08/04/12

Serial Detektif Koko (2): Bila CInta, Jangan Membuatku Benjol

Serial Detektif Koko



Riwayat lahirnya serial Detektif Koko:

Berawal dari dibentuknya BBM HSG, semakin hari semakin banyak yang bergabung ke dalamnya. Tiada hari tanpa keramaian di BBM HSG. Dari pagi bangun tidur hingga malam menjelang tidur. Mungkin bisa dibilang itu Grup BBM paling ramai yang pernah ada. Canda tawa, hingga info dan motivasi. Benar-benar seperti HSG yang sebenarnya, dimana rasa kekeluargaan sangat erat sekali terasa.

Hingga pada suatu hari, salah satu member HSG berulang tahun. Kaz yang admin mengucapkannya melalui BBM. Tapi karena Kaz mengucapkannya bukan pada saat yang senggang, maka ada kesalahan pengetikan, dimana BBM ultah itu sebenarnya Kaz ambil dari BBM seorang teman yang bernama Linda yang dicopas dan dikirim kepada member yang berulang tahun itu. Dari sanalah muncul karakter Linda pada member kita ini.

Beberapa hari kemudian, member lain diberi nama Vera karena dipelesetkan dari nama sebenarnya. Akibat dari guyonan Linda yang semakin lama semakin menghangat. Plus canda tawa yang semakin banyak, hingga akhirnya Kaz mendapat inspirasi untuk menuangkannya ke dalam sebuah serial pelesatan dari serial Lina & Viska, yaitu Linda & Vera.

Berikutnya giliran 2 member yang berulang tahun berlainan hari dan keduanya berinisial HY. Disanalah kisah ini semakin berkembang. Plus Kaz sendiri mendapat imbas dari keisengannya menjodohkan sejoli HY dan pemunuculan karakter Linda & Vera. Oleh salah seorang dari mereka Kaz dipanggil Ko Koz.

Detektif Koko sendiri muncul dari kata Konyol dan Kocak. Dimana 2 episode perdana yang akan tayang ini tak lepas dari kekonyolan dan kekocakan dua detektif wanita Linda dan Vera, yang aslinya adalah laki-laki (member HSG sendiri).

Disanalah serial ini dimulai. Serial Detektif Koko: Linda & Vera, yang mengambil setting di Kampung HSG (Hunian Serba Gaduh) - HSG banget ya, yang selalu hyperaktif dalam eksistensinya - sebuah kampung yang dipimpin oleh Akoh Koz, juragan sesepuh kampung.

Para pemeran di Serial Detektif Koko (tokoh diambil dari member HSG yang dipelesetkan nama dan diberikan karakter khusus khas rekaan Kaz):

1. Kaz Felinus Li sebagai Akoh Koz, juragan sesepuh dan dedengkot kampung HSG.

2. Aan Gow sebagai Aan alias Ana Linda.

3. V-Ry Ng sebagai Very alias Vera.

4. Han Yo (sejoli HY)

5. Heni Yanz (sejoli HY)

6. Hayati Ling / Uchi Naru sebagai Mpok Yati, janda beranjing galak.

7. Mei Devin / Xiao Mei Mei sebagai Jeng Memei, si penjual kue keliling, pacar Very.

8. Hui Jenny sebagai Jennifer Collins alias J-Co, si cewek tajir, pacar Aan.

9. Kho Ling Hong, sebagai Honggo, si tukang ojek.

10. Henni Silviana , sebagai Henny, si sekretaris seksi.

11. Wenty Anggraeni, sebagai Reny, istri Hong.

12. David Lee, sebagai Dave, si kutu buku dan laptop berjalan.

13. Lynzz, si nenek cilik.

14. Jun Piau jadi Yen Biao, bodyguard Henny.

Dan karakter-karakter lainnya masih akan menyusul.

Serial Detektif Koko: Linda & Vera, disajikan dalam gaya bahasa yang luwes dan menarik. Semoga terhibur.

Salam HSG

**************************

BAGIAN 1

HONG, HEN DAN HAN

Kampung HSG, Hunian Serba Gaduh...

Jam 5:30 pagi...

Sebuah motor Kawasan Ninja dengan bunyi garang yang dapat membangunkan tidur seekor ayam, berhenti di depan sebuah rumah kosong di Kampung HSG. Pengemudinya seorang lelaki berambut panjang dan bertampang lumayan keren, tersenyum tanpa mematikan mesin kendaraannya.

Seorang penumpang di belakangnya merayap turun dari motor tersebut. Di punggungnya tergantung sebuah ransel yang cukup besar.

"Selamat datang di Kampung HSG, Neng..." Si pengemudi berkata sambil mengusap-usap rambut panjangnya.

"Heni..." Jawab si penumpang.

"Pendek amet namanya, Neng..." Si lelaki tersenyum sambil melirik si penumpang yang ternyata seorang gadis itu. Tangannya menarik-narik pelan rambut jambul di atas keningnya, yang sebenarnya tidaklah berjambul.

"Hmm.. Sebenarnya namaku Heni Yana Melinda Puspita Sari Murni Kurniawati Herlambang Simangunsong..." Si gadis tersenyum dan membalas lirikan si pengemudi motor.

Mendengar perkenalan diri si gadis, lelaki itu berhenti mengusap rambutnya dan menatap si gadis dengan tatapan melongo. "Pan... Panjang amet namanya, Neng..."

Gadis yang bernama Heni tersenyum. Perawakannya sedang untuk ukuran seorang wanita, dengan rambut hitam sepunggung. "Nah, si mas ojek sendiri namanya siapa?"

"Simas margarine... Eh, salah..." Lelaki itu menutup mulutnya. "Namaku Hong..."

"Hong?" Heni membuka dompet besarnya yang dengan susah payah dikeluarkannya dari dalam ras ranselnya. "Hong dari Hong Kong?"

"Aduhhh.. Bukan..." Si ojek berdecak. "Nama panjangnya Honggo Sule, dipanggil Hong..."

"Sule?" Heni memperhatikan si ojek dengan seksama. Sesaat kemudian tertawanya meledak.

"Hahahahahaha. Kok nggak ada samanya dengan Sule ya?" Sambung Heni di antara tertawanya. "Dari sudut manapun, nggak ada yang sama..."

Ojek Hong nyengir kuda saat ditertawakan begitu. "Emangnya meja pake sudut segala. Sule disini bukan berarti Sule Prikitiu OVJ itu. Tapi ini lebih keren lagi..."

"Lebih keren lagi? Maksudnya?" Heni masih tertawa lebar. "Apa ada yang bisa lebih keren dari Sule yang udah keren..." Dinaikkannya kedua tangannya dan jari tengah dan telunjuknya digerakkan membentuk tanda kutip. "... itu."

"Nama asliku Sulaiman, dipanggil Sule. Papa asalnya dari Hong Kong dan Mama aslii Gorontalo, alias Batak. Jadilah aku dipanggil Honggo Sule..."

"Ohhh... Honggo Sule itu Sulaiman keturunan Hong Kong - Gorontalo. Berarti kita masih sekampung Batak dong ya?" Heni menyerahkan selembar uang berwarna hijau. "Dua puluh ribu kan, Mas Sule eh maksudnya Bang Hong..."

"Iya, Neng..." Ojek Hong menerima sodoran Heni dan menyimpannya ke dalam saku kemejanya. "Makasih ya..."

"Iya... Sama-sama..." Dengan susah payah, Heni kembali memasukkan dompet besarnya ke dalam tas ranselnya. "Ini tas terakhirku, yang lainnya sudah ada di dalam rumah ini."

"Oh, berarti Neng sudah pernah pindahan ke sini sebelumnya ya?"

Heni mengangguk. "Panggil Heni aja ya, jangan pake Neng..."

"I.. Iya... Ne.. eh... Neni... eh Heni..." Ojek Hong mengusap kepalanya. Sikapnya yang canggung itu membuat Heni terkikik geli.

"Oh iya, sudah lapor pada sesepuh kampung sini belum, Akoh Koz namanya?" Ojek Hong berkata lagi.

Heni menggeleng. "Oh sudah... Namun nanti harus melapor lagi karena aku harus bawa surat-suratnya..."

"Kalau begitu, selamat datang di Kampung Hunian Serba Gaduh..." Ujar Ojek Hong sambil mengusap rambutnya lagi.

"Rambutnya kenapa ya, Bang Hong? Kok dari tadi diusap terus?" Heni menatap bingung dengan sikap si ojek.

"Eh... Nggak... Nggak apa-apa..." Ojek Hong menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

"Kutuan ya?" Tanya Heni melihat Ojek Hong menggaruk kepalanya.

"Hah!!" Terbelalak sepasang mata Ojek Hong mendengar Heni yang ceplas-ceplos itu. "Kutuan? Ya nggak lah."

Ditariknya kerah kemejanya. "Masa keren-keren begini kutuan... Kutu mau hinggap juga lihat-lihat dulu kali, Neng, eh Hen... Kalo sama orang keren gini mah, kutunya minggir...."

Heni tertawa mendengar perkataan Ojek Hong. "Iya deh, percaya Bangkong eh maaf, Bang Hong. Aku mau masuk dulu ya, masih ada yang mau diberesin nih..."

"Kalau begitu, aku tinggal dulu. Masih mau mengantar penumpang nih." Ojek Hong menggas motor Kawasan Ninja-nya meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal ojek Hong, Heni membalikkan badannya dan berjalan menuju pagar masuk rumah barunya. Tangannya merogoh saku di celana jeans yang dipakainya dan mengeluarkan kunci dari dalamnya yang kemudian dipakai untuk membuka kunci gembok pagar rumah barunya.

Pada saat perhatiannya sedang tertuju pada pagar yang sedang dibukanya, pintu pagar di sebelah kiri rumahnya membuka. Dari dalam melangkah keluar seorang pemuda berwajah tampan sambil mendorong sebuah motor bebek dan memarkirnya di depan rumahnya sebelum akhirnya dia berbalik dan mengunci pintu pagarnya.

Saat si pemuda selesai mengunci pagar dan membalikkan badannya adalah tepat pada saat Heni berhasil membuka gembok pagar dan mendorong pintunya. Tepat pada saat itu, keduanya saling bertatapan.

Untuk sesaat keduanya saling terpaku tak bergerak selama beberapa detik lamanya. Tak bersuara dan tak bergeming sedikitpun. Bahkan bulu halus di tubuh keduanya ikut terhenti tak bergerak.

BAGIAN 2

HY dan HY

'Wow! Ada cogan....' Heni merasakan jantungnya berdetak kencang menatap pemuda tampan di depannya matanya. Pada saat yang bersamaan...

'Gile! Nih cewek cantik banget! Bidadari nyasarkah?' Pemuda itupun tak urung berkata dalam hatinya dengan jantung kebat-kebit.

'Tapi masa iya ada bidadari nyasar ke kampung kacau balau begini, sepagi ini pula?' Bathin pemuda itu lagi merasakan jantungnya yang berdetak lebih kencang dari detakan jam dinding yang baru diganti batu baterainya.

'Tuh cowo gantengnya ampyuuuuunn deh... Tom Cruise aja cuma kena pinggirnya lhooo....' Heni yang masih terpaku itu berkata dalam hatinya. '

'Siapa ya namanya? Wah, tetangga baru nih, sebelah rumah lagi... Beruntungnya aku...' Hati si pemuda tersenyum menyadari kenyataan tersebut.

'Nah, sepertinya dia tinggal di sebelahku nih. Hoki banget ya, baru pindah udah ketemu PPH, Pemuda Pujaan Hati...' Kata Heni dalam hatinya.

Entah sengatan listrik yang berasal dari mana. Saat keduanya kembali tersadar, hampir secara bersamaan, Heni dan si pemuda berujar, juga secara bersamaan.

"Hai!"

Berkata perkataan yang sama dalam waktu yang sama membuat keduanya tersentak. Bila Heni menundukkan kepalanya dengan wajah memerah, si pemuda memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatapan mata si gadis yang sebenarnya sudah menunduk itu. Hal itu membuat si pemuda jugalah yang terlebih dulu menengok kembali dan memulai pembicaraan.

"Ehm... Pindahan baru ya?" Ujar si pemuda menatap rambut hitam Heni yang terurai lepas saat dia menunduk itu.

'Dia memanggilku ya?' Heni berkata dalam hatinya sebelum akhirnya dia mengangkat wajahnya. Seulas senyum merekah perlahan di wajahnya, walaupun jantungnya masih berdetak untuk saat itu. "I.. Iya... Aku baru pindah..."

"Oh, kalau begitu selamat datang di Kampung HSG." Si pemuda tersenyum sambil menjulurkan tangannya. "Kenalkan, namaku Han Yo. Panggilannya Han..."

'Han? Wow! Nama yang indah seperti pemiliknya.' Dengan bathin yang masih tak menentu, Heni menerima uluran tangan si pemuda yang bernama Han itu. "Aku... Aku Heni, Heni Yana."

"Heni?" Han tersenyum saat keduanya bersalaman. "Salam kenal dari tetangga sebelah rumahmu, Hen..."

"Iya, Ko Han. Salam kenal juga..." Heni membalas sapaan Han.

"Panggil aku Han saja, jangan pakai Ko..." Han berkata. "Jadi namanya Heni Yana?"

"Iya... Sebenarnya nama lengkapku itu Heni Yana Melinda Puspita Sari Murni Kurniawati Herlambang Simangunsong."

"Ooooo..." Han Yo memonyongkan mulutnya. "Emang lahirnya di kereta ya?"

"Lho, kok bisa tau?" Heni melongo. "Padahal kan baru aja kenal..."

"Habis namanya panjaaaaaaaaaaaaaaang banget kayak kereta..." Ujar Han Yo. "Terus ibunya pasti kerja di perkebunan teh ya?"

"Lho, kok tau lagi?"

"Tuh, ada nama Sari Murni..." Han Yo menyengir kuda. "Terus Bapaknya orang botak eh maksudku Batak ya?"

Heni tertawa mendengar perkataan Han Yo. "Iya, bapakku emang botak sih. Asalnya emang dari Batak. Kok bisa tau lagi?"

"Tuh ada kata Simalungun..." Jawab Han Yo.

"Bukan Simalungun, tapi Simangunsong..."

"Mau Simalungun atau Simangunsong kan depannya sama-sama Sima..." Ujar Han Yo sambil tertawa. "Masih tetanggaan dengan Simatupang dan Simanjuntak..."

"Wah, Han pintar juga ya ternyata...." Heni menatap Han Yo dengan tersenyum. "Tapi aku biasa dipanggil Heni Yana aja..."

"HY ya? Aku juga HY..." Kata Han Yo.

"Oh iya ya... Heni Yana, HY dan Han Yo, HY...." Senyum Heni semakin melebar.

'Apa ini cuma kebetulan atau memang kita ada jodoh ya?' Katanya membathin.

"Lho kok bengong? Mari kubantu bawa ke dalam..." Han Yo menawarkan diri.

"Oh jangan, bawaanku nggak banyak kok... Cuma ini aja..."

"Masa cuma ini aja? Emangnya cuma tinggal sendiri ya?"

Heni mengangguk. "Eh, iya... Sendiri aja..."

Glekk!! Han Yo menelan ludah yang tercekat di tenggorokannya. 'Tinggal sendiri. Wah, kesempatan nih berarti...'

"Kalau begitu..." Han Yo berkata setelah terdiam sesaat. "Nanti biar kubantu beres-beres deh. Kan tinggal sendiri, pasti repot...."

"Oh... Tapi merepotkan lho..." Jawab Heni. Padahal dalam hatinya dia berkata, 'Mau banget dibantu, biar bisa melihat PPH terus...'

Han Yo menggosok telapak tangannya. "Tak apa kok, aku sudah terbiasa direpotkan..."

"Yakin nih?" Dengan setengah menunduk, Heni melirik Han Yo.

Glekk!! Han Yo menelan ludah lagi. 'Lirikannya... maut... seperti disenggol kereta api...'

"I... Iya... Yakin... Yakin disenggol..." Jawab Han Yo.

"Yakin disenggol?" Heni menatapnya. "Disenggol apa, Han?"

"Disenggol eh..." Jantung Han Yo terasa berdetak kencang lagi. "Mak... Maksudnya... Nongol... Eh bukan... Se... Seru juga ngobrol... Iya... Seru juga ngobrol denganmu...."

Tingkah Han Yo yang serba salah itu membuat Heni tertawa terbahak-bahak. Paling tidak, itulah awal perkenalan HY dengan HY, dua sejoli HY. Sebelum akhirnya keduanya lebih sering dan banyak bertemu hingga menimbulkan kecurigaan warga Kampung HSG, terutama Akoh Koz, yang bukan hanya sesepuh namun juga dedengkot kegaduhan disana.

BAGIAN 3

Akoh Koz, Aan dan Very

"Jadi kami harus menyelidiki dua sejoli HY itu, Koh?" Aan bertanya sambil melirik ke arah Very yang duduk di sebelahnya. Keduanya dihubungi oleh Akoh Koz, selaku sesepuh kampung HSG, yang setiap perkataannya akan selalu didengarkan warga kampungnya.

"Betul." Akoh Koz menjawab. "Tindak tanduk keduanya beberapa hari ini tampak mencurigakan."

"Kenapa inisial nama mereka bisa sama ya, Koh?" Tanya Very menggaruk kepalanya.

"Itu juga yang menjadi pertanyaan yang harus kalian jawab. Apa itu suatu kebetulan atau memang sengaja dibetul-betulkan..."

"Maksudnya dibetul-betulkan?" Tanya Aan. "Emangnya ada yang disalah-salahkan ya?"

"Itu tugas kalian untuk menyelidiki..." Ujar Akoh Koz lagi. "Tugas Detektif Koko, tugasnya Linda dan Vera,"

"Apa yang harus kami lakukan, Koh?" Very mengusap dagunya. "Buset, gue belum cukuran lagi, mana bisa tampil sebagai Vera kalo begini..."

"Cari tahu apa yang direncanakan sejoli HY itu di kampung kita ini, juga cari tahu dari mana asalnya Heni Yana. Mengapa inisial namanya bisa sama dengan Han Yo..."

"Bilamana nanti diketahui mereka memiliki maksud tertentu, kalian jangan sungkan untuk menghentikan niat mereka. Bila terbukti mereka berdua bersalah, kalian langsung seret saja kemari."

"Emangnya karung beras, Koh, pake diseret?" Celetuk Aan sambil nyengir.

"Itu juga kalo kalian bisa menyeret lho..." Akoh Koz tak memperdulikan celotehan Aan dan terus memberikan titahnya.

"Kalau cuma menyeret sih, bisalah, Koh..." Very menanggapi sambil tersenyum.

"Iya, mungkin bisa." Akoh Koz mengangguk. "Tapi apa kalian sanggup menyeret kereta api?"

"Hah?!" Aan dan Very berpandangan satu sama lain. "Kereta api?!"

"Iya, bukannya yang diselidiki itu sejoli HY, kenapa isa jadi kereta api?" Tanya Aan menggaruk kepalanya.

"Ya, kereta api..." Akoh Koz tersenyum penuh arti. "Kereta api pengangkut daun teh dari Batak..."

"Hah?!" Aan dan Very semakin terbelalak dan kembali berpandangan satu sama lain.

BAGIAN 4

J-Co dan Jeng Memei

"Beibh... Aqiu mau ke kempius duyu yah..." J-Co menatap wajah kekasihnya, Aan yang baru saja selesai mandi siang itu. Sepulang dari rumah Akoh Koz, Aan memutuskan untuk mengunjungi rumah J-Co yang berbelakangan tembok dengan rumahnya.

"Kampus kaleee... Kempius..." Aan menghentikan gerakannya mengeringkan rambutnya dengan handuk yang sudah bolong itu dan membalas tatapan si gadis berambut pirang yang dimanja kedua orang tuanya di Medan itu. Karena keran di rumahnya rusak, jadi Aan memutuskan menumpang mandi di rumah pacarnya.

"Ihhhhh... Kamiu. No gauls dech!" J-Co melambaikan tangannya di depan wajah Aan. "Englishnya itu kempius, beibh. Kempius..."

"Kempius, kempius. Kemping pake dus..." Aan menggerutu sambil meneruskan mengeringkan rambutnya.

"Mai beibh..." Sambil julurkan tangannya, J-Co mengambil handuk di tangan Aan. "Handyuk berbolang gini jangan dipakai lagi dunks...."

"Berbolang?" Aan mengernyitkan keningnya. "Berlobang, J-Co, bukan berbolang. Emangnya kuda berbolang..."

"Itu belang, beibh..." J-Co menaruh handuk di depan wajahnya. Tampak kedua matanya yang mengintip keluar dari salah dua lubang yang terdapat di handuk. "Tuh kan berbolang..."

Dimasukkannya jari telunjukknya ke salah satu lubang itu. "Ini bolong," lalu digerak-gerakkannya jarinya itu.

Lalu dimasukkannya lagi jari tengahnya di lubang yang satunya lagi. "Yang ini berlobang..."

Lagi-lagi digerakkannya jari tengahnya, hingga kedua jarinya kini bergerak-gerak di antara dua lubang besar itu. Jari-jari lentik yang memperlihatkan kuku-kuku panjang yang dicat indah.

"Bolong dan berlobang kan jadinya berbolang, beibh. Nihhhhh..." Jarinya semakin lincah bergoyang-goyang di antara kedua lubang itu.

"Ya udah, apa katamu deh...." Aan menghembuskan nafasnya dan menarik handuk dari tangan J-Co. Akibatnya jari tangan pacarnya ikut tertarik.

"Ehh... Kukyu-kukyu akiu...." Spontan J-Co menjerit saat jarinya yang terawat itu tertarik seiring diambilnya kembali handuk itu oleh Aan. Dengan sekali sentak, J-Co melepaskan jari-jarinya dari handuk tersebut.

"Ihhhh... Beibh mahh..." Sepasang bibirnya seketika cemberut dengan lengan yang satunya mengusap-usap jarinya yang baru saja selamat dari mesin giling kain. "Lihat tuh. Aqiu musti mani-pedi lagi dech..."

"Ya udah, atur ajalah." Jawab Aan. "Aku habis ini juga ada kerja. Ada kakus eh kasus yang harius diselidiki."

"Owh... Ya dech..." J-Co menyambar tas yang terletak di atas meja. "Aqiu berangkat duyu yach, Beibh."

Didekatinya Aan dan dimonyongkannya bibirnya. "Myuu...myyuu...mmyyyyuuaaahhhhh..."

J-Co bermaksud memberikan sebuah kecupan di pipi kiri kekasihnya. Namun pada saat yang bersamaan, Aan juga tidak menyangka akan perbuatan J-Co.

Baru saja dia menarik lepas handuk dari rambutnya yang baru dikeringkannya, sambil menggeleng pelan kepalanya, tahu-tahu kecupan itu mendarat. Cup! Karena kepalanya sedang dalam posisi menggeleng, tak urung lagi kecupan J-Co meleset dari sasaran dan justru mendarat di bagian atas leher kiri.

J-Co sendiri tidak lagi memperhatikan sasaran kecupannya karena kedua matanya sedang terpejam saat itu. Saat bibirnya ditarik, sebuah cupangan berbentuk bibir yang berlipstik merah tampak menempel jelas disana.

Selang beberapa menit kemudian, terdengar bunyi suara mobil yang dinyalakan. Bersamaan dengan perginya J-Co dengan kendaraan pribadinya, sepasang anak muda tampak mendekati rumah tersebut.

"An... Lu di dalam ya?" Terdengar sebuah suara yang sudah tidak asing lagi di telinga Aan.

"Very?" Dalam kesibukannya membersihkan sisa lipstik yang masih tertinggal di lehernya dengan handuk yang masih digenggamnya, Aan membuka pintu rumah yang baru saja ditutupnya itu. Terlihat olehnya dua sosok tubuh sedang berdiri bersebelahan di depannya.

"Udah gue duga pasti lu disini..." Ujar Very begitu pintu dibuka dan dia segera masuk ke dalam rumah tersebut. Di belakangnya tampak digandengnya lengan seseorang. "Ayo, Mei..."

"Lho, lho..." Orang yang digandeng lengannya itu bukan lain adalah Jeng Memei itu menghentikan langkahnya. Akibatnya Very pun ikut menghentikan langkahnya dan berbalik menatap kekasihnya.

"Ada apa, Mei?" Tanya Very dalam keterkejutannya.

"Itu..." Memei menunjuk Aan yang masih berdiri terpaku dengan handuk bolong di tangannya. "Itu... Merah... Ada..."

Mendadak tawa Memei meledak. Cukup lama juga gadis itu tergelak sebelum akhirnya dia sanggup bersuara kembali. "Cupang... Ada cupang...."

Menyadari maksud tertawa Memei, Very pun melirik sekilas ke arah sahabatnya dan sedetik kemudian, dia pun tak dapat menahan gelaknya melihat cupangan merah yang kini semakin belepotan karena belum sempat dibersihkan benar oleh Aan, namun justru semakin panjang tertarik ke samping.

"Wah, An... Baru ditinggal sebentar, sudah macam begini..." Very berkata di antara suara tertawanya. Ditertawai seperti itu membuat Aan hanya dapat menahan gondok di depan sejoli itu.

CPRUTT!!

"Ughhh!!" Tahu-tahu Aan mengeluh merasakan sesuatu yang dingin mendarat di lehernya yang masih belepotan lipstik itu.

"Aduhhh... Maaf... Maaf... Aku tak sengaja..." Memei menutup mulutnya yang baru saja menyemburkan sesuatu itu. Tak ada jalan lain baginya selain mengangkat tangan menutup mulutnya.

Kejadian itu membuat Very semakin ngakak saja. Betapa tidak, air liur yang tidak sengaja mendarat di leher Aan - yang entah mengapa bisa mendarat dengan sempurna di sasaran - langsung dibersihkan begitu saja dengan handuk bolong di tangan sahabatnya itu. Akibatnya lipstick yang sebagian besar masih menempel di lehernya kini ikut tertarik bersih bersamaan dengan dihapusnya air lendir tersebut.

"Kalian mau ketawanya sampai kapan?" Aan menggerutu kesal menatap kedua temannya.

Walau masih diliputi suasana lucu, namun Very dan pacarnya, Memei, menyusun rencana yang sekiranya dapat dipakai untuk membantu kelancaran tugas mereka dalam menyelidiki sejoli HY.

BAGIAN 5

Aksi Si Gadis Tukang Kue

"Kue... Kue..." Dalam sebuah langkah yang melenggok, seorang wanita menjajakan kue yang sebenarnya tidak banyak itu. Sebuah keranjang digandenganya di lengan kiri dan sebuah tampi yang diletakkan di atas kepalanya.

Setelah berjalan beberapa saatnya, langkahnya membawanya ke rumah yang dihuni oleh pendatang baru di Kampung HSG itu. Disana gadis itu berhenti menjajakan makanannya dan menurunkan semua bawaannya untuk kemudian tampak beristirahat di depan rumah tersebut.

"Ya, begitu, Han." Kata Heni kepada Han Yo siang itu. Keduanya sedang duduk di lantai di ruang tamu yang lega. Kaki keduanya tampak selonjoran panjang dan keduanya saling duduk berhadap-hadapan.

Suara yang terdengar dari luar cukup keras karena ruangan yang cukup besar itu belum terisi oleh banyak barang. Tak heran bila Jeng Memei bisa mendengar cukup jelas dari tempatnya berdiri.

"Karena rumah ini satu-satunya yang masih tersisa, jadi ya aku ambil saja. Walau sebelumnya Akoh Koz memang ada bilang kalau toiletnya masih belum normal. Belum bisa dipakai seutuhnya. Keran juga belum dipasang." Sambung Heni. "Jadi aku kesulitan juga kalau mau mandi dan beser selama ini. Harus ke toilet umum di ujung gang sana."

"Untung aku tinggalin kunci rumah ya," Jawab Han Yo. "Kalau nggak, aku nggak bisa bayangin lho bagaimana kamu harus bolak-balik ke toilet umum itu."

"Iya, justru itu." Heni melirik sekilas. "Untungnya ada kamu disini, aku jadi tertolong banyak."

"Oh ya, aku juga mau berterima kasih atas bantuanmu..." Sambung Heni. "Dengan ini semua barang yang harus dibereskan, sudah selesai..."

"Ahh, itu bukan masalah..." Sahut Han Yo sambil melempar senyum mautnya yang dapat membuat bunga-bunga menjadi layu dan serangga- serangga yang terbang berjatuhan. "Jangan sungkan!"

"Kamu nggak telat pergi kerja, Han?" Heni berdesis.

"Aku sudah minta ijin masuk setengah hari." Jawab Han Yo. "Jadi aku masih ada waktu beberapa jam sebelum pergi kerja."

"Oh begitu," Sahut Heni. Tangannya menuangkan minuman botol dingin ke sebuah gelas yang kemudian diserahkannya kepada Han Yo. "Nih, minum dulu ya. Kamu pasti haus..."

"Berduaan di dalam rumah kosong begini?" Kata gadis itu kepada dirinya sendiri. Dari dalam keranjang yang dibawanya, dikeluarkannya sesuatu yang langsung diarahkan ke matanya. "Tak heran kalo Akoh Koz mencurigainya..."

"Terima kasih ya," Han Yo menerima sodoran gelas dari Heni. Tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan halus Heni yang membuat gadis itu tertunduk.

"Hmm..." Si gadis penjual kue menggumam. Dengan bantuan sepasang benda di matanya yang bukan lain adalah teropong berukuran mini, dia mencoba mengawasi situasi di dalam rumah di depannya. "Yang satu pegang tangan, yang satu menunduk..."

Diarahkannya teropong ke wajah Heni tepat pada saat dia menunduk. "Hmm... Wajahnya memerah..."

"Ini..." Terdengar Han Yo bersuara. Air dalam minuman telah habis diminumnya. "Airnya sejuk sekali."

"Terima kasih..." Masih dalam posisi agak menunduk, Heni menjawab.

"Menyejukkan kalbu ini, memandang rona seorang gadis di depanku..." Sambung Han Yo sambil meletakkan gelas ke atas lantai.

Heni semakin menunduk mendengar perkataan Han Yo, sementara Han Yo melihat gadis di hadapannya tertunduk, mulai menggeser badannya dan duduk lebih mendekat ke arah Heni. Di satu pihak, didekati seperti itu, tak membuat Heni beringsut menghindar, namun malah duduk terdiam tak bergerak sedikitpun.

"Eheemmm..." Han Yo berdesis dan memandangi wajah gadis di sampingnya dengan lebih dekat lagi. Perlahan namun pasti, lengan kanannya mulai bergerak menyentuh lengan kiri Heni.

"Sosor terrruuussssss.. Ckckckck..." Si gadis penjual kue berdecak melihat dari balik teropongnya. Dia tidak menyadari pintu pagar yang disandar di depannya tidaklah dikunci.

Seperti terbuai oleh pertunjukan gratis di depan matanya, gadis penjual kue itu semakin menyandarkan badannya ke pintu pagar rumah yang tingginya hanya seukuran pinggang orang dewasa itu.

"Nah, kepegang deh tuh tangan." Gumamnya. "Wah, malah diam lagi ceweknya tuh..."

Semakin bersandar mendekat untuk mendapatkan jarak pandang yang kian jelas. "Ini sih ceweknya emang juga su....KAAAAAA..."

GABRUUKKK!!

""Adaaooww!!"

"Apaan tuh?!" Suara yang ribut membuat sejoli HY yang sedang asyik masyuk menjadi tersentak. Baik Han Yo maupun Heni Yana sama-sama menarik tangannya dan menengok memandangi satu sama lain, untuk kemudian berdiri pada saat yang bersamaan.

"Apaan tuh ya tadi?" Heni bertanya dengan tangan memegang rambutnya. "Sepertinya ada yang jatuh..."

"Iya, aku juga mendengar begitu..." Jawab Han Yo. "Suaranya sepertinya dari luar sana..."

"Tapi suaranya kencang juga." Sahut Heni. "Berarti barang yang jatuh besar juga ya..."

"Iya, aku jadi pengen tau, barang apa yang bisa menjerit waktu jatuh..." Han Yo memulai berjalan di depan. Heni mengikuti dari belakangnya.

"Ahhh, sial neh pintu, pake ngejeblak segala lagi..." Si gadis tukang kue mencoba berdiri dari terjatuhnya. Seperti ada sesuatu yang tidak beres di depan dadanya, si gadis tampak sibuk membetulkannya, sehingga tidak menyadari kehadiran sejoli HY yang telah membuka pintu dan berdiri di pekarangan rumah.

"Siapa ya?" Terdengar suara Heni, yang menatap si gadis penjual kue dengan pandangan heran.

"Waduh, cilaka!" Si gadis penjual kue terhenyak. Diangkatnya kepalanya yang sedari tadi menunduk sambil tangannya sibuk membetulkan posisi dadanya yang 'berantakan' saat terjatuh itu.

Di depan mata mereka, sejoli HY melihat seorang wanita berpakaian kemben ketat ditutupi dengan kebaya, dengan dada yang cukup menonjol di depannya, lalu dengan bagian bawahnya kain sarung yang tersibak memperlihatkan sebagian pahanya. Namun bila diperhatikan lebih jelas lagi, sepasang dada si gadis tampak tidak seimbang. Dada sebelah kanan sedikit lebih membusung dibanding dada sebelah kirinya.

"Eh, ada hantu... eh penghuninya..." Desis si gadis tukang kue membalas tatapan keduanya.

"Namaku Han Yo, bukan hantu..." Jawab Han Yo. "Lho, ini... Ini bukannya Jeng Memei?"

"Eh..." Si gadis penjual kue tampak memerah wajahnya. "Oh iya, Ko Han..."

"Jeng?" Han Yo memandang si gadis penjual kue dengan tatapan bingung. "Kok hari ini suaranya beda?"

"Eheemmm..." Tiba-tiba si gadis penjual kue berdehem kencang. "Iya, Ko Han... Suaraku sedang serak... Sudah dua hari ini aku menderita flu babi..."

"Hah!" Heni terbelalak. Lengannya tampak bergidik.

"Duhhh... Si Neng ini... Jangan ditanggapin serius dong..." Si tukang kue yang bernama Jeng Memei itu tersenyum. "Flu babi ini nggak berbahaya kok..."

"Kok kena flu babi masih jualan?" Tanya Han Yo.

"Ini flu babi canggih, Ko Han..." Jawab Jeng Memei sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. "Flu, batuk dan birsin... Jadi flu babi..."

"Oalah, kukira...." Heni menghembuskan nafas lega.

"Iya, Neng..." Jeng Memei tersentak. "Oh iya, Neng, beli dong daganganku..."

Jeng Memei membalikkan badannya dan dengan tangannya dia mengambil tampi yang diletakkannya. "Baru keluar kue-kuenya. Masih segar. Fresh from the oven lho..."

"Wah, kebetulan nih, aku lagi lapar..." Heni menatap Han Yo. "Aku mau beli. Han mau?"

"Hmm..." Han Yo menimbang sejenak. "Boleh deh. Ada kue apa saja, Jeng?"

Keduanya mendekati Jeng Memei yang berlutut dan membuka tampi berisi kue. Tanpa mereka sadari, Jeng Memei tampak memperhatikan mereka sekilas.

"Ini ada kue molen rebus. Nah ini kue pisang batu, enak deh..." Kata Jeng Memei menawarkan dagangannya sambil sesekali melirik ke arah sejoli HY. "Menu spesial hari ini, kelapa parut digoreng mentega khas Jeng Memei... Disiram gula jawa, wah, mantap rasanya... Hari ini lagi promosi. Beli dua dapat tiga..."

BAGIAN 6

Tetangga di Matamu

"Jeng Memei itu memang tukang kue keliling yang terkenal di Kampung HSG ini." Ujar Han Yo kepada Heni saat keduanya melangkah masuk dengan sebungkus kue di tangan. Setelah selesai membeli sebagian kue, sejoli HY melanjutkan cengkrama mereka di ruang tamu berduaan tanpa perlu merasa terganggu lagi oleh siapapun.

Hal itu dikarenakan Jeng Memei telah pergi meninggalkan mereka setelah mendapat penjualan yang lumayan banyak. Sejoli HY tidak menyadari pada saat Jeng Memei meninggalkan pekarangan rumah dan menjajakan kembali dagangannya, dia berjalan menuju pintu pagar rumah Han Yo yang terletak di sebelah rumah Heni. Entah apa yang dilakukannya, namun dalam hitungan kurang dari satu menit, Jeng Memei bergegas meninggalkan tempat itu.

"Aku harus bersiap-siap ya." Kata Han Yo selang dua jam kemudian. "Mau mandi dan berangkat kantor. Pas sekarang sudah mau jam 11 siang."

"Terima kasih ya, Han..." Heni menatap Han Yo dengan kerlingan penuh arti. Han Yo tersenyum dan memegang lengannya. "Kasih aku kabar kalau sudah sampai kantor ya."

Han Yo mengangguk dan mengecup pelan punggung tangan gadis di hadapannya. Seulas senyum masih menghias di bibirnya saat pemuda itu melangkah meninggalkan Heni.

"Ughh!!" Mengeluh pelan Han Yo sambil memegangi perutnya perlahan. Namun selebihnya dia tidak ingin Heni melihatnya.

Sekitar setengah jam kemudian, Han Yo pun berangkat kerja. Pada saat yang bersamaan, Heni yang kelelahan, tampak tertidur di tempat tidurnya. Suatu situasi yang memang sudah direncanakan sebelumnya, situasi yang aman, mantap dan terkendali.

Sesosok tubuh dengan posisi agak membungkuk tampak berjalan ke rumah Han Yo dan lalu menghilang ke dalamnya.

"Addduhhhh... Kenapa lagi ini??" Heni terbangun sambil memegang perutya yang tiba-tiba terasa mulas. "Mendadak sakit begini lagi."

Gadis itu bergegas dan memakai sandal sebelum akhirnya dia menyambar kunci yang tergantung di sebuah paku di tembok. "Untung Han Yo baik banget. Kalo nggak, aku nggak tau deh mau buang dimana. Aduhhh... Sakit banget lagi..."

Karena rasa sakit yang menyerang perutnya semakin terasa, Heni pun bergegas membuka gembok pagar rumah Han Yo dan berjalan ke pintu rumahnya. Dimasukkannya anak kunci ke lubang kunci dan diputarnya.

KREK!!

Tangannya menggenggam gagang pintu, bermaksud untuk mendorongnya agar membuka. Tapi pintu yang didorongnya tidak sedikitpun bergeming untuk membuka.

"Lho, kenapa ini?" Gumamnya sambil menggaruk kepalanya. Dicobanya sekali lagi memutar kunci dan menekan gagang pintu. Hasilnya sama.

"Ahhh!!" Heni mulai putus asa ketika beberapa kali mencoba, hasilnya tetap sama. Pintu rumah tidak mau membuka. Sementara sakit di bagian perutnya semakin merajalela.

"Nggak bisa lagi. Aku harus kesana..." Gumamnya sambil membalikkan badannya dan secepatnya berjalan keluar rumah Han Yo. Pintu pagarpun tak lagi sempat dikuncinya.

Dengan bersusah payah menahan sakit dan harus berjalan tergesa-gesa ke toilet umum yang terletak di ujung gang, sambil menggerutu tentunya, akhirnya Heni tiba juga di toilet yang hanya ada dua pintu itu.

Di salah satu pintu tertulis. "Pintu ini rusak!"

"Jiahhh... Pake rusak segala lagi! Udah tahu perutku tak bisa kompromi begini..." Lagi-lagi Heni menggerutu sambil menuju ke toilet di sebelahnya, yang menjadi satu-satunya harapannya. Pintu toilet tampak tertutup dan gadis itu baru saja hendak mengetuknya, ketika didengarnya suara seseorang seperti tengah mendendangkan sebuah lagu. Lagu dari grup band Jamrud.

"30 menit, di jamban umum, tanpa suara. Dan aku gerah, harus menunggu lama, kehabisan air…

Mungkin harus tenang, memasang tlinga, mencuri dengar. Namun kubenci, harus menutup hidung, wangi semua ini..."

"Cicak nyamuk tertawa, karna ku hanya diam, dan membisu. Ingin kumaki, diriku sendiri, tak berkutik di jamban ini..."

"Wah, nih orang, siapa sih, pake nyanyi segala lagi?" Heni semakin menggerutu dan kian memegang perutnya yang terasa sakit. Ingin dia membuka suara dan menegur orang yang berada di dalam toilet tersebut, ketika suara nyanyian tersebut berlanjut.

"Ada yang lewat, di depanku, yang membuat lidahku, gugup tak bergerak. Ada tetangga, di depan mataku, dan menatap diri, ‘tuk bilang…napa lama sekali..."

"Lho..." Terperanjat Heni mendengar lirik nyanyian tersebut. "Kok dia bisa tahu sih kalau aku mau tanya dia begitu?"

Lagu terus berlanjut.

"Mungkin suatu kali, kubuka semua, oblong di dada. Dan aku bisa, terus menutup hidung, dan sanggup berkata. Cicak nyamuk tertawa, karna ku hanya diam, dan membisu. Ingin kumaki, diriku sendiri, tak berkutik di jamban ini..."

Kali ini Heni tak tahan lagi. Diangkatnya tangannya dan mulai siap mengetuk pintu. "Siapapun yang..."

"Ada yang lewat, di depanku, yang membuat lidahku, gugup tak bergerak. Ada tetangga, di depan mataku, dan menatap diri, ‘tuk bilang…napa lama sekali..."

Heni menghela nafas. Suara nyanyian tampak terhenti sesaat. Segera gadis itu memakai kesempatan untuk berkata. "Siapa nih yang di dalam? Buruan dong, udah nggak tahan lagi nih..."

Menunggu sesaat...

"Sabar ya... Sedikit lagi selesai..." Terdengar suara jawaban.

"Lama banget sih? Udah nggak tahan lagi nih..." Ujar Heni sambil setengah berjongkok memegang perutnya.

Menunggu sesaat...

"Sabar ya... Ini udah tahap terakhir..."

"Tahap terakhir?" Gumam Heni lalu gadis itu kembali berseru. "Buruan ya. Udah nggak kuat nih..."

Menunggu sesaat...

"Kalau udah nggak kuat, pakai obat kuat dong..."

"Nih orang..." Heni mulai kesal. "Pokoknya buruan, buruan, buruan... Lama banget sih?"

Menunggu sesaat... Tak ada jawaban... Tak ada suara... Juga termasuk tak ada suara air...

Tahu-tahu pintu membuka dan seorang pemuda dengan tampang bandel dan rambut semi gondrong melangkah keluar sambil menepuk-nepuk celananya.

"Kenapa lama sekali??" Itulah reaksi pertama Heni saat melihat pemuda itu berdiri dan menatapnya tanpa berkedip. Segera Heni bangun dan masuk ke dalam toilet sambil membanting pintu. Saat saling melintasi, sekilas postur badan keduanya nampak sama.

Ditanya begitu, si pemuda tidak menjawab. Hanya seulas senyum kecil menghias wajahnya. Sambil berlalu dia berdendang, "Ada tetangga, di depan mataku, dan menatap diri, ‘tuk bilang…napa lama sekali..."

BAGIAN 7

Meeting, Detektif Koko!

"Hampir saja aku kepergok oleh Han Yo." Ujar Very. "Sepertinya dia sempat curiga Jeng Memei yang bersuara serak itu..."

"Atau jangan-jangan dia sempat curiga ya lihat busa bra gue yang kempes sebelah gara-gara gue kejengkang itu?" Sambung Very.

Aan tertawa mendengar penjelasan Very pada kalimat terakhir itu. "Nah, aku sendiri? Andai waktu itu aku bisa melihat ekspresi wajah Heni menahan sakit di depan jamban itu..."

"... Bisa-bisa dari nggak keluar kotoran, karena ketawa, malah jadi keluar kotorannya..." Sambung Aan.

"Wah, kalo beneran keluar, si Heni gimana tuh nunggunya?" Ujar Very dalam gelaknya. "Mana pintu sebelah dibilang rusak lagi. Eh, dianya percaya pula..."

Kedua pemuda itu tertawa tergelak mendengar penjelasan masing-masing.

"Maklumlah, dia masih baru di kampung kita ini..." Jawab Aan.

"Paling nggak, kita udah tau kenapa Akoh Koz bilang Heni itu kereta api pengangkut daun teh dari Batak..." Kata Very.

"Karena namanya Heni Yana Melinda Puspita Sari Murni Kurniawati Herlambang Simangunsong kan?" Tanya Aan. Very mengangguk.

"Dari penyelidikan di rumahnya..." Very melanjutkan. "Ternyata Heni Yana memiliki inisial yang sama dengan inisial Han Yo yaitu HY dan oleh karenanya, keduanya menamakan diri sejoli HY karena keduanya memang tertarik satu sama lain."

"Terlebih keduanya sama-sama tinggal bersebelahan dan..." Aan terdiam.

"Dan..." Very menatap sahabatnya. "Keduanya tinggal sendirian, jadi..."

"Jadi bukannya tidak mungkin akan terjadi sesuatu saat semua penduduk sedang terlelap tidur..." Lanjut Aan.

"Betul. Apalagi malam ini malam minggu." Kata Very.

"Itu dia!" Aan menimpali. "Kita harus mencegahnya sebelum terjadi sesuatu."

"Kalau begitu..." Very menjentikkan jarinya. "Bila malam tiba..."

"... dan lelaki tak lagi mampu berbuat apa-apa..." Lanjut Aan.

"Itulah waktunya..." Very melanjutkan.

"Linda dan Vera!" Seru keduanya secara bersamaan.

"Nanti malam, kita bersiap untuk menggerebek sejoli HY!" Imbuh Aan.

"Setuju!" Very mengamini. "Demi keamanan dan kenyamanan Kampung HSG."

BAGIAN 8

Wanita Jadi-Jadian

"Hah? Wanita jadi-jadian?" Heni terbelalak mendengar penjelasan Han Yo.

Han Yo mengangguk.

"Jadi aku sakit perut karena dikerjain wanita jadi-jadian itu?" Tanya Heni lagi.

Kembali Han Yo mengangguk. "Iya. Dia mengaku bernama Jeng Memei. Namun aku curiga pada suaranya yang serak itu."

"Iya. Kok bisa ada ya wanita suaranya serak?" Heni berkata. "Biar dikata kena flu babi sekalipun..."

"Tetap tidak ada babi yang bersuara serak kan?" Timpal Han Yo.

"Ihhhh, aku serius nih..." Heni memukul pelan lengan Han Yo.

"Iya, iya..." Han Yo tertawa sambil menangkap lengan Heni yang ditaksirnya itu. Begitu lengan halus itu tertangkap, Han Yo menatap sepasang matanya. Tatapan itu ternyata membuat Heni merunduk dengan wajah bersemu merah.

"Lagipula sikap dan tingkah lakunya berbeda dengan Jeng Memei." Ujar Han Yo lagi.

"Kalau aku justru curiga pada dadanya..." Kata Heni.

"Wow! Dada?!!" Sepasang mata Han Yo membesar. "Ada apa dengan dada?"

"Huh! Mulai deh!" Ekspresi wajah Heni seketika berubah cemberut melihat reaksi Han Yo.

"Iya, iya..." Lagi-lagi Han Yo harus memegang sepasang lengan Heni untuk meyakinkan gadis itu. "Aku kan cuma bercanda..."

Heni tertawa. "Lagipula kalau Han mau dengan dadanya juga nggak apa-apa kok. Toh dia kan wanita jadi-jadian, jadi aslinya dia itu laki-laki."

"Hanya saja..." Heni terdiam.

"Hanya saja apa?" Han Yo menatapnya dengan terbengong.

"Hanya saja apa Han memang mempunyai bakat menjadi gay. Dengan sesama pria pun masih mau?" Ujar Heni di antara tertawanya yang meledak kembali.

"Oalah!" Han Yo menepuk kepalanya. "Tak perlu diragukan!"

"Hah?!" Jawaban Han Yo membuat Heni berhenti tertawa dan terbelalak menatapnya.

"Maksudku..." Han Yo merasakan keringat di keningnya mengalir. "Tak perlu diragukan lagi kalau aku adalah tulen seorang laki-laki, murni seorang pria sejati."

"Ya," Han Yo mengepalkan tangannya. "Aku tulen seorang laki-laki, belum aki-aki, karena aku masih muda. Masih perkasa..."

Heni terkikik melihat tingkah Han Yo. "Aku juga nggak mau tuh sama lelaki yang gay. Yang kemayu, melambai dan lembut-lembut begitu..."

"Benar nih?"

Heni mengangguk.

"Berarti nggak suka dong dengan wanita permak?" Tanya Han Yo.

"Maksudnya?"

"Wanita jadi-jadian..."

"Oh iya, jelaslah, nggak suka. Itu merendahkan harkat, derajat dan martabat kaum wanita. Aku nggak suka itu."

"Kalau begitu..." Han Yo memegang kedua pundak Heni. "Kita susun rencana untuk kerjain balik mereka. Gimana?"

"Rencana kerjain balik?" Gumam Heni. "Sepertinya menarik. Apa yang Han rencanakan?"

"Begini..." Han Yo berkata.

BAGIAN 9

Detektif Koko vs Sejoli HY

"Ada kasus? "Serahkan kepada kami, Koko Detektif!"

Dengan bergaya bak peragawati berjalan di catwalk, Aan yang telah berubah menjadi Ana Linda, dengan kedua tangan di pinggang, wajahnya berpaling ke samping dan berucap, "Linda."

Memakai rambut palsu seleher warna merah marun lengkap dengan anting, make up ringan dan blush on. Linda mengenakan tank top putih dengan blazer hitam. Untuk menambah kesan membusung, di bagian dadanya, dipakainya strapless bra yang berbusa cukup tebal. Untuk bawahan, sebuah rok span mini berwarna hitam menjadi paduan matching blazernya. Ditutup dengan paduan sepatu hak tinggi. Sebuah tas beurukuran kecil menggantung di pundaknya. Menjadikan penampilannya seperti layaknya seorang wanita.

Very pun tak mau ketinggalan. Dengan lengan kanan diletakkan di pinggang kanan dan lengan kiri membelai rambut palsunya yang berwarna hitam panjang. Celana pendek jeans dan kaos ketat berwarna pink yang tampak pendek memperlihatkan pusarnya. Di bagian lengan tampak gelang karet dan arloji di masing-masing pergelangan. Sepatu model terbaru dan sebuah senjata ketapel tampak terselip di pinggang sebelah kanannya.

Punggungnya ditempelkan ke punggung Linda yang telah siap dalam posenya sambil berucap, "Vera."

Lalu dalam waktu yang bersamaan keduanya berkata, "Detektif Koko."

Tak perlu lama bagi Detektif Koko untuk menunggu tugasnya terlaksana, ketika keduanya melihat Han Yo memasuki rumah keduanya dan pintu dikunci dari dalam. Lampu di dalam ruangan untuk selanjutnya dipadamkan.

"Nah lho, mau ngapain tuh di dalam ruangan berdua gelap-gelapan begitu?" Linda bertanya kepada Vera dalam persembunyian mereka di balik sebuah pos ronda kosong.

"Mencurigakan." Sahut Vera.

"Benar kan dugaanku. Pasti akan terjadi sesuatu di kegelapan malam dan keremangan ruangan..." Ujar Linda.

"Jadi bagaimana nih? Kita gerebeg saja atau gimana?" Tanya Vera.

"Boleh..." Linda mengangguk. "Ayo!"

Berendap-endap keduanya tampak menyelinap di antara rumah yang berjejer di kampung tersebut, menuju rumah Heni yang kini telah tampak gelap gulita. Ketika jarak keduanya hanya tersisa beberapa meter dari pintu pagar rumah Heni, mendadak langkah Linda terhenti.

"Tunggu..." Linda mengangkat tangannya. Langkah Vera tertahan karenanya.

"Kenapa?" Tanya Vera.

"Coba dengar itu!" Linda meminta perhatian Vera. Vera tampak memperhatikan.

Setelah beberapa detik keduanya terdiam, Linda bertanya kembali. "Dengar nggak?"

"Iya, suara ngorok kan?" Ujar Vera. "Apa yang salah dengan itu?"

BLETAK!!

"Salah!" Linda memaki kesal dan ditepuknya kepala Vera. "Bukan itu. Kalo itu sih nggak usah gue suruh denger juga gue udah tahu..."

"Ngapain juga sih lu pake geplak gue segala?!" Vera mengumpat tak kalah sengitnya. Tangannya mengusap kepalanya yang ditepak sahabatnya itu. "Awas lu entar!"

"Denger nggak?" Tanya Linda lagi.

"Apaan?" Tanya Vera yang masih kesal itu. Nada suaranya terdengar agak ketus.

"Nih ya, dengerin..." Linda mengangkat tangannya kembali. Setelah beberapa detik kemudian, dilihatnya Vera tak ada reaksi, Linda pun mulai kesal.

"Itu tuh..." Linda memonyongkan mulutnya yang kemudian dibukanya. "Ahhhh.... Aaaaahhh.... Ohhhh... Denger nggak?"

"Mana?" Vera memasang telinga.

"Tuh mendesah lagi..." Bisik Linda. "Aaaahhhhh.... Ohhhhh.... Mmmmm...."

"Iyaaaahhhhh... Hhhhh... Aku dengaaaaar...... Teruusssshhh.... Ssshhhh...." Vera yang akhirnya mendengar suara desahan itu bereaksi dengan mendekap badannya sendiri dan sambil mendesah pelan, dia membelai-belai badannya sendiri. Sepasang matanya setengah terpejam.

"Nah, itu maksud gue..." Ujar Linda bermaksud meneruskan perjalanannya. Namun langkahnya mendadak terhenti.

"Kok perasaan suara desahannya makin dekat ya?" Gumamnya pelan.

"Ngggghhhhh.... Iyyaaahhhhh.... Aaahhhhhh... Aaahhhhh..... Oooohhhhhhhhh...."

"Ver..." Tanpa sengaja, Linda menengok ke belakang dan mendapatkan sahabatnya sedang berdiri sambil mengelus-elus badannya sendiri dan mendesah-desah.

BLETAKK!!

"Woiiii!!" Linda berseru sambil menepak kepala Vera.

"Ahh... Kenapa? Ada apa?" Seperti orang yang baru terbangun dari tidurnya, Vera memandang kosong kepada sahabatnya.

"Kok malah lu yang terangsang sih?!" Protes Linda. "Gue suruh dengerin, malah lu yang terangsang sendiri."

"Kebanyakan nonton BF sih lu!" Linda mengomel.

"Bukannya itu lu?" Vera semakin jutek setelah kepalanya untuk kedua kalinya ditepak oleh sahabatnya. Diusap-usapnya kepalanya sambil bergumam pelan. "Dua kali aja. Tungguin lu entar!"

"Kita ini sedang dalam misi, bukannya jadi Miss..." Kata Linda. "Ayo, lanjut!"

Sambil mengusap kepalanya yang masih sakit ditepak sahabatnya, Vera mengikuti berjalan. Suara desahan semakin lama semakin santar terdengar.

"Babe... I love you...." Terdengar suara di antara desahan itu. Suara desahan yang jelas-jelas berasal dari rumah Heni.

"Dikunci..." Ujar Linda saat merasakan pintu pagar rumah Heni yang terkunci itu.

"Ya, jelaslah dikunci, secara mereka sedang ho-oh, ho-oh, mana mungkin nggak dikunci..." Sahut Vera.

"Tumben otak lu jalan..." Ujar Linda. "Apa karena gue tepak dua kali tuh tadi jadinya lu pinter?"

"Dua kali ya, liat aja lu nanti..." Gumam Vera kesal.

"Ayo!" Linda mengajak Vera melompati pagar yang memang tidak cukup tinggi itu, hanya setinggi pinggang orang dewasa.

"Hihhh!!" Linda menghembuskan nafasnya dan menarik rok mininya sedikit ke atas untuk bisa memanjat pagar tersebut. Sementara tak ada kesulitan bagi Vera yang mengenakan celana pendek itu untuk melompatinya.

HUPP!!

Vera yang telah berdiri terlebih dahulu di pekarangan rumah Heni, melirik ke arah sahabatnya yang nampak kesulitan memanjat pagar rendah tersebut dengan rok mini yang dikenakannya.

"Udeh! Kita sesama gitu aja lu takut keliatan! Siapa juga yang mau liatin lu, orang mereka di dalam udah liat yang lebih dari punya lu itu!" Vera memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas mengomeli sahabatnya.

"Berisik!" Linda mengumpat begitu mendaratkan kakinya di pekarangan rumah Heni menyusul sahabatnya. Setelah itu dirapikannya rok mininya yang sempat ditariknya itu. Lalu dengan diawali membetulkan rambut marunnya, Linda melangkah dengan gemulai menuju ke depan pintu rumah.

Jarak pintu pagar dengan pintu rumah memang tidaklah jauh. Tak kurang dari 15 langkah sudah bisa tiba di depan pintu rumah.

"Pintunya pasti dikunci." Bisiknya.. "Jadi kita dobrak aja ya. Gue di kiri, lu di kanan!"

Vera mengangguk dan mengikuti Linda berjalan. Kedua kemudian mengambil ancang-ancang di samping kiri kanan pintu.

"Aooowwwwwwww.... Aaahhhhhhhh...." Suara rintihan semakin terdengar saat keduanya menempelkan punggungnya di bingkai pintu.

"Wahhh... Hot banget ya?" Ujar Vera sambil meleletkan lidahnya.

"Dalam hitungan ketiga ya..." Linda berkata tanpa memperdulikan ucapan sahabatnya. "Satu... Dua..."

"Tiga!" Linda berseru. Bersamaan dengan itu dirinya dan Vera bergerak bersamaan mendobrak pintu dengan hempasan badan.

BRUAKK!!

Pintu terdobrak lepas!

"Jangan bergerak!" Linda berteriak saat tubuhnya terhempas ke dalam ruangan yang ternyata gelap gulita.

"Nggak ada siapa-siapa..." Kata Vera saat menyadari disana hanya ada mereka berdua saja.

"Aku periksa di kamar." Linda mengambil inisiatif untuk bergerak lebih ke dalam, sementara Vera mencari saklar lampu di ruangan itu.

Saat saklar lampu dinyalakan, terdengar Vera berteriak. "Wah, sial! Kita dikerjain!"

Mendengar teriakan Vera, Linda bergegas keluar ke ruang tamu. "Ada apa?"

"Tuh, kita dikerjain!" Vera berdiri sambil menunjuk TV di depan mereka yang sedang menayangkan adegan hubungan badan.

"Jadi suara desahan itu bersumber dari ini?" Linda menyambar remote yang terletak di atas box TV dan menurunkan volume suaranya. Benar saja. Begitu suara dikecilkan volumenya, suara desahan itupun berkurang bahkan terhenti.

"Jadi mereka dimana?" Tanya Linda.

"Mereka tidak ada di dalam?" Vera menatap sahabatnya. Linda menggeleng.

KROSAKK!!

"Apa itu?" Vera yang berdiri di posisi yang lebih luar dari Linda terhenyak. Dipandanginya halaman yang memang sumber datangnya suara.

WUSSHH!!

Tiba-tiba sekelebatan bayangan melesat di luar pagar. Sepasang Detektif Koko tersentak dibuatnya!

"Siapa??" Seru Linda.

"Biar aku saja!" Kata Vera yang sudah melesat terlebih dulu ke pekarangan rumah. "Tunggu Linda melompati pagar ini, buruan kita entah sudah lari kemana."

Memang benar! Vera dengan lincahnya melompati pagar rumah dan kemudian tanpa kesulitan sudah berlari melesat mengejar sosok mencurigakan yang dipergoki berlari di luar itu.

Pada saat yang bersamaan, Linda menggerutu sambil melangkah pelan dan gemulai menuju pagar rumah.

"Kurang ajar! Bisa-bisanya kami dikerjain sejoli HY!!" Linda menarik rok mininya sebelum akhirnya dia menaikkan sebelah kakinya melewati pagar rumah Heni.

Namun, baru saja satu kakinya menyangsang di tengah pagar, sebuah motor bebek berhenti tepat di depannya! Linda terbelalak melihat kemunculan yang tiba-tiba itu. Begitu juga dengan si pengemudi motor bebek, yang bukan lain adalah Han Yo adanya!

"Hei! Siapa kau?!" Teriak Han Yo terkejut melihat Linda yang dengan sebelah kakinya berada di atas pagar, sementara rok mininya tersingkap memperlihatkan pahanya yang sebenarnya tidak begitu mulus karena ditumbuhi bulu-bulu itu.

"Hekhh!" Linda sendiri tidak kalah terkejutnya saat menyadari dirinya tertangkap basah kepergok oleh orang yang sebenarnya ingin dia temui saat itu.

BAGIAN 10

Bila Cinta, Jangan Membuatku Benjol

"Siapa kau?! Kenapa malam-malam begini ada disini?" Turun dari motornya, Han Yo melirik paha Linda yang masih menyangsang di atas pagar itu.

"A... A..." Linda tampak tergagap mencoba menjawab pertanyaan Han Yo. Tatapan liar mata Han Yo membuatnya tersadar kalau sebelah kakinya masih berada di atas pagar.

"Mau maling ya?!" Dengan suara yang lebih keras, Han Yo mencoba membentak Linda, si wanita jadi-jadian itu.

Begitu kedua kakinya telah diturunkan, Linda membetulkan posisi rok mininya.

"Kok nggak jawab?! Aku teriak nih biar seluruh warga kampung ini bangun dan kamu ditangkap!" Gertak Han Yo.

"Aku... Aku..." Linda menunduk sesaat. Tiba-tiba dia mendapat ide. Kepalanya terangkat.

"Apa itu?!" Jarinya menunjuk ke belakang Han Yo dan pandangannya terkejut. Han Yo tak urung dibuatnya tersentak dan menengok ke belakang. Kesempatan itu dipakai oleh Linda untuk melarikan diri.

"Hei!! Berhenti!!" Menyadari dirinya telah dipermainkan, Han Yo berseru sambil mengangkat tangannya dan mengejar Linda. Untuk sesaat pemuda itu terlupa akan motor bebeknya yang sebenarnya sangat berguna untuk dipakai mengejar.

Pada saat bersamaan...

"Gila! Cepat amat larinya tuh maling!" Vera yang tampak ngos-ngosan itu kini telah kehilangan buruannya. Padahal untuk urusan lari, Vera tergolong sulit untuk dicari tandingannya.

Menyadari dirinya telah kehilangan buruannya, Vera menyandarkan diri di sebuah pohon sambil mengatur nafasnya.

"Siapa itu ya?" Katanya dalam usahanya menarik nafas. "Nggak bisa lihat jelas. tapi sepertinya dia wanita dan berpakaian serba hitam deh..."

"Ahh... Biarlah. Kalau besok dia muncul lagi, takkan kuberi dia kesempatan kabur!" Kata Vera sambil mengatur nafasnya.

Pada saat yang bersamaan, Linda berlari dengan cepat menghindari kejaran Han Yo. Untuk mempercepat larinya, Linda melepaskan sepatu hak tinggi yang dikenakannya dan berlari dengan telanjang kaki.

Tanpa mereka berdua menyadari, Linda berlari melintasi tempat di samping kanan mana terdapat pohon besar tempat Vera bersandar di bagian belakangnya, sehingga keduanya saling tidak mengetahui satu sama lain.

"Berhenti, Maling!!" Dari arah tak jauh, suara Han Yo terdengar berteriak. Suara yang menyadarkan Vera yang sedang beristirahat itu.

"Maling?" Vera tersentak mendengar teriakan Han Yo. "Jangan-jangan..."

Semangat Vera bangkit kembali. Diputarnya badannya keluar dari balik pohon, tepat pada saat mana Han Yo melintas di depannya.

"Ada maling, Ko?" Tanya Vera yang sebenarnya mengenal siapa Han Yo itu. Namun sebagai Vera, dia tidak mungkin memberi tahu identitas asli dirinya.

"Iya..." Han Yo menghentikan langkahnya dan menatap aneh kepada Vera. "Anda siapa?"

"Aku? Aku Vera, detektif..." Vera menjawab dengan sigap. "Malingnya dimana ya?"

"Tuh di depan sana. Cepat banget larinya!" Han Yo menunjuk ke depan yang lumayan gelap itu.

"Biar aku saja yang mengejarnya." Ujar Vera. "Gini-gini aku pernah juara lomba lari sekampung..."

Vera baru saja hendak berlari ketika dia teringat sesuatu. "Oh ya, cirinya bagaimana ya?"

"Wanita! Berpakaian serba hitam!"

"Berarti bener tuh dia!" Kata Vera. "Tak salah lagi!"

"Serahkan saja padaku!" Serunya lagi. "Akan kubawa maling itu kemari!"

Vera melesat bagaikan anak kucing berlari mengejar induk tikus saja. Di tengah kegelapan malam dan keremangan jalan, setelah beberapa meter berlari dia seperti melihat sosok yang dikejarnya.

"Itu dia!" Tangannya bergerak ke arah pinggangnya dimana senjata ketapelnya terselip. Lalu dengan lincah matanya melirik ke jalan, mencari batu yang sekiranya bisa dipungut untuk dijadikan senjata.

"Huff! Mau kemana kau, maling?!" Vera bersiap membidik dan beberapa detik kemudian, batu di ketapelnya dilepas mengincar kepala buruannya.

"Udah aman kali ya..." Linda berkata dengan suara terengah-engah. Dihentikannya larinya sambil menarik nafas. Tepat pada saat itu...

CTAKKK!!!

"Aiiiduuuiiii!!!" Linda menjerit keras merasakan kepalanya dihantam batu kecil. Rasa pusing menjalar seketika di kepalanya. Pandangannya pusing dan tubuhnya pun jatuh terduduk beberapa detik kemudian.

"Kena!" Teriak Vera begitu melihat buruannya telah terkapar di jalanan sambil memegangi belakang kepalanya.

"Adduuhhhhh..." Linda masih mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya saat Vera mendekatinya.

"Dasar maling nggak tahu diri!" Sambil menggerutu, Vera berjalan ke arah wajah 'si maling'.

Saat keduanya saling berhadapan muka, yang ada pada saat itu hanyalah wajah terkejut kedua sahabat, Si Detektif Koko.

"Lho, Linda... Ngapain lu disini?" Tersentak Vera saat menyadari siapa yang telah dihajarnya itu. "Jadi maling itu..."

"Gue bukan maling, dodol!" Linda berseru kesal. "Kenapa lu hantam kepala gue pake batu? Lu nggak seneng tadi kepala lu gue geplak dua kali?"

"Lho. lu bukan maling itu ya?" Vera berdiri masih dalam keadaan bingung, namun menjulurkan juga tangannya menarik bangun sahabatnya itu.

"Benjol nih kepala gue, tau nggak lu..." Gerutu Linda saat berdiri.

"Sori deh, sori," Vera mengusap-usap kepalanya sambil menyengir lebar. "Habis pakaian si maling itu sama dengan pakaian lu, hitam-hitam begini juga..."

"Jangan ketawa lu!" Linda tampak kesal dan tangan kanannya bergerak.

BLETAKKK!!

"Adaaooww!!" Vera mengerang saat kepalanya kembali ditepak oleh sahabatnya. "Sakit tauukk..."

"Lebih sakit mana, lu sama gue?" Gerutu Linda kesal sambil menarik lepas rambut palsunya. "Untung aja gue pake wig ini, kalo nggak, udah berdarah kali benjol gue..."

Sepasang Detektif Koko saling memegang kepala mereka masing-masing tanpa menyadari bahwa beberapa meter di depan mereka telah berdiri juga sepasang manusia, yang tertawa lebar melihat tingkah sepasang Detektif Koko.

"Lho? Kalian?!" Linda yang pertama tercengang melihat kehadiran keduanya. "Sejoli HY?!"

"Lho?!" Vera tak kalah terkejutnya. Matanya menatap Heni dan Linda secara bergantian. Heni mengenakan pakaian yang sama seperti yang dikenakan Linda, hanya saja rok yang dipakai Heni lebih panjang dibanding rok mini Linda. "Jadi??"

"Ya..." Han Yo masih tertawa saat memberi penjelasan. "Sebelumnya kami minta maaf dulu kepada kalian..."

"Lho?" Heni memandang terkejut kepada Linda yang masih berdiri dengan wig di tangannya. "Ini bukannya yang aku temui di toilet umum itu?"

"Benar, Heni!" Kata Han Yo. "Merekalah wanita jadi-jadian yang kuceritakan itu!" Matanya menatap Sepasang Detektif Koko.

"Kalau aku tidak salah, kalau ada Aan berarti..." Han Yo menunjuk Vera. "Yang bernama Vera ini adalah Very?"

"Hehehehe..." Very terkekeh sambil melepas wignya. "Iya. Kamu betul, Han Yo..."

"Jadi kalian ini?" Linda menatap sejoli HY tanpa dapat banyak berkata. Kepalanya masih sakit oleh benjol dari hantaman batu kecil itu.

"Ya, kami baru mengetahui kalau kami ternyata memang saling mencintai..." Jawab Han Yo. "Maafkan kami sekali lagi. Kami melakukan sandiwara ini karena semata-mata kami dipermainkan dua orang aneh sampai kami sakit perut hari itu..."

"Dua orang aneh?" Linda dan Vera saling bertatapan satu sama lain dan akhirnya ikut tertawa bersama sejoli HY.

"Yah, paling tidak skor kita sekarang sudah sama... 1-1..." Ujar Vera. "Iya kan, Linda, eh maksudku, Aan?"

Aan alias Linda terdiam sesaat. Dihembuskannya nafasnya sambil memelototi sejoli HY. "Skor sih sama, tapi aku yang paling rugi."

"Kalau kalian saling cinta, jangan aku yang dibuat benjol dooonggg..." Sambungnya lagi, yang disambut dengan suara tertawa empat anak muda itu.

Serial Detektif Koko (2): Bila CInta, Jangan Membuatku Benjol

TAMAT

Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.

Semua karakter Serial Detektif Koko, telah mendapatkan ijin dan persetujuan dari para member HSG yang berhubungan.

Posted By: Kaz HSG

This story is the property of Heavenly Story Group.

Copyrights: ©HSG-November 2011

(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates