya rokoknya dalam-dalam sambil menutup matanya. "Kalo nanti ketemu gue pites kepalanya, ngerjain gue mondar mandir nyariin dia."

Lelaki berbadan besar itu memegang rokok yang dihisapnya, membuka matanya dan menatap rokok yang dipegangnya. "Untung ada lu, kalo gak, bete gue nyari si Taufik." Sambil berkata begitu, Ipul kembali meneruskan langkahnya yang tak tentu arah itu.

Sementara itu, Asiong dan Ervina berjalan mendekati Ipul dengan berhati-hati agar lelaki itu tidak mengetahui keberadaan mereka. Sambil setengah bersembunyi, keduanya mendekati lelaki berbadan tinggi besar itu.

Ketika Ipul berhenti untuk meminta rokok, Asiong menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik sebuah tenda yang menjual steak. Ervina berdiri di sampingnya agak ke belakang. Karena tenda tersebut cukup ramai oleh pembeli, maka kedua anak muda itu tak perlu khawatir keberadaan mereka akan diketahui oleh Ipul.

"Dia ngapain, Lex?" Ervina menjulurkan kepalanya mencoba melihat ke depannya. Tangannya memegang lengan atas pemuda itu untuk menjaga keseimbangan. Secara tak sengaja, lengan kekar Asiong terpegang olehnya. Sebuah lengan dengan otot bisep dan trisep yang terlatih.

'Wah, lengan Alex ternyata kekar begini. Pantas saja dia bisa merobohkan lelaki berbadan besar tadi.' Kata Ervina dalam hati. 'Walaupun kamu hanya seorang anak rantau, namun semakin lama aku mengenalmu, semakin aku terkesima dibuatmu.'

"Minta api rokok," Asiong menjawab pendek. Matanya tak lepas dari lelaki yang diincarnya itu. Semua gerak gerik Ipul sedikitpun tak terlewatkan olehnya, termasuk saat Ipul menutup matanya menikmati rokoknya.

"Nikmatilah sepuasmu rokokmu itu. Sesaat lagi kau tak bisa menikmatinya lagi." Ujar pemuda itu sambil mengertakkan giginya. Saat dilihatnya Ipul kembali meneruskan langkahnya, Asiong pun bersiap meninggalkan te
mpat itu. "Ayo, Vin.




BAGIAN 34
Asiong dan Ervina mengikuti Ipul dalam intaian mereka hingga ke tempat yang agak sepi pengunjung. Semakin lama Ipul tampak semakin bingung dan kehilangan arah mencari jejak temannya yang hilang itu.

"Rokok udah habis, Taufik masih belum bertemu juga." Ipul membanting puntung rokoknya ke tanah. Di tempat itu, di sebuah pinggiran stand yang tidak terurus. Keadaan disana tidak dilewati orang. Hanya sebagian orang tertentu yang kebetulan menempuh jalan singkat yang akan melewati tempat tersebut.

"Saatnya beraksi." Kata Asiong. Dia melirik ke arah Ervina yang berada di sampingnya itu. "Kamu tunggu aku disini ya. Jangan kemana-mana!"

Gadis itu mengangguk. "Hati-hati, Lex."

Asiong mengangguk dan berjalan mengendap-endap mendekati Ipul yang berdiri berkacak pinggang. Lelaki berbadan kekar itu beristirahat menarik nafas setelah berjalan jauh dan tak menemukan temannya.

Perlahan namun pasti, Asiong berhasil mendekati Ipul yang masih berdiri tanpa menyadari kehadiran pemuda itu. Beringsut-ingsut pemuda itu berjalan ke belakang lelaki berbadan besar itu.

Saat itu jarak Asiong dengan Ipul hanya tinggal beberapa langkah. Pemuda itu pun sudah berancang-ancang untuk melancarkan serangan. Tepat pada saat itu Ipul membalikkan badannya!

"Sial!" Asiong mengeluh dalam hati. "Apa boleh buat!"

Melihat kehadiran seseorang secara mendadak dari belakang tempatnya berdiri, membuat Ipul tersentak kaget. Namun, momen itu sudah cukup untuk Asiong melumpuhkannya.

Sebelum sempat Ipul menyadari siapa yang mengendap-endap di belakangnya itu, Asiong bergerak cepat melancarkan tiga serangan. Pertama, sebuah tamparan keras di telinga kiri Ipul membuat lelaki berbadan besar itu berteriak dan kehilangan kendali.

Telinga sebagai salah satu saraf pusat keseimbangan tubuh manusia adalah daerah rawan serangan. Ditampar keras seperti itu membuat Ipul limbung untuk sesaat.

Melihat lawannya limbung, Asiong tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pemuda itu berlutut dan menjulurkan kakinya menyengkat kaki Ipul. Tak ayal lagi, badan besar itu jatuh dengan suara berdebam keras.

Masih pusing dengan serangan demi serangan yang diterimanya, Ipul tidak menyadari ketika hantaman telapak tangan Asiong membacok tepat di samping lehernya. Tepat di titik vital urat leher, membuat Ipul tak dapat bersuara banyak, untuk selanjutnya kegelapan menyelimuti dirinya.

Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Asiong berdiri dan memandang lawannya yang terkapar tak berdaya di tanah. Setelah memastikan lawannya tak bergerak lagi, pemuda itu meninggalkannya dan bergabung dengan Ervina.

"Hebat! Hanya tiga serangan dan roboh!" Ervina tertawa menyambut kedatangan Asiong. "Darimana kamu belajar itu semua, Lex?"

"Campur-campur." Jawab pemuda itu. "Selesai sudah. Tak ada lagi yang mengikuti kita kan?"

Ervina mengangguk. "Ya, untuk saat ini."

"Jadi kemana kita sekarang?" Asiong mengeluarkan sebatang rokok dari kotak rokok yang disimpannya di saku celana dan menyalakannya.

"Emm... Terima kasih ya, Lex." Ervina menatap pemuda itu. "Lagi-lagi kamu menolongku."

"Ah, itu bukan masalah bagiku." Kata Asiong menghembuskan asap rokoknya. Dipegangnya rokoknya di antara jari tangannya. "Selama aku masih sanggup membantu, aku akan terus membantu."

"Terima kasih sekali lagi." Gadis itu tersenyum. Dengan gerakan cepat, sebelum pemuda di depannya menyadarinya, gadis itu mendaratkan sebuah kecupan di pipi Asiong.

Asiong yang sama sekali tidak menyangka akan perbuatan Ervina itu, hanya bisa terhenyak saat menyadari kecupan gadis itu mendarat di pipi kirinya. Keharuman rambut pirang gadis menyeka wajahnya sesaat ketika kecupan itu dirasakannya.

'Ah, ini...' Jantung Asiong mendadak berdegup kencang mendapat perlakuan mendadak Ervina itu. Ditatapnya Ervina yang masih tersenyum manis memandangnya. Kedua alis mata gadis itu dinaikkan.

Asiong tampak salah tingkah menanggapi saat indah yang terjadi dengan sangat cepat itu. Pemuda itu tersenyum lebar dengan tangan menyeka rambut gondrongnya.





BAGIAN 35
Seperti yang sudah diduga oleh Asiong dan Ervina sebelumnya, saat mereka berdua kembali ke ruang pameran rokok tempat Ervina bekerja, manajer lokasi memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja gadis itu. Bukan hanya itu, Ervina diberhentikan malam itu juga dari pekerjaannya sebagai SPG perusahaan rokok tersebut.

Sebelum itu semua terjadi, Ervina dipanggil dan diwawancara oleh manajer lokasi yang ditemani oleh sales supervisor. Memakan waktu sekitar setengah jam, akhirnya gadis itu keluar dari ruangan interview dengan senyum yang seperti dipaksakan. Pakaian SPG nya sudah tidak lagi dikenakannya. Gadis itu telah mengganti pakaiannya.

Setelah berpamitan dengan teman-teman seprofesinya, Ervina berjalan menghampiri Asiong yang menunggunya di salah satu bangku taman yang memang disediakan untuk pengunjung.

"Gimana?" Tanya Asiong ketika gadis itu mendekatinya.

Ervina mengangkat kedua bahunya. "Yah, seperti yang kita duga sebelumnya."

Asiong berdiri dan menepuk pundak Ervina. "Ya sudah. Jangan bersedih."

"Aku tidak bersedih kok, Lex." Gadis itu tersenyum.

Asiong membalas senyuman Ervina. Namun dia sempat melihat, ada genangan air kecil yang siap mengalir tumpah sewaktu-waktu di ujung kedua mata gadis itu.

'Mencoba bertahan dan tabah dari semua ini. Walau aku tahu, kamu akan sulit untuk menahannya lebih lama. Cepat atau lambat kamu pasti akan melepaskan itu semua.' Pemuda itu berkata dalam hatinya. 'Gadis yang kuat.'

"Mari kita pergi dari sini." Ujar Ervina lagi. Nada suaranya terdengar bergetar, namun gadis itu berusaha keras agar getaran tersebut tidak terdengar jelas.

Keduanya melangkah meninggalkan Jakarta Fair yang telah menjadi tempat keduanya saling bertemu pertama kalinya. Kini keduanya meninggalkan tempat itu dengan berbagai kejadian yang akan tercatat sebagai kenangan.

Malam itu, Ervina tidak membawa motornya sehingga gadis itu membonceng motor Asiong saat keduanya pergi dari pameran tahunan itu. Untungnya juga, Asiong membawa helm cadangan sehingga dia tidak perlu khawatir akan mendapat masalah di jalan dengan pihak berwajib dengan membawa Ervina di belakangnya.

"Kemana kita pergi?" Tanya Asiong sambil mengendarai motornya melintasi jalan.

Di belakangnya, Ervina tidak menjawab. Hanya keheningan yang dirasakan oleh keduanya. Asiong pun tak ingin memperpanjang masalah. Dia memutuskan untuk berhenti bertanya dan berkonsentrasi pada motor yang dibawanya.

Ervina sendiri tampak berkecamuk berbagai pikiran di kepalanya saat itu. Walaupun angin malam bertiup membelainya setiap kali motor berjalan, namun hatinya tetap tidak bisa tenang.

'Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?' Gadis itu bergumam. 'Untuk kesekian kalinya aku harus berhenti kerja di tengah-tengah dan mencari lagi dari awal. Semua itu gara-gara Roni. Andai saja Papa tidak mengenal mereka, mungkin sampai saat ini Papa masih hidup. Mungkin sampai saat ini aku sudah kuliah dan hidup bahagia dengan Papa, Mama dan Alvin.'

'Tapi semua itu terenggut. Orang yang kusayang bahkan pergi meninggalkanku. Kamu masih belum puas, Roni? Kamu masih terus mengincar keluargaku?' Pikiran demi pikiran terus melintas di kepala gadis itu. Semuanya dirasakannya bagaikan palu yang dihantamkan kepada dirinya.

'Tuhan, kapan ini semua akan berakhir?' Kata gadis itu lagi. Air yang telah menggenang lama dan terus ditahan di pelupuk matanya kini tumpah tanpa dapat dihindarinya lagi.

Asiong yang sedari tadi terdiam dalam membawa motornya merasakan sesuatu di punggungnya. Sesuatu seperti guncangan, yang terasa pelan namun berkelanjutan.

"Vina, kamu tidak apa-apa?" Pemuda itu setengah melirik ke belakang. Lagi-lagi tak ada jawaban. Sementara guncangan di punggungnya semakin jelas terasa.





BAGIAN 36
Karena tak ada jawaban yang didapatkan, ditambah dengan guncangan yang semakin lama semakin terasa, membuat Asiong menghentikan motornya di pinggir sebuah jalan. Tanpa mematikan mesinnya, pemuda itu setengah menengok ke belakang dan mencoba berbicara.

"Vina. Kamu baik-baik saja?" Dengan ujung matanya, Asiong melihat Ervina duduk tertunduk dengan helm masih di kepalanya. Helm yang dikenakan di kepalanya tampang terguncang-guncang. Rupanya guncangan helm itu yang dirasakan oleh Asiong.

Pemuda itu membuka helmnya sendiri, lalu menurunkan standar motor dengan kaki kirinya dan berusaha turun dari atas motornya tanpa mengusik Ervina yang masih duduk terpaku itu. Hingga dia berdiri di atas trotoar di samping Ervina, gadis itu masih duduk diam tak bergeming sedikitpun.

"Vina...." Asiong menjulurkan lengannya membuka helm yang dipakai gadis itu. Gerai rambut pirangnya tergulir jatuh saat helm tersebut terlepas dari kepalanya. Wajah gadis itu tertunduk, rambutnya menggerai jatuh. Kedua lengannya menopang di jok motor, sementara badan gadis itu tampak sesegukan.

"Vina..." Asiong memanggil gadis itu kembali. Lengannya terjulur, kali ini memegang kedua pundak gadis itu. Dirasakannya gadis itu sesegukan dalam pegangannya itu. Ada tetes air yang menitik jatuh ke atas jok motornya seiring dengan diputarnya badan gadis itu.

"Vina, lihat aku..." Asiong mengguncang pelan pundak Ervina. Tak ada jawaban. Tak ada reaksi. Gadis itu tetap tak bergeming sedikitpun.

Melihat tak ada sedikitpun tanggapan dari gadis di hadapannya itu, Asiong menurunkan lengan kanannya yang memegang pundak Ervina. Dengan bergetar, disentuhnya lembut dagu gadis itu dan diangkatnya wajahnya.

Ervina tak menolak diperlakukan begitu oleh Asiong. Perlahan, kepalanya terangkat seiring wajah cantiknya yang terlihat. Wajah cantik yang sendu, dengan sepasang mata berair dan masih terus berair. dan kedua bibir bergetar.

"Aleeexxxxx......" Seketika gadis itu memekik keras sambil memeluk badan Asiong dan menangis di dada pemuda itu.

Sementara dengan memberanikan dirinya dan lengan yang masih bergetar, Asiong memeluk Ervina yang menumpahkan tangisnya di dadanya itu. Dirangkulnya punggung gadis itu dengan sebelah lengan mengelus rambut pirangnya.

"Menangislah bila itu bisa membuatmu merasa lega..." Bisik Asiong dengan suara pelannya. Keduanya saling berpelukan di antara dinginnya malam, tak peduli lalu lalang kendaraan di jalan dan orang-orang yang menengok ke arah mereka.

Kala dewi malam menyembunyikan dirinya di balik gumpalan awan di angkasa luas. Kala nafas angin malam berhembus dingin menerpa setiap insan yang merasakannya. Kala itu seorang gadis berurai tangis dalam nestapa, berharap sang malam mampu mengobati pilu hati yang melandanya.






BAGIAN 37
Mentari membelah ufuk timur dengan biasan sinar kuning keemasan di bumi, menyambut datangnya pagi dan pertanda dimulainya hari baru.

Asiong menghentikan motornya di depan rumah Ervina. Sesaat setelah mesin motor dimatikan, Ervina beranjak turun dari boncengan belakang. Helm yang dipegangnya selama di perjalanan pulang diserahkannya kepada Asiong.

"Titip di rumahmu saja." Kata Asiong. "Jadi aku tidak perlu repot-repot membawanya lagi."

"Oke. Mau masuk, Lex?" Gadis itu bertanya. Wajahnya sudah tidak sendu lagi. Seulas senyum menghias di bibirnya.

"Aku langsung pulang deh," Jawab Asiong. "Jangan sedih lagi ya."

Ervina menggeleng. Senyum manis masih terhias di bibirnya.

Setelah tangis yang ditumpahkannya di pelukan Alex reda, Ervina mengajak pemuda itu pergi ke Dunkin Donut dimana mereka pertama kali saling berkenalan lebih jauh. Disana, untuk kedua kalinya, mereka melewati malam bersama. Ervina mengeluarkan semua kekesalan yang dipendamnya, sementara Asiong yang menjadi tempat curahan hatinya, mendengarkan dan mencoba menghiburnya.

"Terima kasih ya sudah menjadi tempat curhatku semalam." Ujar Ervina. Didekatinya pemuda yang ditaksirnya itu.

"Buka helm kamu dong." Gadis itu menatap kedua mata Asiong.

"Eh, kenapa?" Pemuda yang diajak berbicara itu tampak kebingungan.

"Ayolah, buka helmnya." Pinta Ervina lagi. "Ada yang ingin kukatakan padamu."

"Iya... Iya..." Asiong menuruti permintaan Ervina dan membuka helmnya. Dipegangnya helm itu dan diletakkannya di atas tangki bensin motornya. "Nih, sudah kubuka. Ada apa ya?"

Jarak Ervina yang sudah dekat dengan Asiong itu memudahkan gadis itu untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan pemuda itu.

"Terima kasih untuk semuanya." Kata Ervina berbisik sambil tersenyum menatap Asiong yang ternganga dengan tindakan gadis itu. Sebuah tatapan teduh yang menghanyutkan Asiong untuk beberapa saat lamanya.

"Kasih kabar ya kalau sudah sampai rumah." Ujar gadis itu lagi.

"Iya... Iya... Nanti aku kabarin..." Asiong menjawab dengan perasaan tak menentu. 'Dua kali. Apakah ini pertanda baik?' Hatinya berkata dengan degupan kencang.

"Sampai rumah, istirahat sebentar, jangan langsung bekerja." Ervina memecahkan kesunyian sesaat itu.

"Kenapa? Konveksi kan sudah buka."

"Tidak boleh. Kamu harus istirahat dulu. Satu dua jam juga boleh."

"Aku..." Asiong bermaksud menjawab perkataan Ervina.

"Alex, jangan bandel!" Ervina memandang mata Asiong lekat-lekat. "Dengarkan aku. Kamu belum tidur dari semalam."

"Ehh..." Kali ini Asiong kehilangan kata-kata untuk menjawab. 'Ada apa denganku? Kemana keberanianku? Mengapa di depan Vina aku justru tak bisa berkutik?'

"Janji ya, kamu tidur nanti." Gadis itu masih terus berkata. Tatapannya tak lepas dari mata Asiong, yang kini juga sudah membalas tatapannya itu.

Entah mendapat kekuatan dari mana, Asiong seperti tak bisa mencegah untuk melingkarkan lengannya di pinggang Ervina dan mendekatkan gadis itu ke arahnya.

Sesaat keduanya terdiam, namun kedua pasang mata mereka saling bertatapan. Terasa ada getaran yang merayap pelan dari tatapan itu. Getaran indah yang menarik keduanya untuk semakin mendekat. Getaran yang menimbulkan rasa indah pada diri kedua insan itu. Ada kehangatan yang menjalar dari pelukan tangan Asiong di pinggang Ervina.

'Perasaan ini... Sudah lama tak kurasakan lagi seperti ini...' Suara hati Asiong berkata. 'Aku menemukan kembali perasaan yang hilang itu...'

'Getaran ini indah sekali. Aku... Aku... Ahhh... Aku menyukainya. Kumohon, jangan cepat berlalu...' Bathin Ervina. Getaran indah yang dirasakannya semakin membuatnya terbuai, hingga tanpa disadarinya kedua matanya semakin lama semakin mengecil menutup.

'Vina... Cantiknya...' Hati Asiong semakin berdegup kencang. Kehangatan yang menjalar naik dari lengan menuju badannya, membuatnya seperti ingin berbuat lebih dari sekedar memeluk pinggang gadis itu. 'Bibir itu... indah sekali...'

Ketika itu wajah Asiong sendiri sudah semakin dekat dan ujung hidungnya sudah bersentuhan dengan ujung hidung Ervina. Selang beberapa detik di antaranya, bibir pemuda itu mulai menyentuh ujung bibir Ervina.

'Ya... Lakukanlah... Jangan lepaskan....' Bathin Ervina kembali berkata saat merasakan ujung bibirnya mulai bersentuhan dengan bibir pemuda yang memeluknya. Dalam bayangannya, direbahkannya dirinya di padang cinta, membiarkan dirinya dihanyutkan oleh gelombang kenikmatan yang menggetarkan, yang lahir dari sentuhan sang pemuda.

Sebuah alunan musik yang keluar dari speaker kecil membuat keduanya terkejut dan tersadar dari rasa indah yang menghanyutkan. Musik yang mengalun itu cukup untuk mengagetkan keduanya sehingga membuat Asiong membuka mata, menarik badan dan melepaskan pelukannya di pinggang Ervina.

Sementara Ervina sendiri terhenyak kaget saat menyadari kenikmatan yang mulai dirasakannya sirna dengan mendadak, diikuti dengan pelukan Asiong yang lepas dari pinggangnya. Spontan, gadis itu pun membuka matanya.

Seorang tukang roti keliling dengan sepeda motornya melintas di depan rumah Ervina. Suara musik yang menjadi pemanggil khusus untuk menjajakan jualannya, membuat kedua pasangan muda itu tersentak dan melepaskan pelukan masing-masing.

"Ohhh... Mas tukang roti..." Ervina menghela nafas melihat tukang roti yang melintas di depan mereka itu. Disekanya rambut pirangnya dengan sebelah tangannya sambil mencoba tersenyum.

"Pagi, Non. Mau beli roti? Ada rasa yang Non suka, baru keluar dari oven..." Terdengar suara tukang roti yang menawarkan dagangannya kepada keduanya. Motornya dihentikannya di samping motor Asiong.

'Roti, roti. Pengganggu!' Berbeda dengan Ervina yang masih mencoba tersenyum, Asiong memasang tampang kesal dengan kehadiran tukang roti yang mendadak itu.

"Alex, kamu mau roti?" Tanya Ervina kepada Asiong yang masih menggerutu kesal itu.

"Tidak." Jawab Asiong singkat tanpa menoleh. Nada suaranya masih terdengar kesal.

"Lain kali aja ya, Mas..." Jawab Ervina sambil tersenyum kepada tukang roti di depannya.

"Baik, Non. Mari..." Tukang roti itu berbasa basi sebelum meng-gas motornya meninggalkan tempat itu.

Tak lama setelah tukang roti berlalu, pasangan yang saling menyukai itupun berpisah. Asiong kembali ke rumah konveksinya, sedangkan Ervina masuk ke dalam rumahnya. Waktu baru menunjukkan sekitar jam enam pagi lewat ketika keduanya berpisah.





BAGIAN 38
"Alexander Patricia Ramsay ya? Coba gue ketik dulu ya..." Kata Buntara sambil mengetikkan nama yang baru saja disebutnya melalui keyboard di depannya. "Enter."

Ditatapnya layar komputer di depan matanya sambil menunggu hasil pencarian yang dimasukkannya. Saat itu dia sedang berada di sebuah warnet. Asiong berada di sebelahnya.

"Gimana? Dapat?" Asiong melongokkan kepalanya, penasaran dengan hasil yang didapatkan.

"Bentar ya." Kata Buntara. Pemuda sepupu Asiong ini cukup bisa dalam bidang pengetahuan umum, termasuk internet, tak heran bila Asiong mengandalkannya mencari keterangan tentang nama Alexander Patricia Ramsay yang pernah disebutkan Ervina ketika di Dunkin Donuts.

Sepulangnya dari rumah Ervina dan selesai membasuh badannya, Asiong memejamkan matanya sejenak beristirahat untuk beberapa jam sebelum akhirnya Buntara mampir ke rumah konveksinya, seperti yang biasa dilakukannya setiap hari Sabtu. Karena semakin penasaran dengan Ervina, pemuda itu secara tak sengaja teringat kembali percakapannya dengan gadis itu beberapa waktu yang lalu. Disana sebuah nama diberikan gadis itu kepadanya dan sebuah pertanyaan yang belum sempat terjawab masih menghantui pikirannya hingga detik itu.

"Ada nih, tapi benar gak nya, gak tau ya." Ujar Buntara lagi. Dibacanya keterangan yang diberikan dunia maya itu. "Putri Patricia dari Connaught. Nama aslinya Victoria Patricia Helena Elizabeth, cucu dari Ratu Victoria dan anak dari Pangeran Arthur. Melepas gelarnya dari..."

"Tunggu, Bun, tunggu." Asiong memotong kalimat yang sedang dibaca sepupunya itu. "Kok Putri Patricia sih? Kan aku minta dicariin tentang Alexander Patricia Ramsay. Memangnya aku pacaran sama selebriti ya? Putri Patricia. Gimana sih?!"

"Sabar dong. Ini kan ada kaitannya. Masa langsung to the point gitu kan gak seru..." Buntara terkekeh melihat tingkah sepupunya yang penasaran itu. Dia kembali membaca keterangan dari situs internet yang diperolehnya. Satu per satu kalimat dibacanya.

"Niiiihhh... Dengerin yeee..." Buntara memperkeras bacaannya ketika sampai di bagian penting yang ditanya sepupunya itu. "Pada tanggal 27 Februari 1919, Komandan Alexander Ramsay menikahi Putri Patricia dari Connaught. Pernikahan mereka dilangsungkan di Westminster Abbey."

"Kesimpulannya Alexander atau yang disingkat Alex itu menikah dengan Putri Patricia ini. Jadi mereka itu suami istri." Kata Buntara mengulangi penjelasannya. "Nah, kalau Ervina panggil lu dengan Alex, dan kalau dugaan gue gak salah nih..."

"Apa?" Asiong menatap sepupunya, menunggu lanjutannya dengan jantung berdetak-detak.

"Ervina punya nama lain Patricia ya?" Sambung Buntara. "Ervina Patricia atau Patricia Ervina... Begitu..."

"Astaga!!" Terbelalak mata Asiong saat menyadari artinya.

"Kenapa astaga lagi?" Buntara menepuk pundak sepupunya itu. "Ini tanda-tanda..."

"Tanda-tanda. Memangnya kamu kira kiamat, tanda-tanda?" Asiong menggerutu mendengar ledekan Buntara.

Buntara tertawa lepas. "Maksudnya tanda-tanda bagus. Udah nembak dia?"

"Nembak? Mati dong dia?" Keluguan Asiong sebagai pemuda perantauan masih melekat pada dirinya.

Ketawa Buntara semakin keras mendengar komentar polos Asiong. "Siong, kalo setiap orang yang saling mencinta itu ditembak, ya gak ada lah yang menikah. Mati semua dong kalau begitu..."

Asiong ikut tertawa mendengar jawaban sepupunya. "Jadi maksudnya apa?"

"Nembak itu artinya mengungkapkan perasaan." Buntara menjelaskan. "Udah lakukan itu padanya?"

Asiong menggeleng.

"Wah, payah nih. Katanya suka sama Ervina, tapi gak ditembak juga?"

"Gimana ya?" Asiong tampak bingung. 'Tapi kemarin aku hampir menciumnya. Kalau saja bukan karena ada tukang roti itu.' Gumam hatinya.

"Siong, malam ini kan malam minggu. Nah udah, diungkapkanlah, kapan lagi?"

"Mau sih, tapi..."

"Mau lu nanti Ervina direbut orang lain?" Buntara tersenyum dan meneruskan usahanya memberi dukungan kepada sepupunya.

Asiong menggeleng lagi.

"Kalau begitu, lakukan nanti malam. Gak boleh gak!" Buntara menepuk pundak Asiong. Tampang dan suaranya mendadak berubah menjadi serius. "Kau harus berhasil. Karena kau seorang jagoan!"

"Masa lawan berbadan besar saja bisa kau robohkan dan main keroyokan juga kau masih bisa meladeni." Buntara melanjutkan perkataannya. "Tapi dengan seorang gadis kau malah kalah?"

'Abun benar.' Gumam Asiong dalam hati. 'Selama ini aku selalu tak berkutik bila di depannya. Malam ini aku tidak boleh kalah lagi. Malam ini aku harus bisa mengungkapkan perasaanku kepada Ervina.'

"Siong," Buntara mengguncang pundak Asiong, membuat pemuda perantauan itu menatapnya. "Buktikan kalau kau memang mencintainya. Selama ini kau sudah banyak berjuang untuknya. Sebuah pertarungan jauh lebih berat daripada mengungkapkan perasaanmu padanya. Tapi kau bisa melewati pertarungan itu dan memenangkannya untuknya."

Tanpa melepaskan pegangannya di pundak Asiong, Buntara melanjutkan, "Bedanya, kali ini kau berjuang untuk dirimu sendiri. Kalahkan perasaanmu dan ungkapkan kepadanya. Bila kau sudah melakukannya, percayalah, semua beban itu akan terasa ringan."

Kata-kata Buntara itu ternyata bisa membangkitkan semangat Asiong. Sambil mengangguk penuh keyakinan, pemuda itu mengepalkan tangannya. "Ya, Bun. Aku pasti bisa!"

Disalaminya tangan sepupunya itu. "Terima kasih. Bantuan dan dukunganmu sangat berarti bagiku."





BAGIAN 39
"Mau kemana, Siong, tumben, rapi bener nih?" Chun Hwa, kakak kandung Asiong bertanya kepada pemuda itu ketika dilihatnya adiknya yang sudah berpenampilan necis keluar dari kamarnya. Hidungnya tampak mengendus-endus sesuatu di depan adiknya yang berdiri di hadapannya itu. "Wangi banget. Mau ke PRJ lagi ya?"

"Ah, Ce. Tidak, wa sudah tidak ke PRJ lagi." Jawab Asiong. Keningnya berkerut saat melihat kakak kandungnya itu mengendus-endus di depannya. "Kenapa nih?"

Chun Hwa tertawa lepas. "Adik wa wangi bener." Dilihatnya adiknya itu. Dengan rambut yang ditata rapi, walaupun gondrong namun terkesan apik. Anting yang tak pernah lepas di telinga kirinya dan kalung rantai sebagai aksesoris. T-shirt putih dan rompi hitam sebagai atasan dengan paduan celana jeans hitam. Rantai gelang di lengan kanan. "Ooooo, wa tau..."

"Pasti mau kencan ya?" Chun Hwa tersenyum menatap Asiong. "Iya kan?"

"Ce bisa tahu dari mana?" Tangan Asiong mengambil helm yang disimpan di atas lemari kaca di ruangan dapur mereka.

"Ya, dari dandananmu lah." Chun Hwa menaikkan alis matanya. "Siapa nih orangnya?"

"Ce mau tahu saja ya." Asiong tersenyum.

"Hayo, gak mau jujur sama wa ya?"

"Ah, Ce. Ce sendiri kapan?" Tanya Asiong. "Pacaran lewat hape lagi?"

Chun Hwa tertawa mendengar perkataan Asiong. "Berat di pulsa, Siong. Mending langsung deh."

"Woooo. Jadi, Chi Chong datang nih ceritanya? Hahaha..." Asiong mengedipkan sebelah matanya. Chi Chong adalah kakak ipar laki-laki dalam bahasa Hakka. "Sepertinya akan seru nih. Wa punya cece sudah punya calon... Cihuuuyyyy!!!"

"Siong, kenapa sih senang begitu teriaknya?" Sebuah suara wanita lain menimpali.

"Oh, Mei Ce." Asiong melirik ke seorang wanita yang berjalan turun dari lantai atas. Seperti Chun Hwa, wajahnya juga cantik, hanya terlihat lebih dewasa, dengan rambut hitam sebatas punggung yang diikat di belakang, berkulit putih dan tingginya sepantaran dengan Chun Hwa. Dialah Mei Hwa, kakak sulung Asiong.

"Itu, Mei Ce, Chi Chong mau datang menjemput... ehem...." Asiong memutar bola matanya melirik Chun Hwa yang masih berdiri bersandar di meja dapur sambil mengunyah sebuah apel. "Akhirnya... Wa punya cece jadian juga nih... ehem...ehem..."

"Eh, Siong... Sudah, pergi sana..." Chun Hwa memelototi adiknya sambil melemparkan apel yang diambilnya dari meja tempatnya berdiri. Dengan sigap, Asiong menangkap buah yang dilempar kakaknya itu dan menggigitnya.

"Ce... Nih wa kembalikan..." Setelah menggigit satu suapan mulut dan mengunyahnya, pemuda itu melemparkan kembali apel itu kepada kakaknya. "Untuk Chi Chong saja. Bilang itu Ce yang gigit, biar dia lebih cinta. Hahahahaha..."

"Eh, Siong... Awas ya!!" Chun Hwa berlari mengejar adiknya yang sudah lebih dulu berlari menghindar ke arah pintu. Mei Hwa geleng-geleng melihat tingkah kedua adiknya itu.

"Selamat berkencan ya, Ce. Dandan yang cantik, biar Chi Chong tambah cinta..." Asiong masih terus menggoda kakaknya sambil tertawa. Padahal waktu itu tangannya sudah membuka pintu pagar. "Jangan lupa parfumnya.... Tapi jangan segentong, nanti Chi Chong pingsan, Ce yang repot. Bukannya kencan malah jaga pasien. Hahaha..."

"Siong!" Chun Hwa memelototi adik kandungnya yang telah beranjak keluar itu. Suara tertawanya masih terdengar dari luar pagar. Chun Hwa pun mulai menutup pintu rumah.

"Oh iya, Ce, lupa." Tiba-tiba Asiong melongokkan kepalanya melalui bagian atas pagar.

"Apa lagi?" Chun Hwa yang memang belum beranjak dari balik pintu menatap adiknya.

"Ambil fotonya ya biar wa bisa lihat Chi Chong seperti apa..." Sambil nyengir lebar, Asiong mengedipkan sebelah matanya ke arah kakaknya.

"Huh! Paling bisa!" Jawab Chun Hwa memelototi Asiong. "Foto calonmu tuh yang jangan lupa."

Tapi Asiong sudah keburu menyalakan mesin motornya dan langsung menjalankannya, sehingga perkataan Chun Hwa tidak lagi didengarnya.

Dengan tertawa riang karena berhasil menggoda kakaknya, Asiong menjalankan motornya ke rumah Ervina. Pemuda ini memang sangat senang menggoda kedua kakaknya, terlebih Chun Hwa. Namun begitu, dia selalu menjadi orang pertama yang maju ke depan bila kedua kakaknya mendapat masalah. Kasih sayang mereka sebagai kakak beradik sangat erat. Rasa kekeluargaan juga sangat kental terasa.

Lalu lintas sore itu cukup ramai. Mungkin dikarenakan hari Sabtu yang adalah malam panjang, sehingga sebagian orang memilih untuk menikmati malam minggu setelah kepenatan bekerja selama lima hari.

Asiong menghentikan motornya tepat di depan rumah Ervina. Diputarnya kunci motor ke kiri untuk mematikan mesinnya. Lalu dibukanya helmnya. Pemuda itu bersiap-siap untuk turun dari motornya.

"Vina..." Pemuda itu setengah berteriak memanggil Ervina dari balik pagar rumah gadis itu. Pintu rumah di depannya tampak setengah terbuka. Sebuah motor Yamaha Mio terparkir di halaman. Menunggu tak sampai dua menit, terdengar suara kaki yang memakai alas kaki melangkah keluar.

Seorang anak lelaki berbadan tinggi dan kurus melongokkan kepalanya dari pintu sebelum badannya keluar sepenuhnya. Dipandanginya Asiong yang berdiri di depan pagar itu.

"Eh, Vina ada?" Pemuda itu tampak ragu mengajukan pertanyaan itu. 'Siapa ya? Apa ini adiknya Vina?'

"Oh, cari Cik Vina ya?" Anak lelaki itu menjawab. Tampangnya yang alim dan terkesan baik itu membuat Asiong menghembuskan nafas lega. Rambut hitam anak itu tebal dan ditata bebas seperti remaja pada umumnya. "Koko siapa?"

"Asiong... Eh, Alex..." Jawab Asiong. 'Aduh, Asiong lagi. Lupa, lupa...' Gumamnya dalam hati.

"Oh, tunggu bentar ya, Ko."

Asiong menggangguk sementara anak itu membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumahnya. Tak sampai 30 detik, anak itu keluar lagi dan berdiri di depan pintu rumah.

"Maaf. Tadi dengan Koko siapa? Asiong?" Tanya anak itu.

'Wah, dia dengar ya?' Asiong tampak cecengesan waktu nama aslinya disebut anak itu. "A.. Alex. Bukan Asiong."

'Apanya yang bukan? Sudah jelas-jelas Asiong.' Gumam pemuda itu lagi.

"Ohhh... Koko Asiong pacarnya Cik Vina ya?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja keluar dari mulut anak itu. Asiong yang mendapat pertanyaan itu tampak kebingungan mencari jawabannya.

"Ehhh...i...eehhh..." Jantung Asiong menjadi berdebar waktu berniat menjawab pertanyaan itu.

"Alvin, ngapain diluar? Masuk sana." Terdengar suara seorang wanita dari dalam. Langkah kaki terdengar bergegas keluar.

"Hai, Alex," Pemilik suara yang ternyata adalah Ervina itu tersenyum saat melihat Asiong yang berdiri di depan pagar. "Masuk dulu, Lex."

Ervina saat itu mengenakan T-shirt pink seukuran badannya yang ramping indah itu dengan celana selutut berwarna putih sebagai paduannya. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai lepas menyisakan poni yang bergelayut di keningnya. Make-up tipis menghias wajahnya yang cantik.

'Wow!! Cantik sekali!!' Asiong merasakan jantungnya semakin berdegup kencang saat melihat Ervina saat itu. Hidungnya seketika mencium wangi segar yang menyeruak keluar bersamaan dengan munculnya Ervina ke depan pintu rumah.

Ervina mendekat dan membukakan pintu pagar untuk pemuda itu. Sampai detik itu Asiong masih terpukau dengan kecantikan gadis di depannya. Terlebih wangi parfum yang membuatnya melayang semakin jelas tercium ketika Ervina mendekatinya.

"Masuk dulu, Lex. Aku siap-siap dulu ya." Ujar Ervina dan bersiap melangkah ke dalam rumah.

"Cik Vina, itu pacarnya ya?" Anak lelaki yang dipanggil Alvin itu menyeletuk dengan tiba-tiba membuat gadis itu memelototinya.

Dari dalam rumah, terdengar suara menyalak yang langsung diikuti dengan melesatnya seekor anjing kecil berbulu putih ke halaman tempat Asiong berdiri. Anjing itu segera mendekati pemuda itu dan berdiri sambil menggaruk-garuk celana pemuda itu dengan kedua kaki depannya. Lidahnya terjulur dengan nafas mengendus-endus.

"Justine..." Asiong membungkuk dan mengangkat anjing itu, untuk selanjutnya memeluknya di depan dadanya. Dipeluk seperti itu, Justine malah semakin menjulurkan lidahnya, berusaha untuk menjilati wajah Asiong.

"Justine, gak boleh gitu, Sayang..." Ervina yang tadinya sudah berada di ruang tamu kembali keluar saat melihat tingkah anjingnya yang bermanja-manja di depan Asiong. Sementara pemuda itu tertawa-tawa menghindari jilatan lidah binatang mungil itu di wajahnya.

GUUKKKK!!!

Justine menyalak seakan ingin memprotes majikannya itu. Asiong tertawa. "Dia protes tuh..."

Ervina menghampiri Asiong dan menjulurkan tangannya mengambil Justine dari pelukan pemuda itu. "Gak boleh dong, Justine. Sini..."

Asiong menyerahkan anjing kecil itu kepada Ervina yang langsung membawanya masuk ke dalam rumahnya. "Tunggu sebentar ya."

Sambil mengangguk Asiong berdiri sambil melihat-lihat sekitarnya. Alvin, adik kandung Ervina menghampirinya.

"Ko Siong, mau ajak Cik Vina keluar ya?" Remaja itu ternyata tingginya hampir sebanding dengan Asiong.

"Begitulah." Jawab Asiong. "Oh ya, namanya siapa?"

"Alvin, Ko."

"Adiknya Vina?"

"Iya, Ko."

"Umur berapa?"

"18. Ko Siong berapa?"

"24." Jawab Asiong. 'Bawel juga nih anak.' Gumam pemuda itu dalam hatinya.

"Ooo..." Alvin memonyongkan bibirnya. Matanya melirik sekilas ke dalam ruang tamu. "Tuh, Cik Vina udah..."

Beberapa detik kemudian, Ervina melangkah keluar dengan helm di tangannya. Seulas senyum manis tersungging di bibirnya. "Ayo, Lex."

Asiong membalikkan badannya dan berjalan ke pintu. Ervina masih meminta Alvin menutup pintu rumah sesaat sebelum dia mengikuti pemuda itu keluar dan menutup pagar.

Tak lama setelah Asiong menyalakan mesin motor, gadis itu memanjat naik dan membonceng di jok belakang motor pemuda rantau itu. Bersama dengan pasangan-pasangan lainnya, kedua insan itu memulai perjalanan menikmati indahnya akhir pekan di kota Jakarta.





BAGIAN 40
Malam minggu malam yang panjang. Itu sebagai ungkapan bagi para muda-mudi yang ingin merasakan lebih lama waktu bersama dengan pasangannya. Tak terkecuali Asiong dan Ervina yang saat itu berada di sebuah restoran fast food di sebuah mall di kawasan Jakarta Barat.

Makanan yang telah mereka pesan sudah hampir setengah mereka nikmati. Suasana di restoran tersebut penuh dengan para pengunjung, tua dan muda, anak-anak dan orang tua, pasangan yang sedang dimabuk cinta memenuhi tempat itu. Sementara suara hiruk pikuk memenuhi mall yang mereka kunjungi malam itu.

"Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Melamar pekerjaan baru lagi?" Asiong bertanya kepada Ervina di sela-sela makan malamnya.

"Gimana ya?" Ervina mengambil tisu dan menyeka bibirnya. "Aku sih masih menunggu panggilan dari agen lagi. Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini, ada event yang membutuhkan SPG, jadi aku bisa ikutan."

"Hmm... Kalau boleh tahu, kenapa kamu tidak melamar kerja di kantor?" Asiong menyedot soft drink dengan sedotannya.

"Aku kan hanya lulusan SMA, Lex. Keahlianku tidak banyak." Ervina tersenyum. "Kalau SPG kan lulusan SMA juga masih bisa."

"Ada juga sih lulusan SMA yang bekerja di kantor."

"Tapi kan gajinya kecil, Lex. Mana cukup untuk membiayai sekolahnya Alvin?"

"Lho, mamamu tidak bekerja?"

"Hanya kalau ada panggilan dari Paman aja. Kalau gak ada panggilan ya, di rumah."

"Maksudnya?"

"Emm... Pamanku kan punya toko alat olah raga di Kelapa Gading. Papaku masih ada bagian disana. Cuma gak sebesar bagian Paman. Jadi sekarang Mama membantu mengurus toko itu juga."

"Oh, jadi kongsian maksudnya?"

"Seperti itulah, Lex." Gadis itu tersenyum. "Aku cuci tangan dulu ya."

Asiong mengangguk dan menghabiskan makan malamnya sementara Ervina berdiri dan berjalan ke arah wastafel mencuci tangannya. Setelah gadis itu kembali, giliran Asiong yang pergi mencuci tangannya.

"Terima kasih ya atas makan malamnya." Kata Ervina ketika Asiong duduk di bangkunya kembali.

Asiong tertawa lebar. Disedotnya soft drink yang masih tersisa di gelasnya. "Sebenarnya yang kupentingkan bukannya makan malam ini."

Ervina memandang pemuda itu dengan alis mata terangkat. Senyumnya yang menawan masih terukir di wajahnya. "Terus?"

'Cantiknya... Semakin cantik dengan senyum seperti itu.' Kata Asiong dalam hati. Dirasakannya jantungnya kembali berdegup saat itu. 'Apa ini saat yang tepat untuk mengungkapkannya ya?'

"Apa ya?" Asiong berhenti sejenak dan tampak merenung. "Hmm... Iya... Aku tahu..."

"Apa, Lex? Jangan membuatku menunggu dong..." Suara Ervina terdengar menggoda.

"Saat indah berdua bersamamu." Ujar Asiong. Jantungnya semakin berdegup kencang. 'Aduh, jangan gugup. Tenang. Pasti bisa.'

"Hanya itu aja?" Tanya Ervina dengan senyumnya yang semakin menggoda pemuda itu.

"Ma..masih ada..." Detak jantung yang semakin kencang, keringat dingin yang mulai mengucur di keningnya, Asiong menghela nafas.

"Aku... Aku mau bilang..." Pemuda itu terdiam. Tampak dia sedang berusaha keras mengusir kegugupannya.

"Ya?" Ervina menatap Asiong lekat-lekat dengan kerlingan mata yang dapat membuat lelaki tergila-gila.

"Aku... Aku..." Asiong menelan ludahnya. Tangannya diulurkan dan mencoba memegang jari-jari lentik tangan Ervina. Gadis itu tidak menarik tangannya ataupun menolak pegangan pemuda itu.

'Harus bisa. Hanya tiga kata. Tiga kata. Ayo, Siong, katakan.' Kata Asiong dalam hati. 'Sekarang!'

Asiong menarik nafas sebelum melanjutkan perkataannya. Berharap nafas yang ditariknya dapat memberinya kekuatan untuk momen penting itu.

"Aku... Aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi kekasihku?" Ujar Asiong menatap kedua mata bening Ervina. Pemuda itu menghembuskan nafasnya. 'Akhirnya...'

Ervina tertawa mendengar perkataan Asiong. Tangannya menutupi mulutnya yang tertawa lirih itu.

"Alex, kamu lucu." Gadis itu berkata di antara tertawanya. Asiong memandang dengan tatapan bingung.

'Kok malah tertawa? Apa maksudnya nih?' Hati Asiong mulai meragu. 'Apa aku gagal?'

"Memangnya kita sedang ngapain disini, Lex?" Ervina melanjutkan perkataannya. "Bukannya hanya ada kita berdua di meja ini?"

"Mak... Maksudnya?" Asiong menatap Ervina dengan mulut ternganga. Kemachoannya sebagai seorang yang menyukai tantangan seperti hilang di depan gadis itu.

Ervina menyeka rambut pirangnya dengan tangannya. Tertawanya berganti dengan senyum menawan yang menghiasi bibir merekahnya yang terolesi lipstick tipis.

'Wah, sepertinya gagal nih.' Kata Asiong dalam hatinya. 'Ternyata mengungkapkan perasaan itu memang tak semudah bertarung.'

"Aku mau tanya, Lex." Ervina memecah keheningan di antara mereka. "Sejak kejadian di diskotik sampai saat ini, apa kamu masih belum menyadari..."

"... bahwa kamu sudah sering memegang tangan dan memelukku?"

DEG! DEG!! DEG!! Jantung Asiong semakin kencang berdetak. Dia menunggu saat-saat yang dianggapnya seperti menunggu ledakan bom nuklir.

"Terlebih kemarin, kalau saja tukang roti itu tidak ada." Ervina melanjutkan perkataannya. "Juga nama Alex pemberianku yang hanya boleh aku saja yang memanggil."

"Kalau aku tak menyukaimu, mana mungkin aku membiarkanmu memelukku seperti itu?" Bibir merekah Ervina tertawa kecil.

Asiong yang mendengarkan semua perkataan Ervina dengan seksama, mulai bisa tersenyum saat menyadari arti yang diungkapkan Ervina saat gadis itu menyelesaikan kalimatnya.

"Ja.. Jadi... Boleh nih?" Tanya Asiong memegang dan meremas jari gadis di hadapannya.

Ervina mengangguk pelan sambil tersenyum.

"Ahh... Te...Terima kasih... Terima kasih..." Tanpa disadarinya, Asiong menarik tangannya yang masih memegang tangan Ervina dan menciumnya. Tindakannya itu membuat Ervina tertawa.

'YESS!! Akhirnya... Aku berhasil!! Kami jadian!!' Asiong tersenyum lebar, perasaannya tak dapat diungkapkannya saat itu, hatinya sudah berbunga-bunga indah.




BAGIAN 41
Sebagai sepasang kekasih yang baru saling meresmikan hubungan mereka, Asiong merasakan dirinya berada di awang-awang. Malam itu senyum lebar terus menerus tersungging di bibirnya.

"Lex, coba deh kacamata ini." Ervina menghampiri kekasihnya dan menyodorkan sebuah kacamata hitam yang secara tidak sengaja didapatnya saat mereka berada di sebuah toko pakaian di mall tersebut.

Asiong bermaksud melihat kacamata yang disodorkan Ervina ketika gadis itu terlebih dulu telah memasangkannya ke wajah pemuda kekasihnya itu.

"Bagus, Lex." Ervina tersenyum melihat ketampanan kekasihnya setelah mengenakan kacamata hitam itu. "Semakin tampan lho Alex-ku."

Asiong membuka kacamata hitam itu dan melihatnya. Secarik label harga tergantung di bingkainya. Secarik lagi yang adalah brand dari kacamata itu. Ray-Ban. "Astaga, Vin, ini mahal lho."

"Hihihi... Masih ada yang kurang dari penampilanmu yang macho." Sahut Ervina. "Semuanya sudah oke, hanya kurang yang satu ini."

"Tapi ini kan mahal, Vin." Ujar Asiong memberikan protes. "Seratus lima puluh ribu lebih..."

Ervina menggeleng. "Ini tak seberapa dibanding semua usahamu menolongku selama ini."

"Kubelikan untukmu ya." Dikedipkannya sebelah matanya ke arah Asiong yang masih terbengong tak percaya itu sambil berlari ke kasir dan membayarnya.

"Nih, Lex." Ervina memberikan kantong plastik berisi kacamata yang dibelinya itu. "Sering-sering dipakai ya."

"Terima kasih, Vin." Asiong tersenyum menerima pemberian itu.

Ervina menggandengkan lengannya ke lengan pemuda itu. Sebuah perasaan bergetar mengalir seketika saat merasakan lengan halus yang menggandengnya itu.

"Ayo, Lex. Masih ada lagi yang ingin kubeli." Ervina menarik lengan Asiong mengajaknya berjalan.

Bingung dengan kemauan kekasihnya, Asiong mengikuti gadis itu berjalan. Tak jauh di depan mereka, tampak sebuah stand perhiasan yang akan mereka lintasi. Pemuda itu tidak pernah menaruh perhatian ke stand itu sebelum Ervina menghentikan langkahnya dan berdiri di depan stand tersebut.

"Kamu mau membeli perhiasan?" Asiong mengerutkan keningnya menatap kekasihnya yang telah menyandarkan sikunya di etalase kaca. Pertanyaan itu hanya dijawab Ervina dengan seulas senyum, matanya melongok melihat ke dalam etalase kaca di depannya yang berisi perhiasan non-emas.

"Ada yang bisa dibantu?" Seorang pramuniaga mendekati mereka dan berdiri di seberang etalase.

"Mbak, aku mau liat yang ini..." Ervina menunjuk ke sebuah cincin berwarna putih di dalam etalase itu.

"Yang ini?" Pramuniaga itu mengambilkan cincin yang ditunjuk untuk gadis itu.

Ervina memperhatikan cincin di tangannya. "Ini terbuat dari apa ya?"

"Itu titanium, Non. Bagus lho. Titanium tahan lama, tidak akan karatan atau luntur."

"Oh," Ervina menaikkan alis matanya. "Untuk wanita ya?"

Pramuniaga itu melirik ke arah Asiong yang berdiri di samping Ervina. "Mau yang pria juga ada. Aslinya memang sepasang, Non."

"Oh begitu ya? Boleh kulihat?" Sahut Ervina.

"Bentar ya..." Pramuniaga itu tampak menunduk dan mencari pasangan cincin yang berada di pegangan Ervina.

'Vina, apa maksud semua ini? Cincin? Sepasang?' Gumam Asiong dalam hatinya. Lagi-lagi pemuda keturunan itu kebingungan dengan perbuatan kekasihnya itu.

"Ini, Non." Setelah mendapatkan cincin yang dicarinya, pramuniaga itu menyerahkannya kepada Ervina.

"Wah, cantik..." Ervina bergumam. "Lex, liat deh."

Gadis itu menyodorkan cincin yang baru diterimanya itu ke Asiong yang melihatnya dengan tatapan bingung. Sebuah cincin putih seperti perak, dengan satu mata cincin di atasnya.

"Bagus ya?" Gadis itu tersenyum dan menoleh kembali ke pramuniaga. "Berapa harganya ya, Mbak?"

Pramuniaga itu menyebutkan sejumlah harga tertentu.

"Hmm... Gak bisa kurang?" Ervina mencoba menawar. "Kan kami beli dua."

"Ya, bolehlah. Satuannya sih segitu, Non. Tapi kalau ambil sepasang, kami beri harga..." Pramuniaga itu mengetikkan sejumlah angka di kalkulator di depannya. "Segini..."

"Hmmm..." Ervina menaikkan alis matanya melihat deretan angka di kalkulator.

"Vin, kamu mau?" Tanya Asiong kepada kekasihnya. "Kok sepasang?"

"Lex, kita kan berdua, ya tentunya sepasang lah." Bisik Ervina. "Sini, aku bisikin..."

Asiong mendekatkan telinganya ke wajah gadis itu. Tampak Ervina berbicara dengan suara berbisik yang hanya bisa didengar oleh Asiong. Pemuda itu sesekali mengangguk mendengar penjelasan kekasihnya.

"Oh, jadi begitu," Kata Asiong ketika Ervina menutup penjelasannya. "Maklum, aku baru mengetahuinya."

"Supaya hubungan kita awet, Lex." Gadis itu tersenyum.

"Oke. Aku setuju." Asiong mengambil dompet dari saku belakang celananya. "Aku juga tidak mau kamu diambil orang lain kok."

"Selama ada kamu yang menjagaku, takkan ada orang yang bisa mengambilku..." Bisik Ervina yang juga telah mengeluarkan dompetnya.

"Jadi gimana, Non?" Tanya pramuniaga itu setelah melihat keduanya seperti telah siap membayar.

"Kami ambil dua-duanya ya, Mbak." Kata Ervina. "Aku bayar untuk cincin yang pria."

"Aku membayar untuk yang satunya lagi, yang wanita." Ujar Asiong menimpali.

Pramuniaga itu tersenyum. "Kalian pasangan yang cocok. Dari mana bisa tau tradisi ini?"

"Tradisi apa, Mbak?" Tanya Asiong sambil menyerahkan sejumlah uang.

"Tradisi menukar cincin." Jawab pramuniaga itu.

"Oh, dari dia..." Asiong menunjuk Ervina yang berdiri di sampingnya dengan ibu jarinya.

Pramuniaga itu melihat ke Ervina lagi. "Mau diukirkan nama?"

"Oh, bisa ya?" Tampak gadis itu berhasrat saat mengetahuinya.

"Bisa, Non."

"Kena biaya lagi gak?" Tanya Ervina.

"Kalau beli sepasang, boleh gratis ukir nama." Pramuniaga itu tersenyum.

"Dimana diukirnya?" Kali ini Asiong yang bertanya.

Pramuniaga itu mengambil salah cincin dan mengangkatnya sebatas wajah. "Di bagian dalam lingkaran."

"Boleh, Mbak. Mau dong." Ervina berkata dengan antusias.

"Boleh minta namanya?" Sebuah kertas dan pen disodorkan pramuniaga itu kepada gadis itu.

"Gak perlu ditulis lah. Nama kami mudah diingat kok." Ervina tersenyum.

"Iya, betul." Asiong menimpali. "Untuk cincin yang wanita ditulis namaku ya, Alex, dengan huruf X. Dan yang pria ditulis nama Ervina, dengan huruf V."

"Ehh..." Ervina menatap kekasihnya dengan pandangan tak percaya.

"Baik. Ditunggu ya." Pramuniaga itu berpindah tempat sejenak sambil membawa kedua cincin yang telah dipesan keduanya.

"Lex, kok bisa tau kalau namanya ditukar?" Dengan nada tak percaya, Ervina bertanya kepada Asiong.

"Hehe... Tentulah." Asiong terkekeh senang. "Supaya bisa saling mengingat dan mengisi. Ada kamu di hatiku dan ada aku di hatimu."

Ervina tersenyum mendengar komentar kekasihnya. 'Terima kasih, Lex. Aku tak menyangka kamu bisa seromantis itu.'

Beberapa menit kemudian, pramuniaga itu kembali dengan kedua cincin di tangannya. Diserahkannya kedua cincin itu kepada sepasang kekasih itu. "Seperti ini?" Tanyanya.

"Yap. Sempurna!" Ervina tersenyum saat melihat kedua cincin yang telah diukir nama mereka berdua. Sementara Asiong mengangguk puas.

"Oke." Setelah menerima kembali sepasang cincin itu, pramuniaga itu memasukkannya ke dalam kotak masing-masing.

"Mbak, masukkan jadi satu kotak saja. Ada kan?" Ervina berkata saat menyadari tindakan pramuniaga itu.

"Oh, ada, Non." Pramuniaga itu tersenyum. "Tidak mau dipakai disini?"

"Oh, tidak perlu. Kami akan memakainya nanti." Jawab Asiong singkat.

"Baiklah." Pramuniaga itu menyerahkan kotak cincin kepada Ervina. "Mudah-mudahan kalian menjadi pasangan yang langgeng."

"Amin." Jawab Ervina tersenyum.

'Semoga.' Kata Asiong dalam hati. 'Mudah-mudahan Vina menjadi pasanganku selama-lamanya.'

"Terima kasih." Pramuniaga itu tersenyum saat kedua insan yang saling mencintai itu membayar cincin untuk pasangannya masing-masing.

Malam yang terlalu indah untuk dilewati oleh keduanya, pasangan Asiong dan Ervina. Mungkin juga untuk pasangan-pasangan lainnya. Namun tidak ada waktu yang tidak berlalu. Semua yang dimulai pasti akan berakhir. Begitupun dengan sepasang kekasih Asiong dan Ervina.




BAGIAN 42
Waktu menunjukkan sekitar pukul 10 malam ketika Asiong akhirnya berhasil mengeluarkan motornya dari tempat parkir mall setelah antrian panjang yang memakan waktu sekitar setengah jam.

"Akhirnya," Asiong menghembuskan nafas lega. Di atas motornya yang berhenti di pinggir pintu keluar mall, pemuda itu memasukkan STNK motor yang tadi diperiksa Satpam di pintu keluar ke dalam dompetnya. "Panjang sekali antriannya."

"Kan malam minggu, Lex." Ervina yang membonceng di belakangnya menjawabnya.

"Kamu sudah siap?" Setengah menengok, pemuda itu melirik kekasihnya.

"Yap..." Gadis itu melingkarkan lengannya memeluk pinggang Asiong. Setelah mereka resmi menjadi pasangan kekasih, gadis itu tak ragu lagi untuk memeluk pinggang pemuda rantau itu.

Seketika Asiong dihinggapi perasaan bergetar seiring lengan yang memeluk erat pinggangnya dan badan Ervina yang menempel di punggungnya. Dicoba mengusirnya perasaan yang muncul mendadak itu saat dia mulai menjalankan motornya.

"Vin, aku mampir isi bensin dulu ya." Di tengah perjalanan pulang, Asiong berkata kepada Ervina saat mereka melintasi sebuah SPBU dan Asiong mengarahkan motornya masuk dalam antrian.

Ervina membuka helmnya, membiarkan udara malam yang bertiup menghembus wajahnya yang tertutup helm beberapa saat lamanya. Digoyangkannya rambut pirangnya saat helmnya dilepaskannya. Beberapa helainya mengenai kepala Asiong yang juga sudah melepaskan helmnya.

Setelah selesai mendapatkan giliran mengisi bensin ke tangki motornya dan membayar sejumlah yang diminta, Asiong memasang kembali helmnya. Ervina mengikuti perbuatannya dan kembali memeluk pinggang pemuda itu.

Keberuntungan memang tak bisa selamanya mengikuti seseorang. Kala malam itu pasangan kekasih Asiong dan Ervina pulang ke rumah masing-masing dengan hati berbunga-bunga. Suasana yang menggembirakan itu membuat keduanya tidak menyadari dua pasang mata yang sejak lama mengawasi gerak gerik mereka pada saat keduanya berada dalam antrian di SPBU.

"Lukman, itu bukannya Ervina yang dicari-cari Bos Roni?" Salah seorang dari pengintai itu berkata.

"Ya, kau benar, Iksan. Dan itu pemuda yang merobohkan Martin dan Niko di diskotik." Sahut lelaki yang dipanggil Lukman itu. "Saya sudah mengetahui kehadiran mereka dari tadi mereka masuk kesini."

"Beruntung kita tidak dekat mereka. Bisa-bisa kita dikenali Ervina." Timpal Iksan yang duduk di belakang kemudi. Keduanya berada di dalam mobil sebuah Kijang yang berkaca gelap, sehingga mempermudah mereka mengintai situasi di luar tanpa perlu khawatir akan terlihat dengan mudah.

"Malam ini malam keberuntungan kita." Kata Lukman yang duduk di samping Iksan. "Pasti pemuda itu akan mengantar Ervina pulang ke rumahnya. Dengan begini, kita akan mengetahui dimana Ervina tinggal."

Iksan tertawa. "Bagus. Bos Roni pasti akan senang."

"Itu mereka sudah jalan. Kita ikuti mereka." Kata Lukman.

"Tapi, bensin kita?" Iksan ingin memprotes.

"Banting setir, bodoh! Kapan lagi kita bisa bertemu mereka seperti ini?" Bentak Lukman. "Saya tidak mau kesempatan emas kelewatan lagi."

"Oke, Oke..." Iksan menurut. Matanya melirik ke posisi kendaraan mereka saat itu, lalu diputarnya kemudi ke kanan.

"Ambil abis." Kata Lukman.

Iksan memutar stir sampai batas terjauh dan menginjak gas. Mobil Kijang yang dibawanya meluncur keluar dari antrian sebelum sempat mendapatkan giliran mengisi bensin.

"Jaga jarak! Jangan terlalu dekat!" Lukman melirik ke arah depan saat mobil mereka telah melintas di jalan, bergabung dengan kendaraan lainnya. Dilihatnya motor Yamaha Scorpio yang dikendarai Asiong berjalan tak jauh di depan mereka.

Sementara Asiong yang menikmati waktunya berbicara dengan kekasihnya di atas motor yang dikendarainya, sama sekali tidak menyadari kehadiran pengintai yang membuntuti kemanapun mereka pergi.

Memasuki sebuah kompleks perumahan, Asiong memutar motornya dan masuk ke dalamnya. Tidaklah sulit bagi keduanya untuk melewati pos penjagaan di gerbang kompleks, terlebih saat itu Ervina telah membuka helmnya dan dikenali Satpam penjaga.

"Sial! Kompleks perumahan." Iksan mengumpat. "Kita gak bisa masuk nih."

"Tenang. Jangan panik! Bersikap biasa saja!" Lukman membuka jendela saat Iksan menghentikan mobilnya tepat di samping pos penjagaan.

"Selamat malam, Pak." Lukman membalas sapaan Satpam penjaga sementara Iksan mengambil kartu yang diberikan petugas lainnya.

"Silakan." Petugas yang memberi kartu mempersilakan mereka masuk.

"Terima kasih, Pak." Lukman sekedar berbasa basi membalas petugas penjaga itu.

Begitu melewati pos penjagaan, Iksan menginjak gas lebih dalam sehingga mobil yang dibawanya segera melaju dengan kecepatan tinggi.

"Cepat, kita kehilangan buruan!" Tegas Lukman sambil menegakkan duduknya. Matanya melirik ke kiri kanan jalanan di depannya.

"Itu dia!" Lengannya menunjuk satu-satunya motor yang melintas di tempat itu. Tampak motor itu membelok kiri memasuki sebuah blok.

Sambil menjaga jarak aman, Iksan mengendarai Kijang mereka terus mengikuti arah yang ditempuh oleh Asiong di atas motornya. Hingga akhirnya motornya berhenti dan gadis yang membonceng di belakangnya turun.

"Kita tunggu saja disini." Kata Lukman. Pandangan matanya tak pernah lepas dari sasarannya. Iksan menghentikan kendaraannya dan mematikan mesin mobil.





BAGIAN 43

"Alex, terima kasih untuk malam ini ya." Ujar Ervina setelah turun dari boncengan motor belakang dan berdiri di samping Asiong. Keduanya telah tiba di depan rumah Ervina.

Asiong yang telah membuka helmnya tersenyum. Lengannya menjulur memeluk pinggang kekasihnya dan menariknya mendekat.

"Ngghhh... Lex..." Ervina mendesis manja ketika badannya ditarik kekasihnya agar mendekat.

"Kali ini takkan ada lagi yang menghalangi kita." Kata Asiong.

Ervina memahami arti kalimat Asiong. Tanpa berkedip gadis itu menatap mata kekasihnya. Ada kehangatan yang dirasakannya dalam pelukan kekasihnya itu.

Perlahan, Asiong mendekatkan wajahnya ke wajah Ervina. Secara perlahan pula, gadis itu menutup kedua matanya.

'Kumohon, jangan gagal lagi.' Hati gadis itu berkata. 'Aku ingin sekali merasakan kecupan seorang lelaki yang telah menolongku...'

CUPP!!

Ervina merasakan bibirnya disentuh. Sepasang bibir indah itu mendapatkan kecupan dari Asiong. Ervina membiarkan kecupan itu bersarang di bibirnya.

'Hangat. Indahnya.' Gadis itu bergetar saat bibir mereka saling bersentuhan. Dibalasnya kecupan pemuda yang dicintainya itu.

Selama beberapa detik sepasang bibir kekasih yang dilanda asmara itu saling bersentuhan, menyalurkan getaran-getaran cinta pada setiap sentuhannya. Sepasang kekasih itu terbuai dalam nikmatnya gelombang cinta yang menggetarkan hati dan setiap saraf di tubuh mereka.

"Aku pulang ya." Asiong berbisik pelan sambil menarik bibirnya dari bibir kekasihnya. Wajah keduanya sangat berdekatan saat itu.

Ervina membuka matanya. Bibirnya yang ranum terhias seulas senyum. "Terima kasih, Lex."

Asiong melepaskan pelukannya di pinggang gadis yang dicintainya. Sebagai gantinya dia memegang lengan kanan gadis itu. Tampak di jari manis lengan halus itu terpasang cincin putih yang mereka beli beberapa jam sebelumnya.

Dengan lembut Asiong mengecup jemari lentik gadis itu, khususnya di jari manis dimana cincinnya terpasang. "Aku mencintaimu, Vina."

'Lancar. Aku tidak gugup lagi.' Kata Asiong saat menyadarinya.

Ervina membalas kecupan Asiong di jari tangannya dengan dua kecupan di pipi kiri dan kanan pemuda itu. "Aku juga mencintaimu."

"Hati-hati di jalan. Kasih aku kabar kalau sudah sampai rumah ya." Sambung Ervina segera.

Asiong mengangguk dalam senyumannya. Hatinya sangat gembira. Malam itu dia berhasil mengungkapkan perasaannya kepada Ervina dan meresmikan hubungan asmara mereka. Sebuah malam yang indah bagi seorang pemuda perantauan seperti dirinya. Sebuah keberuntungan bisa mendapatkan kekasih seorang gadis keturunan yang cantik dan menarik seperti Ervina.

Dengan hati yang tak bisa terungkapkan senangnya, pemuda itu menjalankan motornya meninggalkan kompleks perumahan tempat Ervina tinggal. Tanpa disadarinya, dua pasang mata yang terus mengawasi setiap gerak geriknya dari dalam sebuah mobil.

"Gila. Mesra banget mereka berdua." Kata Iksan. "Jadi pengen dicium seperti itu."

Lukman menepuk kepala Iksan hingga lelaki itu kesakitan. "Jangan berpikiran yang macam-macam! Tujuan kita bukan itu."

"Iya, mengerti." Iksan mengumpat kesal sambil mengelus kepalanya yang ditepuk Lukman itu. 'Kalo bukan karena lu tangan kanannya Bos, udah gue cekik mati lu disini.'

"Maksudku pantas saja Bos uring-uringan ingin mendapatkan Ervina. Ternyata ini salah satu alasannya." Kata Iksan memberi penjelasan.

"Sebenarnya bukan itu." Ujar Lukman. "Roni punya tujuan yang lebih dari itu."

"Hah! Maksudnya?" Iksan tak melepaskan matanya menatap adegan kecupan sepasang kekasih itu.

"Coba kau perhatikan Ervina lebih jelas lagi!" Kata Lukman. "Kecantikannya, keindahan tubuhnya, rambut pirangnya, kulit putihnya..."

Iksan terdiam sesaat melihat apa yang dikatakan Lukman. "Wah, betul juga ya. Nyaris sempurna."

"Sempurna seperti kata Roni." Kilah Lukman. "Makanya dia berniat mendapatkan gadis itu mati-matian. Karena harga jualnya pasti tinggi..." Lukman tertawa mengakhiri perkataannya.

"Hah!!" Iksan terbelalak saat menyadari maksud dari perkataan Lukman itu.

"Hey, jalan!" Sebuah tepukan kembali mampir di kepala Iksan pada saat lelaki itu terbengong memahami maksud kalimat Lukman sebelumnya. Terburu-buru Iksan memutar kunci dan menyalakan mesin.

"Ikuti dia!" Perintah Lukman kepadanya. "Kali ini jangan sampai lolos!"

Iksan mengendarai mobil sambil tetap menjaga jarak aman dengan sasaran yang mereka ikuti. Kompleks perumahan sudah mereka lewati. Kini mereka berada di sebuah jalan besar yang cukup ramai.

Ketika memasuki sebuah tempat yang sepi, Iksan menginjak gas lebih kencang. Mobil melaju lebih cepat dibanding sebelumnya.

"Hey. Mau ngapain?" Lukman melotot memandanginya.

"Mumpung jalanan sepi. Ini kesempatan kita untuk menghajarnya." Jawab Iksan.

"Goblok!" Tahu-tahu Lukman membentaknya. Lagi-lagi tangannya menepuk keras kepala Iksan. "Jangan sekarang, Bodoh!!"

Akhirnya Iksan memperlambat laju kendaraannya. "Ta..Tapi..."

"Tahan! Jangan dulu!" Kata Lukman sambil tersenyum licik. "Aku punya rencana khusus yang lebih bagus untuknya."

Bergidik Iksan mendengar nada suara tangan kanan Roni itu. Tak ada pilihan lain baginya kecuali mengikuti pemuda di depannya dengan jarak yang tak dicurigai. Sepanjang jalan, pikiran Iksan berkecamuk. Hatinya kebingungan dengan maksud Lukman tentang rencana khusus itu.

Kebingungan Iksan terjawab tak berapa lama kemudian. Ketika itu pemuda yang mereka intai telah menghentikan motornya di depan sebuah rumah. Jalan tempat mereka lalui saat itu tergolong besar dan bisa dimasuki mobil. Iksan menghentikan mobil dan mematikan lampunya.

"Bagus. Bagus sekali!! Hahahahahaha!!!" Lukman tertawa dengan nada puas ketika melihat pemuda yang mereka intai mendorong motornya masuk ke dalam rumah tersebut. "Roni pasti akan senang!! Hahahahahaha!!!"

Iksan yang mulai mengerti maksud Lukman dengan rencana khusus itupun ikut tertawa.

Lukman mengepalkan tangan kanannya. "Dengan begini, kartu truff Ervina dan pemuda brengsek itu sudah ada di tangan kita."

"Akalmu boleh juga." Imbuh Iksan di sela-sela tertawanya.

"Percuma saja kalau aku diangkat jadi tangan kanan Roni kalau otakku buntu seperti kalian!! Taunya hanya mengandalkan badan, otak kafir!!" Seru Lukman tertawa.

Iksan hanya bisa cecengesan mendengar dirinya direndahkan seperti itu. Suara tertawanya sudah hilang.

"Jalankan mobil!" Perintah Lukman. Dalam kegelapan, matanya tampak bersinar-sinar. "Permainan akan segera dimulai!!"

Suara tertawa Lukman, tangan kanan Roni, masih memenuhi mobil Kijang yang dibawa Iksan ketika keduanya meninggalkan tempat itu. Dalam otaknya tersusun satu rencana yang akan diceritakannya kepada Roni setibanya di markas mereka.





BAGIAN 44
"Bagus, kerja yang bagus, Lukman!" Roni menepuk pundak Lukman ketika keduanya bertemu di rumah yang mereka jadikan tempat berkumpul mereka. Pagi itu Lukman menceritakan apa yang didapatnya semalam sebelumnya.

"Kapan kita mau bergerak, Ron?" Tanya Lukman sambil menenggak bir langsung dari botolnya.

"Secepatnya." Jawab Roni. "Kita susun rencana dulu. Kita bagi menjadi dua tim. Satu tim kau yang pimpin, ke rumah anak brengsek itu, sisanya aku yang memimpin 4 orang ke rumah Ervina. Kita bergerak bersamaan, jadi mereka takkan bisa berbuat banyak."

"Hmm..." Lukman mengacungkan ibu jarinya. "Setuju. Ide yang bagus."

"Bagaimana? Bagus kan?" Roni tertawa terbahak penuh kepuasan.

"Luar biasa! Mantap, Ron!" Dengan diikuti tertawa lebar, Lukman menenggak birnya lagi.

"Siang ini juga kita kumpulkan semuanya, dan kita bagi tim. Besok pagi kita langsung bergerak." Roni mengusap-usap kepalan tangannya. "Sudah tak sabar aku ingin mendapatkan Ervina. Hahahahahaha......"

"Wah, Ron, kalau saja semalam kau melihat kemesraannya Ervina, kujamin, kau pasti akan iri..."

"Hahahaha... Tak lama lagi aku juga bisa merasakan kehangatan gadis itu..." Ujar Roni. "Begitu pemuda brengsek itu telah disingkirkan, maka mendapatkan Ervina sudah semudah membalikkan telapak tangan."

"Kalau Ervina sudah kudapatkan, aku bisa melakukan apa saja padanya." Roni menatap Lukman dengan pandangan penuh kepastian. "Hahahahaha..."

"Betul. Betul sekali, Ron." Timpal Lukman. Disodorkannya botol baru berisi bir itu kepada temannya. "Mari minum agar pikiran kita segar..."

Roni menerima botol bir yang disodorkan Lukman kepadanya itu dan langsung menenggaknya.

Pada saat yang bersamaan...

"Wah, andai saja kalian menyaksikan sendiri bagaimana mesranya Ervina mencium pacarnya itu, kalian juga pasti ingin merasakan hal yang sama." Iksan berkata sambil melempar kartu yang dipegangnya. "Kurang ajar! Udah dua kali bandar kartu gue jelek banget."

Bersama dengan beberapa teman lainnya, Iksan berkumpul di ruang bawah tanah sambil bermain kartu domino. Disana dia menceritakan pengalamannya dengan Lukman semalam, yang tidak sengaja bertemu dengan Ervina dan pacarnya hingga dibuntutinya rumah kediaman mereka berdua.

"Hahaha... Lagi sial lu! Ngomongnya Ervina terus sih. Cewek itu emang bawa sial." Sahut Niko. Dibuangnya puntung rokok yang telah habis dihisapnya.

"Maksud lu?" Saiful alias Ipul menarik selembar kartu di meja. Matanya melirik sekilas ke arah Niko.

"Ya, gara-gara Ervina, dagu gue masih sakit sampai sekarang." Niko mengusap-usap dagunya yang pernah terkena upper-cut Asiong sewaktu pertarungan di diskotik itu.

"Betul tuh," Ipul menunjuk Niko. "Gara-gara dia, gue juga KO sama cowo brengsek itu..."

Yang lainnya tertawa mendengar komentar Ipul itu.

"Jadi lu juga udah kena, Pul?" Faisal nyengir kuda memandang temannya itu. "Enak gak?"

Suara tertawa lainnya semakin santar terdengar.

"Brengsek lu!" Ipul mengumpat. "Lu belum ngerasain sih. "

"Kalo lu udah ngerasain, lu juga akan tau..." Martin yang sedari tadi tak bersuara ikut memberi komentar.

"Yah, gimana ya..." Faisal mengusap-usap rambutnya. "Sebisa mungkin sih gue gak mau berurusan dengan anak itu."

"Bilang aja lu takut, Sal..." Iksan melemparkan bungkusan rokoknya kepada Faisal.

"Haha, bukannya gue takut. Cuma gini lho..." Faisal menangkapp bungkusan rokok yang dilempar Iksan dan membukanya. Sedetik kemudian dia membanting bungkus rokok itu ke lantai. "Sial lu, udah habis dikasih gue..."

Teman-temannya tertawa melihat tingkah Faisal yang dikerjai Iksan itu.

"Makan tuh bungkusan kosong..."

"Emangnya enak dapat yang kosong..."

"Ah, rese pada ye!" Faisal mengumpat. "Yang masih ada siapa, bagi sini..."

"Nih, nih..." Niko menyerahkan sebatang rokok yang diselipkan di telinganya. "Tinggal satu-satunya nih..."

"Emang gue pikirin..." Faisal merebut rokok yang belum sepenuhnya disodorkan Niko. "Api, siapa yang ada api?"

"Rese lu, Sal." Martin nyeletuk. "Kalau merokok tuh modal dikit napa..."

"Ah, kaya lu punya modal aja lu." Faisal menepuk kepala Martin perlahan. "Makan aja masih ngutang berbulan-bulan..."

Tepukan Faisal di kepalanya itu membuat rokok yang sedang dihisapnya terjatuh dari mulutnya. Spontan, Martin memaki dan mengumpat habis-habisan sementara teman-teman lainnya tertawa terbahak-bahak.

Suasana canda tawa antara para tukang pukul anak buah Roni berlangsung cukup lama juga ketika mereka dikejutkan oleh bunyi keras yang berasal dari alarm di tempat itu.

"Wah, kita dipanggil Bos." Iksan melempar kartunya. "Sial lah, padahal kartu gue lagi bagus nih."

Ipul menepuk pundak Iksan sambil terkekeh. "Udah, relakan saja. Mungkin aja ini bukan waktunya lu."

Semua yang berkumpul disana bergegas bangun meninggalkan tempat itu dan menuju ruang pertemuan memenuhi panggilan Roni yang telah siap dengan rencana busuknya.





BAGIAN 45
"Itu dia rumahnya, Bos." Iksan menghentikan kendaraan yang dibawanya. Tanpa mematikan mesin mobil, jarinya menunjuk sebuah rumah yang sudah pernah didatanginya dua hari sebelumnya.

"Hooo... Hebat!! Hebat juga Ervina bisa pindah kemari." Roni tertawa lebar. Sebuah ekspresi kesenangan tergambar di wajahnya. "Kalau saja waktu itu bukan karena ulah cowok brengsek itu, saya sudah mengetahui rumahnya ini."

Roni memandang arloji yang dipakainya di tangan kanannya. Sebuah cincin besar terbuat dari batu hitam melingkar di jari tengah tangan kanannya. Melirik sekilas Roni ke tiga anak buahnya yang duduk di jok mobil belakang.

"Hey!! Apa kalian sudah siap?" Roni mengajukan pertanyaan kepada ketiga anak buah yang dibawanya itu, Saiful alias Ipul, Taufik dan Si Codet.

"Siap, Bos!!" Jawab ketiga serempak.

"Bagus! Iksan tunggu disini saja, tetap di mobil." Kata Roni lagi sambil membuka pintu.

"Baik, Bos!" Iksan mengangguk. Mesin mobilnya dimatikannya saat itu.

Beberapa detik kemudian, di lingkungan kompleks perumahan yang tenang itu, tampak 4 lelaki berbadan besar dengan tampang menyeramkan berjalan dengan langkah arogan menuju sebuah rumah yang tak lain adalah rumah Ervina.

Berdiri tepat di depan rumah Ervina sambil bersiul-siul pelan, Roni mengangguk sambil tersenyum kepada seorang warga yang berpapasan dengan mereka. Wanita setengah baya itu tak berani memandang mereka berlarut-larut, terlebih saat menyadari kehadiran tiga anak buah Roni yang berbadan besar itu.

"Ini rumah barunya. Bagus juga." Kata Roni pelan sambil memandang ke dalam pekarangan. Sebuah motor Yamaha Mio terparkir di sana. Tangan Roni sudah terjulur membuka pintu pagar dari luar. Sayangnya, setelah kepergian Alvin ke sekolah pagi itu, pintu pagar tidak lagi sempat dikunci gembok, namun hanya dikunci biasa saja.

"Hahaha... Tidak dikunci!" Roni menyeringai lebar. Didorongnya perlahan pintu pagar membuka.

Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara anjing menyalak yang semakin lama semakin kencang. Anjing yang adalah Justine, piaraan Ervina itu berlari cepat dan berdiri di belakang pintu rumah sambil terus menggonggong. Suara yang tak biasanya itu membuat majikannya bergegas menghampirinya.

"Justine, kenapa sayang?" Ervina yang saat itu masih dalam pakaian dasternya berjalan pelan ke ruang tamu dan menemukan anjingnya menyalak dengan galak. Dia mengenal sekali karakter piaraannya itu. Bila tindak tanduknya seperti itu, berarti Justine merasakan ada sesuatu yang tidak disukainya, sesuatu yang asing atau sesuatu yang aneh muncul di depannya.

Ervina baru saja tiba di ruang tamu dan membungkuk hendak menggendong Justine, saat sepasang matanya terbelalak saat membentur sosok yang sudah tak asing lagi baginya, sosok yang selama ini selalu dihindarinya, sosok yang membuatnya benci.

"Ron.. Roni..." Ervina tergagap melihat kehadiran rentenir itu di rumahnya. Justine yang digendongnya memang telah berhasil dihentikan gongongannya dengan menahan kedua bibir anjing kecil itu. Perasaannya yang gugup itu membuatnya lupa untuk mengunci pintu masuk agar Roni bisa terhalang di halama rumah. 'Da... Darimana Roni bisa tau tempat ini?'

"Hai, hai, gadis cantik," Roni berkata sambil menekan pegangan pintu dan membukanya. Di belakangnya salah satu anak buahnya menutup dan mengunci pintu pagar.

Ervina beringsut mundur. Keringat dingin mendadak mengucur dari kening dan tengkuknya. Dengan berat, dia mencoba menelan ludah yang tercekat di tenggorokannya.

Dengan langkah pelan, Roni melangkah masuk ke ruang tamu. Matanya jelalatan memandang Ervina dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya. Lidahnya menjulur membasahi bibirnya dan kedua tangannya menggosok-gosok seakan ingin mengusir kedinginan di tempat itu.

"Kita bertemu lagi. Apa kabar, Ervina-ku sayang?" Roni menjulurkan lengannya bermaksud menyentuh dagu Ervina. Namun Ervina menghindar dengan melangkah mundur beberapa tindak ke belakang.

"Mau apa kau kesini?!" Bentak Ervina setelah dia memberanikan dirinya dan berhasil mengatasi perasaan takutnya. "Darimana kau bisa tau tempat ini?"

"Darimana katamu?" Roni menjawab pertanyaan Ervina dengan bertanya balik, disambung dengan tertawanya yang menyebalkan itu. Ketiga anak buah di belakangnya juga ikut tertawa.

"Anak buah begitu banyak..." Roni berhenti sesaat. "Bila tak ada yang bisa berguna..."

"MATI AJA LU!!!" Lanjut Roni dengan suara teriakan. Disusul dengan suara tertawanya lagi.

Dari arah dapur, terdengar suara wanita yang semakin lama semakin jelas. Karena pemilik suara itu keluar dan ikut bergabung di ruang tamu.

"Vina, ada apa pagi-pagi sudah ribut begini? Siapa itu?" Suara wanita yang bukan lain adalah Mama Ervina bergegas keluar dari dalam rumah. Saat matanya melihat situasi yang sedang terjadi disana, terlebih mengenali sosok yang dibencinya itu, tak urung mata wanita itu terbelalak.

"Roni! Mau apa datang kesini?" Berbeda dengan putrinya, wanita ini spontan membentak Roni yang berada di dalam rumahnya tanpa diundang itu. "Masuk rumah orang seenaknya, pagi-pagi begini lagi. Vina!"

"Ya, Ma." Ervina berpindah dan bergabung dengan mamanya.

"Hubungi polisi! Bilang ada yang mau merampok rumah ini!" Kata wanita itu lagi. "Cepat!!"

"I...Iya, Ma..." Ervina membalikkan badannya dan bermaksud beranjak ke dalam untuk menelepon seperti yang diminta mamanya itu.

Mendengar ancaman seperti itu, Roni sepertinya termakan gertakan juga. Walaupun berbekal anak buah berbadan besar, mereka tetap telah melanggar peraturan dengan masuk ke rumah orang tanpa ijin si pemilik rumah sama sekali. Lelaki itu dengan sigap mengangkat tangannya dan berbicara tepat sebelum Ervina sempat melangkah masuk ke dalam.

"Eit, eit... Tunggu dulu, Nyonya... Tunggu dulu!" Roni mengangkat tangan kanannya. "Kita bisa menyelesaikan ini semua tanpa perlu yang Nyonya minta itu tadi."

"Apa maksudmu?" Bentak Mama Ervina dengan mata melotot dan kedua tangan yang berkacak pinggang.

"Maksud kedatangan kami kesini adalah menawarkan suatu kerjasama." Kata Roni sambil mengusap-usap tangannya.

"Kerjasama?" Mama Ervina mengernyitkan kedua alisnya.

"Ma, jangan dengarkan dia, Ma! Orang licik seperti dia banyak akal busuknya!" Ervina berbisik di samping orang tuanya itu. Kedua matanya tak lepas-lepasnya melirik Roni dan komplotannya itu.

"Ya, kerjasama." Sahut Roni. "Seperti yang kita semua ketahui..."

"Sok berpidato! Otak tak beda dengan koruptor kelas kakap!" Ervina memaki pelan.

"...hutang keluarga ini sudah ratusan juta Rupiah...." Roni memiringkan kepalanya dan tersenyum menyeringai. "Namun, semua itu bisa lunas, terhapus, bersih hingga bunga-bunganya!"

Roni terdiam, berharap ada tanggapan dari Ervina ataupun mamanya. Namun karena keduanya diam membisu, Roni kembali melanjutkan perkataannya.

"Dengan satu syarat!" Jari telunjuknya diacungkannya di depan kedua ibu dan anak itu.

Tak ada suara yang keluar dari mulut Ervina ataupun mamanya. Mungkin karena menimbang semua yang terjadi selama ini sudah sangat menyulitkan, wanita itu pun mengajukan pertanyaan mencari tahu syarat yang disebutkan Roni itu.

"Katakan!" Kata mama Ervina dengan suara lantang.

Roni terkekeh sebelum menjawab. Matanya melirik ke arah Ervina dan lalu dikedipkannya mata kanannya ke gadis itu.

"Ervina menjadi milik kami selamanya dan bekerja sebagai wanita penghibur." Dengan selesainya kalimatnya itu, Roni tertawa terbahak-bahak, diikuti ketiga anak buahnya.

Sementara Ervina dan Mamanya yang mendengar perkataan rentenir itu, terkejut bukan main, mata mereka terbelalak dan telinga mereka bagaikan disambar petir!!





BAGIAN 46
"Aduh, sudah jam segini masih belum ada kabar ya?" Mei Hwa yang sedang duduk di meja kerja di rumah konveksinya melirik jam dinding yang saat itu menunjukkan sekitar pukul sembilan pagi. "Padahal dia kan janjinya Jumat kemarin mau bayar."

"Ya, mungkin lagi banyak kerja kali, Mei Ce." Asiong yang sedang membantu packing di konveksinya itu menjawab.

"Bisa jadi..." Ujar Mei Hwa.

"Jumat kemarin waktu dihubungi, jawabannya bagaimana?"

"Yang telepon kan Achun." Kata Mei Hwa. Achun adalah panggilan rumah Chun Hwa, adik kandungnya yang juga adalah kakak Asiong.

"Terus, Ce bilang apa?"

"Achun bilang sih Ko Lim lagi keluar kota, jadi gak sempat tinggalin uang." Ujar Mei Hwa. "Diminta hari ini coba menghubungi mereka lagi."

"Ya, kalau begitu coba dihubungi lagi lah, Mei Ce."

"Ya deh, coba kuhubungi lagi." Mei Hwa mengangkat gagang telepon dan menekan nomor tertentu. Ditunggunya beberapa saat. Diulanginya lagi menghubungi nomor yang sama, namun tetap tak ada jawaban.

"Gak diangkat, Siong." Kata Mei Hwa sambil meletakkan gagang telepon.

"Setahu wa, biasanya mereka bayar dengan giro kan?"

"Iya." Jawab Mei Hwa. "Pernah juga dengan tunai. Kali ini tunai lagi."

"Sudah coba hubungi Ko Lim?" Asiong masih terus memberikan solusinya.

"Kalau itu Achun yang lebih tau nomornya..." Mei Hwa berdiri dari duduknya. "Siong, nitip bentar ya. Wa mau mandi dulu.."

Asiong menggangguk. "Yah, mandi yang wangi sana..."

Setelah menyelesaikan beberapa pengepakan pakaian, Asiong memanjat duduk di meja panjang yang biasa banyak ditemui di rumah konveksi.

"Ce kemana sih? Beli sarapan kok lama benar? Lapar nih, Ce, jangan lama-lama dong." Asiong bergumam sambil mengangkat dan melipat sebelah kakinya. Dari arah luar, terdengar suara pagar seperti dibuka.

"Nah, itu pasti Ce..." Mata Asiong terbuka lebar saat mendengar suara pintu dibuka itu. Saat itu seorang pegawainya baru masuk dari pintu pagar dan melewati Asiong yang sedang duduk melipat kakinya.

"Pagi, Siong." Pegawai yang baru datang itu menyapa Asiong. Semestinya adalah sesuatu yang tidak wajar bagi seorang pegawai memanggil nama kepada majikannya. Namun Asiong sendiri tidak mau terlalu dihormati dan dia merasa lebih percaya dengan dipanggil nama dan bukan dengan panggilan hormat seorang majikan.

"Ya, pagi." Jawab Asiong malas-malasan. 'Kirain Ce yang pulang. Gagal deh mau mengganjal perut."

Pegawai yang baru datang itu tidak lantas naik ke lantai dua dimana dia bekerja dengan mesin penjahit bersama dengan para penjahit lainnya. Ketika dia melihat Asiong bertampang cemberut, pegawai itu berhenti dan kembali membuka suara.

"Kenapa, Siong? Pagi-pagi begini udah cemberut aja tuh muka."

"Lapar nih. Mana Ce belum pulang lagi cari sarapan di luar." Asiong mengusap rambutnya yang gondrong itu.

"Ohh... gue tau solusinya..." Pegawai itu tampak merogoh-rogoh saku celana jeans-nya dan mengeluarkan sebungkus rokok yang hanya terisi beberapa batang rokok saja. "Sambil nunggu sarapan, ngerokok dulu aja..."

Tertarik dengan tawaran pegawainya itu, Asiong melirik sesaat ke arah bungkus rokok yang ditawarkan kepadanya. "Djie Sam Soe?"

Pegawai itu menggangguk.

"Ya sudahlah, daripada bengong..." Asiong mengambil sebatang rokok dari beberapa yang ada di bungkusan. Dipasangkannya ke bibirnya dan dinyalakannya dengan dibantu korek api dari pegawainya.

"Oke, trims..." Kata Asiong menarik rokok di bibirnya dengan jarinya. "Naik sana, nanti ditegur lagi..."

"Sip!" Pegawai itu mengacungkan ibu jarinya sebelum bergegas naik ke lantai atas.

Sebagai salah satu rokok kretek, Djie Sam Soe terkenal dengan keawetannya pada saat dinyalakan hingga asap terakhir. Ketika batangan rokok yang dihisapnya sudah memasuki setengah, pintu pagar terdengar seperti dibuka kembali.

"Mudah-mudahan saja sekali ini Ce yang pulang..." Kata Asiong pada dirinya sendiri. Ditunggunya dengan tenang sampai sosok yang membuka pintu pagar itu masuk. Sesuai perkiraannya, sosok yang masuk itu adalah Chun Hwa, kakaknya. Dimatikannya rokok yang masih tersisa setengah itu.

"Aduh, Ce, lama banget, perutku sudah bernyanyi nih..." Dengan mimik wajah yang dibuat memelas, Asiong menghampiri kakak kandungnya itu sambil memegang perutnya. "Lima menit lagi aku bisa pingsan..."

Chun Hwa meletakkan bungkusan-bungkusan plastik yang ditentengnya itu. "Sori, Siong, lama. Pasar rame banget, mana tadi wa lupa beli jagung lagi. Ya, mau gak mau wa balik lagi deh ke pasar. Cuma tadi seperti ada yang mencurigakan di dekat ujung gang gitu deh, apa hanya perasaan wa aja ya?"

Mendengar penjelasan kakaknya, Asiong berubah menjadi serius. "Maksudnya, Ce?"

"Tadi pas aku pulang dari pasar..." Chun Hwa memulai ceritanya.





BAGIAN 47
"Bagus. Pelan-pelan. Ya, berhenti disini." Kata Lukman kepada Faisal yang membawa mobil. Dengan telunjuknya, lelaki tangan kanan Roni itu menunjuk sebuah rumah yang tak jauh dari tempat mobil mereka berhenti.

"Yang berpagar putih, itu rumahnya." Kata Lukman.

"Kami sudah siap!" Terdengar jawaban dari anak buah yang dibawanya itu.

"Oh ho ho... Sabar... Sabar dulu..." Lukman mengangkat tangannya. "Jangan gegabah! Ini daerah berpenduduk banyak. Salah langkah, kita yang susah."

"Jadi kita harus bagaimana?" Tanya Niko.

"Kita tunggu waktu yang tepat untuk bergerak!" Lanjut Lukman. Mata liciknya bersinar saat itu. "Tunggu perintah saya! Mengerti semua?"

"Ya, kami mengerti!" Para anak buah Roni yang dibawa oleh Lukman saat itu adalah Faisal, Niko, Martin dan Si Jabrik yang memang memiliki rambut Jabrik.

Pada saat yang bersamaan, Chun Hwa baru pulang dari pasar dan mencarikan titipan sarapan untuk Asiong. Gadis keturunan itu berjalan kaki ke arah rumah konfeksi mereka yang masih berada sekitar tiga ratus meter jaraknya.

"Perasaan masih ada yang kurang deh ya? Apa itu? Kok bisa gak kepikiran sih?" Sambil berjalan, Chun Hwa bergumam kepada dirinya sendiri. "Asiong nitip sarapan, udah. Sayur untuk hari ini, bentar..."

"Udah juga. Apa lagi ya?" Chun Hwa masih terus mengingat-ingat apa yang telah dilupakannya itu. "Sayur untuk besok? Sayur asam. Ahhh... Iya... Aku ingat..."

"Jagung, aku belum beli jagungnya..." Gadis itu menghentikan langkahnya. "Iya bener, aku lupa beli jagung. Gimana mau buat sayur asam kalau jagungnya gak ada."

Memikir kesana, Chun Hwa membalikkan badannya. Namun pada saat dia membalikkan badannya, ujung matanya seperti menangkap sesuatu.

"Heh, tumben, sepagi ini ada mobil besar parkir." Chun Hwa mencoba melirik ke mobil yang menarik perhatiannya itu. "Ah, mungkin sedang menunggu seseorang kali. Sudahlah. Aku balik lagi aja ke pasar."

Pada saat Chun Hwa menghentikan langkahnya karena teringat belanjaannya yang tertinggal, perbuatannya itu secara tidak sengaja menarik perhatian Lukman yang memandangnya dari spion kemudi. Walaupun terpisahkan oleh jarak yang masih beratus meter, namun nalurinya sebagai seorang penjahat memberikan tanda bahwa gadis yang dilihatnya itu bukanlah sembarang gadis.

'Gadis itu,' Lukman berkata dalam hatinya. 'Kenapa aku seperti merasakan gadis itu penting dan tak boleh kulepaskan begitu saja?'

Chun Hwa telah menghilang dari pandangannya, berbalik dan berjalan kembali ke pasar. Namun rasa penasaran Lukman membuatnya bertanya-tanya.

'Apa dia ada hubungannya dengan anak brengsek itu?' Gumam Lukman lagi. Diusapnya dagunya itu. Sementara di belakangnya, tiga anak buahnya tampak mendengkur dalam tidur pada saat mereka menunggu perintah untuk bergerak.

"Faisal, kita pindah tempat." Lukman berkata kepada anak buah Roni yang membawa kendaraan itu. "Kita pindah ke tempat yang lebih nyaman."

"Baik, Bos." Walaupun masih terheran-heran dengan maksud sebenarnya Lukman, namun Faisal menuruti juga kemauan tangan kanan Roni itu.

Setelah berjalan beberapa lama, Lukman meminta Faisal menghentikan kendaraan di bawah beberapa pepohonan yang berjarak agak jauh dari tempat mereka parkir sebelumnya.

"Bagus! Tempat ini sangat strategis." Lukman menjentikkan jarinya. Suara terkekehnya terdengar. "Kehadiran kita tidak begitu terlihat orang lain, tapi kita tetap bisa mengawasi rumah itu."

'Bos Lukman, ternyata dirimu jauh lebih menakutkan dari Bos Roni.' Faisal berkata pada dirinya sendiri sambil mengusap tengkuknya yang meremang itu. 'Bila aku harus memilih untuk berurusan, aku lebih suka tidak memilihmu sebagai lawanku.'





BAGIAN 48
"Apa katamu? Wanita penghibur?" Mama Ervina tak dapat menyembunyikan emosinya ketika Roni menawar putri kesayangannya dengan pekerjaan yang haram dan menentang agama.

"Kurang ajar!" Wanita itu memekik keras. "Kami tidak serendah itu! Pergi kau dari sini!!"

Roni tertawa terkekeh. "Hehehe... Terserah." Roni mengangkat salah satu alis matanya. "Kalau begitu, berarti hutang kalian akan terus berbunga, berbunga dan berbunga..."

"Roni!" Ervina yang juga sudah marah dianggap rendah seperti itu oleh Roni, berkata dengan ketus. "Semua hutang Papa pasti akan kulunaskan!"

Roni semakin tertawa terkekeh. "Hehehe... Sudah dua tahun sejak orang tua itu meninggal. Berapa banyak yang bisa kalian bayar? Untuk bunganya saja tak tertutup!"

Ervina menghela nafas. Memang benar yang dikatakan Roni itu. Setelah dua tahun kepergian Papanya, hutang yang terbayar bukannya berkurang, namun semakin bertambah. Bunga hutang yang tak kenal ampun itu membuat mereka tak berkutik.

"Aku masih berbaik hati menawarkan kerjasama ini." Sambung Roni. "Padahal ayah sudah memintaku untuk menyita semua yang kalian miliki. Itu saja belum cukup untuk membayar hutang orang tua itu."

"Kalau bukan aku yang meminta langsung kepada ayah, kalian pikirlah..." Roni mengetuk keningnya dengan telunjuknya. "Apa kalian masih ada hari ini?"

'Dia benar. Sampai kapan aku harus bertahan dengan semua ini?' Bathin Ervina berkecamuk. 'Pekerjaanku sebagai SPG bukan pekerjaan tetap, bahkan terakhir aku harus putus kontrak. Aku tau hutang Papa akan lunas semuanya. Tapi dengan menjadi pelacur...'

Ervina menggigit bibir bawahnya mencoba untuk menahan tangisnya. Sementara Roni yang berdiri di depannya semakin lebar tertawanya. Matanya dengan liar menjalari tubuhnya.

Merasa risih dengan pandangan kotor rentenir itu, Ervina bersembunyi di belakang badan Mamanya. Mengetahui putrinya yang sudah mulai labil, wanita itu akhirnya berkata.

"Vina, mana hapemu? Biar Mama yang telepon sendiri."

Dengan tangan bergetar, Ervina merogoh saku celana dasternya. Setelah mendapatkan hapenya, diberikannya alat komunikasi itu kepadanya Mamanya.

"Hooo... Ervina, kau pasti mengganti nomor lagi kan supaya aku tak bisa menghubungimu?" Roni mencoba mengulur waktu. "Tapi karena sudah jodoh tak bisa kemana, akhirnya aku berjumpa juga denganmu..."

Saat itu dari arah luar pagar, terdengar suara seperti jejak langkah menapak dan suara seseorang memanggil nama Ervina. Suara itu memanggil beberapa kali dan semua yang berada di dalam rumah terdiam, tak ada yang bersuara.

Merasa mendapatkan angin segar, Ervina berteriak. "Ya, Pak. Tunggu bentar."

Gadis itu menatap mamanya. "Mama, ikut aku ke depan," Ditariknya lengan Mamanya itu dan keduanya mulai melangkah keluar. Sambil berjalan, ditatapnya Roni dan ketiga anak buahnya. Lelaki-lelaki berbadan besar itu bereaksi siaga dengan gerakan Ervina itu.

"Roni! Berani kalian macam-macam, aku tak segan-segan teriak!" Ervina menggertak dan memelototi keempat lelaki yang mengelilingi mereka itu. "Ini wilayah kami. Kami tinggal bilang maling dan kalian akan tau rasa!"

Roni yang merasa tidak berada dalam posisi menguntungkan itu mengangkat tangannya sebatas dadanya, meminta ketiga anak buahnya menahan gerakan masing-masing. Dengan hal itu, Ervina berhasil membawa Mamanya keluar dan menemui orang yang mencari mereka di pintu pagar itu. Justine masih dipeluknya hingga saat itu. Belaian memanjakan gadis itu membuat anjing kecil itu terlelap.

"Vina... Eh, Ibu." Seorang yang dalam seragam biru tua, yang adalah petugas keamanan lingkungan berada di atas motornya dengan seorang lelaki lain yang juga berseragam sama.

"Ada apa, Pak?" Dengan mencoba bersikap setenang mungkin, Ervina menghampiri mereka.

"Oh, gak apa-apa. Biasa, patroli rutin." Ujar petugas di depan, yang mengendarai motor.

"Disini aman-aman aja?" Tanya petugas kedua. Matanya melirik curiga ke wajah panik Ervina yang memang tak bisa disembunyikannya itu.

"Eeehhh..." Ervina tergagap menjawabnya. Namun Mamanya lebih sigap menanggapi.

"Betul, Bapak-Bapak. Kebetulan berada disini. Ada tamu tak dikenal yang masuk ke rumah kami."

Mata kedua petugas itu terbelalak. "Oh, begitu." Keduanya memutuskan untuk turun dari atas motor dan memeriksanya.

"Sial!! Kita pergi dari sini!" Roni yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan keempat orang di luar, mengumpat kesal.

Pada saat kedua petugas keamanan itu hendak masuk ke dalam pekarangan yang pagarnya telah dibukakan oleh Mama Ervina, pada saat itu pula Roni dan ketiga anak buahnya yang berbadan besar itu bergegas keluar dari dalam ruang tamu.

"Kami permisi dulu. Ternyata kami salah rumah." Roni berkata sambil berjalan keluar dan mendorong ketiga anak buahnya yang tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu.

"Maaf. Permisi." Dengan berpura-pura, Roni mengangguk saat melintas di depan kedua petugas itu yang memandang mereka dengan pandangan bertanya-tanya.

Empat pasang mata mengiringi kepergian Roni dan ketiga anak buahnya itu. Mereka masih menyaksikan kepergian lelaki-lelaki itu sampai menghilang dengan mobilnya.

"Terima kasih, Pak." Ujar Mama Ervina ketika komplotan Roni sudah pergi dari tempat itu.

"Sama-sama, Bu. Sudah kewajiban kami menjaga keamanan kompleks ini." Jawab salah seorang petugas ini.

"Tapi, Bapak-Bapak bisa tau dari mana?" Tanya Ervina yang saat itu sudah mulai tenang kembali.

"Seorang warga yang kebetulan melihat kehadiran mencurigakan mereka di rumah ini." Teman yang satunya menjawab.

"Siapa?" Tanya Ervina lagi. 'Kami berhutang budi padanya. Bila saja dia tidak melaporkan hal ini, entah bagaimana jadinya kami tadi.'

"Seorang wanita yang minta identitasnya dirahasiakan."

Ervina dan Mamanya hanya bisa berpandangan satu sama lain.





BAGIAN 49
"Tapi ketika aku pulang lagi, mobil itu udah tak ada disana lagi, Siong." Chun Hwa menutup ceritanya. "Bisa jadi itu hanya perasaanku saja."

Sayangnya, Chun Hwa tidak menyadari saat dia pulang ke rumahnya sekembalinya dari pasar untuk kedua kalinya, Lukman memperhatikan setiap gerak geriknya. Hingga dia masuk ke dalam rumah, Lukman masih terus memperhatikannya dan bahkan terlintas suatu pemikiran di kepalanya. "Apa hubungannya dengan anak brengsek itu? Apa mereka itu masih ada hubungan kakak adik?"

"Muuunguunn..." Jawab Asiong dengan mulut penuh makanan. Chun Hwa menatap adik kandungnya itu. Di tangan pemuda itu tergenggam sebungkus roti isi berukuran besar.

"Hey, Siong... Itu kan jatah wa..." Gadis itu memekik protes ketika melihat adiknya melahap roti yang dibeli untuknya sendiri.

Asiong tak menjawab. Dia menelan kunyahan di mulutnya terlebih dulu, menatap kakaknya dengan tatapan iseng. "Habisnya wa lapar menunggu Ce tak kunjung datang. Lagipula roti ini tak memiliki nama pemilik kan? Jadi wa bisa makan juga dong?"

"Huh!! Paling bisa!!" Chun Hwa memelototi Asiong yang meneruskan makannya dengan mulut dimonyong-monyongkan. "Ini jatahmu, nitip nasi uduk kan?"

"Buat Ce aja." Pemuda itu berjongkok di atas meja panjang di depan Chun Hwa. "Kita tukaran jatah. Sepertinya roti ini lebih mengenyangkan daripada sebungkus nasi uduk ini."

Diambilnya bungkusan nasi uduk pesanannya itu. Sesaat pemuda itu seperti sedang membanding-bandingkannya dengan roti bungkusan besar yang telah habis setengah dimakannya.

"Lebih besar roti ini... Hehehe..." Asiong terkekeh sambil melirik kakaknya. "Berarti lebih kenyang roti ini dong?"

"Nih..." Dikembalikannya sebungkus nasi uduk itu kepada kakaknya. "Ce, tahu tidak?"

"Apa? Pasti iseng lagi deh..." Chun Hwa tersenyum menyadari keisengan adiknya itu.

"Geer ya!!" Asiong melahap rotinya. "Wa cuma mau menasehati."

"Ya?" Chun Hwa menunggu kelanjutan perkataan Asiong.

Asiong menelan kunyahan rotinya, memasang ekspresi wajah serius dan melanjutkan. "Menurut penelitian ilmiah seorang ilmuwan di Jepang... Sarapan roti di pagi hari itu tidaklah bagus untuk seorang wanita..."

"Alasannya?" Walaupun Chun Hwa sudah mengetahui kekonyolan adiknya itu, namun dia cukup dibuat penasaran juga dengan perkataannya.

"Ternyata wa baru menyadari bahwa apa yang dikatakan ilmuwan itu benar." Asiong masih tetap berceramah, seakan tak memperdulikan kakaknya yang penasaran dengan jawabannya.

"Misalkan roti ini nih..." Asiong mengacungkan roti yang telah bersisa sedikit itu di depan Chun Hwa dan menggigitnya. Dikunyahnya sebentar dengan raut wajah yang nikmat. "Enak, manis..."

"Terus apa hubungannya?"

"Ya, karena manis," Jawab Asiong sekenanya. Diturunkannya kedua kakinya ke bawah meja.

"Manis?" Chun Hwa mengernyitkan alisnya.

"Ya, manis." Asiong melirik ke sepasang mata kakaknya itu. "Karena roti yang manis ini tidak boleh dimakan oleh wanita yang sudah manis. Rasanya jadi... tidak beres..."

"Ohh, begitu ya... Awas lho, Siong," Chun Hwa tertawa. "Bilang aja mau makan jatah roti wa, pake bilang menurut penelitian segala..."

"Yah, kalaupun Ce mau, juga sudah tak ada lagi. Habis, habis..." Asiong memutar-mutar kedua telapak tangannya di depan kakaknya itu.

"Huhh!!" Chun Hwa antara kesal dan ingin tertawa hanya bisa memelototi adiknya yang berlari ke arah dapur dan mengambil minum. Sementara Chun Hwa beranjak ke dapur dan menyimpan hasil belanjaannya. Beberapa menit kemudian, gadis itu duduk di belakang meja makan dan mulai menikmati sarapan paginya.

"Chun, apa sudah ada kabar dari Ko Lim?" Mei Hwa yang berjalan turun dari lantai dua setelah selesai mandi bertanya kepada Chun Hwa saat melihat adiknya telah pulang dari pasar.

"Eh, iya, Ce. Habis makan ini wa kesana." Jawab Chun Hwa. "Kami sudah janjian untuk ketemu kok."

"Oh, katanya masih di luar kota?" Asiong ikut nimbrung dalam pembicaraan itu.

"Ya, memang. Tapi dia udah nitip giro di rumahnya."

"Oh, bagus dong..." Mei Hwa tersenyum.

"Ya, Ko Lim kan pelanggan kita yang gak pernah telat bayar, Ce." Chun Hwa berdiri setelah sarapan paginya selesai. Dibuangnya bungkusan nasi ke tempat sampah sebelum dia bergabung dengan Asiong yang masih berdiri sambil menikmati minumnya.

"Mau wa antar ga? Wa lagi kosong nih..." Asiong menawarkan Chun Hwa.

"Gak deh, wa bisa pergi sendiri, Siong. Kamu bantu Mei Ce jaga rumah aja..." Jawab Chun Hwa sambil mereguk minumannya. "Wa mandi dulu, baru berangkat..."

"Oke deh..." Mendengar jawaban kakaknya, Asiong bergegas naik ke atas membantu pekerjaan para pegawai yang sekiranya bisa dibantu.

Pada saat yang bersamaan, tak jauh dari rumah Asiong...

"Bos, sampai kapan kita harus menunggu begini?" Terdengar salah seorang dari tiga anak buah Roni berkomentar dari bangku belakang. "Ngantuk nih. Bete."

"Sabar, tak lama lagi." Lukman menenangkan. "Kalau feelingku tidak meleset, tidak lama lagi kita akan beraksi."

Berbeda dengan Lukman yang percaya dengan insting jahatnya, keempat anak buah Roni sudah mulai gerah hanya menunggu dan menunggu selama sekitar satu jam lebih.

"Bos, kenapa sih gak kita langsung..." Faisal berkomentar. Namun terhenti saat Lukman mengangkat tangan kanannya.

"Psstt!! Kalian liat itu?" Lukman menunjuk seorang gadis yang berjalan setelah menutup pintu pagar dari rumah yang ditinggalinya.

Keempat anak buahnya memandang bersamaan ke arah yang ditunjuk Lukman. "Emangnya kenapa, Bos?"

"Kita ikuti dia! Sepertinya dia masih tinggal serumah dengan anak brengsek itu!
" Perintah Lukman.





BAGIAN 50
Alasan Chun Hwa memilih untuk pergi sendiri ke rumah Ko Lim untuk mengambil tagihan adalah karena hari itu masih pagi. Matahari belum tepat bersinar di atas kepala karena belumlah tepat hari dan terlebih hari itu cuaca cukup mendung, namun tidak hujan.

Jarak antara rumah Ko Lim dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Biasanya bila pergi sendiri, Chun Hwa bisa memilih alternatif naik bis ataupun bajaj. Berbeda dengan bajaj yang bisa langsung didapat, bila menaiki bis, maka diharuskan berjalan cukup jauh ke halte.

Namun ada jalan yang lebih cepat untuk menempuhnya dan jalan itu hanya bisa dilalui dengan berjalan dan kendaraan bermotor. Sebuah jalan tembus yang kemudian menghubungkan ke lapangan yang tak terpakai oleh warga sekitar. Lalu dengan menyebrangi sebuah jembatan besi hingga ke seberang jalan, halte sudah bisa dicapai.

Semua rute yang dilaluinya itu adalah rute yang jarang dilalui orang. Hanya sekali dua kali atau beberapa orang dalam waktu tertentu. Karena Chun Hwa ingin menghemat waktu tiba di halte seberang, maka jalan singkat itupun menjadi pilihannya.

Namun ternyata pilihan yang diambil Chun Hwa kali itu salah total. Andai saja gadis itu langsung memanggil bajaj dan menuju rumah Ko Lim, peristiwa ini takkan dialaminya.

Chun Hwa tidak mengetahui dirinya sedang diikuti oleh Lukman dan komplotannya dari belakang dengan menggunakan mobil. Ketika kakak kandung Asiong menghilang di sebuah gang kecil yang hanya bisa dilalui kendaraan bermotor, Lukman dan anak buahnya pun kehilangan buruannya.

"Kita menyebar!" Perintah Lukman. Matanya melirik ke belakang. "Jabrik, Martin, Niko. Kalian bertiga berpencar dan ikuti gadis itu!"

"Siap, Bos." Jawab ketiga lelaki berbadan besar itu serempak.

"Kalian kerjai dia!" Perintah Lukman. Matanya tampak bersinar-sinar. "Dia masih ada hubungan saudara dengan anak brengsek itu. Terserah mau kalian apakan dia!!"

"Siap, Bos!" Jawab mereka lagi.

"Lah, terus, Bos sendiri gimana?" Tanya Si Jabrik mendadak.

"Jangan banyak bacot!! Kerja!!" Bentak Lukman.

"Eh, iya...iya, Bos... Iya..." Si Jabrik tertawa cengengesan dibentak seperti itu.

Melihat ketiga anak buahnya masih belum bergerak sedikitpun, Lukman membentak mereka kembali. "Tunggu apa lagi? Turun kalian sekarang juga! Guoblokkk!!"

Seketika, Martin, Niko dan Si Jabrik langsung bergerak turun dari mobil dengan lincah. Begitu ketiganya telah turun, Lukman memerintahkan Faisal untuk langsung menjalankan mobilnya. Mobil itu langsung pergi meninggalkan ketiganya saat itu, terbengong-bengong dengan mulut melongo.

"Lho... Lho... Kok kita ditinggal?" Protes Niko.

"Nanti juga dijemput lah!" Tukas Martin. "Ayo, kita bergerak!"

"Tunggu, kita belum bagi tugas." Kata Si Jabrik.

"Oh iya, kepikiran juga lu." Kata Martin. "Jadi gimana?"

"Lu..." Si Jabrik menunjuk Martin. "Masuk ke gang yang cewek tadi masuk."

"Lu..." Ditunjukkan Niko. "Muter dan cegat dia dari depan."

"Lu sendiri?" Tanya Martin dan Niko bersamaan.

"Gue cegat dia dari tempat lain. Kalo dia keluar, langsung gue sergap. Hahahahaha...."

"Oke, sip!" Martin mengacungkan jempolnya, begitu pula dengan Niko.

Setelah itu ketiganya berpencar sesuai arah yang telah mereka bagi.

Sementara itu Chun Hwa masih berjalan di gang yang tadi dimasukinya. Martin yang mendapat arah yang sama berjalan dengan cepat, namun tidak menimbulkan kecurigaan sedikitpun.

Karena langkah Martin lebar dan panjang, tak sulit bagi dia untuk mengejar Chun Hwa. Lelaki berbadan besar yang pernah terputar ditendang oleh Buntara itu melambatkan langkahnya. Kini jarak antara Martin dengan Chun Hwa terpisah sekitar 15 meter.

Karena sepanjang jalan tak ada obyek lain yang bisa diperhatikan, maka sejauh mata memandang Martin hanya terpaku pada badan yang sedang berjalan di depannya. Setiap gerakan Chun Hwa tak lolos dari pandangannya. Tanpa sengaja, matanya memperhatikan lekuk liku tubuh gadis di hadapannya itu.

"Wah... Gak gue sangka, nih cewek mantap juga bodinya..." Martin meleletkan lidahnya saat memperhatikan lenggak lenggok Chun Hwa yang sedang berjalan itu.

Chun Hwa mengenakan T-shirt putih dengan celana sebatas lutut. Rambutnya dibiarkannya tergerai menutupi leher dan pundaknya. Sebagai gadis oriental, Chun Hwa tidak kalah menarik dengan gadis-gadis cantik pada umumnya.

"Kenapa perasaanku jadi gak enak ya? Mendadak jadi berdebar begini?" Kata Chun Hwa kepada dirinya sendiri. Tangannya bergerak mengelus tengkuknya sendiri yang dirasakannya seperti meremang bulu kuduknya.

"Merinding. Kenapa aku jadi merinding begini ya?? Apa ada jin sedang buang anak ya? Pagi-pagi begini?" Berpikir kesana, Chun Hwa pun mempercepat langkahnya.

"Sial, dia malah jalan lebih cepat..." Kata Martin. Lelaki itu juga mempercepat langkahnya.

Dengan jantung yang terus berdetak, Chun Hwa mulai berkeringat dingin.

"Aku kenapa? Sepertinya ada yang tidak beres?" Gadis itu mencoba melirik ke kiri kanannya. Tanpa sengaja bola matanya seperti menangkap sesuatu - tepatnya seseorang.

"Sepertinya ada yang mengikuti aku?" Kata Chun Hwa. "Pantas saja perasaan ini mendadak gelisah."

Matanya masih diam-diam melirik ke sekitarnya sambil berjalan. Saat itu tanpa sengaja ujung matanya melihat sekelebatan bayangan yang sepertinya sedang mengikuti setiap langkahnya.

"Orang itu, sepertinya dia mengikutiku?" Chun Hwa melirik ke arah Martin yang berjalan tak jauh dari belakangnya. "Untung tempat ini cukup ramai, kalau sepi matilah aku..."

Gadis itu masih sesekali melirik ke arah belakang. Langkahnya semakin dipercepat. Jaraknya dengan lapangan semakin dekat.

Sementara itu Niko yang mencoba memapaki dari arah depan, tidak langsung berjalan. Setelah mencari-cari sejenak, dengan mengira-ngira Niko berjalan menuju sebuah jalan berukuran sedang yang cukup panjang.

"Sial tuh Si Jabrik, seenaknya aja suruh orang cegat dari depan. Dia pikir gue tau tempat ini kali..." Niko membuang puntung rokok yang telah habis dihisapnya itu.

"Mana rokok habis lagi... Brengsek lah." Umpat lelaki itu dan barulah dia mulai berjalan. Dia masih belum jauh dari jalan besar tempat tadi dia turun itu.

Pada saat itu sebuah sepeda motor melintas dengan kecepatan kencang. Pengemudinya sengaja menggeber mesin gas sehingga menimbulkan suara keras yang memekakkan telinga. Sepeda motor itu bagaikan angin melintas melewati Niko yang melanjutkan langkahnya itu. Suara knalpotnya membuat lelaki itu tersentak dan berteriak kesal.

"Brengsek!!" Teriak Niko. "Hooiii!! Belum pernah mampus lu ye!! Setaaannn!!" Sambil melanjutkan langkahnya, Niko mengusap-usap telinganya yang penging oleh suara motor yang barusan melintas itu.

Pada saat yang hampir bersamaan, Chun Hwa juga memekik sambil menutup kedua telinganya ketika motor bersuara bising itu melintas lewat. Baru setelah motor tersebut jauh meninggalkannya, gadis itu kembali meneruskan langkahnya.

Tepat pada saat Chun Hwa melanjutkan jalannya, Niko secara tak sengaja melihat Martin yang ternyata telah membaca situasi. Dengan menunjuk Chun Hwa yang berjalan di depannya, Martin memberitahu Niko.

Sesaat Niko terbengong menangkap maksud Martin, namun setelah beberapa detik, lelaki itu menangkap maksud temannya. Dilihatnya Chun Hwa yang semakin berjalan mendekatinya itu.

Ketika jaraknya dengan jarak Chun Hwa hanya tersisa sejangkauan tangan, Niko menjulurkan tangannya bermaksud mencekal dan menangkap lengan gadis itu.





BAGIAN 51
"Aawww!!" Chun Hwa terkesiap dan melihat juluran tangan yang mendadak datang itu dengan mata terbelalak. Untungnya gadis itu masih sempat menghindar raihan tangan kasar itu.

Menyadari hal yang berbahaya akan menyusul, Chun Hwa segera berlari dari tempatnya berdiri, mencoba menghindari jangkauan tangan Niko yang kedua kalinya.

"Niko! Dia kabur!" Terdengar teriakan Martin dari belakang. Niko yang berbadan besar itu berbalik dan membutuhkan waktu sepersekian detik dan itu sudah cukup bagi Chun Hwa yang berbadan ramping itu berlari meninggalkan mereka.

"Kejar!" Terdengar Martin berteriak. Dia dan Niko segera berlari mengikuti arah lari Chun Hwa yang telah tiba di lapangan.

"Aku tidak tau ada apa denganku... kenapa sudah dua orang yang ingin menangkapku?" Chun Hwa berlari ke arah lapangan yang tak terpakai. Wajahnya tampak pucat saat itu. Diliriknya arah lapangan tak terpakai di depannya. "Mati aku! Ini tempat sepi..."

"Naaahhhh.... Rupanya kau disini!" Mendadak terdengar suara berat dan kasar dari samping kiri depannya. Chun Hwa terkejut dan menengok ke arah suara itu. Seorang lelaki yang juga berbadan besar dan berambut jabrik dengan anting bulat besar di kedua telinganya, menyengir menampakkan giginya yang tidak bisa dibilang putih.

"Aaaahhh.... tidakkk!!" Masih kaget dan terkejut, secara refleks Chun Hwa langsung memutar badannya ke kanan dan berlari secepatnya.

Sementara melihat mangsanya melarikan diri, Si Jabrik pun mulai berlari dan mengejarnya. Pada saat yang bersamaan, dari arah kanan terdengar suara Martin dan Niko yang berlari tak jauh di belakang Si Jabrik. Ketiga lelaki berbadan besar itu berlari bersama mengejar Chun Hwa yang telah jauh meninggalkan mereka.

"Ada apa ini semua?" Kata Chun Hwa panik sambil berlari. "Siapa mereka? Mau apa mereka?"

Walaupun bertubuh lebih kecil, namun Chun Hwa adalah seorang wanita. Praktis, untuk berlari, dia tak bisa mengimbangi lari ketiga lelaki itu yang pada saat itu telah menyebar ke tiga arah berbeda.

"Mau lari kemana kau, cantik?" Mendadak terdengar sebuah suara yang muncul tiba-tiba.

"AAWWWW!!!" Chun Hwa terpekik ketika jalan di depannya telah terhadang oleh salah seorang lelaki itu. Terbelalak matanya dalam keterkejutannya. Gadis itu membalikkan badannya, bermaksud untuk berlari lagi.

"Hehehe.... Aku disini..."

"AAAAWWWW!!" Kembali Chun Hwa terpekik. Di belakangnya telah berdiri Martin yang menghadangnya sambil tersenyum mengejek.

Depan dan belakang telah tertutup. Kepanikan semakin melanda Chun Hwa. Keringat dingin mengucur deras di keningnya. Harapan terakhirnya, berlari ke samping.

"Sabar, nona manis..." Dari samping terdengar lagi suara. "Kita main-main dulu."

"AAAWWWHHH!!!" Chun Hwa menghentikan langkahnya. Si Jabrik telah menghadangnya disana! Wajahnya terlihat sangat pucat pasi. Ekspresi ketakutan melingkupi wajah cantiknya. Nafasnya mulai terengah-engah.

"Kalian....Kalian siapa?" Dengan nafas tersengal-sengal, Chun Hwa mencoba bertanya mereka. Sementara ketiga lelaki itu semakin merapat dan mengurung gadis itu.

"Oohhh...." Kedua mata Chun Hwa semakin terbelalak. Nafasnya semakin tersengal-sengal. Ketakutan kian menguasai dirinya. Seumur hidupnya baru sekali itu dia mengalami situasi berbahaya seperti itu.

Kakinya yang tadi lincah dan masih bisa berlari menghindar, kini tak bisa lagi berbuat banyak seiring ketakutan yang semakin menghinggapi dirinya. Gadis itu hanya bisa mencoba menapak mundur, sedikit demi sedikit.

Chun Hwa mundur selangkah, ketiga lelaki itu maju dua langkah. Suara terkekeh terus menerus terdengar dari mulut mereka. Pandangan mereka menjadi liar seakan-akan ingin melahap tubuhnya saat itu juga. Pandangan dari atas kepala menuju ke badan, dan berakhir di ujung kaki. Sebagian dari mereka meleletkan lidah dan membasahi bibir. Sedangkan wajah ketiga lelaki itu sudah berubah.

"Hehehe... Mau kemana lagi kau, manis..."

"Menyerah saja. Kau takkan kami sakiti..."

Kedua mata Chun Hwa mulai berkaca-kaca. Wajahnya semakin pucat pasi. Untuk menelan ludah saja, gadis itu sudah sedemikian takutnya.

"Ja... Jangannn....." Chun Hwa berkata dengan bibir bergetar. Air matanya mulai menetes. "Jangannnnnnnn...."

"Percuma saja, cantik... Takkan ada yang menolongmu disini!"

Lapangan yang tak terurus itu memang jarang sekali ada yang melewatinya. Tentunya itu menjadi kesempatan emas bagi ketiga lelaki itu untuk melakukan niat jahatnya.

"AAAHHHH!!" Chun Hwa menjerit saat kakinya yang sedari tadi beringsut mundur, terantuk sebatang kayu dan jatuh terduduk di depan ketiga lelaki itu. Keadaan yang semakin tak menguntungkan untuknya.

Kekuatannya seperti sudah hilang karena ketakutan yang melanda dirinya. Kedua kakinya terasa berat untuk digerakkan. Jangankan untuk bangun berdiri, untuk beringsut mundur saja, Chun Hwa sudah tak sanggup saking ketakutannya.

"Adik lu udah bikin gigi gue copot tiga, LU TAU ITU?!" Bentak Niko dengan mata penuh amarah.

Chun Hwa menggeleng-geleng. Air matanya meleleh ke bibirnya. "Tidakkkkk... Jaangaaannn....."

"Gara-gara adik lu, rahang gue nihh..." Martin memegang rahangnya yang terkena tendangan Buntara. "TAU APA LU HAHH!!"

Air mata Chun Hwa semakin menetes. Kepalanya menggeleng-geleng.

"Janngaaaannnnnnnn....Ahhh..... Kumohon...." Chun Hwa memelas dalam tangisnya walaupun dia tahu hal itu takkan berarti apa-apa bagi ketiga lelaki yang sudah kesetanan itu.

Tangannya yang tadi masih menopang di belakang kini terasa lemas. Terlipat, lengannya kini hanya menopang sebatas siku. Kedua kakinya telah kesemutan akibat ketakutan. Chun Hwa tak tahu harus bagaimana lagi saat itu.

Sementara Si Jabrik, Niko dan Martin semakin mendekat...

"JAAANGGGAAANNNNNNNNNN........ OOOHHHHHH....."

Chun Hwa tak berani membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Tubuhnya terasa lumpuh. Dia hanya bisa pasrah. Pasrah dan menangis. Berharap keajaiban akan terjadi dan ada belas kasihan dari ketiga pria di depannya.
Namun, lagi-lagi Chun Hwa salah. Saat itu satu dari ketiga lelaki berbadan besar itu bergerak menerkamnya.
Chun Hwa menutup matanya yang telah banjir oleh air mata. "TIIDDAAAAKKKKKKKK!!!!!
"






BAGIAN 52
"Halo..." Asiong menjawab panggilan yang masuk ke handphone-nya pagi itu ketika dia sedang membantu pegawainya menyetrika baju hasil buatan konveksi mereka. Dimintanya seorang pegawai yang sedang membuang benang jahitan untuk melanjutkan setrikaannya.

"Alex, ini aku..." Terdengar suara seorang gadis dari saluran seberang.

"Oh, Vina... Bagaimana? Sudah sarapan belum?"

"Udah, udah, aku udah sarapan kok. Kamu udah?"

"Ya, sarapan dikit sih." Jawab Asiong. Pikirannya teringat waktu dia menggodai kakaknya yang jatah makanannya diambilnya.

"Lagi ngapain nih? Lagi banyak kerjaan ya?"

"Aku lagi menyetrika."

"Aku ganggu dong kalo gitu?"

"Oh, tidak... Tidak ganggu..."

"Bener nih gak ganggu?" Ervina terdengar tertawa kecil.

"Iya, benar. Sudah ada yang ganti posisiku." Jawab Asiong. "Apa ada sesuatu yang mau dibicarakan?"

Tak ada suara jawaban untuk sesaat.

"Halo, Vina. Kamu masih disana?" Tanya Asiong ketika tidak terdengar suata dari seberang.

"Lex..." Ervina berhenti sesaat. Asiong menunggu sampai kekasihnya melanjutkan lagi kata-katanya.

"Roni... Roni datang ke rumahku, Lex..." Kata Ervina setelah terdiam beberapa detik.

"Hahh?!!" Asiong terbelalak mendengar perkataan kekasihnya itu. "Kapan?"

"Tadi pagi. Sekitar satu jam yang lalu..."

"Kamu tidak-tidak apa?" Tanya Asiong. "Dimana kamu sekarang?"

"Aku di rumah, Lex. Aku gak apa-apa."

"Roni berbuat apa saja tadi?"

Ervina menceritakan awal kedatangan Roni sampai waktu dia pulang karena dua petugas keamanan yang sedang berpatroli datang ke rumahnya dan membuat komplotan Roni pergi.

"Sialan! Tapi untunglah kamu dan mamamu tidak apa-apa." Kata Asiong ketika Ervina telah selesai bercerita. "Tapi katamu Roni tidak tahu rumahmu yang sekarang?"

"Iya, Lex, aku juga bingung dia bisa tau dari mana."

"Rentenir, kurasa dia selalu punya cara untuk itu."

"Rumahku ini sudah tidak aman..." Kata Ervina. "Kalau dia bisa datang kesini. Besok dan seterusnya, dia pasti akan datang terus."

"Iya, benar juga ya." Asiong menggaruk kepalanya.

"Lex, bisa tolong aku carikan rumah? Kami mau pindah dari sini. Sudah tidak aman."

"Pindah?"

"Ya, kami mau pindah. Gak mau tinggal disini lagi." Jawab Ervina. "Untuk kesekian kalinya kami harus pindah laigi, Lex."

Asiong terdiam. Di kepalanya mulai terlintas berbagai pikiran.

"Lex..."

"Ya..." Suara panggilan Ervina menyadarkan Asiong dari lamunannya.

"Lex, kamu harus bantu aku cari rumah. Secepatnya kami ingin pindah."

"Aku ingin sekali. Tapi bagaimana?" Asiong berkata. "Aku kan anak rantau, tidak begitu kenal tempat ini."

"Kamu punya teman atau saudara yang bisa kamu mintain bantuan?"

"Temanku juga sama, anak rantau semua." Jawab Asiong. "Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi mungkin saudaraku ada yang bisa membantu..." Kata Asiong. 'Sepupuku...'

"Tolong ya, Lex. Kami benar harus pindah sebelum Roni datang lagi."

"Ya, akan kuusahakan..." Kata Asiong lagi.

"Thanks, Lex. I love you. Muacchh..."

"Muacchhhh... Aku mencintaimu..."

"Nanti aku telepon kamu lagi ya..."

"Oke..."

Percakapan terhenti. Asiong masih termenung sejenak sambil memutar handphone yang digenggamnya.

"Kucoba saja. Mungkin dia bisa tahu jawabannya..." Gumam Asiong. Jarinya kemudian menekan tombol di handphone-nya lalu didekatkannya selular itu ke telinganya.

"Halo, Bun. Asiong nih..." Ujar pemuda itu ketika nomor telepon yang ditujunya terhubung.






BAGIAN 53
"Wah, kasusnya kok jadi ribet gini sih, Siong?" Ujar Buntara ketika pemuda itu berkunjung ke rumah Asiong yang memintanya datang. Buntara adalah seorang supervisor sales di perusahaan tempatnya bekerja. Dengan posisinya itu, pemuda itu tidak memiliki kesulitan untuk melakukan suatu aktivitas di saat jam kerjanya. Terlebih dengan prestasi kerja yang baik, Buntara dipercaya dan diberikan kebebasan oleh direkturnya. Tak heran jika pemuda itu bisa berkunjung ke rumah Asiong pada saat diminta untuk datang saat itu juga.

"Itulah, Bun. Aku sendiri kan belum begitu kenal Jakarta. Tentunya aku kesulitan kalau mau mencari rumah dalam waktu singkat begini." Kata Asiong menghembuskan nafasnya. Dengan Buntara, dia duduk bersebelahan di meja panjang khas konveksi.

"Nih, merokok dulu. Bisa menghilangkan kejenuhan pikiran." Buntara mengeluarkan sebungkus rokok dari saku bajunya dan menawarkannya kepada Asiong.

Kekasih Ervina itu mengambil sebatang dari dalam bungkusan rokok dan menyalakannya dari korek api gas di meja milik Buntara.

"Bagaimana? Sudah ada solusi?" Tanya Asiong sambil menghembuskan asap rokoknya.

"Belum, Siong..." Buntara juga menghembuskan asap rokok yang dihisapnya.

"Biasanya otakmu encer. Akalmu kan banyak." Asiong menghisap rokoknya lagi sambil melirik sepupunya itu.

Buntara terdiam tak menanggapi Asiong. Dihisapnya rokoknya lagi lalu dibuangnya. Setarikan, dua tarikan, tiga tarikan.

"Naahhhh!!! Gue punya ide!!" Buntara tiba-tiba menjentikkan jarinya.

"Apa itu?" Asiong menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tapi gue mau tanya lu dulu buat memastikan..." Buntara membalas tatapan sepupunya.

"Apa tuh?"

"Sejauh ini, yang paling diincar Roni itu siapa?" Tanya Buntara. "Ervina atau keluarganya?"

"Ervina dong." Asiong menjawabnya tanpa ragu.

"Itu dia jawabannya!"

"Jawaban apanya? Apa yang kudapat dari jawaban Ervina itu?" Asiong menjentikkan abu rokoknya.

"Dalam suatu pemecahan masalah, bila suatu masalah sulit untuk diselesaikan, kenapa juga gak kita ambil pusat permasalahannya itu?" Kata Buntara.

"Maksudnya?" Asiong mengernyitkan keningnya tanda tak mengerti.

"Sesuatu disebut masalah karena ada pokok permasalahannya kan?"

"Iya," Asiong mengangguk.

"Dalam hal ini yang menjadi pusat dari permasalahan ini adalah Ervina yang menjadi incaran Roni kan?"

"Iya. Terus?"

"Pernah dengar pepatah ini?" Buntara menepuk pundak Asiong. "Lebih tepatnya sih siasat perang. Seharusnya lu yang suka berkelahi tau siasat ini."

"Apa??" Asiong tampak semakin bingung saja.

"Bila dalam menghadapi musuh yang begitu banyak jumlahnya dan mereka itu adalah anak buahnya." Buntara berkata. "Bila kita tidak mungkin menang menghadapi sekian banyak anak buah, yang kita..."

"Yang kita hajar adalah pimpinannya. Fokuskan ke kepalanya, maka anak buahnya akan mudah untuk dikalahkan." Asiong memotong penjelasan sepupunya.

"Tepat!" Buntara mengedipkan matanya.

"Aku mengerti sekarang." Ujar Asiong. Dimatikannya rokok yang dihisapnya ke dalam sebuah asbak. "Yang paling menjadi incaran Roni adalah Ervina, bukan keluarganya. Jadi kalau Ervina tidak ada di rumah itu, maka Roni juga tidak akan kesana. Benar begitu?"

"Tepat!" Buntara tersenyum.

"Bagaimana dengan mama dan adiknya?" Tanya Asiong lagi.

"Nah, kalau itu mungkin Ervina bisa tau jawabannya." Buntara mematikan rokoknya yang telah habis dihisapnya. "Coba rundingkan ini dengan Ervina."

"Ya, aku akan merundingkan dengannya." Jawab Asiong. "Tapi Ervina mau dipindahkan kemana?"

"Kesini." Kata Buntara tenang.

"Kesini?" Asiong mengernyitkan keningnya.

"Ya, rumah ini. Konveksi ini." Kata Buntara lagi.

Asiong tampak manggut-manggut mendengar penjelasan sepupunya itu.

"Cukup pindahkan Ervina kemari. Roni takkan membuat rusuh di rumahnya lagi." Kata Buntara. "Bilamana perlu, mama dan adiknya bisa diungsikan dulu sementara ke rumah paman atau bibinya kan?"

"Ervina punya paman atau bibi di Jakarta sini kan?" Tanya Buntara.

"Seingatku ada deh, dia pernah cerita padaku waktu itu..." Kata Asiong sambil mengusap-usap bibirnya.

Pada saat itu, kedua pemuda itu dikejutkan oleh suara pintu pagar yang dibuka dengan tidak wajar. Asiong segera melompat dari meja panjang yang didudukinya. Begitu juga dengan Buntara.

Belum sempat Asiong membuka pintu rumah untuk mencari tahu apa yang terjadi, di depan matanya terlihat kakaknya, Chun Hwa, melangkah masuk ke dalam dengan dipapah oleh seorang lelaki.

Lelaki yang sama sekali tak mereka kenal. Lelaki bertampang sangar dan berpakaian jaket hitam.

"Ceee!!" Asiong terbelalak melihat kakak kandung yang disayangnya itu melangkah dalam keadaan lemas. Kedua matanya setengah tertutup. Rambutnya acak-acakan. Lengan kanannya dipapah di pundak lelaki itu dan sebelah lengannya lagi terkulai lemas di samping badannya.






BAGIAN 54
Melihat kakak kandungnya yang lemas dipapah oleh seorang lelaki bertampang sangar dan tak dikenal membuat Asiong naik darah. Kedua tangannya segera mengepal dan pemuda itu merangsek maju ke arah lelaki yang berbadan tegap itu.

"Kurang ajar! Kau apakan kakakku, hah?!" Tanpa berpikir lagi, Asiong mengangkat lengan kanannya dan bersiap melayangkan sebuah pukulan ke arah lelaki itu.

"Hoho... Tahan dulu anak muda," Lelaki itu mengangkat sebelah tangannya dan menahan laju pukulan Asiong. Sementara Buntara terkejut melihat tindakan sepupunya yang tak diduganya sama sekali.

"Siong, tahan, Siong. Sabar, sabar..." Buntara segera maju menghadang di antara lelaki itu dan sepupunya. Tangannya menahan pukulan saudaranya sambil dengan badannya dia mendorong mundur sepupunya itu. "Jangan gegabah! Tahan!"

Asiong tidak banyak melawan ketika didorong mundur oleh Buntara. Pemuda itu menurunkan tangannya, namun sepasang matanya masih mengawasi setiap gerak gerik lelaki di depannya itu.

Setelah Asiong berhasil dihalau oleh Buntara, lelaki itu mendudukkan Chun Hwa di sofa kecil di ruang tamu.

"Istirahat dulu disini." Terdengar lelaki itu berkata. "Gimana keadaanmu?"

Chun Hwa yang sedari tadi menundukkan kepalanya, perlahan mengangkat kepalanya dan berkata dengan suara pelan. "Terima kasih. Aku gak apa-apa..."

"Ada apa ini ribut-ribut?" Dari dalam terdengar suara seorang wanita dan langkah kaki yang berjalan keluar.

"Astaga! Achun. Kau kenapa?" Wanita yang tak lain adalah Mei Hwa, kakak tertua Asiong terbelalak saat melihat keadaan adiknya yang berantakan duduk di sofa itu. Matanya melirik sekilas ke arah lelaki asing yang masih berdiri di samping adiknya itu. Sementara Asiong masih ditahan kedua tangannya oleh Buntara, tak jauh dari keduanya.

Mei Hwa langsung bergabung dengan mereka dan memilih duduk di samping Chun Hwa. Dipeluknya lengan adiknya itu. Tak lama berselang setelah dipeluk seperti itu, Chun Hwa menyandarkan kepalanya di pundak Mei Hwa dan air matanya menetes dari matanya.

"Maaf atas kelancangan saya." Lelaki yang membawa Chun Hwa berkata. "Saya bertemu..."

"Biar aku saja yang cerita, Pak..." Chun Hwa memotong perkataan lelaki itu. Diangkatnya kepalanya dari sandaran di bahu Mei Hwa. Dalam isak tangisnya, gadis keturunan itu mulai bercerita.

"Bapak ini sudah menolongku dari tiga lelaki yang ingin memperkosaku..." Kata Chun Hwa.

"Hah?!!" Semua yang berada di sana, terkecuali lelaki itu, terbelalak dan terkejut mendengar perkataan Chun Hwa.

"Ke... Kenapa bisa, Chun?" Mei Hwa mengelus pelan lengan adiknya. Hampir sama dengan adiknya, kedua matanya kini tampak berkaca-kaca.

Sambil terisak dalam tangisnya dan sesekali menyeka air matanya yang jatuh menetes, Chun Hwa memulai bercerita.

******

Saat satu dari ketiga lelaki berbadan besar itu bergerak menerkamnya, Chun Hwa hanya bisa menutup matanya. Gadis itu sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Air matanya mengalir bagaikan telah menyadari tragedi yang akan dialaminya.

Tepat saat Martin yang melompat menerkam Chun Hwa hendak mendarat di tubuh gadis itu, tiba-tiba entah apa yang terjadi, Chun Hwa merasakan lelaki itu tidak jadi menindih tubuhnya, namun mendarat di samping kanannya dengan suara berdebam keras.

"Manusia-manusia rendah! Kalian tak bedanya seperti binatang!" Terdengar sebuah suara bentakan.

"Kurang ajar! Siapa kau?" Sebuah suara lain menyusul tak lama sesudah itu.

Chun Hwa memberanikan diri membuka matanya. Dilihatnya di samping kirinya berdiri seorang lelaki bertubuh tegap dengan tampang sangar. Sementara di samping kanannya, lelaki yang tadinya hendak menerkamnya, kini tampak terkapar sambil memegangi perutnya dan mengerang kesakitan.

"Mati aku! Datang lagi satu orang!" Chun Hwa menelan ludah yang tercekat di tenggorokannya. Hatinya menjadi semakin khawatir. Namun kekhawatirannya ternyata tak beralasan.

"Awwww!!" Chun Hwa menjerit saat melihat dua lelaki yang mengincarnya telah bergerak dan melancarkan serangan ke arah lelaki yang baru datang itu.

Perkelahian pun tak terelakkan lagi. Lelaki yang pinggangnya ditendang oleh lelaki yang baru datang itu kini telah bangun dan membantu kedua temannya menyerang lelaki itu. Pertarungan tiga melawan satu.

Chun Hwa yang melihat semua itu mencoba memanfaatkan kesempatan. Dicobanya digerakkannya kakinya yang telah mati rasa kesemutan itu. Perlahan namun pasti, kedua kakinya berhasil digerakkannya.

"Aku harus kabur dari sini sebelum keadaan bertambah parah lagi..." Ujar gadis itu. Dengan kedua lengannya dia mencoba mengangkat badannya. Tapi tubuhnya kembali terjatuh, terlalu lemas untuk diajak bekerjasama.

"Ohhh... Lemas sekali..." Chun Hwa mengeluh. Dilihatnya perkelahian di depannya. Tampak ketiga lelaki berbadan besar itu mengeluh sambil memegang perut, badan dan wajahnya. Secara serempak, ketiganya berlari meninggalkan tempat itu.

Lelaki yang baru datang itu menepuk tangannya, tersenyum sesaat melihat ketiga bajingan itu lari terbirit-birit. Ketika dia teringat kepada Chun Hwa, dia menoleh dan melihat gadis itu.

"Mati aku! Badanku masih lemas begini... Ohh... Bagaimana ini...?" Chun Hwa mencoba beringsut mundur saat lelaki yang baru datang itu melangkah perlahan mendekatinya.

Tepat ketika Chun Hwa tak lagi sanggup menghindar, lelaki itu telah berdiri di sampingnya. Wajahnya tampak sangar dan berkulit hitam, di balik jaket hitam yang membungkus badannya. Sambil tersenyum menatap Chun Hwa yang ketakutan itu, lelaki itu menjulurkan tangannya.

"Jangan takut! Saya bukan orang jahat seperti mereka." Kata lelaki itu. Tangannya dimajukannya bermaksud membantu Chun Hwa untuk berdiri. "Hmm..."

Setelah menimbang sesaat, akhirnya Chun Hwa menerima uluran tangan lelaki itu. Dengan bantuannya, gadis itu akhirnya berhasil berdiri. Tubuhnya yang lemas ketakutan itu limbung, namun sempat terpegang oleh lelaki itu.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya lelaki itu kepada Chun Hwa sambil tersenyum. Matanya melihat wajah gadis yang ditolongnya. Kecantikan Chun Hwa tertutup oleh linangan air mata yang telah mulai mengering.

Chun Hwa menggeleng pelan. Gadis itu agak risih juga ketika lengannya harus disampirkan di pundak lelaki itu yang mengajaknya berjalan. Namun dia tak mempunyai pilihan lain karena tubuhnya sudah terlalu lemas.

******

"Jadi begitu ceritanya..." Kata Chun Hwa menutup ceritanya. "Bapak ini telah menolongku dari keberingasan tiga orang itu..."

"Terima kasih, Pak." Mei Hwa segera berdiri dan menyalami lelaki itu. "Jika tidak ada bapak..."

"Sudah," Lelaki itu mengangkat tangannya. "Hal yang sudah berlalu jangan diungkit lagi."

"Kalau begitu, maafkan saya, Pak, telah lancang memukul Bapak." Kata Asiong sambil menyalami lelaki itu lagi.

"Tak mengapa, anak muda." Lelaki itu tersenyum. Matanya mempelajari wajah Asiong sesaat. "Wah, kamu sepertinya sudah terbiasa berkelahi ya?"

"Lho, Bapak bisa tahu dari mana?" Asiong tercengang.

"Dari gerakanmu tadi." Ujar lelaki itu. "Sigap dan bertenaga. Lagipula wajahmu itu, wajah seseorang yang tidak bisa menerima kekalahan dengan mudah."

Asiong tersenyum kecil mendengar kata-kata itu.

"Oh ya, saya belum memperkenalkan diri." Kata lelaki itu lagi. "Nama saya Sutanto. Saya seorang ABRI."

"Wahhh..." Buntara tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Ternyata Bapak seorang ABRI ya. Pantas Bapak bisa mengalahkan tiga orang itu."

"Kebetulan saya sedang melintas di sekitar lapangan itu ketika saya mendengar suara." Kata Sutanto. "Saya seperti mendengar suara teriakan wanita beberapa kali. Karena penasaran, saya hentikan motor saya dan melihat apa yang sedang terjadi."

"Terima kasih sekali lagi telah menyelamatkan adik saya, Pak." Ujar Mei Hwa. Tangannya masih membelai rambut adiknya yang masih shock dengan kejadian yang baru dialaminya.

"Tidak apa-apa. Sudah tugas saya sebagai pembela kebenaran." Jawab Sutanto.

Pembicaraan masih berlanjut untuk beberapa lama. Pak Sutanto dipersilahkan duduk dan disajikan hidangan kecil sebagai ungkapan terima kasih. Disana, Asiong masih sempat meminta nomor Pak Sutanto yang bisa dihubungi, karena pemuda itu berpikir kasus dengan Roni takkan semudah itu diselesaikan dan mungkin suatu saat nanti dia akan membutuhkan bantuan.

Setelah Pak Sutanto pulang, Mei Hwa memapah Chun Hwa yang masih cukup shock itu ke kamar tidurnya. Sementara Asiong dan Buntara mulai menduga-duga siapa dalang di balik semua kejadian yang menimpa kakaknya itu.



BAGIAN 55
Dua hari setelah insiden yang menimpa Chun Hwa, Ervina pun pindah ke rumah konveksi Asiong. Mama dan Alvin memilih pindah ke rumah paman, adik mamanya, yang berlokasi di daerah Jakarta Selatan.

Semua perlengkapan dan miliknya dibawa serta oleh Ervina ke rumah kekasihnya itu, termasuk Justine, anjing piaraannya yang sangat disayanginya. Sebagian diangkut oleh mobil box milik konveksi keluarga Asiong, sebagian lagi dibawa bolak balik dengan motornya.

Karena barang yang diangkut tidak banyak, maka dua hari cukup untuk Ervina dan keluarganya melakukan pindahan. Untunglah selama dua hari itu, tak banyak barang yang dibawa dan terlebih tak ada gangguang dari Roni cs.

"Semoga dengan begini, aku bisa tenang dari teror Roni." Kata Ervina dalam perjalanannya ke rumah konveksi Asiong, di atas motor yang ditumpanginya. Motor Yamaha Mio miliknya dipinjamkannya kepada Alvin, dengan alasan, setelah tinggal serumah dengan Asiong, Ervina tidak perlu lagi bersusah payah mengendarai motornya sendiri bila hendak kemana-mana, karena kekasihnya sudah pasti akan mengantarnya setiap saat.

Justine digendongnya sepanjang perjalanan menuju rumah konveksi kekasihnya. Dibelainya kepala mungil piaraannya itu.

"Kita tinggal di rumah baru ya, Sayang." Ervina mencium pelan wajah Justine. "Serumah dengan Alex ya. Kamu jangan nakal ya kalo disana, nanti gak kukasih makan lho..."

GUUUKKK!!!

"Eh... iya, iya... segitu aja marah..." Ervina tersenyum. "Aku kan cuma bercanda, Sayang... Mmmm...."

Tak perlu memakan waktu lama, sepasang kekasih itu pun tiba di rumah konveksi Asiong. Setelah menghentikan kendaraan dan mematikan mesinnya, keduanya turun dari motor.

"Selamat datang di rumahku!" Kata Asiong sambil membuka pintu pagar agar Ervina bisa masuk.

"Terima kasih, Alex." Gadis itu mengedipkan matanya. "Sini, tasnya biar aku aja yang bawa."

Asiong yang menenteng tas ransel kekasihnya itu tersenyum. "Tak apa-apa. Biar aku saja. Yuk, masuk."

Saat Ervina melangkah masuk, bau benang dan kain langsung menghampiri hidungnya. Karena belum terbiasa dengan hawa seperti itu, gadis itu pun bangkis.

"Adduhhh.... Maaf, Lex..." Ujar Ervina sambil mengusap hidungnya.

"Tak apa-apa. Memang seperti inilah suasan konveksi itu." Kata Asiong tersenyum. "Bau kain, benang, bahkan keringat..."

"Keringat?" Ervina mengernyitkan keningnya.

"Hahaha... Ya, coba sewaktu-waktu kamu naik ke lantai atas dan nikmati suasananya..." Kata Asiong yang mulai berani menggoda Ervina sejak gadis itu resmi menjadi kekasihnya.

"Ogah ah..." Ervina tersenyum menanggapi lelucon kekasihnya.

Saat itu seorang wanita berjalan turun dari lantai atas dan berhenti saat melihat mereka berdua disana.

"Lho, Siong, ini orangnya?" Tanya wanita itu.

"Hehe..." Asiong menggaruk kepalanya. "Iya, Mei Ce, ini pa..pa..."

"Pacar..." Sebuah tepukan mampir di pundak Asiong membuat pemuda itu tersentak ke depan. "Gitu aja susah amat sih omongnya..."

"Ah, Cece..." Asiong merengut. Ternyata yang menepuk pundaknya dari belakang adalah Chun Hwa. Walaupun masih shock akibat insiden yang menimpanya dua hari yang lalu, namun kakak Asiong itu sudah mulai bisa tersenyum dan ceria kembali.

Ervina tertawa geli melihat kekasihnya kelimpungan digoda oleh kakaknya sendiri. Saat itu Chun Hwa berdiri tepat di depan adiknya itu. Matanya melirik ke arah Ervina.

"Wah, Siong, seleramu tinggi juga..." Kata Chun Hwa. "Hebat juga bisa mendapatkan gadis secantik ini jadi pacarmu..."

"Ceee...." Asiong memelototi kakaknya itu.

"Boleh kenalan?" Ervina menjulurkan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih menggendong Justine. "Aku Ervina."

"Chun Hwa, kakak Asiong..." Kata Chun Hwa. "Dan itu Mei Hwa, kakakku, di atas Asiong dua kali..."

"Hai, Cicik..." Ervina melambaikan tangannya kepada Mei Hwa yang menyambutnya dengan tersenyum.

Malam setelah insiden yang menimpa Chun Hwa, Asiong berdiskusi dengan kedua kakaknya tentang kemungkinan Ervina dipindahkan ke rumah konveksi mereka. Berhubung kamar yang tersedia tidak banyak, jadi Asiong mengalah dengan memberikan kamarnya kepada Ervina sedangkan dia sendiri bisa tidur di meja panjang.

"Wah, anjingmu lucu ya..." Kata Mei Hwa sambil melihat Justine yang dalam pelukan Ervina.

"Iya, Cik. Namanya Justine..."

"Hmm... Keren namanya. Lebih keren dari nama Asiong..." Kata Chun Hwa tertawa geli melirik adiknya yang masih melotot itu.

Ervina tertawa. "Cicik bisa aja..."

"Itu kamarmu. Kamu pakai kamar Asiong aja..." Kata Chun Hwa menunjuk kamar di sampingnya.

"Terus Alex tidur dimana?" Tanya Ervina.

"Alex?" Chun Hwa mengernyitkan keningnya.

Mei Hwa juga menengok saat mendengar nama itu. "Siapa Alex?"

"Hihi... Cicik, aku panggil Asiong dengan Alex..." Jawab Ervina sambil tertawa.

"Hah? Hahahahaha...." Chun Hwa yang pertama dulu meledak tertawanya saat menyadari perkataan Ervina. Mei Hwa menyusul tak lama kemudian.

"Aku tak biasa memanggil Asiong. Alex itu nama panggilanku khusus untuknya." Lanjut Ervina lagi.

"Tapi bagus juga nama Alex..." Kata Chun Hwa. "Cuma kalo buat Asiong sih... Gimana ya? Asiong, Alex, Asiong, Alex..." Chun Hwa meledak dalam tertawanya lagi.

"Aku mah gampang deh, laki-laki, mau tidur dimana juga bisa." Kata Asiong tak memperdulikan Chun Hwa yang menertawai dirinya itu.

"Terus pakaianmu gimana?"

"Ya, biarkan saja disini. Pakaianku numpang kamarmu saja..."

"Kamarmu dong, Lex, kok kamarku sih?" Kata Ervina tersenyum. "Kan aku tamu..."

"Yah, sekarang masih tamu. Nanti juga jadi istri kan?" Kata Chun Hwa lagi sambil berjalan menjauhi Asiong.

"Ce...." Asiong memelototi kakaknya itu. Kali ini gantian dia yang digoda oleh kakaknya.

Mei Hwa tersenyum melihat tingkah kedua adiknya itu.

"Selamat datang di rumah ini, Vina." Kata Mei Hwa sambil tersenyum. "Maaf kalau rumah ini berantakan. Beginilah kalau konveksi itu."

"Iya, gak apa-apa, Cik..." Ervina tersenyum. "Sudah dikasih tinggal saja aku sudah berterima kasih..."

"Anggap saja rumahmu sendiri ya..." Ujar Mei Hwa lagi.

"Terima kasih, Cik..." Ervina mengangguk.

Asiong meletakkan tas yang dipegangnya di kamarnya. "Aku mau mandi dulu ya..."

"Hmmm... Lex, terima kasih..." Gadis itu tersenyum dan mengedipkan matanya.



BAGIAN 56
"Kita gagal total, Ron." Kata Lukman kepada Roni. Mereka berdua sedang menikmati makan siang di sebuah warung kopi siang itu.

"Gara-gara anak brengsek itu lagi?" Tanya Roni.

"Bukan. Ini malah lebih parah." Sahut Lukman. "Martin, Niko dan Jabrik jungkir balik dihajar seorang lelaki. Dari gaya berkelahinya sepertinya dia itu seorang marinir."

"Wah, berabe kalau sudah begitu urusannya." Roni membanting rokok yang dihisapnya. "Kalau begitu sementara kita jangan bergerak dulu, tunggu keadaan reda, baru kita bergerak lagi."

"Kalau kubilang justru kita jangan berhenti. Kita tetap bergerak, hanya saja jangan terlalu mencolok kali ini." Kata Lukman.

"Maksudmu?"

"Jangan pakai mobil dulu, Ron." Kata Lukman. "Selama ini kita pakai mobil, keliatan mencolok dan kurang leluasa."

"Jadi kita pakai motor begitu?"

"Iya, Ron. Itu yang sempat terpikir olehku..." Sahut Lukman. Dihirupnya kopi yang dituangnya ke dalam piring kecil.

Roni terdiam sesaat.

"Hmmm.... Boleh juga usulmu!" Ditepuknya pundak Lukman. "Otak lu tuh ye... Itu yang buat gue salut sama lu..."

"Bisa aja, Ron..." Lukman tertawa. "Apa rencanamu kalau begitu?"

"Rencanaku ya?" Roni menyalakan sebatang rokok. "Pakai satu motor saja."

"Kemana?"

"Siapa yang belum pernah berurusan langsung dengan mereka?" Roni tak menjawab namun balik bertanya.

"Iksan dan Faisal, Ron. Selama ini mereka hanya membawa mobil saja kan?"

"Bagus, kalau begitu, mereka berdua saja. Kita lihat sejauh apa kerja mereka."

Lukman menjentikkan jarinya. "Boleh juga tuh, Ron."

"Karena Iksan dan Faisal belum pernah bertemu mereka, jadi mereka pasti takkan curiga kalau Iksan dan Faisal adalah orang kita juga..." Kata Roni.

Lukman tertawa. "Bagus, Ron. Gue setuju. Ide yang brilian!"

"Bagus kan? Gak percuma gue jadi bos..." Roni tertawa terbahak-bahak.

Kedua sekawan itu tertawa lebar sambil menyusun rencana berikutnya. Entah apa lagi yang akan mereka lakukan kepada Asiong dan Ervina.





BAGIAN 57
Mentari pagi baru saja menampakkan cahayanya yang berwarna kuning keemasan. Asiong membuka matanya yang terkena sinar matahari yang merangkak masuk melalui celah pintu saat dia tidur di meja panjang khusus konveksi.

"Ahh... Jam berapa nih?" Pemuda itu membuka matanya. Terasa berat masih menggelantung di kedua matanya itu. Diliriknya jam dinding yang tergantung di tembok.

"7:25. Astaga. Siang banget..." Asiong melompat bangun. Direntangkannya kedua lengannya sambil menguap lebar.

"Pagi, Alex." Terdengar sebuah suara memanggilnya. Siapa lagi yang memanggilnya dengan sebutan Alex bila bukan Ervina.

"Pagi, Vina." Asiong menjawab sambil mengusap matanya. Wangi sabun mandi menyeruak ke hidungnya saat itu.

"Wah, kamu sudah mandi?" Tanya pemuda itu saat melihat kekasihnya mengeringkan rambut pirangnya dengan handuk saat melangkah keluar dari kamar mandi.

"Sudah dong. Memangnya kamu, jam segini baru bangun..." Evina tersenyum sambil melangkah masuk ke kamarnya.

"Ahh, aku juga mau mandi." Asiong melangkah ke kamar mandi.

"Lex..."

"Ya?" Pemuda itu terhenti dan menengok ke arah Ervina yang memanggilnya.

"Lupa ya?" Ervina melemparkan handuk kepada kekasihnya itu. Handuk yang diambilnya dari kamarnya. "Kamu mau mandi tanpa handuk? Nih!"

"Oh iya, makasih..." Sambil menerima lemparan handuk, Asiong melangkah ke kamar mandi.

"Oh ya, Mei Ce kemana?" Tanya pemuda itu.

"Ke pasar. Cik Chun Hwa masih tidur. Dia tidak mau ke pasar dulu katanya. Masih belum berani."

"Oh, oke..." Asiong menutup pintu kamar mandi.

Selang dua puluh menit kemudian, Asiong pun keluar dari kamar mandi. Rasa segar di badannya dan mulutnya membuatnya merasa benar-benar bangun dari kantuknya.

"Justine..." Terdengar Ervina memanggil anjing piaraannya. "Justine sayang...."

Tepat pada saat Asiong hendak melangkah masuk ke kamarnya, Ervina melangkah keluar dan nyaris bertabrakan dengan pemuda itu.

"Lex, kamu liat Justine gak?" Tanya gadis itu. Raut wajahnya tampak ada guratan kecemasan.

Asiong menggeleng. "Memangnya dia tidak ada di rumah?"

"Aku udah cari dia kemana-mana, gak ketemu." Ervina tampak meringis. "Ini saat dia makan. Tapi aku gak liat dia sama sekali..."

"Ada di atas loteng gak?" Tanya Asiong. "Siapa tahu dia main di atas?"

"Gak... Aku udah liat ke atas kok..." Kata Ervina cemas. "Lagipula biasa aku panggil gitu juga dia langsung datang."

"Coba cari dulu..." Asiong masuk ke dalam kamarnya. "Nanti kubantu. Aku mau ganti baju dulu."

"Ya. Tolong ya." Ervina celingukan kembali. "Justine. Justine!!"

Setelah Asiong selesai mengganti pakaiannya dan ikut mencari, Justine tidak juga ditemui.

"Justine, dimana kamu?" Gumam Ervina pelan. "Perasaanku kok jadi gak enak ya?"

"Vin..." Kata Asiong membuat gadis itu menengok ke arahnya. "Pintu pagar terbuka lho. Mungkin pegawai yang masuk lupa menutupnya. Ada kemungkinan dia keluar tidak?"

"Ah, bisa jadi, Lex..." Gadis itu segera berlari ke arah pintu pagar. Namun belum tiba di pagar, gadis itu mengeluarkan suara pekikan.

"Aaahhhh!!!" Ervina terbelalak. Di depannya kini telah berdiri dua orang lelaki bertampang sangar, badan tampak cukup besar.

Pekikan gadis itu membuat Asiong menengok. Di depan pintu kini telah berdiri dua orang lelaki yang belum pernah ditemuinya sama sekali.

"Apa lagi ini? Masih pagi begini. Anak buah Roni lagi?" Gumam Asiong kepada dirinya sambil mendekati Ervina.

"Aahhhh.... Tidak!! Justine!!" Terdengar kekasihnya menjerit lagi. "Kembalikan Justine!"

"Ohhh... Jadi ini anjingmu ya, Vina..." Terdengar salah seorang dari lelaki itu berkata. "Kebetulan sekali..."

Perkataannya itu disambut suara tertawa temannya. Di bibirnya tergigit sebatang korek api yang telah patah. Tatapan matanya sangar. Sementara temannya yang berkata tadi memeluk Justine yang terkulai dalam pelukannya.

"Kembalikan Justine!!!" Ervina sudah berteriak dan dia merangsek maju ke depan.

"Tahan, Vin! Jangan dulu!" Asiong memegang lengan kekasihnya. Menahan agar gadis itu tidak maju. Ditatapnya kedua lelaki itu.

"Kalian orangnya Roni?" Tanya pemuda itu dengan suara tenang.

"Hahahaha... Hebat juga matamu, Bung!" Ujar lelaki yang mengunyah batang korek api, Faisal.

"Sudah kuduga!" Ujar Asiong. "Mau apa datang kesini?"

Suara teriakan Ervina membuat sebagian pegawai konveksi yang berada di lantai atas bergegas turun. Di tangan mereka, entah disengaja atau tidak, sebagian sedang memegang gunting dan pisau tajam pembuang benang. Tak kurang dari lima pegawai yang bertubuh cukup kekar berdiri di belakang Asiong dan Ervina saat itu.

Pemuda itu melirik sesaat ke belakang, mengetahui kedatangan para pegawainya. Ervina yang berdiri di sampingnya tampak terus menerus berdecak melihat Justine yang berada dalam pelukan Iksan. Anehnya, Justine seperti tak bergerak, menyalak pun tidak. Hanya terkulai dalam pelukan Iksan.

"Kembalikan Justine!" Asiong berkata dengan suara dalam. "Atau kalian benar-benar mau mencari perkara disini?"

Mendengar perkataan Asiong, kelima pegawainya maju berdiri lebih mendekat. Beberapa di antara mereka yang tadinya bertangan kosong, kini telah menggenggam alat konveksi seperti besi pencungkil, juga termasuk pisau dapur.

Faisal memberi tanda di pinggang Iksan. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan di depan mata mereka, jantung keduanya berdetak juga saat itu.

"San, gila aja kalo sampai berhadapan dengan mereka. Lu gak liat senjata di tangan mereka?" Bisik Faisal kepada Iksan.

"Gue tau." Balas Iksan. Lalu dia menatap Asiong.

"Sekali lagi saya peringatkan! Kembalikan Justine!! Atau kami terpaksa bertindak!" Kata Asiong. Suaranya terdengar menggeram.

"Oke. Oke." Iksan mengangkat Justine yang digendongnya. Dengannya dia melempar anjing kecil itu. "Kukembalikan anjing ini!!"

Ervina bergerak cepat menangkap Justine yang dilempar itu. Kedua lengannya dengan tepat menangkap anjing piaraannya itu.

"Justine..." Gadis itu segera memeriksa keadaan anjingnya itu. Tak bergerak, tak bersuara. Kedua matanya tertutup.

"Justine. Kamu kenapa, Sayang?" Ervina menggoyang-goyangkan anjingnya. Tak ada reaksi. Ekornya pun tidak bergerak.

Iksan dan Faisal tertawa.

Ervina menatap kedua anak buah Roni itu. "Kalian apakan Justine?"

Iksan dan Faisal masih tertawa. Asiong yang sudah mulai naik darah melihat semua itu mulai melangkah maju.

"Biadab!!" Sergah Asiong dengan kedua tangan terkepal.

"Wow... Tahan, Man. Tahan!" Iksan menyurut mundur. Didorongnya Faisal ke belakang.

Bersamaan dengan majunya Asiong, para pegawai konveksi juga ikut maju. Melihat hal itu, Iksan dan Faisal berbalik badan dan meninggalkan tempat itu.

Beberapa pegawai langsung berlari ke arah pintu pagar memastikan keduanya tidak datang kembali.

"Bagaimana, Justine?" Tanya Asiong saat membalikkan badan menatap kekasihnya. Justine terlihat lemah dalam pondongan gadis itu.

Setetes air mata menitik turun. Asiong terhenyak. Dia melihat ke wajah Ervina dan dilihatnya kekasihnya itu menangis.

"Alex.... Justine.... Justine kenapa?" Bibir gadis itu sudah terlipat. Tangisnya sesaat lagi akan meledak.

Asiong memeriksa keadaan anjing kecil itu. Tak ada gerakan sama sekali. Kedua matanya tertutup. Digoyangpun tak ada reaksi. Sementara nadinya tampak berdetak pelan.

"Astaga!" Asiong terkesiap. Jantungnya berdegup kencang.

"Alex, aku mencintai Justine. Aku tidak mau dia pergi." Ervina sudah menangis melihat keadaan anjingnya yang tidak bergerak itu. "Justine..."



BAGIAN 58
"Aku sayang Justine. Dia tidak boleh pergi." Melihat keadaan anjingnya yang tak bergerak itu, tangis Ervina kian menjadi. "Justine, bangun Sayang... Ini aku... "

Asiong berdecak kesal melihat situasi yang terjadi di depan matanya itu. Sementara beberapa pegawainya tampak berdiri di dekatnya dan ikut melihat keadaan Justine. Mereka pun tampak larut dalam suasana duka itu.

"Vina..." Asiong memegang kedua pundak kekasihnya itu. "Jangan diam saja! Kita harus menolong Justine secepatnya..."

"Caranya?" Ervina bertanya dengan bibir terlipat. "Justine diam begini, sedikitpun tak bergerak, gimana mau menolongnya?"

"Justine pingsan. Aku menduga dia keracunan..." Kata Asiong. "Atau diracun..."

"Alex," Ervina menyeka air mata yang menetes di pipinya. "Bawa aku ke dokter hewan kenalanku. Aku tidak mau Justine kenapa-kenapa."

"Oke, baik. Kamu tunggu disini." Asiong segera berlari ke dapur dan sesaat kemudian dia keluar dengan jaket hitam membungkus badannya dan dua buah helm. Salah satunya diserahkan kepada kekasihnya.

"Kalian tolong jaga rumah ya." Pemuda itu berpesan kepada beberapa pegawainya yang masih berada di dekatnya itu.

"Lex, apa tidak perlu pertolongan pertama dulu?" Ervina yang masih berdiri tak bergeming itu bertanya. "Aku tidak mau Justine kenapa-kenapa."

"Vina..." Asiong berkata dengan suara pelan dan menghibur. "Justine sudah pingsan. Andai dia masih bisa bergerak, aku tentu sudah memberikan pertolongan pertama padanya. Tapi dia tidak bergerak sedikitpun."

"Sebaiknya kita segera ke dokter. Lebih cepat lebih baik." Sambung pemuda itu lagi.

Ervina tak ada pilihan lain. Dia mengambil helm yang diberikan kepadanya dan segera memakainya. Sementara dengan kedua tangan yang masih memeluk Justine, gadis itu keluar dan menunggu kekasihnya mengeluarkan motornya.

"Ayo naik." Kata Asiong setelah menyalakan mesin motornya. "Kamu pegang Justine yang erat ya."

Gadis itu mengangguk dan segera memanjat duduk di jok belakang motor yang dinaiki Asiong. Setelah mempersiapkan dirinya, gadis itu memberi aba-aba kepada kekasihnya untuk menjalankan motornya.

Pintu pagar ditutup oleh pegawai konveksi Asiong sehingga sepasang kekasih itu tidak lagi perlu membuang waktunya dan bisa bergerak lebih cepat menuju dokter hewan kenalan Ervina.

Asiong membawa motornya dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar waktu menyelamatkan Justine. Sementara Ervina dengan sebelah lengan memegang jaket kekasihnya, sebelah lengannya lagi menggendong anjing kesayangannya dalam pelukannya. Suatu posisi yang tidaklah mudah untuk dilakukan.

Motor yang dibawa Asiong sudah melesat meninggalkan rumah konveksinya, menuju ke sebuah jalan besar yang menghubungkan jalan raya. Sementara itu tak jauh dari tempat sepasang kekasih itu berada...

"Itu mereka!" Terdengar salah seorang berkata. Sama seperti Asiong, keduanya juga duduk di atas sebuah sepeda motor.

"Yakin itu mereka, San?" Temannya yang duduk di depan kemudi motor bertanya.

"Faisal, gue kenal motor anak itu. Dan gue udah pernah liat mereka berdua boncengan!" Jawab lelaki yang duduk di belakang, yang bukan lain adalah Iksan.

"Ayo, kita ikuti mereka!" Sambung Iksan sambil melemparkan puntung rokok yang belum habis dihisapnya. Helmnya dipasang di kepalanya.

"Apa kata lu lah, San." Faisal mengikuti temannya memasang helm dan menyalakan mesin motor. Motor yang dinaiki keduanya tak kalah menterengnya dengan motor Asiong yang Yamaha Scorpio. Suzuki Thunder, sebuah motor berkopling dan berukuran besar.

"Oke. Kita beraksi!" Faisal menjalankan motor Suzuki Thundernya mengikuti Asiong dan Ervina yang sudah berada jauh di depan mereka.
Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau


BAGIAN 59
"Apa kata gue, Sal. Mereka pasti ke dokter hewan." Terdengar Iksan berkata. "Vina mana mau anjingnya mati begitu saja kan?"

"Hebat juga lu bisa kepikiran sampai kesana." Ujar Faisal sambil menggas motornya.

"Kalo gue jadi Vina, gue juga akan berbuat gitu."

"Jadi, kita ikutin mereka?" Tanya Faisal.

"Jangan. Jangan cuma ikuti aja." Jawab Iksan. "Mereka pasti lagi memburu waktu ke dokter hewan menolong anjingnya. Kita ganggu perjalanan mereka. Dengan begitu waktu mereka akan terbuang dan anjingnya..."

Iksan tak melanjutkan perkataannya dan sebagai gantinya dia tertawa puas.

"Oke. Serahkan pada gue!" Faisal memperkencang gas motornya membuat motornya melaju lebih cepat lagi mengejar ketinggalan mereka dengan sepasang kekasih di depan mereka.

Sementara itu, karena perhatian Asiong sepenuhnya tercurah kepada konsentrasi membawa kendaraannya dan Ervina sendiri juga perhatiannya teralihkan ke Justine yang sedang sekarat, sepasang kekasih itu tidak menyadari kalau kedua anak buah Roni yang menyatroni mereka tadi itu mengikuti mereka dari belakang.

Dengan menggeber motornya dalam kecepatan tinggi, jarak antara motor Yamaha Scorpio yang dikendarai Asiong dengan Suzuki Thunder yang dibawa Faisal kini hanya tinggal beberapa meter.

Lalu lintas di jalan raya itu cukup ramai, namun Faisal tak mengalami kesulitan untuk memperpendek jaraknya dengan Asiong. Dan ketika jarak mereka tersisa sekitar lima belas meter, Faisal menggeber motornya.

M0tor Suzuki Faisal berhasil mengambil posisi tepat kiri di samping motor Yamaha yang dibawa Asiong. Pemuda itu melirik sekilas, namun tak mengira kalau mereka adalah anak buah Roni. Pemuda itu menyangka mereka hanyalah pemakai jalan raya sama seperti yang lainnya.

"Naahhhh!!!" Tiba-tiba sebuah tangan terjulur dari arah samping kanan mencoba menggapai Ervina yang sedang duduk di belakang.

"Ahhhh!!!" Ervina terkejut mendapatkan gerakan yang tiba-tiba itu. Namun belum sempat gadis itu menyadarinya, tangan itu kembali terjulur.

"Naaaahhhhh!!!" Disusul dengan suara tertawa dari orang yang mencoba menggapainya, Ervina berteriak sambil mencoba menghindar dengan menggerakkan pinggangnya ke kiri.

"Hey!" Gerakan tiba-tiba dari Ervina itu membuat Asiong ikut tergoyang keseimbangannya. Motornya meliuk-liuk sesaat.

"Vina, kenapa?" Pemuda itu berteriak setelah berhasil menjaga keseimbangannya. Dirasakannya pinggangnya semakin erat dipeluk oleh kekasihnya dari belakang.

"Tidakkkk!!! Lexxx!!!" Terdengar Ervina menjerit dari belakang. Kembali gadis itu menghindar dengan menggoyangkan pinggangnya ke kiri. Akibatnya kembali Asiong harus menjaga keseimbangan motor yang dikendarainya.

"Lexxx!! Mereka... Mereka disini!! Jangannnn!!!" Ervina berteriak sambil terus menghindari jangkauan tangan Iksan yang mencoba menggapainya. Gerakannya itu membuat kekasihnya ikut oleng dan menjaga keseimbangannya dari depan.

Asiong dengan kesal melirik ke samping kanannya. Dengan ujung matanya, pemuda itu mengenali pengemudi motor tersebut. 'Anak buah Roni. Pantas saja Vina histeris!' Gumam pemuda itu.

Tanpa memperdulikan mereka, Asiong menggeber motornya, bermaksud melewati kedua anak buah Roni. Di satu pihak, begitu melihat Asiong mempercepat laju motornya, Faisal juga tak mau ketinggalan, ikut menggas dan menggeber motornya.

"Vina..." Asiong berteriak saat mereka berada di jarak yang agak jauh terhindar sementara dari kejaran anak buah Roni. "Ini sudah keterlaluan! Tak kusangka mereka akan menghadang kita seperti ini."

"Begitupun aku!!! Aaahhhh!!!" Gadis kekasih Asiong menjerit lagi tatkala Iksan mencoba menarik lengannya dengan jangkauan tangannya.

Jeritan itu membuat Asiong mengencangkan gas motornya dan melaju lebih cepat meninggalkan anak buah Roni.

"Justine, Lex... Aku khawatir Justine..." Teriak Ervina.

"Aku tahu, Vin..." Asiong menggas motornya, namun Faisal juga tak mau ketinggalan melakukan hal yang sama.

Ervina dan Asiong berada dalam posisi yang serba salah. Jika Asiong membawa motornya lebih kencang lagi, bisa ada kemungkinan Ervina akan jatuh atau terlempar dari atas motor. Terlebih Ervina, bila dia tidak memeluk pinggang kekasihnya menghindari teror anak buah Roni, dia akan terjungkal. Namun bila dia memilih memeluk pinggang kekasihnya, Justine yang berada dalam pelukannya akan tertekan dan kemungkinan itu akan membuat Justine justru semakin parah.
Keduanya bagaikan dihadapkan kepada buah simalakama.

"Lex, di depan ada gang. Kita belok saja!" Gadis itu berkata.

Asiong mengangguk pelan dan mengarahkan kendaraannya ke gang di sebelah kiri. Tak jauh dari mereka, anak buah Roni masih menguntit dari belakang.

"Sal, mereka mau masuk gang tuh!" Terdengar Iksan berkata dari belakang Faisal.

"Tenang, San! Soal motor serahin ke gue!" Faisal menggas motornya melewati Asiong dan Ervina.

Asiong tersentak saat melihat motor anak buah Roni melewati mereka, tepat ketika mereka hendak berbelok di depan gang. Pemuda itu lebih tersentak lagi ketika Faisal yang telah berada di depannya, dengan tiba-tiba membanting setir motornya, menyelip dan menghadang tepat di depan motornya yang sedang melaju! Tepat berhenti dan menghadang di depannya!!



BAGIAN 60
"Lexx!!!" Ervina menjerit saat kekasihnya itu mengerem motornya dengan mendadak dan terpaksa untuk menghindari tabrakan dengan motor Faisal yang berhenti dan menyalip mendadak itu.

"Ughhh!!" Gadis itu mengeluh saat motor Asiong mengerem dan berhenti mendadak. Badannya menghantam punggung kekasihnya. Akibatnya Justine yang berada dalam pelukannya tertekan antara badannya dan punggung kekasihnya dalam benturan itu!

"Justine...Aduh, Justine..." Air bening kembali mengumpul di pelupuk mata gadis itu. Dibetulkannya posisi duduknya dari benturan itu. Dielus-elusnya kepala anjing kesayangannya itu. Sementara dari depan terdengar Asiong memaki.

"Brengsek! Kurang ajar!" Asiong membanting setir ke kanan dan mulai menjalankan motornya kembali. Mereka gagal masuk ke dalam gang!

"Vina. Peluk aku!" Terdengar Asiong berkata. "Ini sudah keterlaluan! Tidak bisa dibiarkan!"

"Justine bagaimana?" Suara Ervina terdengar bergetar dari belakang. Rupanya tangis gadis itu kembali keluar setelah terhenti beberapa saat lamanya.

"Berikan Justine padaku!" Kata Asiong lagi sambil berusaha mengendarai motornya.

"Lex... Tapi..."

"Berikan saja Justine padaku!" Pemuda itu berteriak. "Cepat! Tak ada waktu lagi!"

Walaupun masih bingung dengan keputusan kekasihnya, Ervina menyerahkan anjing kesayangannya juga kepada Asiong. Namun sepertinya hal itu tak semudah itu dilakukan. Karena anak buah Roni telah tiba di samping mereka kembali pada saat yang bersamaan.

"Lex!! Mereka disamping!" Ervina berteriak dan mengurungkan niatnya memberikan Justine kepada Asiong yang berada di depannya. Dia takut pada saat Justine diserahkan kepada Asiong, justru Justine yang direbut oleh anak buah Roni.

"Aku tahu!!" Dari arah depan Asiong berteriak. Tangannya memperlambat laju motornya sesaat. 'Akan kubereskan dulu dua cecunguk sial ini!' Katanya dalam hati.

Siasat Asiong memperlambat laju motornya untuk memberikan kesempatan motor lawan lebih maju ke depan, berhasil. Saat motor yang dikendarai Faisal berada tepat di samping kirinya, sambil memperkirakan jarak dengan motor di sampingnya, Asiong mendekatkan motornya dengan motor lawannya.

Faisal dan Iksan merasa mendapat angin dengan mendekatnya motor Asiong ke arah mereka. Keduanya tersenyum. Iksan kembali menjulurkan lengannya. "Dasar bego! Semakin dekat saja kesini! Ayo!!"

Sambil menjaga keseimbangannya dan jarak jangkauan, Asiong berteriak. "Vina, pegangan!"

Ervina dengan sigap memeluk erat pinggang kekasihnya di tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memeluk Justine. Bersamaan dengan teriakan dan pelukan itu, Asiong menjulurkan kaki kirinya. Di saat yang bersamaan, Iksan mulai menjulurkan lengannya.

Kaki melawan tangan! Hanya tinggal adu siapa yang lebih cepat dan lebih dulu sampai!

Dengan gerakan secepat kilat, Asiong mendahului gerakan jangkauan lengan Iksan dan kakinya menendang paha kanan Faisal yang tidak terjaga itu.

DUAAKKK!!!

Tendangan Asiong di paha Faisal mendarat dengan tepat! Faisal yang tak menduga akan serangan tiba-tiba itu, sontak terkejut dan motor yang dikendarainya pun oleng!

"Heiii...." Terdengar Iksan dan Faisal yang berteriak panik saat motor mereka oleng. Dengan susah payah keduanya mencoba menyeimbangkan motor yang terguncang ke kiri kanan itu.

Sementara, Asiong sendiri bukannya tidak oleng dengan melakukan tendangan seperti itu. Hanya saja keadaannya tidak separah Iksan dan Faisal yang sampai terhenti motornya. Waktu itu sudah cukup bagi Asiong untuk melaju masuk ke sebuah gang di samping mereka.

Setelah agak jauh di dalam gang, Asiong menghentikan motornya. Dibalikkannya badannya ke belakang menghadap kekasihnya yang sedang menunduk membelai anjing kesayangannya.

"Berikan Justine padaku! Aku khawatir kita akan dibuntuti lagi." Kata Asiong kepada Ervina.

"Maksudnya gimana, Lex?" Gadis itu memandang kekasihnya dengan mata sembab akibat menangis.

"Aku yakin mereka masih akan mengejar kita. Aksiku tadi hanya bisa menghentikan mereka sesaat, nanti mereka pasti mengejar kita lagi." Lanjut Asiong. "Kalau itu terjadi lagi, jadi kita sudah menantisipasinya."

"Caranya?"

"Kamu peluk aku selama perjalanan karena waktu kita juga tidak banyak. Terlebih aku musti menghindar dari mereka. Jadi daripada kamu jatuh nantinya, lebih baik kamu pelukan denganku." Kata Asiong.

"Terus Justine? Dia kan..."

"Serahkan padaku. Aku akan menjaganya di dalam jaketku ini." Sambung Asiong memotong kata-kata Ervina.

Ervina terdiam sesaat, seperti sedang menimbang perkataan kekasihnya itu. Namun, gadis itu tak perlu berpikir lama. Keselamatan Justine lebih penting daripada berdebat seperti itu. Akhirnya gadis itu menyerahkan anjing kesayangannya yang tak bergerak itu kepada Asiong.

"Lex, aku mengandalkanmu. Kupercayakan Justine kepadamu. Tolong, jangan biarkan dia mati..." Pesan Ervina kepada kekasihnya sambil menyerahkan anjing kesayangannya itu. Setitik air bening menetes dari matanya saat dia menyerahkan anjing itu.

"Serahkan padaku! Aku juga sayang kepada Justine sama seperti kamu mencintainya." Jawab Asiong menerima tubuh lemas Justine ke dalam pelukannya. Lalu dengan perlahan pemuda itu memasukkan anjing kecil itu ke dalam jaketnya yang diresleting setengah untuk memberikan udara agar Justine bisa bernafas.

Setelah selesai mengurus Justine, Asiong kembali melanjutkan mengendarai motornya dan keluar dari ujung gang depan. Di belakangnya, Ervina memeluk pinggangnya dengan kedua lengannya.

Sementara itu, kedua anak buah Roni yang kehilangan sasarannya mengumpat kesal pada saat sepasang kekasih itu telah melanjutkan kembali perjalanannya.

"Sialan! Brengsek!" Maki Faisal sambil mengusap pahanya yang tertendang itu. "Sakit juga tendangannya!"

"Gila. Gua juga gak nyangka dia akan nendang tadi! Berani juga tuh anak!" Iksan tak kalah kesalnya karena kehilangan buruannya.

"Lu sih enak gak ditendang! Kaki gue nih! Kencang lagi tendangannya itu. Brengsek!" Faisal masih mengumpat sambil mengusap-usap pahanya.

"Sal. Sal." Iksan menepuk pundak temannya itu.

"Apaan sih?" Dengan ketus, Faisal menjawab tepukan Iksan.

"Itu di depan!" Iksan menunjuk.

Di depan mereka, terjarak sekitar setengah kilometer, tampak Asiong dan Ervina meluncur keluar dari sebuah gang. Rupanya gang yang diambil sepasang kekasih itu memutar dan keluar dari gang di sebelahnya, menuju ke jalan yang sama yang mereka tempuh tadi.

"Pucuk dicinta ulam tiba!" Faisal bersiap-siap. "Kali ini gue gak akan lepasin lagi anak sialan itu!"

Digasnya motornya sekencang-kencangnya membuat Iksan yang duduk di belakangnya tersentak ke belakang dan beruntung tidak terjatuh dari motor. Sambil mengumpat kepada temannya, Iksan melanjutkan buruannya terhadap Asiong dan Ervina.


BAGIAN 61
Dengan kecepatan tinggi, Faisal berhasil mengejar Asiong yang juga tidak pelan membawa motornya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga menit, kedua anak buah Roni telah berhasil mengejar sepasang kekasih itu.

"Lex, mereka datang lagi!" Ervina yang leluasa menengok ke belakang itu mengetahui kehadiran anak buah Roni itu sehingga bisa memberitahukannya kepada kekasihnya itu.

"Ya, dugaanku benar! Mereka belum menyerah!" Kata Asiong. "Apa kita masih jauh sampai di tempat dokter hewan itu?"

"Masih sekitar tiga-empat kilometer lagi, Lex." Ujar Ervina.

"Oke. Kalau begitu, kamu siap-siap ya. Aku mau memancing mereka!" Kata Alex. "Tolong tunjukkan jalan. Aku belum begitu mengenal jalan kesana!"

Sepasang kekasih itu akhirnya bekerjasama membantu satu sama lain. Asiong berjuang mengejar waktu sambil menghindari kejaran anak buah Roni, sementara Ervina memberitahu jalan tersingkat untuk ditempuh menuju tempat praktek dokter hewan kenalannya itu.

Ervina sengaja meminta kekasihnya untuk mengambil rute jalan yang berlalu lintas ramai, sehingga kemungkinan anak buah Roni mengulangi perbuatan mereka lagi menjadi kecil kemungkinannya.

Dengan situasi itu, Asiong mempertunjukkan kebolehannya mengendarai motor dari satu sisi kendaraan ke sisi lain kendaraan, menyalip dari satu tempat ke tempat lain. Hal mana membuat kedua anak buah Roni yang mengikuti dari belakang merasa kewalahan karena harus mengikuti salip menyalip yang dilakukan pemuda di depannya.

"Lex, masuk gang. Kita lewat jalan tikus aja." Kata Ervina bersemangat melihat kedua anak buah Roni tak bisa mendekati mereka, hanya sanggup mengikuti mereka saja.

Asiong mengikuti keinginan Ervina. Dibelokkannya kendaraannya ke sebuah gang.

"Belok kiri!" Kata Ervina lagi. Asiong mengikuti.

"Lurus. Di pertigaan depan, kamu belok kanan!"

Instruksi demi instruksi diberikan Ervina kepada Asiong yang dengan gesit mengikutinya. Sesekali Ervina menengok ke belakang, melihat situasi apakah anak buah Roni masih mengikuti mereka.

"Aku tidak melihat mereka, Lex. Kamu lurus aja. Di depan itu udah jalan raya lagi."

Asiong mengangguk. Dijalankannya motornya melintasi gang yang berukuran cukup lebar itu.

"Mereka baru masuk gang." Kata Ervina. Motor mereka saat itu sudah bergabung kembali di jalan raya yang ramai. Tak jauh dari mereka, sekitar tiga meter, sebuah lampu lalu lintas menghentikan perjalanan mereka.

"Aduh, lampu merah lagi!" Asiong mengeluh. "Mereka dimana, Vin?"

"Pertengahan gang kali." Sahut Ervina sambil menengok ke belakang. Diliriknya waktu yang berjalan mundur di tiang lampu lalu lintas itu.

"Matilah. Masih 50 detik!" Kali ini giliran Ervina yang mengeluh. "Kalau begini bisa ketemu nih..."

Asiong sendiri menatap hitungan lampu lalu lintas dengan cemas. Mulutnya berdecak kesal. Satu lengannya mengelus kepala Justine yang berada dalam lindungan jaketnya itu.

"Lex, mereka datang!" Kata Ervina memberitahu kekasihnya sembari menengok ke belakang.

"Masih ada 20 detik. Ramai begini, kalau kita libas, bisa-bisa kita yang tertabrak!" Sahut Asiong. Diliriknya kaca spion di sampingnya.

"Di belakang kita banyak motor, mudah-mudahan bisa menahan mereka." Sambung pemuda itu lagi. Matanya melirik ke arah waktu lalu lintas. "8 detik."

Beberapa pengendara tampak memajukan motor mereka, sehingga tercipta ruang yang bisa didekati oleh motor Faisal. Sepasang mata Asiong tak lepas dari spion dan penghitung waktu.

"Lima. Empat. Tiga." Asiong mulai menghitung mundur. "Pegangan, Vin."

Ervina memeluk pinggang kekasihnya lagi. Tepat pada saat itu beberapa motor yang tadinya maju ke depan, telah mulai berjalan sebelum lampu hijau dan waktu penunjuk menunjuk nol.

Melihat hal itu, Asiong tak mau ketinggalan. Dengan kecepatan tinggi, pemuda keturunan itu menggeber motornya meninggalkan kendaraan-kendaraan lain yang maju secara bersamaan itu. Gerakan itu cukup untuk menghalangi anak buah Roni beberapa detik lebih lamban untuk bereaksi.

"Sudah mau sampai, Vin?" Asiong melirik spionnya. Jarak antara motornya dengan anak buah Roni sekitar enam ratus meter jauhnya.

"Di depan sana masih ada satu lampu merah lagi." Sahut Ervina. "Perempatan jalan!"

"Aduh!" Terdengar keluhan Asiong. "Disaat genting begini, banyak lampu merah..."

Perkataan Ervina benar. Sekitar lima ratus meter di depan mereka, sebuah lampu lalu lintas kembali menghadang. Untungnya saat itu lampu sedang menunjuk warna hijau dan di penghitung waktu hanya tersisa 5 detik.

Tanpa pikir panjang lagi, Asiong menggas motornya hingga full. Lima ratus meter untuk lima detik! Tidak, hanya 3 detik karena penghitung waktu seakan berlomba dengan laju kendaraan bermotornya!

Tiga! Dua! Satu! Jarak Asiong dengan garis pembatas lampu lalu lintas tersisa lima puluh meter.

'Aku tidak boleh berhenti!' Kata pemuda itu dalam hati. Tangannya tidak melepaskan gas yang ditariknya hingga full.

Tepat ketika kendaraan dari samping kiri mulai berjalan melewati perbatasan, motor Asiong melintas dalam kecepatan tinggi melalui perempatan jalan itu. Tepat ketika motor Asiong dengan jarak sebuah mobil yang melintas dari samping kirinya hanya berjarak 30cm!


BAGIAN 62
Ervina tak berani melihat itu semua. Ditutupnya kedua matanya menyadari kenekatan kekasihnya melintas lampu lalu lintas yang telah berganti merah itu. Beruntung di tempat itu tidak terdapat polisi patroli, sehingga tindakan yang dilakukan Asiong tidak diketahui oleh pihak berwajib.

Sementara itu Faisal dan Iksan membanting kaki kesal karena kehilangan buruannya, yang telah bertindak cerdik memanfaatkan kesempatan lampu merah. Namun tak ada yang dapat mereka lakukan kecuali menunggu lampu lalu lintas berganti hijau lagi dan melanjutkan perjalanan. Tidak mungkin bagi mereka melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh Asiong, kecuali kalau mereka mau menjadi dendeng hidup!

"Fuuhh!!" Asiong menghembuskan nafas lega saat menyadari taktik yang dijalankannya berhasil menghindari mereka dari kejaran anak buah Roni. Ervina sendiri masih berdetak kencang jantungnya teringat jarak motor mereka yang begitu dekat dengan tabrakan mobil di samping mereka.

"Alex..." Ervina mencoba berkata di antara degup jantungnya. "Aku tak tau harus berkata apa! Kamu... Kamu hebat!!"

Gadis itu menengok ke belakang. Sepi. Lengang. Tak ada kendaraan yang mengikuti mereka dari jalan yang sama saat itu. Tak terasa air matanya kembali menetes, kali ini terharu dengan perjuangan kekasihnya yang mengambil risiko dan taruhan maut demi menghindari kejaran anak buah Roni.

Setelah merasa yakin terlepas dari kejaran anak buah Roni, sepasang kekasih itu melanjutkan perjalanan ke tempat praktek dokter hewan yang sudah tidak jauh lokasinya dari tempat mereka berada sekarang. Hanya sekitar sepuluh menit, keduanya tiba di tempat praktek dokter hewan langganan Ervina.

Keduanya turun dari motor yang diparkir dan melangkah masuk ke lobi tunggu. Justine telah diberikan kembali kepada Ervina. Begitu tiba di lobi tunggu, Ervina langsung mendekati penjaga yang bertugas disana.

"Siang, Pak. Dokter Kristina ada praktek hari ini?" Gadis itu bertanya kepada penjaga di lobi itu. Asiong berdiri di belakang kekasihnya.

Tampak seorang wanita berpakaian mewah dengan rambut digulung duduk di bangku panjang yang memang disediakan untuk para pasien. Matanya berputar dan melotot melihat kehadiran Ervina dan Asiong disana. Anjing pudelnya yang berwarna putih tampak ribut menyalak dalam rantai yang mengikat di lehernya.

"Eh, Nona Vina. Ada. Dokter Kristina ada praktek hari ini." Jawab petugas itu. Matanya melirik ke arah anjing mungil yang berada dalam pelukan Ervina. "Kenapa anjingnya, Non?"

"Aku... Aku tak tau, Pak. Mungkin keracunan..." Jawab Ervina. Gadis itu melirik ke pintu ruang praktek yang tertutup itu dengan cemas. "Masih lama ya, Pak?"

"Habis ibu ini ya, Non..." Sahut penjaga itu.

"Aduh... Aku duluan ya, boleh kan? Soalnya Justine udah sekarat..." Ervina memohon kepada petugas itu.

"Enak aja mau duluan! Giliran dong! Ngerti giliran gak kamu?!" Tahu-tahu wanita berambut digulung itu menjawab dengan nada ketus. Matanya makin melotot ke arah Ervina.

"Aduh, Bu, tolong. Aku mohon. Anjingku ini sekarat..." Suara Ervina terdengar memelas.

"Tidak bisa!" Wanita itu memalingkan wajahnya.

"Bu, please. Kumohon...." Ervina memelas lagi. Suaranya terdengar bergetar. Kedua matanya sudah mulai berkaca-kaca. "Sekali ini aja. Anjingku sekarat. Aku mohon...."

"Tidak bisa! Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!!" Wanita itu berteriak dengan keras. Matanya melotot seperti mau menelan Ervina hidup-hidup.

"Bu... Tolonglah..." Ervina sudah mulai menangis lagi saat itu. Air matanya sudah menetes. "Rumahku jauh... Anjingku ini sudah hampir mati, Bu... Kumohon..."

"Itu urusanmu! Bukan urusanku!" Wanita itu kembali berteriak. Anjing pudelnya ikut menyalak mendengar majikannya berteriak seperti itu.

Tepat pada saat itu pintu ruang praktek membuka dan seorang lelaki dan pasangannya melangkah keluar dengan kelinci yang berada dalam pelukannya. Begitu pasangan itu keluar, wanita pemilik anjing pudel itu berdiri.

"Ayo, Micky, giliran kita." Kata wanita itu melangkah ke arah pintu.

Melihat itu, Asiong yang sedari tadi terdiam menyaksikan kekasihnya dibentak wanita itu, berjalan cepat mendahului wanita itu dan menghadang tepat di pintu masuk ruang praktek.

"Vina, masuk!" Kata pemuda itu memberi tanda agar kekasihnya bisa masuk. Sementara wanita itu sudah berdiri di depan pintu.

"Eh, apa-apaan ini?! Tau sopan santun gak sih kamu?!" Wanita itu memelototi Asiong yang berdiri menghadang di depan pintu. Petugas yang berjaga disana bangun dari duduknya dan menghampiri mereka bertiga. Ervina sendiri berdiri dengan terbengong-bengong melihat tindakan kekasihnya itu.

"Ibu, anjing ibu kenapa?" Tanya Asiong dengan tenang. Diliriknya anjing pudel yang menyalak ribut itu.

"Apa urusanmu?!" Hardik wanita itu. Dia mencoba masuk dengan mendorong Asiong. "Minggir!"

Asiong bukanlah pemuda yang mudah didorong begitu saja. Pemuda itu tidak bergeming sedikitpun didorong seperti itu.

"Eh! Kubilang minggir!" Bentak wanita itu lagi sambil mendorong Asiong. Namun lagi-lagi Asiong tidak bergerak sedikitpun dari dorongan itu.

"Ibu, apa ibu tidak bisa melihat apa yang terjadi pada anjing kami?" Tanya Asiong lagi.

"Apa urusanku?" Wanita itu memelototi Asiong.

"Apa urusan ibu?" Asiong balik bertanya. Kedua matanya membalas memelototi wanita itu. "Jelas ada!"

"Ibu tidak melihat anjing kami sedang sekarat? Anjing ibu kan tidak apa-apa. Sehat-sehat saja!" Lanjut Asiong sambil menggertakkan giginya.

"Tapi ini kan jelas-jelas giliran saya!" Balas wanita itu.

"Tapi ibu jelas-jelas bisa melihat kan? Anjing kami sekarat dan tidak bergerak!" Sahut Asiong. "Mata ibu melotot besar begitu, jangan bilang tidak bisa melihat keadaan anjing kami!"

"Kau..." Wanita itu bermaksud membalas perkataan Asiong, namun pemuda itu tidak berhenti sampai disitu saja.

"Andai anjing itu adalah orang tua ibu dan orang tua ibu sedang sekarat, meregang nyawa. Apa ibu masih diam dan menunggu giliran orang lain? Apa ibu mau nyawa yang sisa sedikit itu melayang?" Lanjut Asiong lagi. Matanya masih memelototi wanita itu. "Tolong pengertian ibu sedikit. Ini mengenai nyawa, bu. Bukan untuk periksa biasa!"

"Ko, sabar Ko. Sabar." Terdengar penjaga itu berkata sambil mendekati Asiong.

Pemuda itu mengangkat tangannya meminta penjaga itu diam. "Vina, masuk ke dalam!"

Ervina yang terbengong melihat tindakan kekasihnya sesaat terdiam, namun akhirnya bergerak juga mengikuti perintah Asiong. Saat gadis itu masuk ke dalam ruang praktek, Asiong menahan pintu masuk agar wanita itu tidak bisa ikut menyusup ke dalam.

"Kamu...." Wanita itu masih ingin berkata membalas kata-kata Asiong yang dinilainya kurang ajar itu.

"Maaf kalau saya lancang kepada ibu!" Asiong mendorong pintu dan melangkah masuk ke ruang praktek menemani kekasihnya yang telah masuk terlebih dulu. "Terima kasih!"

Bersamaan dengan itu ditutupnya pintu tersebut dan dikuncinya dari dalam. Saat membalikkan badannya, Asiong melihat Ervina sedang meratap di depan dokter kenalannya itu.

"Dok, tolong Justine, Dok." Bibir gadis itu bergetar. Air matanya kembali tertampung di pelupuk matanya.

"Justine kenapa, Vina?" Dokter Kristina bertanya balik. "Coba tidurkan dia di ranjang!"

Ervina, dengan air mata menetes, merebahkan anjing kesayangannya di ranjang periksa. Tak ada gerakan sedikitpun saat dia membaring anjing mungilnya itu.

Dokter Kristina mendekat dan melihat keadaan Justine sesaat. Kepalanya menggeleng.









BERSAMBUNG ,,,,,,,





Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-August 2010



(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates