Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Episode 63-70)
Melihat Dokter Kristina menggelengkan kepalanya, air mata Ervina semakin menetes. Asiong juga terlihat tidak tenang seperti biasanya.
'Jangan... Tuhan... aku mohon.... Jangan ada apa-apa pada Justine...' Kata Ervina dalam hati. Air matanya jatuh ke tangannya dan gadis itu tidak berniat lagi untuk menyekanya.
Tampak dokter hewan itu melakukan pemeriksaan medis kepada Justine. Lalu dia bergegas ke bagian belakang ruangan tempat menyimpan obat-obatan dan keluar lagi dengan sebatang jarum suntik di tangan.
Dengannya, dia menyuntikkan serum yang ada di injeksi tersebut ke dalam badan Justine.
"Vina..." Dokter Kristina berkata setelah beberapa saat terdiam. Dia menghela nafasnya dan menatap sepasang kekasih itu.
"Justine... Justine gimana, Dokter..." Dengan bibir bergetar, Ervina menatap dokter hewan langganannya itu.
"Telat sedikit saja, nyawa Justine sudah lepas dari badannya." Dokter Kristina menerangkan. "Paling lama lima menit lagi, pergilah dia."
Sebersit harapan muncul di depan mata Ervina mendengar penjelasan dokter hewan di depannya itu. Tanpa terasa bibirnya tersenyum kecil.
"Ja... Jadi... Justine..." Ervina tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Dokter Kristina tersenyum. "Terkena racun. Tapi sekarang dia sudah selamat..."
Senyum Ervina semakin mengembang saat itu dan dia menatap Asiong yang berdiri di sampingnya itu.
"Andai saja racun itu keburu menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darahnya..." Dokter Kristina berkata. "Serum yang kusuntikkan sudah menolak racunnya."
"Justine akan sadar dalam beberapa jam." Lanjut dokter hewan itu. "Namun dia masih lemah. Perlakukanlah dia dengan lembut bila dia sudah bangun."
"Terima kasih... Terima kasih, Dokter..." Ervina berteriak sambil menyalami dan memeluk dokter hewan langganannya itu. Setelah melepaskan pelukannya, gadis itu pun memeluk Asiong. Seperti tak ada perasaan canggung di depan dokter hewan kenalannya itu.
"Terima kasih, Alex. Lagi-lagi kamu menolongku. Terima kasihku mewakili Justine." Ervina berlinang air mata memeluk Asiong.
Asiong membalas pelukan kekasihnya. Pemuda itu juga terharu dengan kejadian di depan matanya itu. Perjuangan mereka berdua tidaklah sia-sia. Dimulai dari berpacu dengan waktu sambil menghindari kejaran anak buah Roni dan berakhir dengan Asiong yang berselisih dengan wanita berambut gulung di ruang lobi itu.
"Andai tak ada kamu, aku tak tau harus bagaimana. Aku pasti sudah kehilangan Justine." Gadis itu melepaskan pelukannya dan memandang wajah kekasihnya. Kedua matanya tampak sembab dan wajah cantiknya terlihat kuyu karena terlalu banyak menangis. "Terima kasih..."
"Sudahlah, tak apa-apa. Tak perlu terima kasih." Jawab pemuda kekasihnya itu. "Yang penting sekarang Justine selamat."
Gadis itu berbalik menatap Dokter Kristina.
"Sepertinya perjuangan kalian untuk kesini cukup berat ya." Dokter Kristina tersenyum menatap Asiong dan Ervina bergantian. "Pemuda ini kekasihmu, Vina?"
"Iya, Dok." Ervina tersenyum. Tangannya mengambil tisu di meja sang dokter dan menyeka air matanya. Rupanya dia baru teringat untuk menghapusnya saat itu.
Asiong tersenyum sambil menyalami dokter hewan itu.
"Masih ada obat yang harus diberikan kepada Justine." Kata Dokter Kristina. Dia kembali beranjak ke belakang dan keluar dengan sebotol cairan berukuran sedang.
"Campurkan ini di minumannya." Diberikannya botol itu kepada Ervina yang menerimanya sambil tersenyum.
"Kalau boleh tau, Justine keracunan apa ya, Dok?" Saat menerima botol dari sang dokter, gadis itu tak lupa bertanya.
"Insektisida."
"Hah? Itu kan obat serangga?" Asiong terbelalak tak percaya. "Bagaimana bisa? Bukannya obat itu berbau?"
"Ya, Dok, penciuman Justine kan tajam. Setauku tak mungkin dia akan mau bila berbau tidak sedap begitu." Sambung Ervina melirik Asiong.
"Mungkin saja. Insektisida dinetralkan baunya dan dicampurkan ke susu." Jelas Dokter Kristina. "Justine suka minum susu kan?"
Ervina mengangguk.
"Nah, itu dia jawabannya!" Dokter Kristina mengiyakan.
"Mereka berdua!" Asiong menggertakkan gerahamnya.
"Siapa?" Tampak Dokter Kristina kebingungan dan mengernyitkan alisnya.
"Oh, tetanggaku, Dok." Ervina mencoba mengalihkan jawaban. "Justine memang sering main di rumahnya."
"Oh, begitu." Sang dokter menatap sepasang kekasih itu. "Lain kali musti lebih hati-hati ya."
"Baik, Dokter." Ervina menjawab dengan anggukan kepalanya.
Tak lama kemudian, sepasang kekasih itupun keluar dari ruang praktek Dokter Kristina. Asiong membukakan pintu untuk kekasihnya itu keluar yang menggendong Justine dalam pelukannya.
Ketika tiba diluar, tampak sepasang mata wanita yang sebelumnya terlibat adu mulut dengan Asiong, memelototi pemuda itu seperti ingin menelannya hidup-hidup.
Pemuda itu hanya tersenyum membalas pelototan wanita itu. Sementara anjing pudelnya menyalak ribut.
'Anjing dengan majikan tak ada bedanya!' Kata pemuda itu dalam hatinya sambil berlalu dari hadapan wanita berambut digulung itu.
BAGIAN 64
Tak terasa dua minggu berlalu sudah sejak Justine mengalami keracunan dan nyaris kehilangan nyawanya andai saja pertolongan telat diberikan. Kini, anjing mungil itu telah sehat seperti sedia kala dan kembali bisa bermain dan bercanda dengan Ervina, Asiong dan kedua kakaknya.
"Justine sudah kembali ya, Vin..." Kata Asiong saat melihat anjing mungil itu berlari-larian mengejar dan menyalaki seekor tikus kecil yang mendadak muncul di pekarangan rumah dan menghilang di sela-sela pintu.
"Berkat kamu juga kan, Lex." Ervina tersenyum dan mengerdipkan sebelah matanya.
"Sama-samalah, Vin. Kita kan berjuang bersama..."
"Lebih banyak kamu dong." Gadis itu mendekati kekasihnya. "Siapa yang membawaku dan Justine menghindari kejaran anak buah Roni? Lalu siapa yang memperjuangkan waktu untuk Justine ketika kita di dokter?"
Asiong tersenyum dan memalingkan wajahnya. "Aku lakukan itu semua demi Justine. Karena aku sayang dia."
"Terima kasih, Lex." Sebuah kecupan diberikan Ervina di pipi kekasihnya. "Aku semakin cinta padamu."
Untung saja saat itu di lantai bawah tak ada siapapun kecuali mereka berdua, sehingga adegan mesra itu tak ada yang mengetahui selain keduanya.
"Tapi aku merasa aneh lho..." Ujar Asiong menatap kekasihnya.
"Kenapa?" Gadis di depannya mengerlingkan matanya. "Ada yang aneh dengan ciumanku?"
"Bukan... Bukan itu..." Mendadak Asiong merasa berdegup jantungnya mendengar perkataan kekasihnya itu.
"Terus?" Lagi-lagi Ervina mengerlingkan matanya yang membuat Asiong semakin berdegup kencang jantunya.
'Sudah cantik, jadi semakin cantik dengan kerlinganmu itu.' Kata Asiong dalam hatinya. 'Kalau seperti ini, mana ada yang bisa tahan? Beruntung aku bisa memilikimu, Vina...'
"Kamu tidak merasa aneh?" Asiong bertanya balik. "Sudah dua minggu ini tak ada gangguan dari Roni dan anak buahnya."
"Iya ya..." Ervina menggaruk kepalanya. "Padahal kan mereka tau rumah ini."
"Kupikir juga begitu." Timpal kekasihnya. "Tapi sudahlah. Tak perlu kita pikirkan itu lebih lanjut."
"Ya, Lex. Lupakan saja hal tak berguna itu. Besok bisa kan antar aku interview?"
"Boleh. Sudah ada panggilan ya?"
Ervina mengangguk. Poni di depan keningnya bergoyang sesaat seiring anggukan itu, menambah kecantikannya yang menawan.
"Produk apa? Rokok lagi?"
"Bukan. Yang sekali ini handphone."
"Handphone? Wah, asyik tuh." Asiong terkekeh. "Tadinya kukira rokok lagi, jadi aku bisa nebeng..."
"Huh, maunya kamu, Lex..." Ervina mengerlingkan matanya menggoda kekasihnya lagi.
"Lho, kan dulu kamu yang belikan untukku, masih ingat?"
"Ingat dong." Gadis itu tersenyum. "Itu saat pertama kita berjumpa."
Asiong memeluk pinggang kekasihnya itu. "Tak apa-apa. Aku kan sekarang sudah dapat orangnya. Rokoknya tak lagi gratis, tak masalah."
Ervina yang dipeluk pinggangnya mendekat ke badan kekasihnya itu tersenyum. "Lex, mau merayuku ya?"
"Merayumu juga tak apa-apa kan?" Pemuda itu balik bertanya. Matanya menatap mata bening kekasihnya itu. Dalam hatinya, Asiong berniat memberikan sebuah kecupan kepada Ervina.
Pada saat yang bersamaan, di puncak sebuah gunung di daerah Jambi...
"Jadi ini orangnyo?" Tampak seorang lelaki tua berjenggot putih duduk bersila di lantai yang dialasi tikar. Di depannya tampak sebuah tempat dupa bergambar tengkorak yang terus mengepulkan asap berbau kemenyan. Di tangannya tergenggam sebuah foto yang baru saja diterimanya dari seorang lelaki di hadapannya yang juga duduk bersila.
"Betul, Datuk Rajo Kalebat." Terdengar lelaki di hadapan pak tua berjenggot itu.
"Cantiknyo. Siapo namanyo?" Lelaki yang dipanggil Datuk Rajo Kalebat itu mengusap-usap jenggotnya sambil melihat foto yang di tangannya.
"Ervina, Datuk."
"Hmmm... Namo yang indah..." Datuk Rajo Kalebat masih mengusap-usap jenggotnya. Foto di tangannya diletakkan di pangkuannya. "Berapo kau berani bayar sayo?"
"Sepuluh juta, Datuk!"
"Sepuluh juto? Sayo minto duo puluh limo juto. Biso?"
Walau terkejut mendengarnya, lelaki yang duduk di hadapan sang datuk menyanggupinya.
"Bagus. Siapkan uangnyo secepatnyo hari ini jugo. Malam ini kau biso melihat hasilnyo."
"Baik. Baik, Datuk!"
"Namamu siapo?"
"Saya? Saya Roni, Datuk." Jawab lelaki yang duduk di depan sang datuk.
"Baik. Baik." Datuk Rajo Kalebat tertawa terkekeh sambil mengusap jenggotnya.
BAGIAN 65
Sang waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa hari Jumat pun tiba dan akhir pekan menjelang. Jam dinding di rumah konveksi Asiong menunjukkan sekitar pukul 7 pagi.
"Pagi, Vina." Asiong menyapa kekasihnya yang baru bangun dan melangkah keluar kamar pagi itu. "Tumben hari ini bangun siang?"
Tak ada jawaban dari gadis itu. Ervina hanya melangkah ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Juga dia tidak menjawab sapaan kekasihnya itu.
'Kok tidak dijawab sih? Tumben...' Bathin Asiong saat melihat kekasihnya terus berjalan ke kamar mandi tanpa bersuara. 'Ah, mungkin masih capek kali. Biar sajalah.'
Setelah beberapa lama di kamar mandi, Ervina keluar. Dengan langkah kaku, gadis itu kembali ke kamar tidur Asiong. Lagi-lagi tanpa sepatah katapun yang diucapkannya.
Asiong berniat menghampiri kekasihnya. Namun belum sempat dia melakukannya, Justine yang sedari tadi tidur-tiduran di ruang tamu, mendahuluinya ke kamar tidur. Anjing itu mendadak menyalaki Ervina.
"Justine..." Asiong menempelkan telunjuknya di bibirnya meminta anjing kecil itu untuk berhenti menyalak. Bukannya diam, malah semakin menjadi Justine menyalaki majikannya.
Asiong melangkah ke kamarnya, berniat menemui kekasihnya itu. Namun suara lolongan Justine membuat langkahnya terhenti.
"Uuuuu.....Uuuuuu.....Aaaauuuuuuuuuuuuuu........" Sambil mendongakkan kepalanya dan memajukan moncongnya, Justine bertalu dan melolong layaknya seekor serigala.
"Justine bertalu? Kok aneh?" Asiong menatap Justine yang masih bertalu itu. "Tidak biasanya Justine begini.... Atau jangan-jangan..."
Pemuda itu memandang Ervina yang kebetulan melangkah keluar dari kamarnya. Ditatapnya mata kekasihnya itu.
"Vina..." Asiong mencoba memanggil. Tak ada tanggapan ataupun jawaban. Matanya tak lepas menatap sepasang mata Ervina.
Kedua mata kekasihnya yang dulunya bening, kini seperti kosong tak berisi. Tatapannya kosong dan pandangannya bengong.
"Vina..." Asiong melambaikan tangannya di depan mata Ervina. Namun lambaian yang dekat itu seperti tidak terlihat sama sekali olehnya.
"Aneh. Vina, kamu kenapa?" Asiong memegang pundak kekasihnya dan diguncangnya pelan.
"Yaaa..." Terdengar jawaban pelan dari mulut Ervina. Nadanya dingin. Wajahnya menengok ke arah Asiong, namun pandangannya tetap kosong.
"Kamu siapa?" Tanya Ervina.
"Hah?!!" Asiong terbelalak mendengar pertanyaan Ervina. "Jangan bercanda, Vin! Tidak lucu."
"Aku tak mengenalmu. Kamu siapa?" Dengan tatapan mata kosong, gadis itu kembali mengajukan pertanyaannya.
"Vina, ini sama sekali tidak lucu!" Asiong kembali mengguncang pundak kekasihnya.
"DIAMMM!!!" Tiba-tiba Ervina berteriak membentak. Suara yang dikeluarkannya terdengar membahana. Mata Ervina mendadak membesar dan melotot, tatapannya seperti ingin menelan Asiong.
"Lepaskan!!" Kedua lengan gadis itu bergerak menghalau tangan Asiong yang memegang pundaknya itu. Akibatnya lengan Asiong terhentak ke udara dengan gerakan tiba-tiba.
"Hah!!" Semakin terkejut Asiong melihat tingkah kekasihnya itu. Digoyangkannya tangannya yang mulai kesemutan itu.
"Tanganku kesemutan..." Asiong menatap tak percaya. Pandangan beralih dari lengannya yang kesemutan dan wajah Ervina di depannya. "Ti... Tidak mungkin. Itu.... Itu bukan tenagamu..."
Pandangan pemuda itu beralih ke Justine yang masih terus bertalu di belakang majikannya itu.
"Ada apa denganmu, Vina?" Entah kenapa, Asiong merasakan bulu kuduknya meremang saat memandang kekasihnya itu lagi. Pandangan matanya kosong namun menyimpan misteri.
BAGIAN 66
"Vina..." Asiong masih mencoba memanggil kekasihnya itu. Dipegangnya lengan kiri Ervina. "Katamu minta diantar interview hari ini..."
"Kubilang lepaskan!!" Ervina menampik lengan Asiong yang memegangnya itu. Dorongan tangannya ternyata mampu melepaskan tangan pemuda itu. Bukan itu saja. Dorongan tersebut sanggup membuat lengan pemuda itu tersentak ke belakang.
Asiong kembali terbelalak menyadari kenyataan itu. Tenaga yang tidak mungkin akan pernah dimiliki oleh seorang wanita. Tenaga yang sanggup membuat badan tegapnya mundur beberapa tindak ke belakang.
"Ini bukan tenagamu, Vina." Gumam Asiong. "Sepertinya ada yang tidak beres denganmu."
Pemuda itu segera mengambil ponsel yang disimpan di saku celananya dan menekan beberapa tombol sambil matanya terus mengawasi kekasihnya yang masih berdiri di depannya.
"Bun," Ujar Asiong setelah sambungan di ponselnya terhubung. "Ada yang perlu kutanyakan padamu. Bisa datang kesini?"
Suara bertalu yang masih dikeluarkan Justine membuat keduanya sulit mendengar dengan jelas.
"Kenapa? Tentang Ervina lagi ya?" Terdengar suara dari saluran seberang.
"Ya, ada yang aneh dengannya." Sahut Asiong. "Segera datang ya! Kutunggu."
Setelah sekitar satu jam kemudian, Buntara yang dihubungi Asiong datang ke konveksi pemuda itu. Ketika dia datang, kedua kakak kandung sepupunya, Mei Hwa dan Chun Hwa juga telah berada di tempat itu. Sementara Justine telah dinaikkan ke lantai atas dan dimasukkan ke kamar Chun Hwa untuk menghindari gongongan dan suara bertalunya lagi.
"Ada apa, Siong?" Buntara meletakkan tas kerjanya di meja panjang khas konveksi dan menghampiri sepupunya itu. Sekilas matanya melirik ke arah Ervina yang sedang duduk tak bergerak itu.
"Sikapnya aneh. Tidak seperti Vina yang biasanya." Kata Asiong.
"Sepertinya sih kemasukan, Bun." Mei Hwa menimpali.
"Kemasukan?" Buntara mengernyitkan keningnya. Dihampirinya Ervina yang masih duduk, sementara Asiong berdiri tak jauh dari kekasihnya.
"Coba ajak dia bicara!" Asiong menatap sepupunya itu.
Buntara mengangguk.
"Ervina." Buntara mencoba memanggil Ervina dengan nada pelan. Tak ada jawaban. Dipanggilnya sekali lagi. Tetap masih tak ada jawaban.
Buntara tak menyerah. Dia berdiri lebih mendekati Ervina dan memanggilnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
"Ervina..."
"Hrrrgggghhhhh!!!" Jawaban Ervina seperti suara geraman yang bernada dalam. Matanya melotot ke arah Buntara, padahal sebenarnya pandangannya kosong.
"Astaga!" Buntara terloncat mendengar suara jawaban Ervina. Dipandanginya ketiga sepupunya yang juga berada disana dengan pandangan heran.
"Nih, lihat ya." Asiong memberi tanda kepada Buntara. Didekatinya kekasihnya itu dan disentuhnya lengannya.
"Vina, ini aku." Kata pemuda itu.
"Siapa kamu?!" Jawab Ervina.
"Aku, masa kamu lupa padaku?" Ujar Asiong lagi sambil menekan sedikit lengan kekasihnya itu.
"Grrrrr!!! Lepaskan!!!" Ervina menggerakkan tangannya dan menghalau pegangan Asiong. Hentakan itu membuat pemuda perantauan itu terdorong ke belakang. Namun dengan memantapkan kuda-kuda kakinya, pemuda itu berhasil menghentikan tolakan keras itu.
"Gila!!" Buntara terbelalak melihat Asiong yang berbadan tegap dan terlatih itu sampai limbung terdorong oleh tenaga yang dikeluarkan dari gerakan tangan Ervina yang kelihatan seperti melambai itu.
"Lihat kan, Bun?" Kata Asiong sambil menggoyangkan tangannya. "Tanganku sampai kesemutan karenanya..."
"Itu bukan Ervina kan?" Chun Hwa tampak panik ekpresi wajahnya.
Asiong dan Buntara menggelengkan kepalanya, hampir bersamaan.
"Bukan..." Buntara menjawab dengan suara bergetar. Keringat dingin mengucur di keningnya dan matanya masih terbelalak tak percaya. "Itu bukan Ervina..."
BAGIAN 67
"Jadi sekarang bagaimana, Bun?" Asiong menatap sepupunya itu.
"Sepertinya Ervina kena tenung..." Kata Buntara.
"Ilmu hitam..." Mei Hwa menimpali.
"Ya, sepertinya begitu." Jawab Asiong. "Kemarin dia masih minta aku mengantarnya wawancara hari ini. Waktu bangun sudah aneh begini. Bahkan aku sudah tidak dikenalnya lagi."
"Sudah dapat dipastikan ini ilmu hitam." Ujar Buntara.
"Ada usul?" Tanya Asiong.
Buntara menggaruk-garuk kepalanya. "Jujur, Siong, belum ada."
Asiong menghela nafasnya.
Tahu-tahu terdengar Ervina tertawa dengan suara cekikikan nyaring. Semua yang berada di sana terlompat saking terkejutnya.
"Astaga!" Asiong hanya bisa menatap kekasihnya itu dengan jantung berdetak kencang. Dengan kedua kakaknya dan Buntara yang sama-sama terbelalak, pemuda itu saling berpandangan satu sama lain.
"Roni! Pasti Roni yang melakukan ini!" Pemuda itu mengepalkan tangannya. "Kurang ajar!"
"Begitu juga dugaanku!" Buntara masih menatap sepupunya itu. "Tunggu. Sepertinya aku ada kenalan yang mungkin bisa membantu..."
"Bagus!" Asiong tersenyum.
"Tapi dia gak bisa mengobati, namun kalau menerawang apa yang sedang terjadi, dia jagonya." Sambung Buntara lagi.
"Jadi buat apa dong kalau begitu?" Timpal Mei Hwa.
"Paling tidak kan kita bisa tahu apa yang terjadi pada Ervina." Asiong menjawab pertanyaan kakak sulungnya.
"Tenang aja. Gak cuma itu." Buntara berkata lagi. "Dia biasanya memberi jalan keluar. Selama ini udah banyak yang tertolong sama dia."
"Kita yang kesana atau dia yang datang?" Tampak Asiong sudah semakin tak sabar.
Buntara melihat Mei Hwa dan Chun Hwa.
"Mungkin dengan kondisi begini, lebih baik dia yang datang..." Kata Mei Hwa. "Bagaimana menurut kalian?"
"Aku setuju dengan usul Mei Ce..." Ujar Asiong menunjuk kakak sulungnya.
"Coba liat waktunya dulu ya... Masalahnya ini Jumat, tapi mudah-mudahan aja bisa..." Jawab Buntara sambil mengambil ponselnya dari saku bajunya.
Ketika Buntara menelepon, Asiong dan kedua kakaknya menunggu dengan was-was. Sementara Ervina masih tertawa cekikikan dengan pandangan mata kosong.
"Oke, baik. Terima kasih." Buntara menutup teleponnya. Ditatapnya ketiga sepupunya itu.
"Dia minta dijemput karena ada praktek jam 6 malam ini." Kata Buntara. Dilihatnya jam tangan di lengannya. "Sekarang belum jam 12 siang. Masih ada waktu untuk antar jemput dia."
"Bagus. Kalau begitu kita tunggu." Asiong menjentikkan jarinya.
"Tapi biayanya, Siong?" Chun Hwa menyadarkan adiknya itu.
"Oh, tenang aja. Dia gak pernah pasang harga. Terserah kita mau kasih berapa." Kata Buntara menjelaskan. "Masih kenalan dari teman juga..."
"Yep, bagus sekali..." Asiong menjawab. Hatinya terlihat gundah dengan mata yang tak lepas dari kekasihnya itu. "Kalau begitu, kami tunggu disini..."
Untuk meredakan ketegangan, dia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkannya kepada sepupunya, yang segera mengambil sebatang dan menyalakannya.
"Terima kasih, Bun..." Asiong menghembuskan asap rokoknya. Tampak sekali pikirannya jenuh menghadapi situasi itu.
"Apa lagi yang dilakukan Roni kali ini?" Gumamnya.
"Gue juga gak tau apa maksudnya dengan semua ini, tapi ada baiknya kita tunggu aja kedatangan orang ini. Agar semuanya jelas." Sahut Buntara.
Asiong mengangguk. Ervina sudah tidak tertawa terkikik lagi, namun pandangan matanya masih kosong seperti tak berisi.
Buntara mengangguk dan berjalan menuju pintu depan. "Gue pergi dulu."
"Oke, kami tunggu." Asiong berjalan menemani Buntara ke arah pintu.
Keduanya berjalan menuju pintu dan saat itu selangkah lagi, Buntara akan menjulurkan tangannya membuka gagang pintu ketika terdengar suara dari belakang mereka.
"Siong!!" Terdengar Chun Hwa memekik kencang.
"Heh?!" Asiong yang dipanggil kakaknya terkejut dan menengok, posisi badannya membalik ke belakang. Tepat pada saat itu...
GREEPPP!!
"Aakkhhhh!!" Asiong mengeluh dan terperanjat. Sepasang tangan terjulur dan mencengkram leher pemuda itu dengan kencang.
"Ugghhhhhh...." Pemuda itu mendelik menyadari orang yang mencekik lehernya saat itu adalah Ervina, kekasihnya. Rokok yang masih dihisapnya dan berada di mulutnya jatuh akibat cekikan tiba-tiba yang mampir di lehernya itu.
BERSAMBUNG ,,,,,,,
Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Tis HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-August 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
Posted By: Tis HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-August 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
0 komentar:
Posting Komentar