31/10/10



Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Episode 81-90)

BAGIAN 81
Matahari mulai menampakkan diri memberikan sinarnya kepada dunia di hari yang baru. Suasana malam yang dingin berganti dengan hawa pagi yang sejuk.
Semilir angin berhembus, membelai dua pemuda keturunan yang masih tertidur di dalam rumah betang. Rasa lelah membuat pulasnya kedua pemuda itu tertidur, sehingga tidak menyadari sebagian penghuni rumah betang telah sibuk dengan aktivitas sehari-harinya, ada yang meninggalkan rumah betang memulai pekerjaannya dan para gadis Dayak mulai bersiap-siap menenun.
Perlahan, sepasang mata membuka dan tampak berkejap-kejap sesaat. Terlihat olehnya papan dan bambu yang dibentuk menyerupai sebuah teduhan.
"Aku..." Pemilik mata itu mulai tersadar dan melirik ke samping sesaat. "Dimana aku? Tempat apa ini?"
Semakin terkejut, sosok itu bangun dari berbaringnya dan duduk. Ditatapnya sekelilingnya. Sebuah rumah panjang yang terbuat dari bambu dan papan. Tampak asing dan tak dikenalnya. Terlebih disana dilihatnya beberapa gadis berpakaian aneh dan bahasa yang didengarnya pun tak dimengertinya sama sekali.

"Dimana ini?" Ujarnya sambil meneruskan pandangannya mempelajari tempat itu. Dilihatnya dirinya saat itu mengenakan kaos dan celana jeans, terduduk di lantai rumah panjang, bersama dengan beberapa gadis asing yang duduk tak jauh darinya.

"Alex?

" Sosok itu semakin terkejut saat melihat seseorang yang dikenalnya tampak tertidur dengan setengah bersandar, tepat di samping tempatnya terbangun dari tidurnya. Perlahan dijulurkannya tangannya memegang lengan pemuda itu.

"Alex... Bangun...
" Perlahan digoyangkannya pemuda yang bukan lain adalah Asiong itu.
Sentuhan lembut dan goyangan pelan itu sudah cukup untuk membangunkan Asiong. Pemuda itu membuka matanya pelan-pelan.


Disadarinya lengannya seperti disentuh lengan halus.
Diangkatnya kepalanya melihat siapa yang membangunkan dirinya itu.
Pemuda itu masih belum percaya dengan penglihatannya. Terlebih pendengarannya. Terdiam tak bergerak, pemuda itu menunggu reaksi selanjutnya.


"Alex... Kok bengong?" Terdengar pertanyaan kembali. "Masih ngantuk ya?"
'Alex?' Kata Asiong dalam hatinya."Alex...
" Kembali suara itu terdengar. Pelan namun bernada menggoda."Hanya satu orang yang memanggilku seperti itu.' Gumam Asiong. 'Apa itu berarti...'
"Vina?
" Asiong terbelalak tak percaya menyadari orang yang membangunkannya barusan adalah kekasihnya.
Pemuda itu tersentak kaget dan bangun terduduk.
"Vina, benar ini kamu?""Alex, kamu kenapa?
Kok aneh begitu?"
Tanya sosok yang ternyata adalah Ervina itu menatap kekasihnya dengan tatapan bingung.
Beberapa gadis Dayak yang sedang menenun di rumah betang, tak urung menoleh dan melihat ke arah mereka.
"Nggghhh....
" Sebuah suara erangan tak jauh dari mereka berdua membuat keduanya menengok.
Ternyata Jun Nyen yang terbangun saat mendengar suara mereka.
Sesaat sahabat Asiong itu masih belum sadar dengan kejadian di depan matanya. Setelah mengucek matanya beberapa saat, barulah dia menyadari yang sebenarnya.
"Vina, ini benar kamu?
" Asiong mengulangi lagi pertanyaannya.

Kedua tangannya dijulurkannya memegang lengan atas kekasihnya.
Bila bukan Ervina, pastilah tangannya akan ditampik keras lagi.
"Alex, kamu kenapa?" Ervina mengernyitkan keningnya, menatap kekasihnya dengan tatapan bingung.

Tangannya memegang tangan pemuda itu.
"Tentu ini aku, Vina."
"Lalu aku siapa?
" Tanya Asiong mencoba meyakinkan dirinya.
"Alex," Ervina memegang wajah kekasihnya.
"Kamu tidak sedang bermimpi kan, Sayang?"
"Alex?
" Jun Nyen bergumam sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Pemuda itu telah terduduk di depan sepasang kekasih itu.
Dipandanginya keduanya secara bergantian.
"Sejak kapan Asiong punya nama keren begitu?

Bukannya dari dulu sudah dipanggil Asiong, Asiong? Kenapa bisa menjadi Alex?"
Asiong tidak memperdulikan gumam sahabatnya itu.

Perhatiannya lebih tertuju kepada gadis di depannya itu.
"Satu lagi. Siapa nama lengkapmu?
" Tanya Asiong kepada Ervina.
"Lex, kenapa sih?
Kok jadi kayak anak kecil begitu?
" Ervina semakin kebingungan saat itu.
"Tolong jawab...
" Asiong bersikeras.
Diremasnya pelan jari-jari tangan Ervina.

"Patricia Ervina Wijaya.
" Jawab gadis itu.
"Kenapa, Lex?""Vina...
" Terdengar Asiong berkata dengan suara keras, nyaris berteriak.
Dengan mendadak, dipeluknya kekasihnya itu. Suaranya membuat gadis-gadis Dayak di rumah betang itu semakin banyak memandang ke arah mereka.
"Benar ini kamu, Vina. Senangnya!"
"Lex... Aaahhh...
" Ervina yang mendadak dipeluk kekasihnya itu terperanjat dan semakin bingung dengan tingkah Asiong yang melepaskan pelukannya dan menatap sepasang matanya lekat-lekat.
"Ya, Tuhan. Terima kasih.

Kamu sudah kembali.
" Kata Asiong dan kembali memeluk kekasihnya dengan erat.
"Kamu sudah kembali...
"Walaupun masih terbengong dengan nama Alex yang terus dipanggil oleh Ervina kepada Asiong, namun Jun Nyen harus memalingkan wajahnya yang menitikkan air mata kebahagiaan melihat sahabatnya mendapatkan kembali kekasihnya."Aku pikir aku akan kehilanganmu...

" Ujar Asiong. Suaranya terdengar agak bergetar.
"Syukurlah. Semua ini tidak sia-sia.
"Ervina semakin bingung dengan ucapan-ucapan kekasihnya. Namun dia membalas pelukan pemuda yang dicintainya itu.
"Alex, apa maksud ucapamu?
Apa yang terjadi? Kenapa kita berada disini? Tempat apa ini?"

"Nanti aku cerita.
" Asiong melepaskan pelukannya dan menatap mata Ervina.
"Ceritanya panjang."
"Lex," Ervina mengusap mata kekasihnya.
"Matamu basah. Kamu menangis?""Tidak.
" Asiong memegang tangan Ervina yang mengusap matanya. "Aku tidak menangis.
"'Menangispun tak apalah, Siong.' Kata Jun Nyen dalam hati. 'Takkan ada yang bisa menahan saat mengharukan seperti ini.
''Aku tak ingin menangis, walaupun aku telah menangis sesaat.' Gumam Asiong dalam hati.

'Aku tak ingin Vina mengetahui dan melihat aku menangis.
Aku tak mau terlihat lemah di depannya, karena aku harus tetap bisa melindunginya.
'Di saat Ervina masih terbengong dengan situasi dan tempat dimana mereka berada, di saat Asiong berusaha keras menahan tangis dengan menggigit bibir bawahnya, di saat Jun Nyen ikut terbawa dalam perasaan mengharukan yang dialami sahabatnya.
Semua yang terjadi pada saat itu, seperti yang diharapkan. Kembali kepada yang semestinya.Ya, Ervina telah kembali.
Tak ada yang paling berbahagia mendapatkannya kembali, kecuali Asiong, pemuda yang mencintainya.

BAGIAN 82
Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk menjelaskan apa yang terjadi selama ini kepada Ervina, dengan disaksikan Jun Nyen dan beberapa gadis Dayak di rumah betang, air mata Ervina mengalir tak henti-hentinya saat mendengar pemuda kekasihnya bercerita. Jun Nyen cukup tahu diri tidak melibatkan diri dalam pembicaraan sahabatnya dengan kekasihnya itu. Dia membiarkan Asiong menyelesaikan ceritanya kepada Ervina, sementara dia beranjak ke dalam dan mencari Bujang Berani.

"Lex, kamu... kamu..." Ervina terisak dan tak kuasa memeluk Asiong setelah pemuda itu selesai bercerita. "Terima kasih... Terima kasih..."

Tangis Ervina meledak dalam pelukan kekasihnya. "Aku mengerti kenapa kamu begitu senang melihatku kembali. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang..."

"Yang dicintai..." Sambung Asiong sambil membelai rambut pirang kekasihnya. Pelukannya di badan kekasihnya semakin erat, seperti tak ingin melepaskannya lagi. Tak peduli perbuatan mereka disaksikan oleh gadis-gadis Dayak di rumah betang yang melihat mereka sambil tersenyumsenyum.

"Entah bagaimana aku kalau tak ada kamu, Lex." Kata Ervina di sela-sela tangisnya. "Kamu sudah menolongku lagi..."

"Tidak apa-apa..." Asiong berbisik di telinga gadis itu. "Apapun akan kulakukan demi mendapatkanmu kembali."

"Terima kasih, Sayang..." Ervina mengusap matanya yang tergenang itu. "Aku tak tau lagi harus bilang apa..."

"Tak perlu..." Asiong menggeleng. "Bisa mendapatkanmu lagi, sudah sangat berarti bagiku..."

"Lex..." Dengan matanya yang sayu karena menangis, gadis itu menatap kekasihnya. "Aku lapar..."

"Astaga! Aku baru ingat. Sudah berapa hari kamu tidak makan." Asiong mengambil tas ransel Jun Nyen yang tergeletak tak jauh di sampingnya. Dibukanya tas itu dan dikeluarkannya roti dari dalamnya.

