03/09/10

BAGIAN 25

Embun pagi bergulir menggantikan kegelapan malam dengan sinaran cerah mentari. Taksi yang ditumpangi Asiong dan Ervina berhenti di sebuah rumah sederhana berlantai dua di kawasan perumahan di Jakarta Barat.

"Ini rumahku, Lex." Kata Ervina ketika keduanya telah turun dari taksi dan taksi tersebut pergi. Gadis itu membuka pintu pagar yang ternyata tidak dikunci itu.

Asiong memandang ke rumah sederhana berlantai dua itu. Pekarangan yang luas diperuntukkan parkir mobil. Namun berhubung keluarga Ervina tidak memiliki mobil, maka pekarangan rumah terasa lebih luas dan lega. Sebuah motor jet-matic merk Yamaha Mio berwarna pink terparkir disana.

"Ayo, masuk. Rumahku sederhana lho." Kata Ervina lagi sambil membuka pintu rumahnya. Setelah membuka sepatu kets yang dipakainya, Asiong melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Kedatangannya disambut oleh gonggongan anjing yang melompat dari dalam menuju ruang tamu.

Binatang berkaki empat itu menggonggong ke arah Asiong yang berdiri terpaku saat itu. Gonggongannya semakin lama semakin kencang dan cepat, sambil sesekali mundur dan mendengus, kemudian menggonggong lagi.

"Justine, sini!" Ervina berjongkok dan menjulurkan tangannya. Anjing yang dipanggil dengan nama Justine itu berhenti menggonggong sesaat dan berlari ke pelukan Ervina yang segera berdiri dengan Justine di pelukannya. Sesaat anjing itu menjulurkan lidah menjilat majikannya.

"Udah, udah, Justine, diam ya." Ervina mencoba menghindari jilatan peliharaannya itu.
Ini namanya Asiong. Tapi aku panggil dia Alex." Lalu gadis itu memegang lengan depan anjing itu dan menggoyangkannya. "Ayo kenalan."

Anjing itu masih menggonggong sesaat sebelum akhirnya tangannya disambut salaman Asiong yang tersenyum. "Namanya Justine ya. Lucu ya?"

Anjing yang berada dalam pelukan Ervina itu berbulu lebat berwarna dominan putih dengan bulu hitam di bagian kedua telinga dan di bagian kelopak mata. Bagian pinggul dan ekornya berwarna abu-abu. Badannya masih tergolong anjing kecil, imut, lucu dan menggemaskan.

Ketika Asiong mengajaknya bersalaman, Justine menggeliat di pelukan Ervina. Lidahnya terjulur dengan nafas terengah-engah menatap sosok Asiong yang baru pertama kali dilihatnya itu.

"Ini anjing ras ya?" Tanya Asiong menerima sodoran Ervina yang memberikan Justine ke pelukan pemuda itu. Justine tak mau dipeluk Asiong. Dengan kaki belakangnya, anjing kecil itu berdiri dan menjilati wajah pemuda itu dengan lidahnya.

"Justine, gak boleh gitu, hayo..." Ujar Ervina saat melihat Asiong tersenyum saat wajahnya dijilati anjing piaraannya. "Ya, anjing ras Shih Tzu, umurnya baru 3 bulan."

Justine berhenti menjilati wajah Asiong dan sebagai gantinya anjing jantan itu menggonggong pelan dengan ekor bergoyang-goyang.

"Dia memintamu sebagai temannya tuh," Ervina berkata sambil tersenyum.

Asiong mengangkat Justine yang berada dalam pelukannya dan mendekatkan wajahnya ke wajah binatang tersebut. "Justine...hmmmm..."

"Gukk..." Gonggong Justine. Lidahnya menjulur dengan nafas terengah-engah.

"Justine, udah ya... Sini, sayang..." Ervina menjulurkan lengannya menampung anjing kecil itu yang segera berpindah pelukan. Gadis itu merangkul anjing piaraannya sambil mengelus-elus punggungnya yang berbulu lebat itu.

"Dia lucu, aku suka." Kata Asiong dengan mata masih memandang Justine.

"Ya, sepertina Justine juga suka padamu." Sahut Ervina sambil tertawa kecil.

Asiong memandang ke sekeliling ruang yang luput dari perhatiannya karena Justine. Tampak di pojok dinding yang terhubung ke koridor, sebuah altar sembahyang dengan sepasang lampu merah dan guci kecil di depannya. Beberapa batang hio yang telah habis terbakar masih menancap di tempat abu di depan guci. Sebuah foto bergambar wajah seorang laki-laki terletak di belakangnya.

"Lho, kamu Buddhis ya? Kupikir kamu Katholik." Asiong memandang Ervina saat melihat altar sembahyang itu.

"Aku memang Katholik, Lex. Itu abu Papaku." Jelas Ervina.

"Oh," Asiong terpana. Diperhatikannya foto itu dengan seksama.

"Lex, kamu duduk dulu ya. Aku mau ke dalam dulu." Gadis itu berkata sambil menurunkan Justine dari pelukannya.

"Tidak apa-apa. Aku langsung pulang saja ya." Asiong menjawab. Wajahnya sudah mengantuk saat itu. Bibirnya menguap lebar.

"Tuh, kamu udah ngantuk. Duduk dulu sana." Kata Ervina lagi. "Tunggu aku keluar ya."

Asiong mau tak mau menurut kepada gadis itu. Sambil duduk di sofa di ruang tamu, pemuda itu memandang ke sekeliling ruang tamu. Sebuah lemari berukuran besar seakan menempel di dinding yang menjadi pemisah dengan ruangan di belakangnya. Sofa berukuran sedang mengisi ruangan tamu sederhana itu.

Merasa cukup lelah setelah petualangannya semalam, Asiong menyandarkan dirinya di sofa yang sedang didudukinya. Tak lupa kepalanya juga disandarkan di kepala sofa.

'Lelah juga badanku.' Gumam pemuda itu dalam hati. 'Baru terasa kelelahan ini.'

Ditutupnya kedua matanya sesaat, menikmati saat tenang dan nyaman waktu itu. Namun karena lelah yang menggelayut di badannya, hanya beberapa menit kemudian, pemuda itupun terlelap dalam tidur.

Ketika Ervina keluar dari dalam menuju ruang tamu, Asiong sudah tertidur pulas dengan kepala menengadah. Nafasnya tenang dan teratur.

"Kasian, Alex. Susah payah menolongku, sekarang kamu kelelahan." Kata gadis itu. "Tidurlah. Aku tak mau mengganggu istirahatmu."

Akhirnya Ervina memutuskan untuk duduk di sofa menemani Asiong yang tertidur itu. Walau dia tak mengetahui kapan pemuda itu akan bangun, namun gadis itu tidak mengeluh. Dia sendiri menyandarkan badannya ke sofa dan menutup matanya. Kelelahan membuatnya juga terlelap dalam tidurnya. Masing-masing terbuai dalam mimpi di sofa yang bersebelahan letaknya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates