Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
(Bagian 113-128)
"Tidak masalah bagiku." Meilan menjawab. "Saya sudah mengenal baik keluarga Asiong, jadi tak sulit bagi saya untuk melakukannya."
Meilan terdiam. Kedua matanya tampak bersinar. "Lagipula, saya memang ingin menghancurkan Asiong dan keluarganya, seperti dia menghancurkan kakakku."
"Saya tidak mau mendengar semua basa-basi itu. Yang saya mau lihat adalah hasilnya." Ujar Roni menatap dingin Meilan.
"Baik. Kau tinggal menunggu hasilnya 1-2 hari ke depan." Kata Meilan tak kalah dinginnya. Gadis berambut pendek itu membalikkan badannya bermaksud meninggalkan tempat itu.
"Tak semudah itu!" Sahut Roni sambil mengatupkan kedua telapak tangannya seperti posisi tangan berdoa. "Lukman, kau ikut bersama mereka! Pastikan mereka bukan orangnya anak sialan itu! Dan Codet, kau bantu Lukman!"
"Baik!" Kedua anak buah Roni tersebut menjawab bersamaan setelah mendengar instruksi dari ketuanya.
"Terserah kalau itu keinginanmu!" Meilan menjawab datar. "Dengan atau tanpa mereka, saya akan kembali dan membawa hasil untukmu."
Bersama dengan Lukman dan Codet, Meilan berlalu dari tempat tersebut beserta dengan Abui. Entah apa lagi niat yang mereka rencanakan untuk keesokan harinya.
Sementara itu, Asiong dan kekasihnya, ditemani dengan seorang sepupu dan kedua temannya, sepulangnya dari mall dan membayar lunas hutang keluarga Ervina, ternyata tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Namun Ervina mengundang semuanya bersantap sore bersama untuk merayakan keberhasilan dan kesuksesan misi mereka.
"Dengan ini, semua hutang-hutang Papaku lunas." Ervina berkata di rumah makan yang menjadi langganannya di daerah Jakarta Barat. "Semua ini berkat Alex dan juga kalian."
"Terima kasih. Hanya kata itu yang bisa kuucapkan kepada kalian semua." Ujar Ervina dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Khususnya untuk Alex yang telah banyak berkorban dan membantuku selama ini."
"Tak apa, Vina." Asiong tersenyum.
"Vina, cium dong. Masa diam aja?" Celetuk Jun Nyen.
"Iya, Vin. Sebagai ungkapan terima kasih." Buntara menambahkan. "Gimana, Chiung, setuju kan?"
"Setuju dong." Jawab Achiung tertawa sambil melihat ke ketua gengnya dan Ervina.
"Kalian ini..." Asiong mengumpat pelan sambil melotot ke arah ketiga pemuda yang duduk berseberangan dengannya itu. Namun kalimatnya terhenti ketika sepasang bibir yang lembut mampir di pipi kanannya.
"Terima kasih ya, Alex Sayang." Ervina membisik di samping Asiong yang kebingungan mendapat kecupan mendadak darinya itu. Ditatapnya kedua mata kekasihnya itu.
"Vina, ini..." Ucapannya terpotong saat ketiga pemuda di depannya tertawa lepas.
"Gitu dong. Baru namanya cinta." Kata Jun Nyen. "Asiong sudah banyak berkorban untukmu lho, Vin. Sebuah ciuman seperti itu tidak berarti untuk mengganti perjuangannya selama ini."
"Jun Nyen benar," Achiung menimpali. "Akhirnya, Ketua mendapatkan seorang gadis yang cocok dan mencintainya."
"Hahaha... Siong..." Buntara tak mau ketinggalan memberikan komentar. "Andai saja waktu itu kau tidak ikut ke PRJ, belum tentu Ervina bisa kau miliki."
"Belum tentu juga Asiong akan dapat bonus indah tadi." Imbuh Jun Nyen sambil melirik Buntara.
"Ya tuh, kalian sangat cocok. Walau wa agak iri melihatmu, Siong, tapi wa bangga akhirnya kau bisa menemukan gadis idamanmu..."
Ervina merasakan wajahnya memerah mendengar pujian dan perkataan ketiga pemuda di depannya. Gadis itu terduduk dengan sedikit menunduk menyembunyikan wajahnya yang merona merah.
"Sudah deh. Sampai kapan kalian mau menggoda Ervina?" Asiong memelototi ketiga pemuda tersebut.
"Siong," Buntara masih tertawa saat melanjutkan perkataannya itu.
"Apa?" Asiong mau tak mau menatap sepupunya saat Buntara terdiam tak melanjutkan kata-katanya.
Saat mengetahui Asiong telah melihatnya, sementara Ervina masih memalingkan wajahnya ke arah lain, Buntara memonyongkan bibirnya memberi isyarat kepada sepupunya, sedangkan sepasang matanya melirik ke arah Ervina.
"Jangan disini..." Bisik Asiong. "Nanti dilihat yang lainnya. Aduhhhh..."
Asiong menjerit saat merasakan kakinya seperti ditendang dari bawah meja. Tangannya langsung menjulur turun mengelus kakinya yang tertendang itu. Sementara Ervina tersentak mendengar jeritan Asiong dan menoleh ke arah pemuda itu.
"Alex, kamu kenapa?" Tanya gadis itu sambil melirik ke bawah meja dimana kekasihnya sedang mengelus kakinya yang tertendang.
Ervina turut menjulurkan lengannya membantu Asiong mengelus kakinya. Gadis itu menyadari bahwa kekasihnya itu dikerjai oleh satu dari mereka, sehingga dia memelototi mereka.
"Kamu gak apa-apa, Lex?" Tanya Ervina lagi sambil menunduk dan mengelus kaki kekasihnya.
Asiong terdiam. Dia seperti mendapat angin. Ditunggunya kekasihnya itu menengadahkan wajahnya kembali dan...
CUP!!
Sebuah kecupan hinggap di bibir Ervina, membuat gadis itu terkesiap dan jengah saat menyadarinya. Kecupan itu, walau singkat, namun membuat jantungnya berdetak kencang.
Perlahan namun pasti, Ervina menyentuh paha Asiong dan mencubitnya pelan. Tak peduli kekasihnya itu mengaduh kesakitan di depan ketiga pemuda yang juga telah membantunya tersebut.
BAGIAN 114
"Bagaimana kalau yang ini saja?" Mei Hwa berkata sambil menunjuk gambar di buku album yang dilihatnya. "Wa lebih suka dengan gaun yang ini.""Terserah kamu selama itu cocok denganmu, wa sih tak masalah." Jawab seorang lelaki yang memeluk pinggang Mei Hwa. Dialah tunangan Mei Hwa, Cahyadi alias Acai.
Saat itu keduanya sedang menghadiri wedding exhibition yang diikuti oleh bridal-bridal terkenal dan juga perusahaan-perusahaan katering ternama. Setelah resmi bertunangan, keduanya merencanakan untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi dalam waktu yang tidak terbilang lama lagi.
"Bagaimana, mau yang ini saja?" Seorang gadis cantik tersenyum melayani keduanya.
"Coba kami lihat yang lain dulu ya..." Jawab Mei Hwa membalas senyuman gadis yang melayaninya tersebut.
Hari itu adalah dua hari berselang setelah Ervina melunasi hutang keluarganya kepada Roni. Pada sore setelah pekerjaan di konveksi sudah berkurang, Cahyadi mengajak Mei Hwa melihat pameran pernikahan di sebuah mall di kawasan Jakarta Barat.
Di saat yang bersamaan, Ervina mengajak Asiong menonton sebuah film bioskop yang diperankan oleh seorang bintang pujaannya. Karena berpikir tak banyak pekerjaan, Asiong pun menyanggupi keinginan kekasihnya itu. Tinggallah Chun Hwa di rumah konveksi bersama dengan Achiung yang sore itu telah kedatangan Jun Nyen. Buntara sendiri mengatakan akan ikut bergabung sekitar malam setelah pulang kerja, di waktu yang bertepatan dengan Asiong dan Ervina pulang dari kencannya.
Setelah menghabiskan waktu beberapa jam mengelilingi pameran, Mei Hwa dan Cahyadi pun mampir ke sebuah rumah makan sebelum akhirnya mereka pulang ke rumah konveksi sekitar jam tujuh malam.
Tidak seperti biasanya dimana Cahyadi mengendarai mobil, sore itu Cahyadi mengajak Mei Hwa keluar dengan motornya sepulang jam kerjanya. Dengan alasan tak mau kemalaman karena keesokan harinya dia sudah harus dinas keluar kota selama satu minggu, maka Cahyadi langsung menjemput tunangannya yang telah menunggunya begitu dia tiba di rumah.
"Itu mereka!" Terdengar suara seorang wanita dari dalam sebuah mobil. "Kita beraksi sekarang!"
Sebuah tepukan di lengan seorang pemuda yang duduk di samping kanannya, membuat pemuda tersebut menggumam pelan sebelum akhirnya menjalankan mobil yang dibawanya.
"Ikuti mereka!" Ujar wanita itu lagi. "Kalian yang di belakang, siap ya. Begitu motor tersebut dipepet, kita semua keluar. Kita lakukan bagian kita masing-masing!"
"Jangan sok perintah!" Terdengar jawaban dari belakang. "Kau bukan Roni yang bisa perintah kami!"
Ternyata keempat orang yang berada di dalam mobil tersebut adalah Meilan, Abui, Lukman dan Si Muka Codet. Mereka telah mengintai rumah konveksi Asiong sejak tadi siang. Namun, alih-alih mengerjai Asiong dan Ervina, yang menurut mereka beresiko karena Lukman dan Si Muka Codet sudah dikenal sepasang kekasih tersebut, mereka justru menargetkan Mei Hwa sebagai sasaran.
Setelah melewati jam-jam penuh kebosanan di mall, menunggu Mei Hwa dan tunangannya selesai dengan acaranya, kini mereka berempat sudah tiba waktunya untuk melaksanakan niat jahat mereka. Niat jahat yang dipimpin oleh Meilan dan terpaksa diikuti oleh Lukman dan Si Muka Codet.
Saat Cahyadi menjalankan motornya perlahan dengan Mei Hwa membonceng di belakangnya, keduanya tidak menyadari kalau mobil berwarna gelap di belakang mereka membuntuti mereka pulang menuju rumah konveksi.
Melewati sebuah tempat yang agak sepi, Abui menginjak pedal gas lebih dalam. Laju mobil melesat lebih cepat dari sebelumnya, melewati Mei Hwa dan tunangannya. Lalu dengan gerakan mendadak, Abui membanting setir mobil ke kiri.
"Hey!!" Cahyadi terkesiap melihat dirinya hendak dipepet oleh mobil di sampingnya. Pemuda itu membanting gagang motor ke kiri. Namun sial, roda motornya membentur trotoar dan motornya terhenti, tepat beberapa inchi di samping pintu mobil yang mendadak terbuka.
Mei Hwa yang ikut terkesiap melihat peristiwa yang terjadi, menjadi terbelalak saat melihat tiga orang dengan gerakan cepat telah bergegas turun dari mobil. Satu di antara mereka sudah dikenalnya.
"Meilan?" Mei Hwa tak percaya saat melihat gadis yang pernah menjadi kekasih adiknya tersebut mendekatinya dengan tampang tak bersahabat dan menariknya turun dari atas motor. Sedangkan dua lelaki berbadan besar, salah satunya menghampiri Cahyadi dan juga menariknya turun.
BAGIAN 115
"Hey! Ada apa ini?" Cahyadi berteriak saat dirinya ditarik turun oleh Si Muka Codet. Masih disempatkannya membuka helm yang terpasang di kepalanya saat itu. "Kalian siapa... Uukkkhhhhh!!!"Belum sempat Cahyadi menyelesaikan kata-katanya, sebuah hantaman tinju keras dari Si Muka Codet telah menghampiri perutnya. Membuat badannya terlipat ke depan dengan mulut memuntahkan cairan.
"Acai!!" Mei Hwa menjerit dan bergerak bermaksud membantu. Namun kedua lengannya mendadak teringkus oleh sepasang lengan yang kuat dan bertenaga.
"Kurang ajar!!" Mei Hwa meronta saat kedua tangannya teringkus. "Lepaskan!!"
"Apa kabar, Hwa Ce? Kita berjumpa lagi!!" Meilan memandang sinis ke arah Mei Hwa yang meronta saat tangannya teringkus itu.
"Lepaskan! Meilan, kamu mau apa?!" Mei Hwa menjerit dan meronta mencoba melepaskan tangannya dari lengan Lukman yang meringkusnya itu. Namun, selain usahanya sia-sia, rontaan tersebut juga membuat tenaganya terkuras.
"Ukkhhhh!!!" Acai mengeluh kembali saat sebuah pukulan kembali menghantam perutnya. Pemuda itu sampai terangkat kakinya menahan efek dari pukulan yang bukan main kerasnya itu.
"Acaaiii!!" Mei Hwa menjerit melihat tunangannya kembali dipukul. Tubuhnya tergerak untuk membantu, namun dia tak berdaya karena kedua tangannya teringkus.
"Lepaskan, biadab!" Teriak Mei Hwa. Matanya melotot ke arah Meilan. "Meilan, apa maksud semua ini?"
"Hmm..." Meilan mendengus sebagai ganti jawabannya, namun selebihnya dia pun terdiam.
"Hooeekkkhhh!!" Terdengar suara Cahyadi muntah kembali sesaat kemudian. Hampir semua makanan yang dimakannya tadi jatuh tertumpah ke jalanan melalui muntahannya.
"Tidaaakkkk...." Mei Hwa mendesis lirih. Sebagai anak sulung, Mei Hwa sudah terbiasa menderita dan ketabahannya pun patut menjadi pujian. Namun keputusasaan melihat tunangannya dihajar dan ketidakberdayaannya membantu tunangannya, membuatnya mulai goyah. Kedua matanya mulai berair dan tangis pun mulai menetes.
"Lelaki payah!" Si Muka Codet berkata sambil menggerakkan tangannya kembali. Sebelah tangannya masih memegang pundak Cahyadi.
"Tidakkkk!! Jangaaaannn!!!" Mei Hwa menutup matanya, tak sanggup melihat penyiksaan yang terjadi di depan matanya itu.
"Ukkkhhh!!!" Kembali terdengar Cahyadi mengeluh saat perutnya dihantam oleh pukulan Si Muka Codet. Setelah pukulan tersebut, pemuda keturunan itu sudah tak lagi kuat berdiri, lututnya goyah dan kakinya gemetar. Untuk selanjutnya, Cahyadi jatuh terduduk di jalan dengan kedua tangan memegang perutnya dalam posisi meringkuk kesakitan.
"Acaaiii!!!" Mei Hwa menjerit lirih dan membuka matanya. Kembali gadis itu meronta, namun tetap sia-sia saja. Sementara tenaganya mulai lemas akibat rontaannya yang tidak memakan hasil itu. Kedua matanya sudah basah oleh air mata yang mengalir saat itu. Air mata yang mengalir hingga ke pipinya.
"Maafkan wa, Hwa Ce. Maafkan wa." Dengan dingin, Meilan berkata kepada kakak kandung mantan kekasihnya itu. Bersamaan dengan itu, gadis itu membalikkan badannya masuk ke dalam mobil dengan diikuti oleh Si Muka Codet yang tertawa puas melihat Cahyadi telah meringkuk kesakitan.
"Ouuuhhh..." Masih terdengar erangan Cahyadi sambil melipat badannya menahan sakit di perutnya. Untuk mengangkat wajah melihat kekasihnya saja dia sudah tidak sanggup, apalagi untuk bangkit berdiri dan melawan.
Oleh karenanya, Cahyadi tidak mengetahui kalau saat itu Lukman telah menyeret Mei Hwa yang masih meronta dan menolak untuk ikut. Gadis itu terus menjerit memanggil nama tunangannya, namun tenaganya kalah dengan tenaga Lukman yang berbadan tinggi besar itu.
Walaupun Mei Hwa masih meronta saat digiring masuk ke dalam mobil dan diapit oleh dua lelaki berbadan besar, gadis itu menangis sambil memanggil tunangannya yang sampai saat mobil bergerak, masih dengan tubuh terlipat menahan kesakitan.
"Uhhh... Mei... Hwaa..." Hanya suara erangan yang sempat dikeluarkan oleh Cahyadi saat tunangannya diseret ke dalam mobil. Dengan kekuatan yang masih tersisa, dia mencoba mengangkat wajahnya walau hanya sedikit.
"Acaaaiiii!!!" Mei Hwa masih menengok melihat keadaan tunangannya saat kedua tangannya kini telah dipegang di kiri kanan oleh dua lelaki berbadan besar. Suara teriakannya hilang seiring dengan menghilangnya mobil yang membawanya pergi.
BAGIAN 116
Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Cahyadi mencoba bangun sambil berpegangan pada motornya. Setelah mengumpulkan tenaganya dan sambil menahan sakit, Cahyadi mengendarai motornya menuju rumah konveksi tunangannya. Hanya itu ide yang masih sempat terpikir olehnya di antara sakit yang dideritanya.Susah payah Cahyadi bertahan dan berjuang, akhirnya tiba juga pemuda itu di depan rumah konveksi. Lelaki itu turun dari motor dan mencoba berjalan, namun tubuhnya terasa berat dan menghantam pintu pagar dengan keras.
BRUAAKKHH!!
"Apa itu?" Jun Nyen yang tengah asyik bercengkrama dengan Achiung dan Buntara yang sudah bergabung sepulang kerjanya, tersentak mendengar suara pagar seperti terhantam sesuatu yang berat. Spontan, ketiga anak muda itu melompat bangun dari meja panjang konveksi dan bergegas ke arah pintu.
"Astaga! Cai Ko..." Adalah Buntara yang pertama kali menyadari siapa orang yang menghantam pintu dan berjalan tertatih-tatih itu. Keruan saja Buntara berlari kecil membantu memapah calon kakak ipar dari sepupunya itu untuk masuk ke dalam.
"Cai Ko, kenapa?" Sebelah lengan Cahyadi disampirkan Buntara di pundaknya. Sambil dipapah masuk, Jun Nyen dan Achiung menatapnya dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Ya Tuhan, Cai Ko. Kenapa?" Chun Hwa yang juga sudah bergegas ke ruang tamu saat mendengar suara tabrakan keras di pintu, terbelalak melihat tunangan kakaknya pulang dalam keadaan lusuh dan kesakitan.
"A Ce mana?" Tanya Chun Hwa lagi saat melihat tak ada tanda-tanda kehadiran Mei Hwa sama sekali. Sementara Buntara mendudukkan Cahyadi di sofa dan Achiung keluar dengan segelas air putih dingin.
"Minum dulu, Cai Ko." Achiung menyodorkan gelas berisi air dingin yang langsung diterima oleh Cahyadi dan diminumnya. Yang lainnya mulai duduk dan menunggu cerita Cahyadi dengan was-was, khususnya Chun Hwa.
Setelah berhasil menenangkan dirinya, akhirnya Cahyadi bisa menceritakan kejadian yang menimpanya dan Mei Hwa dalam perjalanan pulang mereka.
" A Ce... Dimana dia sekarang?" Chun Hwa langsung panik saat menyadari Mei Hwa dalam situasi bahaya. "Wa telepon polisi sekarang."
"Jangan dulu, Ce." Buntara mencoba menenangkan kakak sepupunya itu. "Polisi malah akan membuat runyam masalah ini."
"Tapi A Ce dalam bahaya..." Chun Hwa menjawab dengan ketus.
"Tenang, Ce." Achiung ikut menghibur Chun Hwa. "Kami coba bantu dulu..."
"Maksudmu apa? Tunggu bantuan kalian, A Ce keburu kenapa-kenapa..." Chun Hwa sudah berdiri dari duduknya dan berniat ke meja kerja di ruang tamu untuk menelepon.
"Tahan, Ce. Wa mohon." Kata Jun Nyen dengan suara tenang. "Wa yakin Mei Ce tak akan kenapa-kenapa."
"Kita cari Mei Ce sekarang juga, gimana?" Buntara mengusulkan.
"Mau mencari gimana?" Achiung mengernyitkan dahinya.
"Wa tau..." Cahyadi berkata. "Wa masih kenal mobilnya..."
"Tapi dimana mereka sekarang?" Tanya Chun Hwa, yang sudah duduk kembali itu.
"Wa dan A Hwa pernah sepakat menggunakan ponsel dengan provider sama sehingga memudahkan komunikasi." Kata Cahyadi lagi. "Kebetulan nomor kami berdua sudah bisa dilacak melalui GPS."
"GPS? Apa itu?" Achiung yang masih belum menguasai benar kehidupan modern bertanya kebingungan.
"Global Positioning System." Jawab Buntara. "Sistem komunikasi yang memudahkan penggunannya untuk melacak lokasi dan keberadaan teman atau suatu tempat."
"Begitu..." Ujar Jun Nyen. "Jadi Cai Ko bisa mengetahui dimana Mei Ce berada?"
"Mudah-mudahan." Cahyadi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan beberapa kata untuk pesan singkat. "Wa lihat dulu. Kalau ini bisa, berarti selanjutnya bisa."
Semuanya terdiam sesaat, menunggu jawaban dari pesan singkat yang dikirim oleh Cahyadi.
TIT!
"Apa katanya?" Chun Hwa yang paling pertama bertanya kepada calon kakak iparnya sehubungan dengan bunyi sms masuk itu.
"No telepon .... berada di sekitar..." Cahyadi membacanya. "Puji Tuhan! Terlacak!"
"Wa tau tempat itu!" Kata Buntara.
"Kalau begitu kita bergerak!" Jun Nyen segera bangun dari duduknya. Buntara dan Achiung mengangguk bersamaan.
"Bawa mobilku saja!" Kata Buntara yang sudah bergegas keluar sebelum semuanya bergerak.
"Jun Nyen, Achiung. Tolong A Ce ya. Wa mohon." Chun Hwa berkata dengan kedua mata yang sudah mulai basah. "A Ce harus kembali dengan selamat."
"Serahkan semuanya pada kami!" Jawab Jun Nyen.
"Kami pasti bawa Mei Ce kembali dengan selamat..." Tambah Achiung.
"Asiong belum kembali." Kata Chun Hwa. "Nanti kalau dia kembali, bagaimana?"
"Lihat bagaimana nanti. Asiong pasti bisa mengerti keadaan ini genting." Ujar Jun Nyen. "Kita tidak mungkin menunggunya."
"Ya, kami berangkat dulu!" Achiung menepuk pundak sahabatnya. "Ayo, Nyen!"
Diantar oleh kecemasan Chun Hwa, ketiga pemuda tersebut ditemani oleh Cahyadi, mulai bergerak melacak keberadaan Mei Hwa.
"Semoga kalian semua baik-baik saja nantinya." Chun Hwa bergumam kecil. "Terutama A Ce. Lindungi dia ya, Tuhan..."
BAGIAN 117
Buntara mengendarai mobilnya dengan ditemani Cahyadi di bagian depan, sementara Jun Nyen dan Achiung duduk di belakang mereka berdua."Lokasi pindah." Kata Cahyadi. Sepanjang jalan dia terus mengirimkan pesan singkat untuk melacak keberadaan nomor ponsel Mei Hwa. Hal itu memudahkan Buntara untuk membawa mobilnya mengejar keberadaan kakak sepupunya tersebut.
"Gila. Itu kan tempatnya sepi." Buntara membelokkan mobilnya. "Mau ngapain mereka kesana?"
"Oh ya, Ko, bagaimana ciri-ciri orang yang menculik Ce Mei itu??" Tanya Jun Nyen. "Wa lupa tanya saking tegangnya."
Cahyadi menjelaskan keempat orang yang menghadang jalannya dan Mei Hwa sepulang dari mall tersebut.
"Meilan." Kata Achiung.
"Abui." Jun Nyen menyambung.
"Dua orang itu pasti orangnya Roni." Kata Buntara. "Si Muka Codet!"
"Tak salah lagi!" Ujar Jun Nyen. "Dugaan wa terbukti."
"Hei, apa yang kalian bicarakan? Dugaan apa?" Cahyadi memandang ketiga anak muda itu dengan bingung. "Siapa Roni?"
Akhirnya, secara bergantian, Jun Nyen, Achiung dan Buntara menjawab pertanyaan Cahyadi sambil menceritakan semua yang berhubungan dengannya.
"Jadi akar permasalahannya adalah gadis yang bernama Ervina itu?" Kata Cahyadi. "Pacarnya Asiong?"
"Kurang lebih begitu." Jawab Jun Nyen.
Cahyadi menghela nafas. "Gara-gara satu orang, semua sampai kena getahnya."
"Bukan begitu, Cai Ko." Ujar Buntara. "Asiong juga semula tidak tau kan kalau Ervina akan banyak masalah begitu?"
"Ya, Cai Ko. Lagipula itu kan bukan Ervina yang mau..." Kata Achiung.
"Itulah yang namanya cinta." Kata Cahyadi. "Butuh pengorbanan yang tidak sedikit."
Sambil berbicara, keempat orang tersebut terus melacak keberadaan mobil yang membawa pergi Mei Hwa.
Sementara itu...
"Kurang ajar! Lepaskan tanganmu!!" Mei Hwa masih meronta-ronta sepanjang perjalanan mereka di mobil. Tangannya menepis tangan Si Muka Codet yang terus menerus menggerayangi badannya dengan tak henti-hentinya.
"Kalian tidak bisa diam ya?" Tahu-tahu Meilan membentak dari bangku depan. "Pusing wa dengar teriakan kalian!"
Lukman sendiri tidak banyak beraksi. Tidak seperti Si Muka Codet yang beringas dan terus menerus menjamah tubuh Mei Hwa, Lukman hanya duduk terdiam sambil melihat-lihat situasi, yang menurutnya sudah aman terkendali.
"Meilan! Wa tidak tahu apa maksudmu dengan semua ini. Tapi sepertinya kau masih dendam dengan Asiong..l" Kata Mei Hwa. "Awww.... Kurang ajar!"
Meilan tertawa lepas. "Asiong? Mati sajalah dia!"
"Hihhhhh...." Mei Hwa lagi-lagi menepis tangan liar Si Muka Codet dengan risih.
"DIAMM!!" Tahu-tahu Meilan berteriak mengangetkan semua yang ada di dalam mobil itu. "Codet brengsek! Sekali lagi kau bergerak, begitu wa dapat tempat di markasmu, mampuslah kau!"
"Cuihh!!" Si Muka Codet meludah mendengar ancaman Meilan.
"Hey, Codet! Sembarangan meludah mobilku ya!" Abui mengumpat saat mengetahui hal tersebut. "Awas kau!"
"Berisikk!!" Teriak Lukman dengan kencang. Saking kencangnya, Mei Hwa sampai harus menutup telinganya. "Kalian tak ubahnya dengan amatiran!"
'Hmm... Mereka kok sepertinya tidak akur ya? Ada apa ini?' Gumam Mei Hwa dalam hari saat menyadari ketidakharmonisan antara mereka semua disana. 'Siapa tahu wa bisa dapat info di saat-saat begini.'
"Meilan, kau masih dendam dengan Asiong?" Mei Hwa mengulangi pertanyaannya.
"Hwa Ce. Kau belum tau kan kalau Asiong sudah buat koko wa jadi gegar otak dan dungu?" Meilan bertanya balik. "Asiong mana mau cerita kepada Hwa Ce."
"Hah?" Mei Hwa terbelalak mendengar penjelasan Meilan. "Gegar otak? Si Thai Nyiu?"
"Ya, koko wa hanya ada satu, Thai Nyiu." Jawab Meilan. "Gara-gara kalah berkelahi dengan Asiong yang kesetanan, kepalanya berkali-kali terhantam aspal sampai dungu!"
"Wa ingin Asiong juga merasakan hal yang sama seperti Thai Nyiu!" Meilan menggeram. "Asiong sudah menghancurkan keluarga wa. Wa juga ingin keluarga Asiong hancur!"
Bergidik perasaan Mei Hwa mendengar pengakuan dingin Meilan itu. Entah mengapa, perasaannya mendadak menjadi tidak enak.
'Menyeramkan! Wa harus segera keluar dari sini dan memberitahu Asiong.' Kata Mei Hwa dalam hati. Dia menghela nafas. 'Tapi bagaimana wa bisa keluar kalau begini caranya?'
BAGIAN 118
"Bentar, Bun!" Cahyadi menyentuh tangan Buntara yang mengendarai mobilnya. "Sepertinya wa melihat mobil mereka.""Mana?" Tanya Buntara.
"Kau lihat mobil yang di depan itu?" Cahyadi menunjuk mobil yang sedang melaju di depan mereka.
Buntara mengangguk.
"Itu mobilnya. Wa ingat warna dan plat nomornya." Kata Cahyadi. "Coba wa cek dari GPS."
Setelah menekan pesan singkat dan mendapat balasan, Cahyadi mengangguk.
"Benar. Ini dia jalannya!"
"Kalau begitu, kita siap!" Kata Buntara. "Wa akan pepet mobil itu."
Buntara menginjak pedal gas sehingga mobil melaju kencang. Di jalanan yang cukup sepi itu, tepat di depan sebuah tanah lapang, Buntara membanting setir ke kiri, mencoba menabrak mobil yang dikendarai oleh Abui.
Sama seperti halnya saat Abui memepet motor yang dikendarai oleh Cahyadi, begitu pula Abui terkejut saat menyadari mobil yang dikendarainya dipepet dari kanan. Pemuda itu membanting setirnya ke kiri.
"Hei. Mabok ya! Punya mata gak sih?!" Abui mengumpat kesal sambil mengembalikan setir ke posisi semula.
Akibat reaksi Abui yang tiba-tiba tersebut, semua penumpang di mobil yang dikendarainya terkejut, tak terkecuali Mei Hwa, yang tak sengaja melirik ke samping kanan dan mengenali mobil yang memepet mereka.
'Inova putih? Itu sepertinya mobil Abun.' Gumam gadis itu dalam hati.
'Kalau benar, wa tak boleh diam begini saja.'
Buntara ternyata tidak cukup hanya memepet mobil Abui ke sebelah kiri hingga nyaris masuk ke pinggir lapangan kosong, namun juga Buntara berhasil menghadang laju mobil tersebut dengan menyalip dan berhenti tepat di depannya!
"Sial!!" Abui mengumpat sambil menginjak rem dengan mendadak. Akibatnya semua yang berada di dalamnya, terdorong ke depan dan nyaris terbentur.
"Ko Abui. Ngantuk ya. Bawa mobil yang bener dong!" Meilan memaki.
"Siapa yang ngantuk! Lihat itu!" Abui tak kalah ketusnya menjawab makian Meilan. Saat Meilan melihat ke depan, gadis itu terbelalak saat mengenali mobil yang pernah dibuntutinya itu.
"Itu..." Terbata-bata Meilan menunjuk ke depan, ke arah mobil Inova putih yang menghadang di depan jalan mereka.
'Sekarang!' Mei Hwa berkata kepada dirinya sendiri. Matanya melirik ke kanan bagian bawah tempat Lukman duduk. Tangannya terjulur sebelum sempat Lukman menyadarinya!
"IIIAAAAOOOOWWWW!!!!" Tahu-tahu terdengar Lukman menjerit kencang. Kedua matanya seketika menutup dan badannya terloncat dengan kedua tangan segera memegang kemaluannya yang diremas oleh Mei Hwa.
"Hah?!" Si Muka Codet dan yang lainnya terkejut mendengar teriakan Lukman yang mengagetkan itu. Belum lagi Si Muka Codet memahami apa yang sedang terjadi, tahu-tahu...
"AAAAOOOOHHHHH!!!" Kini giliran Si Muka Codet yang menjerit saat hidungnya dihantam siku Mei Hwa dengan telak. Spontan, lelaki berbadan besar tersebut memegangi kedua hidungnya yang kesakitan dihantam mendadak oleh siku yang bertulang keras itu. Kepalanya menengadah menahan sakit yang tak terkira.
Semua terjadi begitu cepat. Setelah melumpuhkan Lukman dengan sekali remasan di kemaluannya, disusul dengan hantaman siku di hidung Si Muka Codet yang membuatnya mengerang kesakitan, Mei Hwa segera julurkan tangannya membuka gagang pintu mobil dari dalam.
Pintu mobil berhasil terbuka! Sebelum sempat gadis itu berhasil keluar, Si Muka Codet rupanya telah bereaksi saat menyadari apa yang akan terjadi. Namun, Mei Hwa tak kehilangan akal!
"IIIIIAAAAAAOOOOOOWWWWWWW!!!!" Sekali lagi gadis itu gerakkan lengannya meremas kemaluan Si Muka Codet, membuat lelaki berbadan besar tersebut menjerit bagaikan diiris sembilu.
Mei Hwa mendorong pintu dan dengan gerakan lincah, dia melompat keluar. Gerakannya begitu cepat, sehingga tak ada satupun yang berada di dalam mobil sempat mencegah perbuatannya!
"Itu Mei Hwa." Cahyadi berteriak sambil membuka pintu mobil saat menyadari siapa yang melompat keluar dari mobil di belakangnya. Segera saja pemuda itu berlari menyambut Mei Hwa yang akan terpuruk di rerumputan akibat melompat tergesa-gesa.
"Uhhhh...." Cahyadi mengeluh saat tubuhnya berhasil menahan laju lompatan Mei Hwa dan gadis tunangannya mendarat di atas badannya. "Wa mendapatkanmu, Hwa. Wa mendapatkanmu..."
Bersamaan dengan keluarnya ketiga pemuda dari Inova putih, Cahyadi memeluk erat tubuh Mei Hwa.
"Kamu baik-baik saja, Hwa?" Tanya Cahyadi menatap wajah Mei Hwa yang dipegang pundaknya. Keduanya terduduk di tanah lapang saat itu.
"Wa baik-baik aja..." Mei Hwa menjawab dengan bibir bergetar. Sesaat kemudian, tangisnya tumpah di pelukan tunangannya. Bagaimanapun juga, Mei Hwa tetap seorang wanita yang tidak setegar lelaki dalam situasi berbahaya seperti itu.
Sementara Buntara, Jun Nyen dan Achiung melangkah mendekati mobil di belakang mereka. Dari empat penumpang di dalamnya, hanya Meilan dan Abui yang keluar.
"Mei, masih belum puas kau mencari gara-gara ya?!" Jun Nyen langsung menuding Meilan begitu gadis berambut pendek itu menginjakkan kakinya di tanah lapangan kosong itu.
"Sebelum Asiong mampus!" Jawab Meilan ketus.
"Langkahi mayat kami dulu kalau kau ingin lihat Asiong mampus!" Bentak Achiung memelototi Meilan.
"Begitu ya?" Jawab Abui ketus. "Kalau begitu wa bikin mampus dulu kalian disini."
Abui gerakkan lengannya menyarangkan sebuah pukulan ke arah Buntara yang berdiri paling dekat dengannya.
"Wa gak kenal siapa kau! Kalau memang kau itu Abui, kau sudah salah mengenal wa!" Buntara masih sempat menggulung lengan baju kemejanya sebelum melancarkan serangan balasan menyambut pukulan Abui.
Hanya dengan sekali kibas, pukulan Abui berhasil dimentahkan oleh Buntara. Namun Abui tak menyerah. Dengan sebelah tangan lainnya, dia kembali menyarangkan pukulan.
Buntara yang pernah mempelajari ilmu bela diri dari papanya, tak semudah itu dihajar begitu saja. Sebelum pukulan Abui masuk mengenai sasarannya, Buntara telah terlebih dulu memutar badannya dan lengan kanannya bergerak menghantam pinggang Abui dari sebelah kanan.
"Uggghhhh!!" Abui mengerang saat pinggangnya dengan telak terhantam pukulan Buntara. Kakinya terseret beberapa tindak ke samping dan tangannya bergerak memegang pinggangnya sambil muka mengernyit kesakitan.
"Siapa kau?" Tanya Abui sambil menahan sakit di pinggangnya.
"Buntara. Kau boleh panggil Abun!" Jawab Buntara sambil menegakkan kembali kuda-kudanya.
Pada saat itu, Lukman dan Si Muka Codet yang telah pulih dari rasa sakit di kemaluan mereka, membuka pintu dan mulai bergabung dengan Meilan dan Abui.
Melihat keduanya keluar dari dalam mobil, Jun Nyen dan Achiung segera memasang kuda-kuda. Bersiap-siap menunggu segala kemungkinan yang akan terjadi.
BAGIAN 119
"Hahaha..." Jun Nyen tertawa melihat Lukman dan Si Muka Codet yang berjalan tidak normal itu. Sebagai lelaki, segera Jun Nyen menyadari ketidakberesan tersebut."Heh, anak buah Roni!" Jun Nyen menuding Lukman dan Si Muka Codet. "Mana gaya jalan kalian yang arogan itu? Kenapa sekarang justru berjalan seperti orang kena burut?"
"Habis turun berok barangkali." Achiung menimpali sambil tertawa.
"Kurang ajar!" Si Muka Codet terpancing dengan ledekan kedua anak muda itu. Tangannya sudah terangkat hendak maju menyerang. Namun, Lukman keburu menahannya dan menggelengkan kepalanya.
"Jangan sekarang!" Lukman berkata dengan tenang.
"Tapi..." Si Muka Codet rupanya masih penasaran ingin membalas ledekan keduanya.
"Kubilang jangan sekarang!!" Bentak Lukman. Matanya menatap Abui dan Meilan. "Mundur!!"
Meilan masih tak mau bergeming dari tempatnya berdiri saat menyadari Abui sudah mendahuluinya berjalan dan membuka pintu mobil. Mengetahui tak ada lagi yang mendukungnya, gadis berambut pendek tersebut masih mencoba menggertak.
"Kali ini kalian menang! Jangan harap lain kali akan begini lagi!" Kata Meilan dingin. "Akan wa balas perbuatan kalian!"
"Silakan! Akan kami tunggu sampai kapanpun!" Teriak Jun Nyen meladeni tantangan Meilan.
"Jangan sampai kau menjadi Thai Nyiu kedua!" Achiung menambahkan. Perkataannya sudah cukup membuat Meilan mendelik menatapnya.
Gadis berambut pendek yang pernah menjalin hubungan kasih dengan Asiong itu, membanting pintu mobil dengan keras sebagai ungkapan kekesalannya. Segera setelah itu, mobil mereka bergerak mundur hingga jarak tertentu untuk kemudian maju melewati mobil Buntara di depan mereka.
Setelah kepergian mereka berempat, semua yang berada di lapangan menghembuskan nafas lega. Cahyad membantu Mei Hwa berdiri dari posisi duduk mereka, sementara Buntara dan kedua teman Asiong melangkah kembali menuju mobil Inova putih yang dibawa Buntara.
"Terima kasih ya kalian sudah datang menyelamatkan wa!" Ujar Mei Hwa ketika berada di dalam mobil yang membawa mereka semua pulang ke konveksi. "Wa sungguh gak nyangka lho kalau kalian akan datang."
"Mei Ce gak apa-apa?" Tanya Buntara sambil mengendarai mobilnya.
"Wa gak apa-apa." Mei Hwa menggenggam jari Cahyadi, tunangannya itu. "Semua sudah berlalu. Kita sekarang bisa pulang dengan tenang."
"Ya, kita semua sudah lelah..." Ujar Cahyadi.
"Betul nih. Wa penasaran, apa Asiong malam ini mencium Ervina lagi ya?" Jun Nyen yang memang konyol itu mencoba melawak untuk mencairkan suasana tegang tersebut. Banyolannya ternyata manjur. Kelima orang tersebut tertawa lepas, seakan sudah melupakan insiden yang baru saja terjadi.
Sementara itu Asiong dan Ervina baru saja tiba di rumah konveksi saat mendapati rumahnya dalam keadaan kosong, hanya Chun Hwa saja yang keluar menyambut kepulangan mereka.
Chun Hwa menceritakan perihal yang terjadi kepada kakak sulung mereka dan bagaimana Buntara dengan kedua temannya telah pergi melacak penculik kakaknya tersebut.
Belum lama setelah Chun Hwa selesai bercerita, mobil Inova putih yang dibawa Buntara tiba di rumah konveksi.
"Itu mereka sudah pulang..." Kata Chun Hwa menatap dengan harap-harap cemas. Asiong dan Ervina pun sudah berdiri dari duduk mereka di ruang tamu.
Bersama Buntara, masuk kedua sahabat Asiong dan juga Mei Hwa yang didampingi oleh Cahyadi. Saat melihat Mei Hwa, Chun Hwa segera berlari memeluk kakaknya itu.
"Ce... Kau gak apa-apa?" Chun Hwa hampir saja menangis saat memeluk kakaknya itu.
"Wa gak apa-apa, Chun." Mei Hwa tersenyum. "Berkat Abun dan kawan-kawan Asiong..."
"Syukurlah, Ce... Wa udah cemas aja Ce kenapa-kenapa..."
"Tuhan masih melindungi Wa, Chun..." Jawab Mei Hwa mengelus punggung adiknya.
Chun Hwa melepaskan pelukannya di badan kakaknya. Sementara Mei Hwa tersenyum.
"Mei Ce, istirahat dulu di dalam ya." Kata Asiong kepada Mei Hwa. "Vina, tolong ambilkan air untuk Mei Ce ya..."
"Iya, Lex." Ervina mengangguk dan bergegas ke dalam.
"Vina," Panggilan Mei Hwa membuat gadis berambut pirang itu menengok. "Tak perlu repot-repot. Wa bisa ambil sendiri."
"Kalau begitu, kita bertiga ke dalam saja." Chun Hwa tersenyum sambil menggandeng lengan Ervina dan kakaknya. Bersamanya, Chun Hwa mengajak keduanya masuk ke dapur, meninggalkan para lelaki di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian, setelah Cahyadi diminta pulang oleh Mei Hwa yang mengkhawatirkannya sehubungan dengan dinas keluar kotanya keesokan harinya, ketiga perempuan di konveksi tersebut bergabung di satu kamar di malam itu. Sementara Asiong dengan kedua sahabatnya dan Buntara berkumpul di atas meja panjang konveksi membahas kejadian yang menimpa Mei Hwa.
"Dugaan wa benar, Siong!" Kata Jun Nyen. "Apa yang wa takutkan terjadi."
"Ya, sekarang lawan kita bukan hanya Roni. Tapi juga Meilan dan Abui." Sahut Achiung.
"Wa sudah terpikir kalau Roni pasti takkan tinggal diam begitu saja setelah Ervina membayar lunas hutang keluarganya." Ujar Buntara. "Ingat, Roni itu siapa. Rentenir sadis."
"Tapi wa sama sekali tak mengira kalau Meilan akan berbuat sejauh itu." Sambung Buntara.
"Dia ingin menghancurkan keluarga Asiong seperti Asiong menghancurkan kakaknya." Achiung meniru ucapan Meilan.
"Gendang perang sudah ditabuh!" Asiong mengepalkan tinjunya. "Meilan! Kalau kau memulai, kita yang menghentikannya!"
"Roni! Tunggulah pembalasanku!! Takkan pernah kumaafkan telah membuat Vina menderita seperti ini. Aku bersumpah, akan kuhancurkan kau sampai ke akar-akarnya!" Lanjut Asiong lagi. "Jangan pernah kau anggap enteng anak rantau! Kau belum mengenal siapa diriku sebenarnya! Kita lihat saja siapa yang akan memenangkan pertarungan ini. Kau atau aku yang mati!!"
Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
BAGIAN 120
"Oke, karena semua sudah berkumpul disini, jadi wa akan memulai rapat ini..." Asiong berkata sambil memandang satu persatu orang yang berkumpul disana. Dengan duduk di atas meja panjang konveksi esok malamnya, Asiong bersama dengan kedua sahabatnya, Jun Nyen dan Achiung, ditemani oleh Buntara dan Ervina, berlima mengadakan rapat terbuka membahas rencana untuk menyerang ke markas Roni."Pertama sekali yang harus kita perhatikan adalah gerak-gerak Meilan dan Abui." Asiong melanjutkan. "Wa rasa dia pasti sudah tahu dimana markas Roni, kecil sekali kemungkinannya dia tidak tahu."
"Jadi maksudmu, sasaran pertama yang harus kita lumpuhkan dulu itu Meilan?" Tanya Jun Nyen sambil menyalakan sebatang rokok yang dibeli bersama dengan Achiung.
"Bukan. Bukan Meilan, tapi Abui." Jawab Asiong. "Menurut wa Meilan jauh lebih berbahaya daripada Abui..."
"Tapi, Siong, musuh kita bukan cuma mereka berdua aja. Masih ada anak buah Roni kan?" Buntara menimpali. "Berapa orang ya jumlahnya?"
"Yang wa pernah hadapi sendiri itu satu di diskotik, dua di PRJ..." Ujar Asiong.
"Dua yang mengejar kita dengan motor..." Sambung Ervina. "Yang kamu tendang kakinya itu, Lex."
Asiong mengangguk.
"Wa sendiri satu di diskotik..." Jawab Buntara.
"Si Codet dan temannya..." Tutup Asiong. "Delapan orang."
"Gila, Siong. Kau robohin tiga orang sekaligus?" Tanya Achiung sambil menatap ketuanya itu. "Makin ganas aja kau..."
"Kalau mau dihitung yang langsung berhadapan dengan Alex itu lima orang." Ervina memperjelas. "Dua orangnya ditendang kakinya waktu mengejar kami dengan motor waktu Justine diracun..."
"Apapun itu, mereka delapan orang. Plus Abui dan Meilan. Sepuluh." Kata Asiong.
"Dengan Roni menjadi sebelas..." Tambah Jun Nyen.
"Kita disini berempat..." Sahut Achiung. "Berarti seorang sekitar tiga..."
"Bukan. Kita pancing mereka." Ujar Asiong. "Mudah-mudahan bisa sekali kena delapan orang..."
"Maksudmu anak buah Roni saja yang kita incar?" Tanya Buntara.
Asiong mengangguk. "Mereka dulu, baru Abui. Otomatis Meilan dan Roni akan muncul dan mungkin bersamaan."
"Bagaimana caranya?" Tanya Achiung.
"Kau masih ingat cara kita memancing geng-nya Bong Kwet Khiong?" Asiong menatap sahabatnya itu.
"Bong Kwet Khiong?" Achiung mengusap dagunya. "Bong Kwet Khiong..."
"Dengan obat..." Sahut Jun Nyen.
"Dan cewek..." Achiung menimpali.
"Tepat!" Asiong menjentikkan jarinya. "Kita pakai cara itu lagi sekarang."
"Siong, waktu itu kita kan punya orang dalam, tapi sekarang, kita mau dapat obarnya dari mana?" Tanya Jun Nyen.
Asiong menatap Buntara. "Bun, kau kan sudah lama di Jakarta ini. Ada kenalan di diskotik yang kita pergi waktu itu tidak?"
"Kenalan ya?" Buntara menggaruk kepalanya. "Oh ya, ada."
"Kau kenal baik dengannya?"
"Lumayan." Jawab Buntara.
"Akrab?"
"Gak perlu wa kasih tau kali ngapain ya..." Jawab Buntara cengengesan.
"Bagus. Bisa kita minta bantuannya?" Asiong menyengir mendengar komentar sepupunya.
"Mudah-mudahan ya, Siong." Ujar Buntara.
"Vina, sisa uangnya masih ada berapa ya?" Asiong berpaling menatap kekasihnya.
"Masih banyak, Lex. Kenapa?" Dengan mata beningnya, Ervina menatap Asiong.
"Kalau kami minta sedikit untuk membayar orang meringkus anak buah Roni, boleh tidak?"
Tak lama waktu yang dibutuhkan Ervina untuk menjawab pertanyaan Asiong. Gadis itu tersenyum dan menjawab,
"Alex, itu kan bukan uangku, Sayang. Pakailah bila kamu mau memakainya. Asalkan semua urusan ini selesai dan kamu dan teman-temanmu baik-baik saja."
"Terima kasih." Asiong meremas pelan jemari kekasihnya.
"Tak perlu, Lex. Kenapa jadi sungkan begini sih?" Ervina masih menatap Asiong dengan kedua mata beningnya.
"Kalau begitu kita semua bersiap ya." Kata Asiong lagi. "Ini rencana kita..."
Pemuda itu membeberkan rencana yang akan dijalankannya dalam waktu singkat itu. Tampak kesemuanya terlibat dalam pembicaraan serius dalam diskusi itu.
"Jun Nyen, kau bawa apa yang wa minta?" Asiong menatap sahabatnya.
Jun Nyen mengangguk. Tangannya merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sekantong besar berwarna bening yang berisi ratusan puntung rokok bekas. Melihat hal tersebut, Ervina menatap Asiong dengan pandangan bingung. Tak terkecuali dengan Buntara.
Asiong mengambil kantong berisi ratusan puntung rokok bekas tersebut.
"Ini akan menjadi tanda yang menghubungkan kita semua." Asiong menjelaskan. "Selama pertarungan kami di Pontianak, bila ada salah satu dari kami yang ditangkap atau menyusup ke kandang musuh, puntung rokok inilah yang menjadi kode kami. Dengan membuang satu puntung di setiap jarak tertentu di jalan yang kita lalui, kami bisa mengetahui kemana kami harus menuju."
"Luar biasa! Berapa lama kalian mengumpulkan ini, Lex?" Tanya Ervina terkesima dengan cara yang dijalankan kekasihnya itu.
"Kami membelinya dari pengemis, Vin." Kata Asiong. "Jadi kami tak perlu susah-susah mencarinya."
"Kami selalu memiliki simpanannya. Jadi kapanpun kami mau, kami bisa mengeluarkannya." Jun Nyen menambahkan.
"Karena dari pengalaman kami selama ini, tidak selamanya rencana yang kami susun berjalan dengan sempurna." Sahut Achiung. "Jadi ini untuk berjaga-jaga bila sewaktu-waktu rencana berubah karena halangan atau sesuatu hal."
"Nah, setiap orang membawa sekitar 50 buah puntung rokok ini." Kata Asiong lagi sambil mengambil dan membagi puntung rokok bekas yang sudah dibersihkan tersebut. "Disimpan di beberapa tempat di pakaian kita, jadi kita bisa dengan leluasa mengambilnya dalam keadaan bagaimanapun."
"Jadi kalau kantong celana kita ada empat kantong, harus diisi semuanya?" Tanya Buntara sambil mengamati puntung rokok yang diberikan sepupunya.
Asiong mengangguk. "Ini adalah taktik perang geng kami di Pontianak. Taktik ini hanya kami yang mengetahuinya. Kami menamakannya: Taktik Puntung Rokok."
BAGIAN 121
"Aaaoowwww!!"
"Sudah saya katakan kalau saya tidak percaya padamu!" Bentak Roni. Tangannya masih bergetar setelah menampar wajah Meilan.
"Roni, ini semua bukan salah Meilan." Abui yang berada di samping Meilan berkata, mencoba membela adik sahabatnya. "Kami semua sama sekali tidak menyangka kalau mereka akan datang membawa bala bantuan!"
"ALASAN!!" Teriak Roni. Tangannya bergerak lagi.
PLAKKK!!
"Aauuhhh!!" Meilan yang menjadi sasaran tamparan Roni kembali memekik kesakitan. Sebagai lelaki berbadan besar, tamparan Roni di pipinya tentunya akan terasa sakit dan panas.
Meilan tidak menjawab. Tangannya yang tadi hanya sebelah memegang pipinya, kini telah memegang kedua pipinya dengan kedua tangannya. Namun selebihnya gadis itu tidak menunduk sebagaimana sikap seorang wanita yang ditampar lelaki, tapi justru Meilan menatap Roni dengan pandangan penuh amarah.
"Roni!" Abui yang sudah panas melihat adik sahabatnya ditampar Roni lagi bereaksi dan ingin menghajar lelaki tersebut. Namun niatnya urung saat menyadari dia sedang berada di sarang musuh dan jika dia melakukan sesuatu tindakan berbahaya, pastilah Roni takkan segan-segan menyiksa Meilan lebih parah lagi. Terlebih badannya tidak sebesar badan Roni dan komplotannya.
Memikir kesana, Abui hanya bisa mengepalkan tangannya dan berharap Meilan tidak lagi mendapat tamparan Roni yang berikutnya.
"Kalian bisa saja alasan bilang mereka menyergap kalian. Tapi sebenarnya itu semua adalah sandiwara kalian sendiri!" Kembali Roni berkata dengan suara keras. "Saya sama sekali tak percaya kalian sepatah katapun!"
"Betul, Bos! Andai saja kami tidak disergap, aku sudah bisa bersenang-senang dengan gadis berkulit putih mulus itu." Si Muka Codet menimpali.
"DIAMM!! Siapa yang memintamu berbicara, hah?!!" Teriak Roni kesal. "Yang ada di pikiranmu hanya seks, seks dan seks. Tapi kerjaan tidak becus semua!"
"GOBLOOKKK!!!" Dengan kesalnya Roni melayangkan sebuah pukulan di perut Si Muka Codet dengan mendadak. Karena tak menduga akan serangan itu sama sekali, Si Muka Codet hanya bisa mengerang kesakitan menerima dengan telak pukulan yang mampir di perutnya tersebut.
"Ron, tenangkan dirimu." Seorang lelaki yang tak kalah besar badannya berkata dengan suara dingin dan tenang. Dialah Lukman, tangan kanan Roni.
"Saya sama sekali tidak berpikir kalau ini semua adalah sandiwara." Kata Lukman. "Memang kami kurang beruntung saja. Ditambah dua begundal kampung ini memang tidak pakai otak waktu menyusun rencana, sehingga semuanya jadi berantakan."
"Makanya saya bilang semuanya goblok." Ujar Roni dengan suara keras.
"Roni..." Meilan mulai bersuara setelah terdiam dimarahi Roni habis-habisan. "Kau boleh saja menyebut kami anak kampung!"
"Semua rencana kami berantakan gara-gara Si Codet sialan itu. Andai saja dia tidak berbuat macam-macam..."
"Mei!" Abui terbelalak mendengar perkataan Meilan yang menurutnya sangat berani untuk diungkapkan tersebut.
"Hei, cewek brengsek! Awas kau berani mengataiku!" Si Muka Codet naik pitam saat diumpat Meilan. Badannya sudah bergerak maju ingin melabrak gadis berambut pendek tersebut, seandainya tidak dicegah oleh Lukman yang menghalanginya.
"DIAAMMM!!!" Roni berteriak marah. "Kalian seperti anjing dan kucing! Tidak ada bedanya!"
'Dan kau bos anjing...' Rutuk Meilan dalam hati. 'Apa bedanya?'
"Begini saja!" Abui mengangkat tangannya mencoba menengahi. "Karena pada awalnya kami berdua yang memulai, maka sekarang kami berdua menyingkir dari tempat ini dan kita menjalankannya masing-masing. Jadi semua silang sengketa ini tidak ada lagi. Bagaimana?"
"Kau kira semudah itu kalian keluar dari sini, hah!!" Roni memelototi Abui dengan matanya yang terbelalak lebar.
"Ron, boleh saya memotong?" Lukman bersuara.
"Ya!" Jawab Roni pendek.
"Saya rasa semua yang dikatakan mereka dengan dendam terhadap pemuda sialan pacar Ervina itu benar adanya." Ujar Lukman. "Saya ikut dengan mereka kemarin. Saya bisa merasakan hawa membunuh gadis ini sangat besar. Kalaupun benar mereka bersandiwara, saya rasa takkan mungkin mereka bisa melibatkan perasaan mereka dalam bersandiawara seperti itu."
"Jadi maksudmu?" Roni mengangkat alisnya menatap Lukman.
"Kita beri kesempatan kedua." Kata Lukman lagi. "Biarkan mereka bergerak lagi. Tanpa bantuan dari pihak kita. Tapi dengan pertaruhan nyawa mereka. Bila mereka sekali ini gagal, maka nyawa mereka sebagai gantinya."
Abui tersentak mendengar syarat menakutkan yang diajukan Lukman tersebut. Dia menelan ludah yang tersekat di tenggorokannya. Sementara Meilan tak bergeming sedikitpun saat mendengarnya.
"Bagaimana?" Tanya Lukman.
"Hmm..." Roni berjalan mondar-mandir di depan mereka berempat. Pikirannya sedang mempertimbangkan kemungkinan yang diajukan tangan kanannya tersebut.
"Saya setuju!" Roni tertawa. "Nyawa yang menjadi taruhan! Bagus sekali, Lukman! Bagus sekali!!"
"Saya takkan butuh bantuan kalian!" Menyadari situasi tegang sudah mulai mengendur, Meilan berkata dengan nada tinggi. "Lihat saja! Kali ini kami takkan gagal lagi!!"
BAGIAN 122
Asiong sedang menyisir gondrongnya di depan sebuah kaca sambil bersiul-siul. Pemuda itu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian. Ervina berdiri di samping kekasihnya dan memandanginya menyisir rambut. Keduanya berada di dalam kamar Asiong yang dipinjamkannya kepada Ervina.
"Sebentar lagi Abun akan datang membawa kami ke diskotik yang kami kunjungi waktu itu." Kata pemuda itu sambil menyisir. "Kami sudah mendapatkan semua info yang kami butuhkan disana. Malam ini juga kami akan menangkap anak buah Roni. Doakan kami berhasil ya."
"Lex, sekali-kali kamu gunting rambut ya." Kata Ervina saat melihat rambut gondrong Asiong. "Biar kamu tambah ganteng..."
Asiong berhenti menyisir rambutnya dan menatap Ervina. "Aku lebih suka tampil alami begini. Justru dengan rambut pendek, aku malah merasa bukan seperti diriku yang sebenarnya."
"Aku mengerti." Ervina mengangguk. "Tapi kalau kamu bisa merapikannya, akan lebih menarik lagi lho."
Asiong menggamit lengan Ervina dan menatap kedua mata bening gadis itu. Tak ada suara yang keluar dari mulut pemuda rantau itu.
"Kalau urusan ini sudah selesai, kamu rapikan rambutmu ya, Lex..." Kata Ervina dengan nada meminta. "Aku ingin melihat pahlawanku tampil rapi."
"Lihat nih." Ervina menyentuh dagu kekasihnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Kamu juga belum cukuran lagi. Nanti sekalian ya."
Asiong mengangguk. "Tumben kamu begini? Kenapa?"
Ervina menggeleng. "Aku hanya ingin melihat orang yang kusayang tampil rapi."
"Memangnya aku tidak rapi ya?"
"Sudah kok, Alex Sayang. Hanya saja aku ingin melihat kamu tampil dengan rambut pendek." Ervina tersenyum. "Kamu mau kan melakukannya untukku?"
"Kalau kamu memintaku begitu ya aku akan menurut." Jawab Asiong.
"Besok ya kita ke salon. Aku juga sudah lama tidak kesana."
"Boleh." Asiong melepaskan pegangannya di lengan kekasihnya. "Setelah urusan malam ini selesai ya?"
Ervina tersenyum. Matanya tanpa sengaja melirik ke lengan kanan Asiong.
"Lex, sudah lama aku ingin menanyakan ini, tapi aku selalu lupa karena kejadian demi kejadian yang menimpa kita." Kata Ervina.
"Mumpung aku ingat..." Sambungnya sambil memegang lengan kanan kekasihnya dan menaikkannya. "Gelang yang kamu pakai ini, gelang apa?"
Asiong tertawa sebelum menjawab pertanyaan Ervina. "Ini gelang pemberian Tetua Iban saat aku dan Jun Nyen membawamu kesana. Gunanya untuk kekebalan."
"Kekebalan?"
"Ya. Katanya urusan kita dengan Roni akan berkepanjangan dan nyawaku terancam. Jadi dia menghadiahkan gelang ini untukku." Kata Asiong. "Andaikan ada gelang ini, katanya aku tidak akan terluka bila ada bahaya mengancam."
"Alex, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa." Ervina menatap lekat kedua mata kekasihnya. "Kamu harus kembali lagi dengan tidak kurang suatu apapun ya. Janji?"
"Aku tidak akan kenapa-kenapa dan aku pasti akan kembali dengan selamat untukmu." Kata Asiong. Tangannya merangkul pinggang kekasihnya.
"Ahh, Lex..." Ervina mengeluh pelan saat pinggangnya dipeluk Asiong dan badannya ditarik mendekat. Dengan sebelah lengannya lagi, Asiong menutup pintu kamar di belakangnya.
"Jangan nakal ya..." Desis gadis itu lirih, namun kedua lengannya membalas merangkul Asiong di leher pemuda tersebut.
Asiong tidak menjawab protes Ervina, namun justru memandang kedua mata beningnya lekat-lekat. Sebelah tangannya naik dan membelai rambut pirang gadis itu lalu turun mengelus lehernya.
"Aaahhhh... Lex...." Mendesah pelan Ervina mendapat elusan manja di belakang lehernya itu. Kedua matanya setengah terpejam menikmati belaian kekasihnya.
Di saat sedang terbuai seperti itu, Ervina merasakan bibirnya disentuh halus sepasang bibir yang langsung mengecupnya saat itu juga. Belum sempat gadis itu mengambil nafas, lidah pemilik bibir tersebut telah menyelusup masuk ke dalam mulutnya mencari lidahnya dan mengundangnya dengan jilatan pelan.
"Nggghhhh..." Ervina menurunkan lengannya dari pundak Asiong ke pinggang pemuda tersebut. Dengan begitu tubuh keduanya semakin merapat. Dengan begitu pula, gadis keturunan tersebut melayani 'perang lidah' yang dimulai oleh kekasihnya itu.
Cukup lama juga sepasang kekasih yang saling mencintai itu berpelukan sambil bercumbu, sebelum akhirnya keduanya dikagetkan oleh pintu yang membuka dari depan.
"Siong, Abun sudah da... Upps... Sori..." Achiung yang mendorong pintu dari luar memanggil Asiong mengurungkan niatnya saat melihat sahabatnya sedang menikmati saat berduaan dengan kekasihnya. Ditutupnya lagi pintu kamar dan pemuda itu menunggu di depan.
"Ahhh..." Ervina mendesah saat kecupan di bibirnya berhenti. Asiong menarik bibirnya dari bibir gadis itu.
"Aku pergi ya." Ujar Asiong sambil tersenyum menatap sepasang mata indah Ervina yang tak berkedip itu. Disentuhnya pelan dagu kekasihnya itu.
"Hati-hati, Lex." Ervina berbisik pelan. "Kamu harus berhasil ya!"
Asiong mengangguk. "Pasti. I love you."
"I love you, too, Alex." Jawab Ervina dengan suara lembutnya.
Asiong melepaskan pelukannya di tubuh Ervina, membalikkan badannya dan membuka pintu. Achiung yang duduk di atas meja panjang konveksi langsung meloncat turun saat melihatnya keluar dari dalam kamar, diikuti oleh Ervina dari belakang.
"Ayo, Chiung!" Ujar Asiong sambil berjalan ke arah pintu.
"Udah selesai nih ritualnya?" Celoteh Achiung sambil cengengesan menatap ketuanya.
"Itu bukan ritual," Jawab Asiong sambil tersenyum. "Hanya minta restu."
BAGIAN 123
"Semuanya berjalan sesuai rencana." Kata Buntara saat Asiong dan Achiung masuk ke dalam mobil.
"Sudah ada kepastian, siapa saja yang akan datang kesana malam ini?" Tanya Asiong.
"Dari Shinta, wa mendapat kabar kalau beberapa anak buah Roni akan datang." Jawab Buntara. "Mungkin 5-6 orang."
"Wah, hebat juga kau, Bun!" Komentar Achiung.
"Heh, tak percuma wa jadi anak malam kalau urusan begini saja gak bisa." Balas Buntara. "Secara wa udah kenal banget dengan yang namanya Shinta. Dengan sedikit uang aja, dia udah pasti akan mendukung kita."
"Kerja yang bagus, Bun!" Asiong tersenyum. "Sekarang kita mulai memancing ikannya!"
Dua hari sebelumnya, tepatnya Kamis malam, atas permintaan Asiong, Buntara mengunjungi diskotik yang pernah mereka kunjungi sebelumnya. Diskotik dimana keduanya bertemu dengan Roni beserta anak buahnya dan terlibat perkelahian dengan mereka. Tempat dimana Asiong yang sudah ingin melupakan Ervina yang dijumpainya di PRJ, justru malah kembali bertemu dengan gadis yang kini telah menjadi kekasihnya itu. Tempat perjumpaan yang manis dan pahit bagi pemuda rantau tersebut. Awal dari semua permasalahan yang membuat dirinya terseret dalam hingga melibatkan teman-temannya dan juga bantuan sepupunya.
Buntara berhasil menemui Shinta, salah seorang wanita penghibur di diskotik langganannya tersebut dan darinya dia mendapatkan info tentang anak buah Roni, yang ternyata, sering mengunjungi tempat tersebut. Bahkan Shinta masih menyimpan nomor telepon beberapa anak buah Roni yang seringkali dikencaninya, termasuk nomor telepon Roni sendiri.
Dengan sejumlah dana tertentu, Buntara meminta bantuan Shinta untuk mengundang anak buah Roni datang ke diskotik malam minggu nanti. Juga Buntara menceritakan sedikit tentang rencana menjebak mereka. Karena Shinta sudah kenal baik dengan Buntara, terlebih Buntara telah memberinya uang tutup mulut, maka rencana yang dilakukan oleh Asiong dan teman-temannya dipastikan berjalan dengan lancar.
"Jujur aja. Aku dan teman-temanku sebenarnya sudah bosan dengan mereka." Ujar Shinta waktu Buntara membookingnya di sebuah kamar malam itu. "Tiap kali selalu maunya gratis. Kalo gak dikasih, ngamuk..."
"Emangnya kita ini barang gratisan apa?" Dengan cemberut Shinta melanjutkan perkataannya.
"Kalau begitu, bantu aku ya." Kata Buntara dengan suara lembut. "Kalau berhasil, imbalannya gak sedikit lho..."
"Berapa?"
"Sepuluh juta. Kamu bisa bagi dengan teman-temanmu."
"Wah..." Mata Shinta terbelalak mendengar nominal yang disebutkan Buntara. "Bener nih?"
"Bener dong." Sahut Buntara. "Bonus dua juta lagi khusus untukmu aja. Gimana? Mau?"
"Mau, mau, mau." Shinta langsung mengangguk mengiyakan. "Jadi kapan nih?"
"Sabtu ini." Kata Buntara sambil mengeluarkan seamplop uang. "Ini lima juta dulu sebagai pembayaran awal. Sisanya dibayar setelah misi berhasil. Plus dua juta khusus untukmu..."
"Bersih..." Tambah Buntara lagi.
Setelah tiba di lokasi sasaran, Buntara memarkir kendaraannya di tempat yang agak jauh namun masih bisa terjangkau oleh mata untuk mengintai. Menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya keempat pemuda itupun mengetahui beberapa anak buah Roni yang datang kesana.
Dengan mengendarai sebuah mobil lama, tampak lima orang anak buah Roni turun dan melangkah masuk ke dalam diskotik.
"Lima orang." Kata Achiung. "Berarti Roni gak datang..."
"Kata siapa?" Sahut Jun Nyen. "Itu apa?"
Semuanya berpaling ke sesosok lelaki berbadan besar yang masuk bersama dengan dua orang bodyguard di sebelah kiri dan kanannya. Itu memang Roni adanya. Dengan jumawa, rentenir itu masuk ke dalam diskotik.
"Bagus! Berarti semuanya ada disini." Kata Jun Nyen. "Gak disangka, Roni datang juga rupanya."
"Gak, Nyen. Masih ada satu yang gak datang." Sahut Buntara.
"Siapa?"
"Yang bersama si Codet kemarin itu." Jawab Buntara. "Sepertinya dia tangan kanannya Roni."
"Sepertinya begitu." Asiong berkata. "Cara berpikir dan bertindaknya lebih berbahaya dibanding Roni sendiri."
"Kalau begitu, kita tinggal menunggu hasil kerja Shinta dan kawan-kawannya." Sahut Buntara.
"Ya, kita semua menunggu disini. Jangan ada yang keluar! Karena kita semua sudah dikenali." Ujar Asiong.
BAGIAN 124
Sementara ketujuh anak buah Roni lainnya, Niko, Martin, Iksan, Faisal, Saiful yang dipanggil Ipul, Taufik dan Si Codet langsung akrab dengan para wanita penghibur yang tertawa-tawa melayani mereka.
"Mas, mau minum apa?" Shinta yang malam itu mengenakan kaos ketat dengan paduan rok mini duduk di samping Roni. Tangan Roni langsung mengusap paha gadis itu saat Shinta duduk di sampingnya.
"Mas, kok cepet sih? Kita turun dulu, napa..." Shinta mengenyahkan tangan nakal Roni yang tertawa sambil menghembuskan asap rokoknya.
"Udah gak tahan nih..." Jawab Roni tertawa lebar.
"Minum dulu aja ya, Mas. Habis itu baru kita turun..." Kata Shinta. "Masa datang-datang langsung main. Keseleo atuh..."
"Kau ini, bisa aja..." Roni mencuil dagu Shinta.
"Anak-anak kemana, Mas?" Tanya Shinta sambil menuangkan sebotol minuman keras yang dibukanya.
"Biarkan aja mereka. Gue datang mau senang-senang. Biar mereka urus diri mereka sendiri-sendiri..." Kata Roni.
"Iya, Mas. Kalo udah datang, emang musti senang-senang. Kalo gak, buat apa datang? Mending di rumah aja, tidur telentang..."
"Siapa yang tidur telentang?" Tantang Roni. "Malam ini kamu kuat berapa ronde?"
"Alah, biasa juga Mas yang KO duluan..." Sahut Shinta sambil tertawa.
"Hahahahaha... Malam ini kubuat kamu menjerit-jerit minta lagi..." Roni tertawa sambil menenggak minuman keras di gelas yang telah diisi oleh Shinta. Hanya dengan sekali tenggak, minuman di dalam gelaspun ludes ke dalam perutnya.
Malam itu, Shinta dan teman-temannya melaksanakan pesan yang disampaikan Buntara. Mereka harus bisa membuat Roni dan anak buahnya mabuk, atau minimal setengah mabuk seperti yang dipesan Buntara, untuk kemudian dilanjutkan dengan rencana kedua dari tiga rencana yang diberikan.
Dalam waktu kurang lebih satu hingga satu setengah jam, Shinta dan teman-temannya telah berhasil membuat tujuh anak buah Roni semaput dan lupa daratan, tak terkecuali Roni. Lalu pada saat mereka lengah, dimana sebagian besar dari mereka telah bersandar dalam keadaan mabok dengan wajah merah, Shinta dan teman-temannya memakai sarung tangan dan mengeluarkan sekantong kecil bubuk berwarna putih yang disisipkan di kantong baju dan celana Ipul, Iksan, dan Nico.
Sedangkan Shinta sendiri berhasil membuat Roni mabok berat dengan beberapa butir pil koplo yang dimasukkan ke dalam minumannya. Di saat rentenir sadis tersebut terkapar di sofa dengan bibir berbusa karena mabok, Shinta membuka sekantong shabu-shabu, menuangkan sebagian isinya ke atas sofa dan sisanya digenggamkan di telapak tangan Roni.
Setelah mendapat kabar tentang anak buah Roni dari temannya yang masuk ke ruangannya, Shinta segera mengambil ponselnya dan menghubungi nomor yang telah diberikan Buntara padanya sebelumnya.
"Gila, bikin kaget aja nih telepon." Kata Buntara saat ponselnya berbunyi. Pemuda itu sengaja membeli sebuah nomor perdana baru untuk misi tersebut. Setelah misi tersebut selesai, chip dan nomor ponsel baru tersebut akan dilenyapkan, sehingga keberadaan mereka sebagai penelepon tidak terlacak. Begitu pula bila Shinta - katakanlah - berkhianat dengan membocorkan rencana yang mereka susun kepada pihak yang tak diinginkan.
Dijawabnya panggilan dari Shinta tersebut.
"Oke. Thank you, Babe. Love you. Muachh..." Dengan sedikit rayuan mautnya, Buntara menutup teleponnya dan menengok ke belakang.
"Sekarang waktunya menghubungi polisi." Kata Buntara. Ditekannya beberapa nomor di ponselnya dan menunggu sambungan terhubung.
"Halo, kantor polisi? Iya, Pak, saya mau melaporkan..."
BAGIAN 125
Tak berselang lama kemudian, tiga unit mobil patroli dan lima unit mobil berukuran besar tiba di diskotik tersebut. Sesuai dengan informasi yang diperoleh dari sumber yang tidak ingin diketahui, pihak berwajib mengetahui ada pesta shabu-shabu dan obat terlarang di diskotik tersebut. Penggrebekan pun dilakukan saat itu juga. Hasilnya, selain menangkap beberapa pengunjung yang bermasalah, Roni dan ketujuh anak buahnya juga ditangkap dan diseret ke kantor polisi.Saat diseret keluar dari diskotik, tampak Roni dan ketujuh anak buahnya berjalan tertatih-tatih dan sempoyongan akibat terlalu banyak menenggak minuman keras. Terlebih Roni yang sudah tak sadarkan diri itu, sama sekali tak mengetahui kalau dirinya tengah diangkut ke kantor polisi menggunakan mobil polisi.
"Kita berhasil!!" Jun Nyen menjerit kegirangan saat konvoi mobil polisi berlalu dari tempat itu. Pemuda itu melompat senang di dalam mobil Inova baru milik Buntara.
Rasa gembira juga tidak luput dirasakan oleh Buntara dan Achiung. Salah satu yang paling gembira saat itu adalah Asiong. Bahkan pemuda rantau itu dengan bangganya melihat foto yang diambil oleh Buntara dengan kamera yang dibawanya. Sebuah kamera yang berharga mahal dengan pixel dan resolusi tinggi. Dengan resolusi tinggi dan kecanggihannya yang mutakhir, berada di tempat yang agak jauh dari sasaran pemotretan bukanlah masalah. Hasil yang didapat tetaplah terang, jelas dan memuaskan.
"Gambar ini akan menjadi bukti kepada Vina kalau Roni dan komplotannya sudah dibekuk polisi." Kata Asiong tersenyum. "Dia pasti senang melihatnya."
"Pasti, Siong." Jun Nyen menepuk pundak sahabatnya dari belakang. "Wa aja senang banget. Usaha kita selama ini gak sia-sia."
"Tapi usaha kita belum selesai lho, Siong." Buntara mengingatkan. "Masih ada Meilan dan Abui."
"Juga jangan dilupakan, masih ada satu anak buah Roni." Kata Achiung.
"Ya, setidaknya beban kita sekarang sudah banyak berkurang." Sahut Asiong. "Tinggal kita konsentrasi menyelesaikan bagian berikutnya."
"Ya..." Kata Buntara. "Wa tinggal dulu sebentar ya. Mau masuk ke dalam dulu, ketemu Shinta. Bayar sisa uangnya."
"Oh ya, boleh, Bun. Asal jangan kelamaan aja." Celetuk Achiung.
"Jangan main, Bun! Ingat masih ada kami menunggu disini!" Asiong menimpali sambil tertawa.
"Jangan lupa pakai kondom, Bun!" Sambung Jun Nyen yang membuat ketiga pemuda tersebut meledak dalam tertawa.
"Gila ah! Wa gak separah itu kali." Sahut Buntara sambil membuka pintu.
"Lho, emang maksud wa apa?" Jun Nyen cengar-cengir menatap Buntara lalu ke arah Asiong dan Achiung.
"Emang maksudnya apa?" Buntara bertanya balik.
"Maksud wa, jangan lupa pakai kondom waktu melunasi hutang." Kata Jun Nyen yang terkenal konyol di dalam gengnya. "Tangannya dipakaiin kondom waktu bayar."
"Gak salah, Nyen? Masa tangan dipakaiin kondom?" Sambil menyengir kuda, Achiung mengomentari perkataan Jun Nyen.
"Iyalah. Itu kan duit haram. Duit kotor. Pake kondom lah biar terjamin kebersihannya." Sahut Jun Nyen sekenanya.
"Jadi maksudnya kondom sebagai pengganti sarung tangan, gitu?" Buntara menimpali.
"Ya, begitu maksud wa."
"Gila ahh." Sahut Buntara sambil menutup pintu. Namun pemuda itu akhirnya menyengir juga sebelum melangkah masuk ke dalam diskotik dan menemui Shinta.
"Ini sisanya." Kata Buntara sambil menyerahkan sebuah amplop yang langsung diambil oleh Shinta. "Lima juta Rupiah."
"Dan ini dua juta Rupiah, bonus, khusus untukmu!" Lanjut Buntara. "Kerja yang bagus! Terima kasih atas kerjasamanya."
BAGIAN 126
"Aku... Aku tak tahu harus berkata apa..." Ervina terpaku melihat foto yang sedang dipegangnya. "Aku.. Ahhh... Ini..."Tampak sepasang mata gadis itu berkaca-kaca saat melihat kembali foto Roni dan komplotannya yang sedang digelandang pihak berwajib ke mobil patroli polisi di depan sebuah diskotik. Pandangannya tak berkedip melihat kenyataan yang di depan matanya.
"Alex... Terima kasih..." Tiba-tiba Ervina memeluk Asiong yang berdiri di depannya itu. Asiong yang dipeluk mendadak itu terperangah sesaat.
"Terima kasih, Lex. Terima kasih..." Asiong merasakan seperti ada guncangan di dadanya. Saat pemuda itu mencari tahu penyebab guncangan itu, dia melihat Ervina yang membaringkan wajahnya di dadanya itulah yang menjadi penyebabnya.
"Vina..." Pemuda itu membelai rambut pirang kekasihnya dengan lembut. "Kok kamu menangis?"
"Aku sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, Lex..." Ervina berdesis pelan di antara tangisnya. "Semua yang kamu lakukan, sampai sejauh ini..."
Gadis itu mempererat lengannya yang memeluk badan kekasihnya. "Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih ini saja. Kamu sudah banyak berkorban untukku, Lex..."
"Tak apa-apa, Vina..." Asiong masih membelai rambut halus kekasihnya itu. "Yang penting sekarang kita sudah bisa hidup lebih tenang lagi, karena Roni dan komplotannya sudah dijebloskan ke penjara."
Hari itu adalah keesokan harinya setelah malam minggu Asiong dan kedua teman dan sepupunya melewati dengan mengintai di diskotik untuk memastikan lebih jauh keberhasilan misi mereka. Saat mereka semua pulang ke rumah, Ervina dan kedua kakak Asiong sudah tertidur. Baru pada pagi itu, Asiong sempat memperlihatkan foto yang sudah dicetaknya di rumah Buntara sebelum dibawanya pulang. Saat itu sepasang kekasih itu berada di dalam kamar yang tertutup, sehingga berpelukan mesra seperti itu tidak perlu khawatir akan ketahuan oleh penghuni rumah lainnya.
"Aku beruntung bisa bertemu denganmu, Lex..." Ervina mengangkat kepalanya dan menatap wajah Asiong. "Kamu begitu baik membantuku menyelesaikan masalah hidupku..."
"Lho, justru aku yang merasa beruntung." Asiong menyentuh pelupuk mata Ervina dan mengusap air mata yang telah menetes membasahi pipinya. "Bisa bertemu gadis secantikmu."
"Sudah, jangan menangis lagi ya." Kata Asiong. "Aku tidak ingin melihat kamu menangis. Kamu kan gadis yang tegar. Air mata ini tidak sepantasnya ada di matamu..."
"Tapi aku tidak bisa bertahan tanpamu, Lex." Ujar Ervina. "Andai saja aku tak bertemu denganmu, aku tak tahu masalahku dengan Roni akan bagaimana. Mungkin sampai saat ini masih belum selesai."
"Ini semua berkat pertolongan dan keberanianmu..." Sambung Ervina. "Makanya aku bisa terlepas dari ini semua, semua berkat kamu. Aku beruntung bisa bertemu denganmu."
"Aku juga senang kita bisa melewati ini semua." Kata Asiong. "Walaupun perjuangan ini belum selesai sepenuhnya."
"Alex, aku lupa..." Ervina berkata dengan tiba-tiba.
"Ada apa?"
"Kamu belum sarapan pagi." Dilepaskannya pelukan di tubuh pemuda kekasihnya. "Aku buatkan kamu makan pagi ya."
Saat Ervina membalikkan badannya hendak melangkah, Asiong segera memegang lengan gadis itu. Akibatnya Ervina mengurungkan niatnya dan menengok kembali ke arah Asiong.
"Tak perlu." Kata Asiong sambil menggeleng. "Kita makan di luar saja ya. Bagaimana?"
"Makan di luar?"
"Ya, makan di luar. Ada bubur ayam, ketupat sayur atau bakmi ayam."
"Boleh aja, Lex. Pulangnya kita ke salon ya. Lihat nih, jambangmu makin panjang."
"Masa sih?" Asiong mengusap wajahnya yang memang belum sempat dicukur kumis dan jambangnya itu.
"Hmm..." Ervina menggumam pelan memandangi kekasihnya. "Kamu janji apa semalam, masih ingat?"
Asiong tertawa lepas saat memahami maksud perkataan Ervina.
"Mulai hari ini, Alex-ku harus tampil rapi ya." Kata Ervina sambil mengusap rambut gondrong Asiong. "Rambut tidak boleh panjang lagi. Juga tak boleh pakai anting lagi."
"Hah? Aku tak boleh pakai anting lagi?" Asiong menatap Ervina dengan tatapan mata tak percaya.
Ervina menggeleng pelan sambil tersenyum. "Alex-nya Ervina tidak boleh tampil urakan lagi, tapi harus rapi."
"Tapi..."
"Alex, jangan nakal dong." Ervina berkata. "Kamu kan sudah punya aku. Kalau kamu sayang aku, kamu harus berubah ya. Tidak boleh lagi tampil seperti ini."
"Tapi ini bukan Asiong yang sebenarnya..."
"Bagiku kamu tetap Asiong, atau Alex, yang kuat dan tak kenal menyerah. Aku hanya ingin kamu tampil rapi..."
"Kenapa?"
"Karena mulai detik ini, Vina akan merawatmu." Tambah Ervina sambil tersenyum menggoda. "Jadi kamu tak boleh lagi tampil begini, tapi harus rapi dan terawat."
"Oke, Sayang?" Ervina mengedipkan sebelah matanya saat menutup perkataannya.
"Ah, kenapa aku tak pernah bisa menolak dan melawanmu, Vin?" Gumam Asiong.
"Karena aku tahu isi hatimu, Lex." Jawab Ervina sambil tersenyum.
Asiong menghela nafas dan menghembuskannya. "Baiklah. Demi Vina yang kucintai, aku akan mengubah penampilanku."
"Nah, begitu dong." Senyum Ervina semakin lebar.
'Alex, hanya ini yang bisa aku lakukan padamu.' Kata gadis itu dalam hati. 'Membalas kebaikanmu dan pengorbananmu padaku selama ini. Aku ingin bisa selalu merawatmu seperti kamu menjaga dan melindungiku.'
'Aku akan merawatmu dengan setulus hatiku mencintaimu, Lex.'
BAGIAN 127
Dua hari berlalu tanpa ada sesuatu berarti yang terjadi. Achiung masih tetap bekerja di konveksi yang dikelola Asiong dan kedua kakaknya, sementara Jun Nyen sudah memutuskan untuk tidak kembali dulu ke Pontianak sampai kasus Asiong benar-benar selesai total. Pemuda itu bahkan merencanakan untuk mulai tinggal menetap di Jakarta, karena dia mulai merasa betah berada di ibukota yang hiruk pikuk ini.Sore itu, setelah mengunjungi Asiong di konveksinya dan sekaligus bertemu dengan Achiung, Jun Nyen mengendarai motornya pulang menuju rumah saudaranya, tempat dimana dia menetap selama berada di Jakarta.
Sambil mengendarai motornya dengan santai, Jun Nyen tidak menyadari kalau pada saat itu sebuah mobil yang awalnya sedang diparkir di sebuah pinggiran jalan yang dilewatinya, kini telah mengikutinya dari jarak yang cukup jauh di belakangnya.
"Itu dia orangnya" Kata si pengemudi mobil. "Jun Nyen."
"Bagus, Ko Abui. Kita lumpuhkan dia dulu." Sahut sebuah suara lain.
"Ya, Mei. Dengan begitu, Asiong pasti akan muncul." Jawab orang yang dipanggil Abui itu.
Orang yang ternyata adalah Meilan tertawa. Di tangannya tergenggam sebatang kayu pemukul baseball.
"Wa sengaja beli pemukul ini kemarin." Kata Meilan sambil mengayunkan pemukul itu ke telapak tangannya. "Dengan ini, wa ingin lihat apa dia masih bisa melawan."
"Ternyata kau sama sadisnya dengan Thai Nyiu, Mei." Abui membelokkan kemudinya mengikuti arah kemana Jun Nyen berjalan.
"Dimana kita akan menyerangnya?" Tanya Meilan dengan mata berbinar-binar. "Wa sudah tak sabar ingin cepat menghajarnya..."
"Di depan sana ada tempat sepi." Ujar Abui. "Kita pepet dia dulu, baru kita hajar."
"Cepat sedikit! Gara-gara campur tangannya, kita sampai dihajar Roni! Brengsek!" Meilan masih tak berhenti memaki.
Abui berdecak sambil mempercepat laju mobilnya. Dengan terus memperdekatkan jarak dengan motor Jun Nyen, Abui akhirnya berhasil mendekati pemuda teman Asiong tersebut.
"Heh, mobil itu dari tadi mengikuti wa..." Kata Jun Nyen sambil melirik kaca spion motornya. "Tunggu. Sepertinya wa kenal dengan mobilnya."
Benak Jun Nyen berputar untuk mengingat mobil yang menurutnya pernah dilihatnya tersebut. Sambil terus menjalankan motornya, pemuda itu lanjut berpikir.
"Abui. Itu mobil Abui." Berdetak jantung Jun Nyen saat menyadari siapa pemilik mobil yang sekarang telah berada tepat di belakangnya itu. "Berarti ada Meilan juga. Rencana apa lagi yang mau dijalankannya?"
Memikir sampai kesana, Jun Nyen mempercepat laju motor yang dikendarainya. Terlepas dari apapun yang menjadi rencana adiknya Thai Nyiu itu, pemuda itu tak ingin bertemu dengannya pada saat itu.
"Sebisa mungkin wa harus menghindarinya." Kata Jun Nyen lagi. Digasnya motornya lebih kencang lagi.
Namun diluar dugaannya, mobil di belakangnya juga malah mempercepat lajunya. Bahkan sangat cepat. Melesat bagaikan kereta api dan...
BRUAKKK!!!
"Aaakkkhhhh!!" Jun Nyen menjerit panik saat motor yang dikendarainya ditabrak oleh mobil di belakangnya!
Dan Jun Nyen mendapatkan motornya oleng, jatuh terbanting ke aspal di jalanan sepi tersebut dan menyadari dirinya telah melayang di udara!
BAGIAN 128
Jun Nyen jatuh terguling hingga beberapa meter jauhnya. Helm yang dipakainya terlepas dari kepalanya. Tubuhnya baru berhenti bergulir dalam posisi tertelungkup di jalan beraspal."Sialan!" Dengan menopangkan kedua tangannya dan mendorong tubuhnya, Jun Nyen mencoba berdiri. Dengan tubuh yang sakit dan lutut yang dilihatnya telah luka, pemuda itu berdiri kembali. Hanya untuk menemukan bahwa mobil telah berhenti dan pintu telah dibanting tertutup.
"Ko Anyen. Kasian sekali kau sampai jatuh seperti itu." Sebuah suara seorang wanita terdengar memanggil namanya. Jun Nyen menengok sambil mengusap lutut kanannya yang terluka dengan celana panjang yang telah robek.
"Meilan..." Jun Nyen menggertakkan giginya. Matanya tercekat saat melihat tongkat baseball yang dipegang gadis itu. Hatinya membathin. 'Mau apa dia bawa tongkat baseball itu?'
Saat melihat Jun Nyen baru saja berdiri dari terjatuhnya, Abui segera mendekat dan tanpa banyak bicara, pemuda itu segera melayangkan sebuah pukulan ke badan Jun Nyen.
"Mampus kau!"
Jun Nyen yang sudah terlatih dalam perkelahian antar geng, tidaklah semudah itu menjadi incaran menta-mentah pukulan Abui. Pemuda itu mengelak dengan menundukkan badannya sambil mengepalkan tangannya siap melancarkan serangan balasan.
Pukulan Jun Nyen berhasil ditahan oleh lengan Abui, yang kembali bergerak melancarkan serangan. Kembali Jun Nyen menghindar dan melancarkan pukulan.
Perkelahian antara Jun Nyen dan Abui mulai berjalan tidak seimbang. Walau dengan kondisi badan yang masih sakit setelah terjatuh dari motor, namun Jun Nyen masih sanggup mengatasi perlawanan Abui.
Ditambah lagi dengan pengalamannya sebagai anak geng dan terlebih sebagai wakil yang ditunjuk oleh Asiong sebagai tangan kanannya, Jun Nyen tampaknya tak mengalami kesulitan berarti dalam mengatasi Abui.
Di saat dimana Abui semakin terdesak dan Jun Nyen berada di atas angin, sebuah pukulan yang datang mendadak dari belakang kepala Jun Nyen melayang mendekat. Jun Nyen masih sempat menoleh dan melirik dengan ujung matanya. Namun itu sudah telat.
BUKKK!!
"Ouuughhhh!!!" Pukulan keras yang dilancarkan sekuat tenaga oleh Meilan dari pemukul baseball yang sedang dipegangnya sudah cukup membuat Jun Nyen terhuyung dan mengerang kesakitan.
Pukulan di tengkuk yang membuat kedua matanya nanar seketika dan tubuhnya menjadi lemas bagai tak bertulang.
Tepat pada saat kedua mata Jun Nyen semakin nanar dan kakinya mulai goyah, Abui melayangkan sebuah pukulan yang mendarat telak di perut pemuda itu.
"Uuukkkkhhhhh!!" Kembali Jun Nyen mengerang kesakitan saat perutnya dihantam pukulan Abui.
Tangan Abui masih terkepal dan siap melancarkan beberapa pukulan kembali. Sementara Jun Nyen, setelah hantaman di kepalanya, sudah tak lagi sanggup memberi perlawanan.
Melihat lawannya sudah tak berkutik, Abui menyeringai dan tangannya bergerak!
"Hei! Ada apa disana?" Tiba-tiba terdengar suara teriakan berasal dari tempat tak jauh dari mereka bertiga berada.
Abui tersentak mendengar suara teriakan tersebut, tangannya yang ingin memukul dihentikannya. Sementara Meilan saat mendengar teriakan tersebut, segera membalikkan badannya dan berlari ke dalam mobil. Melihat Meilan berlari, Abui pun tak mau ketinggalan segera berlari ke dalam mobil.
Sementara Jun Nyen telah jatuh berlutut sambil memegangi perutnya yang terhantam, namun hanya sesaat. Pukulan yang mampir di tengkuknya tadi telah membuat kesadarannya sirna. Pandangannya mendadak menjadi gelap.
Tubuh lemas Jun Nyen jatuh terkapar di jalanan tanpa mengetahui lagi saat itu mobil yang dibawa Abui telah melesat meninggalkan tempat itu dan pada saat yang bersamaan dua orang telah berlari menghampirinya.
Berikutnya di Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau
Kesal karena usahanya gagal dan tidak diterima di geng Roni, Meilan dan Abui bergerak sendiri membuat perangkap untuk Asiong dan Ervina. Jun Nyen diserang mendadak oleh mereka berdua hingga terluka. Asiong dan Achiung yang mengetahui kabar sahabatnya itu segera menjenguknya.
Namun ketiga pemuda itu tidak menyadari kalau dibalik penyerangan itu, ternyata Meilan dan Abui telah merencanakan sebuah siasat licik.
Pada saat yang bersamaan, Roni telah dibebaskan dari penjara dan kembali merajalela. Bersama dengan Lukman dan orang yang menjamin kebebasannya, Roni merencanakan pembalasan dendam kepada Asiong, Ervina dan juga ketiga pemuda yang membantu mereka!
Perang besar dimulai! Asiong dkk harus berjibaku melawan Roni cs yang mendapat bantuan dari Meilan dan Abui!! Sanggupkah Asiong dkk pulang dengan membawa kemenangan? Ataukah justru masih ada kejutan lain yang akan terjadi selanjutnya?
Nantikan di episode-episode penghujung Cerbung: Asiong, Sepenggal Kisah Si Anak Rantau.
Hanya di HSG!
BERSAMBUNG
Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-November 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-November 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
0 komentar:
Posting Komentar