"Aku hanya punya ini... Makanlah dulu." Kata Asiong kepada kekasihnya. "Nanti setelah kita pulang dari sini, kita makan lagi di luar."

Ervina mengambil roti yang ditawarkan kekasihnya dan dibukanya bungkusannya. "Kamu juga makan ya, Lex..."

Asiong menggeleng. "Aku tidak lapar. Kamu saja. Kamu kan sejak kemasukan, jarang makan lagi..."

"Dikit aja ya," Ervina memasukkan sedikit roti yang disobeknya ke dalam mulut Asiong. "Ucapan terima kasihku untukmu."

Asiong menerima suapan Ervina dengan mulutnya. Gadis itu tersenyum melihatnya.

"Senyum ini..." Kata Asiong. "Sudah lama aku tak melihatnya lagi..."

"Aku akan terus tersenyum untukmu, Lex. Kamu sudah banyak menolongku..."

Tak lama kemudian, Jun Nyen melangkah keluar diikuti oleh Tetua Iban dan Bujang Berani. Ketiganya tersenyum saat melihat Asiong dan Ervina yang sedang tertawa-tawa.

Tampak Tetua Iban menatap Ervina yang saat itu sudah berdiri bersama Asiong dan menghadapnya dan Bujang Berani.

"Baka ni nuan?" Tetua Iban itu berkata. Tentu saja perkataannya membuat Asiong dan Ervina terbengong mendengarnya.

"Tetua Iban bertanya, bagaimana keadaanmu, Vina?" Kata Jun Nyen.

"Ohh," Ervina tersenyum. "Aku sudah baikan..."

Jun Nyen berkata menterjemahkan ucapan Ervina.

"Manah, manah..." Jawab Tetua Iban tersenyum.

"Manah itu bagus..." Ujar Jun Nyen.

"Terima kasih. Aku sangat berterima kasih atas pertolongannya." Ervina mengangguk kepada Tetua Iban. Sementara Asiong menyalami tangan Tetua Iban dan Bujang Berani. Kedua Dayak Iban senior itu tersenyum menatap sepasang kekasih itu.

"Ka pulai dulu..." Jun Nyen berkata kepada Bujang Berani dan Tetua Iban, sambil bergabung dengan Asiong dan Ervina.

"Enti sema bisi masa panjai, belelak kitu." Kata Bujang Berani.

Jun Nyen mengangguk. Bersama dengan Asiong dan Ervina, pemuda itu berjalan menuju pintu rumah betang. Tetua Iban dan Bujang Berani masih mengantar mereka.

"Selamat jalai!" Sambil tersenyum, Tetua Iban dan Bujang Berani berkata bersamaan.

Beberapa menit kemudian, ketiga anak muda itu melangkah pergi meninggalkan pedalaman Suku Dayak Iban. Saat menunggu perahu atau rakit yang akan membawa mereka menyebrangi Sungai Utik, Asiong iseng-iseng berkata kepada Ervina yang berdiri di sampingnya dan digandengnya.

"Vina," Panggil Asiong pelan.
"Hmmm..." Gadis kekasihnya itu berpaling menatap Asiong.
"Aku sayau nuan..." Kata Asiong kepada Ervina. Aku sayau nuan dalam bahasa Indonesia berarti aku sayang kamu.
"Apa tuh artinya? Aku tak mengerti..." Ujar Ervina. Sementara Jun Nyen tersenyum menyeringai mendengar Asiong mengucapkan kata itu.
"Wah, aku baru saja sudah lupa artinya..." Asiong menjawab sambil menahan senyumnya.
"Ihh... Iseng ya..." Ervina memukul pelan lengan Asiong. "Apa artinya?"

Asiong hanya mengangkat kedua bahunya.

"Ihhh..." Semakin penasaran Ervina dibuatnya. "Jun Nyen, apa artinya?"
"Apa ya?" Jun Nyen mengelus-elus kepalanya sambil tersenyum. "Aku tak berani bilang. Nanti ketua marah..."
"Ihhhhhhh...." Ervina mendesis. "Samanya kamu ini..."

Asiong tak dapat menahan tertawanya lagi. Tawanya meledak saat itu melihat kekasihnya geregetan dengan arti ketiga kata itu.

"Awas ya, Lex..." Gadis itu menggerutu. "Jun Nyen juga. Ketuamu ini takkan melarangmu selama ada aku..."
"Wah, kok kamu yakin sekali?" Asiong tertawa menatap kekasihnya itu. Namun Ervina tak memperhatikannya karena sedang asyik mendengar ucapan Jun Nyen yang juga berdiri di sampingnya.
"Lex..." Panggil Ervina.
"Ya?" Asiong menengok menjawab panggilan Ervina.
"Anang manchal, Sulu!" Kata Ervina kepada kekasihnya saat Asiong menengok ke arahnya. Maksudnya adalah "Jangan nakal, Kekasihku..."
"Apa itu?" Asiong mengernyitkan keningnya menatap Ervina. "Dari mana kamu belajar bahasa Dayak?"
"Hahahaha..." Jun Nyen tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. "Jako Dayak dibalas Jako Dayak..."

Sementara Asiong dan Ervina tersenyum dan saling bertatapan satu sama lain. Senyum kebebasan dengan lepasnya beban berat di pundak keduanya. Tak lama kemudian, perahu yang didayung seorang penduduk lokal datang menjemput ketiga anak muda itu.

Asiong masih sempat menengokkan kepalanya ke belakang melihat perkampungan untuk yang terakhir kalinya dan dilanjutkan dengan gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. "Selamat tinggal, Perkampungan Dayak Iban. Sekali lagi terima kasih..."

BAGIAN 83
Sekembalinya ketiga anak muda itu ke Pontianak, hari telah menjelang senja. Jun Nyen langsung pulang ke rumahnya setelah menemani Asiong dan Ervina tiba di rumah orang tuanya di Kota Siantan.

Asiong masih sempat bercerita sejenak kepada kedua orang tua dan Aheng, adiknya, tentang petualangannya di Perkampungan Dayak Iban sehari sebelumnya. Tak lupa pemuda itu juga mengenalkan Ervina kepada mereka.

"Cantik sekali..." Itulah pujian yang diucapkan kedua orang tua Asiong dan juga adiknya. Pujian yang membuat Ervina tersenyum tersipu.

Malam menjelang. Karena lelah dengan perjalanan jauh yang ditempuh mereka, Asiong terlelap dalam waktu singkat. Namun tidak begitu dengan Ervina, yang tidur di kamar sebelah. Gadis itu merebahkan badannya di ranjang sederhana di kamar tidur di rumah orang tua kekasihnya. Matanya menatap langit-langit kamar sambil pikirannya terus menerawang kemana-mana.

'Baru sekali ini aku tidur di luar kota Jakarta, terlebih ini Pontianak. Daerah yang sama sekali asing bagiku.' Gadis itu berkata sambil berkelana dengan pikirannya. 'Kalau saja aku tidak mengenal Alex, tak mungkin aku bisa berbaring disini sekarang.'

Pikirannya teringat dari perjumpaannya dengan pemuda itu di PRJ. Lalu berlanjut dengan bertemu kedua kalinya di diskotik dan restoran fast food. Pemuda itu mengantarnya pulang dengan taxi dan sampai tertidur di rumahnya, hingga akhirnya dikenalkannya kepada mamanya. Dari sanalah hubungan keduanya meningkat.

'Perkelahian di PRJ gara-gara Alex membelaku dari anak buah Roni. Rentetan teror yang makin lama semakin parah. Justine.... Oh ya, gimana kabar Justine ya? Mudah-mudahan saja dia baik dan dijaga oleh cicik-cicik Alex yang baik itu.'

Saat gadis itu terbayang perjuangan Asiong yang bersusah payah menyelamatkan nyawa Justine dari kematian yang telah nyaris menjemputnya, mulai dari menyelamatkan dirinya dari kejaran anak buah Roni, hingga berakhir dengan dibentaknya wanita berambut gulung di klinik dokter hewan. Saat teringat itu semua, mata gadis itu mulai basah.

"Alex, kamu banyak berkorban untukku." Ervina berkata. "Untuk Justine. Untuk keluargaku."

Kembali gadis itu teringat akan cerita Asiong saat dirinya yang ditenung oleh Roni melalui tangan seorang dukun ilmu hitam, teringat akan bagaimana dia sampai menyerang, melukai bahkan nyaris membunuh pemuda rantau itu, Ervina tak dapat menahan linangan air matanya.

"Maafkan aku, Lex. Kamu bisa mengerti keadaanku dan sampai berkorban jiwa raga, bahkan tenaga dan materi untuk membawaku ke Pontianak sini..."

"Padahal aku bukan siapa-siapa, tapi kenapa... kenapa kamu begitu memperhatikanku? Kamu berkorban begitu besar untukku... Tak peduli nyawamu menjadi taruhannya..."

Air mata Ervina semakin membasahi kedua matanya dan tak ada niat gadis itu untuk menyekanya.

"Vina..." Terdengar Asiong berkata dengan suara keras, nyaris berteriak. Dengan mendadak, dipeluknya kekasihnya itu. Suaranya membuat gadis-gadis Dayak di rumah betang itu semakin banyak memandang ke arah mereka. "Benar ini kamu, Vina. Senangnya!"

"Lex... Aaahhh..." Ervina yang mendadak dipeluk kekasihnya itu terperanjat dan semakin bingung dengan tingkah Asiong yang melepaskan pelukannya dan menatap sepasang matanya lekat-lekat.

"Ya, Tuhan. Terima kasih. Kamu sudah kembali." Kata Asiong dan kembali memeluk kekasihnya dengan erat. "Kamu sudah kembali..."

Ervina seperti melihat balik kejadian yang dialaminya tadi pagi. Bulir bening kembali mengalir menambah tetesan yang siap meluncur turun dari matanya.

"Aku pikir aku akan kehilanganmu..." Ujar Asiong. Suaranya terdengar agak bergetar. "Syukurlah. Semua ini tidak sia-sia."

"Alex...." Gadis itu tak kuasa lagi menahan tangisnya. Tanpa bersuara dia menangis dalam kamar. "Kamu luar biasa... Hebat! Aku senang bisa mengenalmu."

"Kamu pantas disebut sebagai pahlawan, Lex. Aku... Aku... senang.... sangat senang... Sangat senang bisa menjadi kekasihmu..." Ervina melipat bibirnya menahan tangisnya agar tak terdengar dari luar kamar.

"Selama ada kamu yang menjagaku, takkan ada orang yang bisa mengambilku..." Kata Ervina yang juga pernah diucapkan dalam kencannya dengan Asiong.

Gadis itu mengangkat tangan kanannya dan melihat cincin putih yang melingkar di jari manisnya itu.

"Nama Alex di jari manisku... Jari kesetiaan..." Gumam Ervina. Teringat olehnya kata-kata pemuda kekasihnya itu.

"Supaya bisa saling mengingat dan mengisi. Ada kamu di hatiku dan ada aku di hatimu."

Ervina tersenyum. "Terima kasih, Alex. Hatiku takkan pernah kuberikan pada siapapun selain dirimu, agar kamu bisa selalu menjaganya. Menjaga dari orang jahat yang ingin mengambilku darimu. Karena kamu pahlawanku. Aku yakin kamu pasti akan bisa menjagaku."

"Cinta kita akan terjaga utuh di hati ini, Alex." Ervina meletakkan tangannya di dadanya. "Selamanya, aku akan mencintaimu..."

Tanpa menyeka dan mengeringkan air mata dari matanya, gadis itu menutup matanya. "Kamu pasti sudah pulas kan, Lex. Akan kutemani tidurmu malam ini, Sayangku..."

Ervina, yang telah kembali kepada dirinya yang sebenarnya, sembuh total dari pengaruh ilmu tenung hitam yang dilancarkan oleh Roni kepadanya, memejamkan matanya, membiarkan dirinya terbuai dalam mimpi.

Malam itu, malam pertama Ervina tertidur lagi, setelah kembali kepada dirinya yang sebenarnya.

BAGIAN 84
Keesokan harinya, dengan meminjam motor Aheng, Asiong mengajak Ervina menikmati keindahan kota Pontianak, kota kelahirannya, yang baru pertama kali dikunjungi oleh kekasihnya itu.

"Alex," Ervina memeluk erat pinggang Asiong yang membawa motor itu. Pemuda itu menikmati hembusan angin pagi yang sejuk dengan membawa pelan motornya.

"Kenapa, Vin?"

"Kita mau kemana?"

"Ke suatu tempat yang akan kamu suka..."

"Oh ya? Dimana itu?"

"Hmm..." Pemuda itu tidak menjawab, hanya menggeleng pelan. Bibirnya tersenyum. Namun karena pemuda itu duduk di depan Ervina, jadi senyumnya tidak diketahui oleh gadis itu.

"Ihhh... Kenapa sih, kok misterius banget kamu?" Ervina mengencangkan pelukannya di pinggang Asiong, membuat pemuda itu memprotesnya.

"Aduhh... Vina... Jangan kencang-kencang. Aku bisa sesak nafas nih..."

"Kamu kasih tau dulu, baru aku lepasin..." Ujar Ervina dengan nada menggoda.

"Kalau aku tidak mau?" Asiong menantang balik sambil tersenyum. "Kamu mau memelukku sampai kapan?"

"Ihhhhh...." Dengan gemas, Ervina mengencangkan pelukannya lagi, membuat kekasihnya semalin memprotesnya.

Sepasang insan yang saling mencintai itu tertawa dan bercanda sepanjang perjalanan, sehingga waktu yang dilewati tidak terasa lama. Sambil berjalan santai, Asiong memberi penjelasan kepada kekasihnya akan tempat dan jalan yang dilalui mereka.

"Lex, Singkawang itu dimana?" Ervina mengajukan pertanyaan kepada kekasihnya di tengah-tengah penjelasannya. "Apa masih di Pontianak juga?"

"Oh, tidak. Pontianak dan Singkawang itu tetanggaan. Seperti Jakarta dengan Tangerang." Jawab Asiong.

"Jadi harus lewat perbatasan dong?"

"Iya, Vin, ada perbatasannya."

"Aku senang disini, damai, tenang, tidak seperti Jakarta." Kata Ervina.

'Paling tidak disini kita tidak diganggu oleh komplotannya Roni.' Jawab Asiong dalam hati.

"Andaikata kamu pindah dan tinggal disini, apa kamu mau?" Tanya Asiong.

Ervina mengangguk. "Aku mau. Selama ada kamu yang temanin aku."

"Oh, aku di Jakarta dong." Ujar Asiong sambil tersenyum.

"Lho, kok?"

"Iya, aku ingin merasakan bagaimana hidup di ibukota itu." Asiong menjelaskan. "Kata orang, kehidupan disana keras. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Tapi justru aku malah bertemu cintaku di Jakarta..." Asiong tertawa kecil.

"Ihhh... Lex, kamu udah mulai berani menggoda aku ya..." Sambil tertawa kecil, Ervina berkata.

Tertawa Asiong semakin kencang. "Ya, karena aku senang bisa mendapatkan kembali apa yang nyaris hilang. Dan aku tak ingin kehilangannya lagi..."

"Alex..." Ervina berkata dengan suara sendunya. "Kamu takkan kehilanganku lagi. Jadi jangan berkata gitu lagi ya..."

"Nah, mumpung kamu disini, aku mau membawa kamu jalan-jalan dan melihat keistimewaan kota ini." Kata Asiong.

"Tugu Khatulistiwa ya, Lex?" Tanya Ervina tiba-tiba.

"Kamu tahu juga?"

"Pernah baca di buku." Jawab gadis itu. "Pontianak itu kota Khatulistiwa dan ada tugu khatulistiwa. Kamu mau bawa aku kesana ya?"

Asiong tertawa. "Bukan mau. Tapi memang kita sudah sampai."

"Ihhhhhh...." Kembali Ervina memeluk erat pinggang kekasihnya dengan gemas karena digoda terus olehnya.

Asiong memarkir motornya tak jauh dari tugu khatulistiwa, sementara Ervina memandang monumen itu dengan takjub.

"Wah, ini ya 'Monas'-nya Pontianak?" Tak berkedip, gadis itu memperhatikan tugu di depannya itu.

"Ya... Tugu Khatulistiwa. Salah satu kebanggaan kami di Pontianak ini." Jawab Asiong.

"Hebat!" Ervina melompat senang.

"Yuk, kita masuk ke dalam." Asiong menggandeng lengan kekasihnya dan mengajak gadis itu masuk ke dalam tugu.

"Lex, boleh foto kan?" Ketika tiba di dalam dan mendapatkan bagian yang menurutnya berlatar belakang indah, timbul niat Ervina untuk mengabadikannya dalam foto.

"Boleh dong." Asiong tersenyum.

"Ayo, Lex. Kita foto-foto dulu..." Ervina menarik lengan kekasihnya dan sesaat keduanya terlarut dalam suasana riang dan canda.

"Ada yang istimewa lho dari tugu ini." Kata Asiong di tengah-tengah suasana melihat-lihat isi dalam tugu.

"Apa itu?" Tanya Ervina sambil mengambil pose untuk difoto kekasihnya melalui handphone sang gadis.

"Antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September, ada fenomena alam dimana titik kulminasi matahari mencapai tepat di garis khatulistiwa." Kata Asiong memberi penjelasan. "Pada saat itu matahari mencapai titik tertingginya yaitu tepat di atas kepala kita, jadi tak ada bayangan yang terbentuk."

"Wah, hebat..." Ervina membelalakkan matanya mendengar penjelasan kekasihnya.

"Ya, memang. Pada peristiwa kulminasi tersebut, bayangan tugu akan 'menghilang' beberapa detik saat diterpa sinar matahari. Begitu pula dengan bayangan benda-benda lain disekitar tugu ini." Lanjut Asiong.

"Mantap ya?"

Asiong mengangguk. "Yuk, kita ke tempat lain lagi." Digandengnya lagi lengan Ervina dan mengajaknya keluar dari dalam tugu.

"Mau kemana lagi, Lex?" Tanya Ervina penasaran ketika tiba di dekat motor parkiran.

"Tempat yang romantis untuk makan..." Jawab Asiong sambil bersiap-siap dengan motornya.

Ervina tersenyum lebar membayangkan saat-saat indah di tempat wisata yang belum pernah dikunjunginya. Berdua dengan kekasih yang disayanginya.

Dari Tugu Khatulistiwa, sepasang kekasih itu menghabiskan waktu hingga menjelang sore dengan berkunjung ke Keraton Kadariyah dan berakhir dengan acara makan di sebuah kafe terapung, Kafe Serasan.

"Aku senang sekali disini, Lex. Pontianak ternyata gak kalah dengan Jakarta." Ujar gadis itu saat keduanya sedang menikmati santap siangnya di atas sebuah kapal terapung di tepi sungai Kapuas.

"Yah, masih ada sih banyak lagi yang menarik disini..." Ujar Asiong yang menemani kekasihnya makan bersama itu. "Yang sangat terasa di Pontianak ini adalah kebudayaannya yang masih kental dan sifat kekeluargaannya yang pantas mendapatkan..."

Pemuda itu mengacungkan jempol kanannya sambil tersenyum.

"Ya, beda dengan Jakarta dimana orang sudah pada egois mengurus kepentingan sendiri-sendiri." Timpal Ervina.

"Lagipula di Jakarta, aku belum pernah makan di atas kapal terapung seperti ini..." Kata gadis itu lagi sambil memandang ke sekeliling. "Bisa melihat pemandangan sungai begini..."

"Inilah Pontianak yang khas dengan Sungai Kapuas dan segala kelebihannya..." Ujar Asiong.

Saat itu handphone di saku celana Asiong berbunyi. Pemuda itu mengambilnya dan menerima panggilan masuk tersebut.

"Hah? Nanti sore? Wa capek banget nih... Janganlah..."Terdengar pemuda itu menjawab.

"Ya, barusan mengajak Vina jalan-jalan..." Sambungnya.

Terdiam sesaat. Lalu pemuda itu menyambung lagi.

"Okelah. Sampai nanti sore ya..." Asiong menutup pembicaraannya dan meletakkan handphone di atas meja.

"Kenapa, Lex?" Tanya Ervina yang memandangnya dari waktu teleponnya berdering.

"Tadi itu Jun Nyen yang telepon. Katanya teman-teman mengajakku berkumpul nanti sore. Padahal aku masih capek..." Jawab Asiong.

"Teman-teman geng ya?"

Asiong mengangguk.

Ervina memegang lengan kekasihnya di atas meja. "Pergi saja, Lex. Bagaimanapun juga mereka teman-temanmu..."

"Iya... Tapi kamu gimana?"

"Aku boleh ikut kamu?" Gadis itu memandang Asiong dengan kerdipan matanya.

Asiong tersenyum. "Boleh dong."

"Kamu kan udah janji waktu di Jakarta kalau suatu saat kamu akan ajak aku berkenalan dengan teman-temanmu..." Ujar Ervina. "Kamu masih ingat, Lex?"

Asiong mengangguk. "Masih. Tapi kamu tidak capek?"

"Nanti capeknya akan hilang setelah bertemu teman-teman lama." Kata Ervina. "Percaya deh."

"Ya sudah, nanti sore kita pergi bertemu mereka..." Ujar Asiong yang disambut senyuman Ervina.

"Setidaknya pesanan Cece sudah terbeli..." Sambung pemuda itu sambil mengangkat kantong plastik berisi lempok durian dan asem pala.

"Lex, kulihat kamu sepertinya lebih akrab dengan Cik Chun Hwa daripada Cik Mei Hwa." Gadis berambut pirang itu kembali berkata.

"Ya, mungkin hanya perasaanmu saja. Aku sayang kedua-duanya." Jawab Asiong. "Keduanya sangat berarti bagiku. Begitupun denganmu. Semuanya orang-orang yang kucintai dalam hidup ini."

"Termasuk teman-temanmu itu kan?" Celetuk Ervina sambil tertawa kecil.

"Tentunya..." Asiong membalas dengan senyuman. "Padahal aku ingin mengajakmu melihat sunset disini. Indah lho..."

"Kan masih waktu lain, Lex." Ervina menghibur pemuda itu. "Bisa bersamamu saja aku sudah senang kok..."

Asiong tersenyum lagi. "Mumpung masih ada waktu, yuk, kita siap-siap kalau kamu sudah selesai."

"Aku udah." Jawab Ervina sambil berdiri dari bangku yang didudukinya. "Kita pulang dulu kan, Lex?"

"Ya, pulang dan mandi dulu. Agak sore baru kita kesana bertemu mereka."

"Jam berapa?" Gadis itu bertanya sambil mengikuti kekasihnya keluar dari kapal dan berjalan ke parkiran motor.

"Sekitar jam 5 sore nanti..."

"Masih ada waktu..." Ujar Ervina sambil duduk di boncengan motor yang dibawa kekasihnya. Keduanya meluncur meninggalkan tepian sungai Kapuas dengan kenangan yang telah tersimpan dan diabadikan di foto dan ingatan keduanya.

BAGIAN 85
Kedatangan Asiong di tempatnya biasa berkumpul dengan teman-temannya mendapat sambutan meriah dari teman-teman gengnya. Salaman tangan tiada henti, pelukan dari satu teman ke teman lainnya, suara tertawa lepas, menghiasi pertemuan Asiong dengan semua teman seperjuangannya itu.

"Selamat datang, Ketua!" Kata beberapa di antara mereka. "Pulang dari Jakarta membawa gandengan nih..."

Asiong tertawa. Teman-teman seperjuangannya hampir sama dengannya, berbadan tegap dan berambut gondrong. Sebagian dari mereka masih mengenakan antingnya.

"Alung! Afu! Ahaw! Anam! Achiung! Aloi! Amin! Ata! Joni! Yang ini sudah kenal kan, Jun Nyen!" Asiong memperkenalkan teman-temannya kepada Ervina yang berdiri tepat di sampingnya. "Ini Ervina."

Ervina tersenyum dan menerima salaman tangan teman-teman Asiong yang semuanya adalah anak muda seumuran dengannya. Walaupun penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan Asiong, yang telah dianggap sebagai ketua mereka, namun hati mereka semua tidaklah seperti penampilan mereka.

"Cantik bangat kekasihmu tuh, Siong." Celetuk Joni. "Seleramu tinggi sekali."

"Ya, pirang pula..." Sambung Ahaw. "Bukan produk lokal nih..."

Semuanya tertawa, termasuk Asiong dan Ervina yang tersipu itu. Walau baru tiba sebentar, gadis itu sudah merasakan adanya kehangatan dan kekompakan antar pemuda teman-teman kekasihnya itu.

Tempat berkumpul mereka adalah sebuah rumah yang berlantai bawah tanah. Dengan pekarangan luas yang biasa dipakai mereka untuk membakar daging dan bersantap bersama. Itu adalah rumah yang dipakai sebagai markas tempat berkumpul mereka. Sebuah rumah tak terpakai, namun sering dikunjungi untuk berkumpul bersama.

"Siong, minum dulu..." Ata melemparkan sebotol minuman kepada Asiong yang langsung menangkapnya. Tapi Asiong menyerahkan kembali kepada Achiung yang kebetulan berdiri tak jauh darinya.

"Nanti saja. Wa belum haus." Ujar Asiong. Dipandanginya Ervina yang masih mengikuti setiap langkahnya. "Mau ikut aku melihat-lihat tempat ini?"

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Digandengnya lengan kekasihnya itu yang kemudian mengajaknya mengitari rumah tempat berkumpul mereka itu.

Sambil berjalan berkeliling, Asiong menjelaskan tentang tempat berkumpul mereka itu.

"Ini rumah sebenarnya peninggalan orang tua Anam yang dua-duanya sudah meninggal. Anam anak tunggal, jadi dia memutuskan untuk mencari kerja dan bermaksud menyewakan rumah ini. Namun, karena waktu itu kami semua sedang terlibat masalah dengan anak-anak kampung sebelah, jadi kami butuh tempat berkumpul sebagai markas. Tempat yang aman dan tidak terganggu oleh siapapun. Akhirnya Anam menawarkan rumahnya ini kepada kami. Sejak saat itu tempat ini menjadi markas geng kami."

"Kalian kompak sekali ya?" Kata Ervina. Langkahnya membawanya ke ruang bawah tanah di rumah itu. Tepat di tengah ruangan, di atas plafon, tergantung sebuah speed bag, sansak kecil yang digantung di atas langit-langit untuk berlatih tinju.

Asiong memegang speed bag yang masih rapi terbungkus sarung berwarna merah. Pertanyaan kekasihnya tak menjadi perhatiannya begitu dia melihat speed bag itu.

"Tak berubah, masih sama seperti dulu." Kata pemuda itu sambil mengayunkan tangannya ke arah speed bag yang tergantung tersebut. Disusul dengan ayunan-ayunan kedua lengannya memukul speed bag itu, semakin lama gerakannya semakin cepat dan bertenaga.

"Lex, pantas saja kamu bisa merobohkan anak buah Roni yang berbadan besar," Ervina berkata di antara suara ayunan tangan Asiong yang menimbulkan bunyi gerakan udara. "Ternyata ini rahasianya..."

"Ya..." Pemuda kekasihnya menjawab singkat dalam latihan tangan itu. Hanya sekejap, bajunya mulai basah oleh keringat yang mengucur di badannya.

DIESSSHHH!!!

"Di Jakarta, aku tak bisa berlatih seperti ini." Kata Asiong mengakhiri latihannya dengan sebuah pukulan tangan kanan yang kencang. Speed bag bergetar dan berayun keras akibat pukulan itu.

"Bukan karena Cece melarang aku memasang speed bag di rumah. Tapi karena tak ada tempat bagus di rumah untuk memasangnya."

Pemuda itu berjalan ke sebuah pintu tertutup di samping kanannya. Dibukanya pintu itu dan di dalamnya tergantung sebuah sansak yang terbungkus rapi.

"Wow!!" Ervina terbelalak melihat sansak di depan matanya. "Pantas pukulanmu sangat bertenaga..."

"Hampir tiap hari aku datang kesini untuk latihan." Asiong menyentuh sansak di depannya. "Sejak ke Jakarta, aku jadi puasa latihan."

Pemuda itu membuka baju kaos yang dikenakannya dan disampirkannya di paku yang tertancap di dinding. Namun Ervina dengan sigapnya mengambil baju kekasihnya itu sebelum pemuda itu sempat menyampirkannya di dinding.

"Terima kasih." Ujar Asiong. Bagaimanapun juga, pemuda itu harus mendekati dinding dan mengambil pembungkus tangan yang tergantung di sana. Dengannya dia mengenakannya ke tangannya.

'Badanmu itu, tegap dan kekar,' Kata Ervina dalam hati saat melihat sendiri otot-otot tangan dan dada bidang kekasihnya yang bertelanjang dada itu. Otot di perut pemuda itu pun sudah mulai terbentuk, walau belum terlalu terlihat jelas. Walaupun telah tinggal serumah di konveksi yang dikontrak Asiong dan kedua kakaknya, namun baru kali itu Ervina melihat kekarnya badan kekasihnya dengan mata kepalanya sendiri. 'Tak heran, orang-orang Roni kamu buat pontang-panting.'

"Aku latihan dulu ya, Vin." Kata Asiong yang telah selesai memasang sarung tangannya. Ervina membalas dengan senyumannya.

Asiong membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk melatih pukulannya di sansak besar itu. Semua pukulan yang dilancarkannya terlihat bertenaga, membuat sansak yang dihantamnya berputar tak menentu ke berbagai arah. Setiap pukulan yang dilancarkannya meninggalkan suara hantaman yang bukan kecil terdengar di telinga.

"Aku kangen dengan ini semua." Kata Asiong mendekati Ervina dengan keringat yang bercucuran di badan dan wajahnya. "Di Jakarta aku tidak bisa berlatih seperti ini."

Pemuda itu mengajak kekasihnya keluar dari ruangan itu. "Kamu lihat itu, Vin?" Ditunjuknya sebuah kursi kayu panjang dengan sebuah barbel di atasnya.

"Ya," Jawab Ervina.

"Itu untuk melatih kekuatan dada." Kata Asiong. Ditunjuknya dumbel yang tak jauh di bawa kursi panjang. "Dan itu untuk melatih otot tangan."

"Luar biasa! Pantas saja kamu begitu terlatih." Ujar Ervina terkagum-kagum.

"Ya, kami membuat semua ini. Karena kami membutuhkannya untuk bertarung." Jawab Asiong sambil menyeka keringat di wajahnya dengan tangannya. Keringat yang tak kalah banyaknya mengucur di badannya.

"Kalau tidak begini, kekalahan akan menjadi langganan kami." Sambungnya sambil berjalan meninggalkan ruang bawah tanah.

"Kamu pemimpin mereka kan, Lex?"

Asiong mengangguk. "Makanya, sebagai pemimpin, apalagi kami ini anak geng, tentunya kami harus kuat agar bisa bertarung dan memenangkan setiap perkelahian."

"Kamu pernah kalah sebelumnya?"

"Hmm... Pernah. Itu juga karena dicurangi. Aku dibokong dari belakang kepala dengan kayu." Jawab Asiong. "Sekuat apapun seseorang, kepala itu termasuk daerah rawan yang harus dilindungi."

"Lalu?"

Asiong tertawa. "Besoknya, geng yang membokong kami itu porak poranda. Markas mereka juga hancur kami obrak-abrik. Ketuanya kubuat berdarah-darah dan mengakui kekalahannya."

"Apanya yang berdarah-darah?" Tanya Ervina sambil menyerahkan baju kaos kekasihnya saat diminta pemuda itu.

"Wajahnya." Asiong menjawab sambil memakai baju kaosnya kembali.

"Kamu sadis juga ya, Lex?" Ervina tersenyum menatap kekasihnya. "Sampai berdarah-darah begitu."

"Itu karena mereka yang memulai dulu. Salah satu adik temanku dihajar di sekolah oleh sekawanan anak berandal. Adikku dan teman-temannya membalas, namun mereka membawa kakak mereka dan tentunya adikku dan teman-temannya bukan tandingannya."

"Adikmu yang di rumah? Aheng?"

"Bukan, bukan Aheng." Jawab Asiong. "Akhiong yang di Jakarta."

"Oh, Akhiong, yang kamu pernah cerita itu kan?"

Asiong mengangguk. Keduanya telah tiba di lantai dasar, dimana teman-teman Asiong telah menunggu.

"Udah selesai latihannya, Siong?" Terdengar salah seorang temannya berteriak. "Kami disini juga sudah siap!"

Asiong mengangguk. Ditatapnya Ervina yang berdiri di sampingnya. "Selamat datang di geng yang kupimpin. Sesaat lagi kamu akan melihat pesta arak khas geng kami."

BAGIAN 86
Seperti halnya dalam sebuah pesta, tawa lepas dan canda riang pasti menjadi bagian yang menghiasi indahnya pesta. Begitu pula dengan Asiong dan teman-teman gengnya. Dengan berbekal beberapa botol arak besar, beberapa bungkus rokok, semangkok besar mie dan gitar, pesta khas geng yang dipimpin Asiong pun digelar.

"Berapa bungkus Indomie goreng yang kau masak kali ini, Haw?" Tanya Asiong saat melihat mangkok mie berukuran besar di meja di depannya.

"Dua lusin!" Jawab Ahaw. Pemuda yang satu ini pintar memasak, karena keluarganya di Pontianak membuka rumah makan yang hanya mempekerjakan 1-2 orang pegawai saja.

Suara tertawa meledak seketika mendengar jawaban Ahaw.

"Jangan-jangan bukan Indomie goreng..." Celetuk Afu.

"Betul, Fu. Jangan-jangan stok mie bapaknya diambilnya..." Aloi menyambut celetuk temannya dengan tertawa lebar.

"Rasa tentunya bisa membedakan!" Ahaw menjawab dengan tenang.

"Hiaaah, itu sih moto rumah makan keluargamu. Janganlah kau bawa-bawa kemari!" Timpal Joni.

Canda tawa mengawali pesta arak yang dilangsungkan saat hari mulai beranjak malam. Ervina juga ikut terlarut dalam suasana suka itu. Setidaknya disana gadis itu bisa tertawa lepas tanpa perlu terbeban oleh kasusnya dengan Roni yang sampai detik itu masih belum terselesaikan.

"Siong, cerita dong, gimana bisa bertemu dengan bidadari cantikmu itu." Alung tak ketinggalan memberikan komentarnya.

"Ya, Siong. Berbagilah bersama kami..." Sambung Achiung.

"Lho, Jun Nyen belum cerita ya?" Asiong menggaruk kepalanya memandang sahabatnya yang membawanya ke pedalaman Suku Dayak Iban itu. Jun Nyen yang dipandangnya hanya tertawa sambil mengangkat kedua bahunya.

"Benar-benar kau ini, Nyen!" Asiong mendelikkan mata ke arah Jun Nyen sambil tertawa.

"Tak seru bila wa yang bercerita. Lebih baik orangnya sendiri yang bercerita, itu baru seru. Betul kan, kawan-kawan?" Kata Jun Nyen. Teman-teman lainnya mengangkat tangan dan berseru bersamaan mengiyakan komentar Jun Nyen.

Kenyataannya, Jun Nyen hanya bercerita bagaimana konflik yang dialami Asiong selama di Jakarta, namun untuk perkenalan Asiong dengan Ervina, Jun Nyen sama sekali tidak menceritakannya.

"Baiklah. Wa akan cerita." Kata Asiong. Dengan tangan kirinya, dipeluknya pinggang Ervina yang berdiri di sampingnya. "Bagaimana wa bisa mendapatkan dia..."

Ervina tersipu mendapat pelukan mendadak dan pujian dari kekasihnya. Rasa malu bercampur senang dan bangga menjadi satu dalam hati gadis itu.

"Begitu ceritanya." Kata Asiong menutup kisahnya.

"Wah, ternyata di Jakarta, kau juga bertarung, Siong." Ujar Anam. Asiong mengangguk.

"Kalian gimana? Masih sama bertarung seperti dulu?" Asiong bertanya balik.

"Masih. Itu kan sudah mendarah daging, Siong." Jawab Amin.

"Kawan-kawan, mari kita toast untuk ketua dan pasangannya!" Jun Nyen mengangkat gelas besar yang telah terisi arak yang dituangkan oleh salah seorang dari mereka saat Asiong bercerita.

"Ya! Mari!" Serentak teman-teman lainnya mengambil gelas yang sudah dibagikan ke depan meja masing-masing dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Asiong pun tak ketinggalan mengambilnya.

"Vina." Asiong menatap kekasihnya. "Kamu bisa minum arak kan?"

Kekasihnya mengangguk. "Aku ambil segelas ya?"

"Ya, kita semua, masing-masing satu gelas!" Jawab Asiong dengan tegas. Diangkatnya gelas di genggamannya setinggi kepalanya.

"Segelas arak ini lambang persahabatan. Kehilanganmu berarti kehilangan secangkir arak. Ingatlah selalu persahabatan kita setiap saat kau meneguk arak ini. Karena persahabatan kita akan semakin hangat dengan secangkir arak. Walaupun arak ini akan dingin, namun ketika masuk ke dalam tubuh, arak ini menjadi hangat. Walaupun kita berjauhan, selama arak masih bisa menghangatkan badan, selama itulah persahabatan kita akan terjalin."

Setelah mengucapkan kalimat yang menjadi janji persahabatan mereka semua, Asiong kembali melanjutkan.

"Untuk Vina yang telah kembali pada dirinya."

"Untuk kelanggengan Asiong dan Vina..." Ujar Jun Nyen.

"Untuk persahabatan kita!" Sambut Alung.

"Untuk kemenangan pertarungan!" Amin melanjutkan permintaan kelompok mereka yang diikuti dengan permohonan masing-masing teman. Hingga terakhir, tibalah giliran Ervina yang mendapatkan bagian untuk mengucapkan permohonannya.

Gadis itu tersenyum sebelum berkata. "Untuk Pahlawanku, Alex!"

"Hah?! Alex? Siapa tuh?" Seketika teman-teman Asiong berpandangan satu sama lain mendengar nama yang disebutkan gadis itu. Sementara Asiong, Ervina dan Jun Nyen tertawa melihat teman-teman mereka memasang tampang kebingungan. Perubahan raut wajah mereka yang drastis dari serius menjadi bingung, membuat ketiganya tertawa terbahak-bahak.

"Alex itu panggilan sayang Ervina kepada Ketua kita." Setelah berhasil menghentikan tertawanya, Jun Nyen memberikan penjelasan kepada teman-temannya disana.

"Ooooo... Panggilan sayang..."

"Oooo... Alex itu panggilan sayang toh..."

"Ooooo... Alex. Keren juga ya..."

"Oooo... Bagus tuh namanya..."

"Ooooo... Panggilan sayang berarti kita tak boleh memanggil Alex ya?"

Itulah tanggapan teman-teman Asiong saat mendengar penjelasan Jun Nyen. Hampir semuanya melongo dengan bibir membentuk huruf "O". Hal mana kembali membuat pasangan kekasih itu dan juga Jun Nyen kembali tertawa.

"Lai! Kan pei!!" Teriak Asiong sebagai Ketua mereka saat semuanya kembali tenang.

"Kan pei!!!"

Suara gelas yang saling beradu disertai semburan arak yang tumpah dari dalam gelas, menghiasi pesta persahabatan mereka. Semuanya meneguk arak yang terisi di gelas masing-masing.

"Hmm..." Ata segera meletakkan gelas arak yang telah kosong itu dan segera menyambar gitar yang tak jauh darinya.

"Siong," Dengannya, Ata menyerahkan gitar itu kepada Asiong yang segera menerimanya.

"Kenapa harus wa?" Tanya Asiong sambil menerima gitar dari sahabatnya. "Kenapa tidak Joni saja?"

"Karena Ketua baru datang. Adalah suatu kehormatan bila Ketua bisa memimpin kami menyanyikan lagu kebangsaan kami." Jawab Ata.

"Lagu kebangsaan?" Ervina mengernyitkan keningnya menatap Asiong. "Indonesia Raya?"

Asiong tertawa mendengar pertanyaan kekasihnya itu. Beberapa temannya juga tertawa mendengarnya.

"Bukan! Di geng kami, kami memiliki sebuah lagu wajib yang selalu kami nyanyikan setiap saat kami berpesta arak seperti ini." Asiong menjelaskan kepada Ervina. "Lagu persahabatan kami."

"Aku baru tau kamu bisa menyanyi dan main gitar, Lex." Kata Ervina.

"Vin, Ketua bukan orang sembarangan. Selain jago berkelahi, dia juga pandai bernyanyi dan main gitar." Anam menjelaskan. "Makanya mumpung dia disini, kami memintanya melakukannya, sekalian agar Vina bisa tahu."

Asiong tertawa lebar mendengar celoteh sahabatnya. Pemuda itu segera mengambil posisi duduk di tembok teras dan menjajal sedikit memetik senar gitarnya, sebelum akhirnya dia bersiap memainkannya dengan sungguh-sungguh.

"Oke, siap ya?" Kata pemuda itu sambil mulai memetik gitarnya. "Oh ya, Vina..."

"Hmm..." Ervina yang menemani kekasihnya duduk di tembok teras menoleh saat namanya dipanggil.

"Kamu sudah pernah dengar lagu Emil Chow yang berjudul 'Peng You'?" Asiong bertanya kepada gadis itu.

"Peng You..." Ervina termenung sesaat. "Teman... Oh ya, pernah... Aku pernah mendengarnya."

"Nah, itulah lagu wajib kami. Lagu kebangsaan kami seperti kata Ata tadi." Kata Asiong.

"Tapi bukan dalam bahasa Mandarin seperti aslinya." Sambung Jun Nyen.

"Lalu dalam bahasa apa?" Ervina bertanya kebingungan.

"Bahasa Khek. Hakka. Bahasa khas Pontianak, selain Tio Ciu." Jawab Asiong. "Joni yang mengganti lirik lagu Peng You ke dalam Bahasa Hakka. Joni itu jago dalam menggubah lagu."

"Wah, kalau Hakka aku gak ngerti." Kata Ervina. "Kalau Mandarin, aku masih bisa..."

"Kamu hafal liriknya?" Tanya Asiong.

"Mudah-mudahan kalau aku tidak lupa." Jawab gadis itu.

"Hmm.. Bagaimana kalau Ervina yang menyanyikan lagu aslinya untuk kita dulu? Baru kemudian kita menyanyikan versi kita? Setuju?"

"Setuju, Siong." Sahut teman-teman Asiong serempak.

"Tapi aku tak mengerti bahasa Hakka." Kata Ervina lagi.

"Jangan khawatir. Nanti akan kami terjemahkan artinya untukmu." Ujar Asiong lagi sambil menatap kekasihnya. "Oke, siap ya semuanya?"
"Ayo, Siong!" Sahut teman-temannya serentak.

BAGIAN 87
Asiong memainkan nada dengan memetik senar gitar yang dipegangnya. Ervina menunggu saat dimana dia harus mulai menyanyi. Ketika gadis itu memulai lagunya, suara merdunya terdengar mengalun indah di telinga.

Zhe xie nian yi ge ren
Feng ye guo yu ye zou
You guo lei you guo cuo
Hai ji den jan chi shen mi

Zhen ai guo cai hui dong
Hui ji mo hui hui shuo
Zhong you meng zhong you ni
Zai xin zhong

Peng you yi sheng yi qi zou
Na xie ri zi bu zai you
Yi ju hua yi bei zi
Yi sheng qing yi bei jiu

Peng you bu ceng gu dan guo
Yi sheng peng you ni hui dong
Hai you shang hai you tong
Hai yao zou hai you wo

Setelah Ervina menyelesaikan lagu Peng You versi Mandarin, kini giliran Asiong dan teman-temannya yang membawakan lagu tersebut dalam bahasa Hakka.

Nyen jit nyen tan sa ko
Mo ka fo, mo nai ho
Jiu co cho an choi ko
Ki tet co ma kai an to

Cin phen jiu, cin boi nyong
Mo som bong, jiu loi bong
Si kien chong nyip loi kong
San kheu jong

Phen jiu jit sen jit hi loi
Kai nyit ci ja mo con loi
Jit ki fa, jit ki boi
Jit khien siu, jit pi ciu

Jiu phen jiu nyit cin kiak ko
Jiu pok jan ka me ko ho
Jiu ho siau, jiu ho thung
Jiu moi cai, jiu pho thung

Selesai menyanyikan versi mereka, Asiong dan kesepuluh temannya tertawa terbahak-bahak. Sementara Ervina menatap mereka dengan keheranan karena tidak mengerti bahasa Hakka yang mereka bawakan itu. Asiong pun menjelaskan setiap bait dari lagu yang mereka nyanyikan dalam bahasa khas Pontianak itu.

Tahun demi tahun, dilewati sendiri,
Tidak ada apa-apa, tidak bisa apa-apa,
Bila berbuat salah, merasa iba,
Teringat telah berbuat apa saja

Teman sejati, bisa mengalah
Tidak sombong, ada komunikasi
Bila waktu panjang, masuklah berbicara
Bahasa singkawang

Teman keluar masuk hidup ini
Hari-hari itu takkan kembali lagi
Satu ucapan, satu perkataan
Salaman tangan, secangkir arak

Ada teman, hari cepat berlalu
Ada rokok, lebih bagus lagi
Ada suka, ada duka
Ada gadis, ada pula pelacur

Saat mendengar terjemahan kekasihnya, Ervina tergelak dalam tawa yang membuatnya menahan perutnya.

"Aduh, aduh... Aku sakit perut mendengarnya. Kok bisa nyambung-nyambungnya ke pelacur segala sih?" Kata gadis itu dalam tertawanya.

"Untuk keindahan nada..." Jawab Jun Nyen sambil tertawa. Tangannya menepuk pelan kepala Joni yang tak jauh duduk di dekatnya itu. "Nih, karya Joni, seniman gila..."

Joni yang ditepak kepalanya seperti itu mengumpat kesal. Kembali semuanya meledak dalam tertawa berkepanjangan.

"Kami, pemuda Pontianak, bila sudah berkumpul, hanya ditemani arak, rokok dan lagu." Ujar Asiong. "Salah satu kepandaian pemuda Pontianak adalah mengubah lirik lagu yang asli dengan bahasa Hakka, yang ujung-ujungnya lagu tersebut menjadi lucu."

"Ayo, minum lagi!" Jun Nyen mengangkat botol arak dan menuangkan isinya ke dalam gelas dan membagikan ke semua sahabatnya disana.

Ada kesukaan dalam canda tawa tersebut. Ada keakraban dalam suasana senang mereka disana. Ada kekompakan yang terpupuk dalam situasi itu. Suatu hal yang tidak selamanya dijumpai dalam persahabatan. Namun Asiong dan teman-temannya membuktikan apa arti persahabatan itu sebenarnya.

BAGIAN 88
"Malam ini aku belajar banyak akan arti persahabatan yang sebenarnya." Ujar Ervina kepada kekasihnya saat keduanya duduk di kebun samping rumah Anam. Pesta arak telah usai. Di saat teman-teman Asiong masih melanjutkan dengan bermain kartu sambil bernyanyi di bawah iringan gitar, Asiong dan Ervina memisahkan diri dengan duduk di bangku di kebun samping rumah Anam.

"Mataku terbuka akan keberadaan seorang sahabat yang selalu siap membantu kita dalam suka dan duka." Kata gadis itu lagi. "Lagu Peng You sangat cocok dan menggugah perasaan ini. Walaupun lirik yang kalian gubah terkesan konyol, namun arti yang terkandung disana sangat dalam."

Asiong memeluk pinggang kekasihnya. "Itulah persahabatan kami. Walaupun kami terpisah jarak, namun persahabatan akan tetap abadi selamanya."

Ervina terdiam tak bersuara. Asiong pun menghela nafas dan memandang ke langit yang berhiaskan cahaya rembulan yang belum sepenuhnya sempurna purnamanya.

Detik berganti menit, namun keduanya tak kunjung bersuara. Tak seperti biasanya. Asiong pun memandang kekasihnya yang terdiam seribu bahasa itu. Tercekat pemuda itu saat menyadari sepasang mata indah kekasihnya tampak berkaca-kaca.

"Vina, kamu kenapa?" Disentuhnya dagu kekasihnya dan dinaikkannya wajah gadis itu.

"Alex..." Ervina menatap lekat wajah pemuda kekasihnya.

"Sejak pertama aku mengenalmu, aku sungguh tak pernah menduga kamu akan berkorban begitu banyak untukku." Ujar gadis itu melanjutkan perkataannya.

"Bisa kubayangkan sulitnya kamu saat aku sedang tidak sadar. Sampai kamu membawaku dari Jakarta kemari, itu butuh perjuangan yang bukan sedikit. Tapi kamu masih..."

"Jangan lanjutkan lagi." Dengan telunjuknya, Asiong menyentuh bibir Ervina, membuat gadis cantik itu terdiam. "Aku lakukan semua ini karena aku sayang kamu. Aku cinta kamu."

Ervina menggeleng. "Tak perlu kamu ungkapkan lagi. Pengorbananmu selama ini telah menjadi bukti ketulusan hatimu dan kesucian cintamu. Andai saja semua laki-laki di dunia ini seperti kamu."

Dua bulir bening menetes dari mata sang gadis.

"Aku... Aku..." Tiba-tiba Ervina memeluk kekasihnya erat-erat. Disandarkannya kepalanya di dada bidang pemuda itu. "Kamu bukan saja cintaku, tapi juga pahlawanku."

"Terima kasih, Alex." Dihadiahkannya sebuah kecupan di bibir Asiong. "Sayangku..."

Asiong membalas kecupan Ervina di bibirnya. "Mulutku bau rokok lho, Vin."

"Aku tak peduli." Desis Ervina sambil mengerlingkan matanya yang basah. "Bukankah justru karena rokok kita bisa berkenalan?"

Asiong tersenyum. "Aku senang bisa memelukmu seperti ini lagi." Dengannya pemuda itu membalas memeluk badan ramping kekasihnya. Dilingkarkannya lengannya di pinggang Ervina.

Sementara gadis cantik yang dipeluknya kembali meneteskan air mata kebahagiaan. "I love you very much, Alex."

Setelah sekian lama terlibat ketegangan, kini keduanya dapat bermesraan kembali. Di bawah langit malam, di bawah siraman sinar rembulan, keduanya berpelukan seperti ingin melepas rindu setelah sekian puluh tahun tak bertemu.

"Besok kita akan kembali ke Jakarta kan, Lex?" Tanya Ervina tanpa mengangkat kepalanya yang disandarkan di dada kekasihnya.

"Ya," Asiong membelai pelan rambut pirang kekasihnya. "Besok kita kembali ke Jakarta."

"Aku akan merindukan saat-saat indah bersama dengan teman-temanmu." Ujar Ervina. "Malam ini akan menjadi malam kenangan yang indah bagiku."

Asiong memandang ke teras rumah dimana teman-temannya masih bermain kartu sambil bernyanyi dengan iringan gitar. Tampak teman-temannya yang besok akan kembali ditinggalkannya, tertawa dalam kesukacitaan berkumpul bersama.

"Vin, kita bergabung dengan mereka yuk?" Usul Asiong kepada kekasihnya.

Ervina mengangkat kepalanya dari dada kekasihnya dan mengangguk. Keduanya lalu berdiri dan bergabung kembali dengan teman-teman lainnya di teras.

Saat keduanya menginjakkan kakinya di teras, Jun Nyen dan Achiung secara bersamaan keluar dari dalam ruang tamu dan mendekati keduanya.

"Wa ikut bersamamu ke Jakarta, Siong. Kita berjuang bersama lagi." Kata Achiung.

"Ya, Siong. Kami sudah memutuskan untuk ikut bersamamu ke Jakarta. Bawa kami bersamamu!" Jun Nyen menepuk bahu Asiong. "Kita hancurkan Roni dan anak buahnya!"

Ervina memandang mereka berdua dengan pandangan tidak percaya. 'Persahabatan yang luar biasa! Aku tak bisa percaya kalau aku tak melihatnya sendiri.'

"Bagaimana, Vina?" Asiong justru balik bertanya kepada gadis itu.

"Hah?? Kenapa aku yang memutuskan? Bukannya kamu ketuanya?" Ervina kebingungan dengan sikap kekasihnya itu.

"Aku ketuanya, tapi kamu kan juga punya hak bersuara." Jawab Asiong menatap kekasihnya.

"Aku terserah kamu, Lex." Ervina membalas tatapan mata Asiong.

"Oke." Asiong mengangkat tangannya sambil menatap kedua sahabatnya. "Bersama kita berjuang lagi!"

"Ya!" Jun Nyen dan Achiung mengangkat tangan mereka bersamaan dan membalas kepalan Asiong. Ketiga kepalan tangan bertemu dalam satu kekuatan.

Teman-teman lainnya saat melihat kekompakan mereka bertiga, berhenti bernyanyi dan bermain kartu. Semuanya berdiri dan menyambut dengan tepukan tangan.

"Doa dan semangat kami besertamu selalu, Ketua!" Secara bersamaan delapan teman Asiong memberikan dukungan kepada mereka bertiga. "Kembalilah kemari dengan kemenangan!"

"Ya!" Asiong mengangguk tegas sebagai jawaban dukungan para sahabatnya.

Saat semuanya sedang larut dalam suasana kompak itu, mendadak di belakang Asiong dan Ervina terdengar suara seorang yang berada di luar dari kelompok mereka.

"Koko Asiong, apa benar kamu sudah kembali kesini?" Suara yang mendadak muncul itu membuat semua yang berdiri disana berpaling dan memandang ke arahnya. Tak terkecuali Asiong dan Ervina, yang membalikkan badan untuk memandang siapa yang datang itu.

Saat semuanya memandang terkejut ke arah sosok yang datang mendadak itu. Saat semuanya terpana akan kedatangannya yang tiba-tiba. Saat Asiong dan kesepuluh temannya mengenali siapa sosok yang datang dengan tiba-tiba itu...

Saat itulah sosok itu berlari kecil dan memeluk tubuh Asiong dengan gerakan tiba-tiba.

"Koko Sayang... Aku rindu padamu..." Orang yang memeluk tubuh Asiong itu berkata dengan mesra. Hal mana membuat Ervina dan semua yang berada di sana semakin terbelalak memandangnya.

Terlebih-lebih Asiong yang tak menduga-duga akan kemunculannya. Lengan pemuda itu tak bergerak mendapat perlakuan mengejutkan tersebut.

BAGIAN 89
"Koko Asiong, aku kangen padamu..." Sosok itu masih tetap memeluk Asiong yang tidak bergeming diperlakukan seperti itu. "Kenapa Koko ke Jakarta diam-diam? Nomornya ganti ya, Ko, kok aku tak bisa hubung Koko lagi?"

"Mei, lepaskan pelukanmu!" Kata Asiong dengan dingin. Nadanya terdengar tegas sehingga sosok yang dipanggil Mei itu melepaskan juga pelukannya di tubuh Asiong.

"Koko Asiong, mengapa bersikap begitu kepada Mei? Apa Koko sudah lupa.."

"Wa tidak lupa, tapi wa tidak mau mengingat hal itu lagi." Ujar Asiong memotong perkataan Mei sebelum sempat diselesaikannya. Tak sekalipun pemuda itu menatap gadis di hadapannya itu.

Meilan, dipanggil Mei atau Mei Mei, seorang gadis bertubuh sedang tinggi dengan rambut hitam sepundak, 2 tahun lebih muda dari Asiong, pernah menjalin hubungan asmara dengan pemuda rantau itu beberapa waktu lamanya sebelum merantau ke Jakarta.

"Lex, siapa dia?" Ervina memegang lengan kekasihnya dan memandang Meilan dengan tatapan tak bersahabat.

"Masa laluku." Jawab Asiong pendek.

"Apa katamu, Ko? Masa lalu?" Meilan memandang Asiong dengan tatapan tak percaya.

"Mau apa kau kemari? Kita sudah tidak ada apa-apa lagi." Kata Asiong menatap Meilan dengan tatapan tajam. Setelah kedatangannya beberapa menit yang lalu, baru pada saat itu Asiong menatapnya, itupun dengan tatapan tajam.

"Koko, kamu..." Meilan membalas tatapan mata pemuda itu.

"Alex, kita pergi yuk..." Ervina yang menggandeng lengan kekasihnya menarik pemuda itu agar pergi meninggalkan tempat itu. Di belakang mereka, teman-teman kekasihnya tampak berdiri tak bergerak seperti melihat sinetron yang sedang syuting di depan mereka.

"Alex?" Gumam Meilan menyadari panggilan Ervina kepada Asiong. Dahinya mengernyit lalu ditatapnya Ervina tak berkedip.

"Kamu pasti pacarnya Koko Asiong ya?" Sambil berkata begitu, Meilan memperhatikan Ervina dari ujung rambut hingga ke ujung kaki dengan tatapan sinis.

Dipelototi seperti itu, Ervina juga tidak kalah sengitnya. Gadis itu membalas memelototi Meilan dengan memasang wajah tak senang. Lengan Asiong yang sudah digamitnya, semakin diperkencang gandengan tangannya.

"Mei, wa minta, kau bisa pergi dari sini." Ujar Asiong, masih dengan nada dingin. "Masa lalu itu sudah tidak ada lagi sekarang. Dunia kita sudah berbeda."

"Koko..." Meilan tak percaya dengan perkataan Asiong. Tanpa sengaja matanya melihat jari tangan Ervina yang menggandeng lengan Asiong. Di jari itu melingkar sebuah cincin putih.

Tak percaya, Meilan kembali melihat tangan Asiong yang pernah menjadi kekasihnya itu. Di tangan kiri pemuda itu, tepatnya di jari manisnya, juga melingkar sebuah cincin dengan model dan warna yang sama.

'Cincin itu...' Kata Meilan dalam hati. 'Pantas saja Koko bersikap dingin kepadaku. Ternyata mereka sudah saling mengikat janji...'

'Tapi bukan berarti aku akan menyerah begitu saja.' Sambung Meilan. 'Lihat saja, cewek sok bule. Takkan semudah itu aku menyerahkan Koko kepadamu. Hari ini aku bertemu lagi dengan Koko. Tapi kok dia memanggil Koko dengan Alex? Apa itu nama panggilan sayang ya?'

"Lex, ayooo..." Ervina kembali menarik lengan Asiong dan mengajak pemuda itu meninggalkan tempat itu. "Kita pergi dari sini."

"Iya..." Asiong menjawab keinginan kekasihnya itu dan mengikutinya melangkah. Namun Meilan menjulurkan tangannya memegang lengan pemuda itu, menahan langkahnya.

"Koko..."

"Lepaskan tanganmu!" Tukas Asiong dengan nada dingin. Sementara menyadari langkahnya tertahan, Ervina pun menoleh ke belakang.

Saat melihat Meilan menahan lengan kekasihnya dengan pegangannya, gadis itu kembali memelototi gadis tersebut sambil menarik lengan Asiong.

"Lex... Ayooo..."

"Pulanglah, Mei!" Seperti mulai pusing dengan dikerubuti dua orang gadis, Asiong menghentakkan lengan yang dipegang oleh Meilan, sehingga pegangan mantannya di lengannya menjadi terlepas. Dengannya, Asiong mengikuti Ervina melangkah meninggalkan teras rumah.

"Kokooo..." Diperlakukan begitu oleh Asiong yang pernah dicintainya, membuat Meilan menjadi sedih. Gadis itu menatap pemuda itu melangkah meninggalkannya dengan seorang gadis yang menggandeng lengannya.

"Sudahlah, Mei. Percuma saja. Asiong sudah tak ada rasa lagi padamu." Jun Nyen yang berada paling dekat dengan Meilan menghampiri gadis itu dan menghiburnya.

"Di hatinya yang sekarang hanya ada Ervina seorang." Sambung Achiung yang ikut bergabung dalam pembicaraan mereka.

"Jadi namanya Ervina?" Meilan berkata dengan sinis.

"Pulanglah." Bujuk Jun Nyen. "Jangan menimbulkan keributan disini."

"Tapi..." Meilan masih berniat melanjutkan perkataannya.

"Pulang!" Ulang Jun Nyen dengan tegas dan menatap Melisa dengan tatapan tajam.

Meilan mencibir kesal dan membalikkan badannya. Dengan tatapan dendam, gadis itu melotot ke arah Asiong dengan Ervina berjalan. Tanpa kata yang terucap, selain sepasang mata yang sudah berair, gadis mantan kekasih Asiong meninggalkan tempat itu.

BAGIAN 90
"Lex, siapa dia?" Tanya Ervina yang berhasil mengajak kekasihnya menjauhkan diri dari Meilan. Keduanya berada di ruang tamu rumah Anam yang menjadi tempat berkumpul itu. Duduk berdekatan dalam satu sofa yang sama.

"Kamu pasti sudah tahu siapa dia..." Kekasihnya menjawab sambil menyalakan sebatang rokok.

"Namanya Mei ya?"

"Meilan... Aku panggil dia Mei, kadang Mei Mei." Jawab Asiong.

"Boleh kutahu bagaimana kamu bisa putus dengannya?" Ervina menggamit mesra lengan pemuda kekasihnya.

Asiong menatap Ervina. "Kamu yakin dengan itu?"

Ervina mengangguk. "Aku ingin tau. Boleh kan, Lex?"

"Yah, boleh... Asalkan kamu tidak keberatan mendengarnya..." Asiong menghembuskan asap rokoknya.

"Sebagai pasanganmu, aku ingin tau." Ujar Ervina. "Aku tidak keberatan. Justru aku bisa menjagamu lebih baik lagi jika aku mengetahuinya..."

"Baiklah kalau itu maumu..."Kata Asiong lagi sambil menghela nafas panjang dan menghembuskannya. "Awal perkenalanku dengannya adalah dari perkelahian antar geng."

"Perkelahian antar geng?"

"Ya, geng yang kupimpin dengan geng yang dipimpin kokonya." Asiong mulai bercerita. "Mereka berasal dari Singkawang, daerah yang berbatasan dengan Pontianak."

"Jadi Meilan itu anak Singkawang?"

Asiong mengangguk. "Ya, dia asli Singkawang."

"Kenapa bisa berkelahi, Lex?"

"Sebenarnya hanya karena urusan sepele." Asiong mematikan rokok yang telah habis dihisapnya ke dalam asbak di atas meja. "Suatu sore Achiung, Alung, Ahaw, Amin dan Ahon main biliar di suatu pool. Disana tidak sengaja, Awie juga ikut main."

"Siapa Awie?" Tanya Ervina.

"Awie itu anak geng dan temannya Anyiu, kokonya Meilan." Asiong menyalakan sebatang rokok baru. "Karena meja mereka berdua bersebelahan dan tempatnya sempit, tanpa sengaja, Ahon menyenggol mereka. Tidak terima, mereka menantang Ahon bertaruh."

"Ahon siapa?" Tanya Ervina lagi.

"Dia teman gengku juga, Vin." Jawab Asiong.

"Kenapa aku tidak melihatnya disini?"

"Nanti kamu akan tahu kenapa. Mereka bertaruh siapa yang kalah 3 dari 5 set, harus membelikan arak untuk geng yang mengalahkannya." Sambung Asiong. "Achiung yang jago biliar mewakili Ahon dalam tantangan itu. Kebetulan Achiung memenangkan tiga set awal. Sisa dua set lagi tidak dipertandingkan lagi, karena kalaupun Achiung kalah, tetap dia yang menjadi pemenang."

"Namun ternyata Awie tidak menerima kekalahan. Dia memfitnah Achiung dengan mengatakan Achiung bermain curang selama pertandingan. Achiung tidak mau difitnah seperti itu. Dia membela diri dan berdebat dengan Awie. Tapi teman-teman Awie membelanya dan Achiung dihajarnya."

"Wah, mereka memukul Achiung dulu?"

Asiong mengangguk.

"Achiung yang juga terlatih di geng kami, membalas. Dengan dibantu oleh Alung, Ahaw, Amin dan Ahon, Achiung berkelahi dengan mereka. Lima orang dari geng kami dengan tujuh orang dari geng mereka, dengan Awie delapan orang."

"Karena curang dan main keroyokan, geng kami pun kalah. Ahon bahkan terluka parah dan sampai dilarikan ke klinik terdekat. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, nyawa Ahon tidak tertolong lagi. Disana kami kehilangan seorang sahabat yang sangat kami cintai."

"Setelah selesai dengan urusan pemakaman Ahon, Achiung kembali lagi. Dia mengajakku bersamanya. Kami satu geng berkunjung ke Singkawang menemui geng Awie. Anyiu, kokonya Meilan yang berjulukan Thai Nyiu, Kerbau Besar, sesuai julukannya adalah seorang yang berbadan gemuk dan besar."

"Dengannya kami terlibat perkelahian. Karena geng kami tak ada pemenangnya, lantas aku dan Thai Nyiu menjadi penentu di duel terakhir. Badannya yang tinggi, gemuk dan besar membuatku kesulitan untuk merobohkannya. Waktu itu badan dan kekuatanku belum seperti sekarang."

"Aku nyaris kalah. Wajah dan badanku sampai memar dan berdarah. Teman-teman semua khawatir melihatku roboh dan tak sanggup bangun lagi..."

"Kamu kalah, Lex?" Tanya Ervina di sela-sela cerita kekasihnya. Asiong melanjutkan ceritanya.
"Aaarrrgghhhhhh!!" Asiong berteriak saat hantaman tangan Thai Nyiu dengan telak mendarat di wajahnya, membuat pemuda itu melayang di udara, darah segar menyembur dari mulutnya membasahi udara. Tak lama kemudian, Asiong pun jatuh terjerembab di tanah.

"Uggghhhh..." Asiong mengeluh saat punggungnya dengan keras jatuh terhempas di tanah. Kepalanya masih pusing akibat pukulan bertenaga Thai Nyiu yang masuk mengenai wajahnya.

"Sionggg!!" Terdengar teriakan bersamaan dari teman-teman Asiong yang berada di pinggir arena pertarungan. Sebuah lapangan yang tak terpakai menjadi arena pertarungan kedua geng.

BUKK!!

"Uuughhhhh!!" Kembali Asiong mengeluh saat Thai Nyiu dengan keras menendang rusuk pemuda itu hingga membuatnya terguling ke samping karena kesakitan. Posisinya dalam keadaan tertelungkup dengan punggung menghadap udara. Belum sempat Asiong sadar...

"Hahaha... Ternyata hanya segini saja yang namanya Kim Siong dari Khuntien itu." Thai Nyiu dengan jumawanya menapakkan kakinya yang bersepatu kotor ke atas punggung Asiong yang terbujur di atas jalanan. Baju pemuda itu sudah kotor dan basah oleh darah dan keringat. Dari mulutnya masih mengucur darah segar dan pandangannya mulai kabur.

"Ohhh..." Asiong mengeluh pelan. Dalam terkaparnya, pemuda itu membathin, 'Pukulanku... tak mempan... Badannya... uggghhh... kuat... Apa... Apa... aku akan kalah disini...?'

'Menyakitkan, sangat menyakitkan.' Bathin pemuda itu lagi. 'Aku... Aku kalah di depan... kawan-kawanku...'

"Siong... Siong...." Dari jarak beberapa meter, terdengar panggilan teman-teman Asiong yang juga sudah banyak yang terkapar. Beberapa di antara mereka yang masih bisa berkelahi, tidak boleh maju membantu, demi menjaga sportivitas, karena pertarungan penentuan ditentukan melalui duel antar ketua geng.

"Kawan....kawan..." Asiong meraihkan tangannya seakan dengannya dia bisa menjangkau teman-temannya. Pandangan pemuda itu menjadi kabur dan tidak jelas. "Wa... Wa..."

Sementara injakan kaki di punggungnya semakin lama semakin terasa. Bahkan Thai Nyiu mulai memutar-mutar kakinya di atas punggung pemuda itu.

'Aku harus bagaimana lagi...' Bathin Asiong. 'Semua pukulanku tak berarti. Badannya yang gemuk, membuat pukulanku tak ada artinya...'

Dalam kesakitan dan keputusasaannya, pikiran pemuda itu menerawang. 'Siong, kamu ketua dari kawan-kawanmu. Pemimpin mereka. Tapi kamu justru kalah di depan mereka semua. Apakah ini yang namanya ketua itu? Apakah ini seorang pemimpin yang menjadi panutan dan contoh dari pengikutnya?'

"Hahahaha... Khuntien! Mana jagoanmu?" Thai Nyiu tertawa terbahak-bahak. "Hanya seorang anak kampung yang sok jago!"

"Khuntien... Inikah jagoanmu? Kim Siong yang namanya terkenal sampai ke Singkawang, yang selalu memenangkan perkelahian, ternyata hanya segini kemampuannya. Pantas saja Khuntien tidak ada apa-apanya dibanding Singkawang. Karena Khuntien hanya ditinggali anak-anak kampung yang pengecut, takkan pernah bisa menang dengan Singkawang!"

"Pantas anak buahmu mati! Khuntien memang pecundang!" Thai Nyiu kembali tertawa terbahak-bahak menikmati kemenangannya.

BERSAMBUNG ,,,,,,,




Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-August 2010

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates