08/03/11

Senja Pilu

Desa ini aneh. Begitu senyap. Meski aku tahu letaknya tidak jauh dari kota. Pagi, senja, hingga langit pekat tak membuat desa ini riuh. Lampu telah menontonkan cahayanya, namun tetap saja bagai lampu sentir yang remang nyalanya di ufuk malam. Hanya temaram dengan suara jengkerik yang mulai berbisik. Hal ini mengusikku. Gelisahku mulai bergumam. Mun...gkinkah telah terjadi sesuatu? Hingga lima jam aku menunggu. Pun tanyaku tak bersambut. Resah telah mencekam desa kelahiranku.

Angin yang menyentuh seperti kaku. Angin yang tak biasa juga membuat jendela rumah penduduk tertutup rapat. Tak memberiku celah untuk mengintip. Langkah ini tetap menuntun di kegelapan. Hingga aku sampai pada satu rumah di sudut gang. Tak banyak berubah. Berandanya masih penuh meja-meja kayu jati, tempatku bersama lima kawan kecilku mengerjakan hitungan matematika, fisika, serta sesekali mendengar epos Mahabarata. Hanya saja, meja kecil ini sudah lapuk, rongga-rongga yang tampak membesar kian hari, lengkap dengan serpihan kayu yang jatuh terurai oleh hewan tetani. Kupandangi kesunyian ini. Menguak memori masa silam hidupku. Tawa liar bocah kecil seperti menggema. Redup lagi, ada tangis yang bersahutan, sesekali nafas semangat berembus menyapaku.

Langkah kaki yang melintas di depanku mengusir hayalku. Coba mendekat, memaknai gesture lelaki berpeci itu. Sepertinya ia baru saja melakukan perjalanan jauh.

"Maaf Pak, Tyang (saya) mau tanya mengapa desa Nagasari ini bagitu sepi Pak?

Tanyaku berlalu. Bapak paruh baya itu bungkam. Sepertinya diam menjadi pilihan yang tepat untuk menyelamatkan desa ini. Meratapi tubuh dingin Bapak tua itu, nampaknya aku hafal bagaimana cara orang itu berjalan. Namun sayang, aku tak diberi waktu banyak untuk mengingatnya.

Sepi ini sebentar lagi akan membunuhku. Aku berharap akan kecewa. Tapi tidak, rasa ini semakin kuat, terperajat untuk menemukan serpihan kenanganku bersama desa ini. 'Nagasari, 11 April 1986', kutemukan batu paras bertuliskan tanggal memesona. Ya…aku ingat, jemari lunglai Gde Botol, salah satu kawanku mengukir itu.

'Ingat selalu ya, nanti kita ketemu lagi di sini.'

Suaranya hidup lagi bersama kesedihan yang telah coba kukubur. Sedikit berdebu, aku mengibas beberapa pasir yang menutup batu paras itu. Bagaimana seorang anak usia sembilan tahun menyembunyikan kesedihannya? Coba beritahu aku. Gde Botol, kawan sepermainanku harus menghilang karena hukum kesepekang (dikucilkan). 'manak salah',(kembar buncing) saat itu berubah jadi hukum rimba bagi keluarga Gde Botol. Aku belum cukup mengerti, namun aku tahu seseorang menangis artinya mereka tengah bersedih. Anak sekecil itu dihujat, diarak keliling desa karena Ibunya beranak kembar buncing. Bayi mungil dengan jenis kelamin yang berlainan dianggap membawa leteh (kotoran) yang harus segera dibersihkan.

Deru bertalu memecah dada. Persahabatan kami dimutilasi. Seperti nyanyian balonku ada lima, kini satu balon harus kami lepas. Aku tak mengerti hukum 'manak salah' itu. Sejak itu, senja di desa ini seolah bisu. Mahluk dewasa yang lebih mengerti tetap bungkam. Mereka sibuk mengadakan upacara mebersih, membuang malapetaka. Rerumputan berembun tangis. Hukum tidak boleh dibicarakan. Mereka percaya, siapa yang membahas hukum ini, kutukan akan datang pada keturunan mereka. Suram yang makin kelabu. Di pengasingan itu, Gde Botol tidak bisa bermain lagi. Aku ingat perut buncitnya yang selalu lapar ketika menghirup aroma makanan. Kini, Gde Botol tinggal di pengasingan dengan makanan seadanya. Ia akan ditangkap apabila keluar. Aku tak mampu lagi membayangkan kesedihan di balik tembok-tembok yang terus membisu. Kembar buncing itu, bagaimana nasibnya? Belum lagi keluarga Gde harus membayar denda yang jumlahnya tak sedikit. Kemelaratan ini melibas keluarga tak berdaya. Setelah hukum kesepekang itu, tak kudengar lagi kabar Gde Botol juga kembar buncing.

Desir angin yang berbisik di celah bambu memutar kembali memoriku. Aku kembali ke desa ini untuk sebuah tujuan. Menyergap diam yang terpendam. Di rumah ini, aku akan menemukan jawaban; bukan pilu, itu harapku. Kuperhatikan lagi detail bangunan tua ini. Seolah tumbuh, seperti umurku yang menahun kian usang. Ada rumbai menggelayut di depan pintu. Memberiku aba-aba, mempersilakan masuk tanpa harus menunggu jawaban sang pemilik rumah.

Terus melangkah pada malam yang retak; sambil sesekali menoleh. Mungkin aku menemukan orang di dalam rumah tua ini. Aku telah hafal betul lika-liku rumah ini; rumah singgah adalah rumahku selama 10 tahun. Kakiku membentur sesuatu. Ya…sebuah kursi panjang di depan kamar Ibu Mutia, tempat aku dan 5 kawan kecilku mengintip lelaki yang sering mampir, membawa banyak makanan untuk kami.

"Hey, bocah pingitan, hentikan tingkah tidak sopan kalian. Kecil-kecil suka ngintip, kudoakan mata kalian bisulan."

Tiada henti Bu Mutia mengatai kami, hujan amarah akan terlontar jika kami masih berniat memuaskan rasa ingin tahu kami.

Bu Mutia, salah satu pengasuh kami. Kala itu, umurnya 26 tahun, masih cantik dan segar. Meski pemarah, perihnya tak mendarah daging. Dalam celah hatinya, aku tahu ia ingin menjadi Ibu yang baik untuk kami. Buih kekerasan merona pekat di hidup Bu Mutia. Perkawinannya kandas lantaran tidak mampu memberi keturunan. Luka itu tak dibiarkannya terkulai lagi. Phobia yang berhasil ia lalui, membuatnya seperti ini. Kering rasa.

Tubuh Bu Mutia sangat anggun. Lekuknya tertata dengan indah, seolah belum terjamah. Ia adalah penari joged primadona di desa Nagasari ini. Meski bukan warga asli; Bu Mutia seolah tercipta begitu lentur untuk menari. Itulah cerita lelaki yang selalu datang ke rumah singgah kami dan merayu Bu Mutia. Lelaki tak bernama itu sering kulihat meratapi senja di celah jendela kamar Bu Mutia. Seolah mengusir sepinya. Aku tak paham hubungan Bu Mutia dengan lelaki itu. Lelaki itu termenung, menatap lekat air mata Bu Mutia, saat kami mengintip mereka yang tengah berdua. Mereka berpeluk, seperti menyepakati sesuatu. Lalu meninggalkan Bu Mutia yang tengah mengusap air matanya. Lalu lelaki itu menghampiri kami.

"Tak bisakah kalian berhenti mengintip, kalian sebenarnya tengah mencuri jika melakukan ini."

Kata-kata itu membuat kami berlalu. Namun, Luh Gina, kawanku satu-satunya perempuan, menghentikan laju lelaki tak bernama itu.

"Tuan, apakah kau suami Bu Mutia?" "Anak manis, aku hanya lelaki singgah, sama seperti rumah singgah ini di hidup Bu Mutia. Tapi aku tahu banyak tentang hidup Ibu asuh kalian itu." "Aku tidak mengerti tuan, ceritakanlah apa yang tuan tahu. Kami menyayangi Bu Mutia, kami juga ingin menghapus air matanya, sama seperti yang tuan lakukan. Tapi kami tak mampu."

Lelaki nan gagah itu mirip sosok seorang Ayah yang kudamba. Ia memeluk kami sambil memberi camilan kecil. Lalu duduk di kursi panjang tempat kami mengintip. Aku menatapnya erat. Garis halus di keningnya ingin ku sentuh dan memeluknya balik. Suasana ini yang sering aku impikan. Bersenda gurau bersama sosok yang disebut Ayah. Pun aku melihat mata sayu kawanku memandangi lelaki tak bernama ini bertutur. Mungkin rasaku sama dengan 5 Kawan kecilku itu. Kami menginginkan sebuah keluarga, lengkap dengan manusia yang bernama Ayah, Ibu, juga anak-anak.

Lewat desahan nafas, lelaki itu menggulirkan kalimat yang penting, "Bu Mutia telah kehilangan rahimnya sejak jadi penari joged."

Kalimat itu membuat kami mematung; mendengarkan dengan saksama. Lena disihir pujian, Bu Mutia bukan hanya menggunakan tubuhnya untuk menari. Ia menjalang lewat tarian. Masa lalunya yang kelam. Senyumpun rasanya pahit. Berlebih ketika Bu Mutia memutuskan untuk mengangkat rahimnya, agar tidak beranak pinak. Dan ia bebas mengundang lelaki belang menelanjangi tubuhnya. Karma itu telah tumbuh, kini tangis Bu Mutia mengeram, merindukan memangkul buah hati. Karma itu membedah kembali lukanya.

Lidahku kelu. Aku tak mengerti secara utuh. Namun, Lelaki itu bersedia mengeja kata yang lebih sederhana untuk kami pahami. Bu Mutia menelanjangi jiwanya, merelakan luka itu kembali dibedah hanya untuk menutupi kebutuhan kami. Pria dengan dasi warna-warni, menghampiri malam-malam Bu Mutia itu, ternyata membayar makanan, pakaian, serta keperluan kami.

Risauku berlagu. Apa aku begitu jahat pada Bu Mutia? Memenuhi seluruh otakku dengan pikiran-pikiran busuk terhadap sang dewi? Aku, dan 5 kawanku bukan anak kandung Bu Mutia, bukan pula siapa-siapa. Lalu, mengapa ia begitu baik? Dan mengapa ia memilih untuk tinggal bersama bocah yang tak karuan asala usulnya seperti aku dan 5 kawanku yang lainnya. Memandangi hujan di beranda rumah singgah ini, kami berbincang tentang mimpi dan Bu Mutia.

Setiap liku rumah ini penuh kenangan. Tak kusudahi membasuh diri dengan kenangan itu. Kenangan yang membuatku menemukan warna. Kepedihan ini terasa beranak pinak. Senandung Ibu yang kurindu sejak kecil tak bertandang. Dekapan Ibu yang menurut cerita orang, sangat hangat tak pernah membelaiku. Jiwaku penuh sumpah serapah. Hina dalam didih yang perih. Beginilah nasib anak-anak di pesinggahan. Di luar, mereka mencaci kami sebagai anak hina;hasil hubungan gelap, sehingga kami tidak bertuan. Ucapan itu ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Aku mempunyai Ibu, Bu Mutia. Pun Tuan tak bernama aku sebut Ayah.

Di antara kami, Gde Botol paling beruntung. Ia punya keluarga dan cinta. Menggores kanvas indah di hidupnya dengan cerita indah sebuah keluarga. Namun, kepedihan kembali berlagu untuk kami. Bagaimana kawanku itu harus menyerah pada hukum alam. Bu Mutia saat itu kehilangan satu anaknya. Ia selalu menyembunyikannya dihadapan kami dengan pura-pura marah. Lalu memeluk kami. Seraya berucap.

"Nak, hanya kalian mampu mengubah hidup kalian. Ibu tidak ingin nasib kalian seperti Gde Botol atau Ibu."

Sayup kata terakhir itu terus berdendang bersama mimpiku.

Memendam luka teramat perih membuatku takut bermimpi. Namun luka itu pula menjelma jadi hasrat. Hasrat untuk melawan getir kepedihan. Air mata adalah kebodohan. Ketika kini, aku kembali membawa mimpi itu untuk Ibunda Mutia dan 4 kawanku yang tersisa. Bu Mutia berharap padaku untuk melakukan perubahan. Aku disekolahkannya setinggi mungkin. Kini aku pulang dengan gelar sarjanaku. Kadek Ayu Kartika Priyatna, S.Pd, aku telah jadi guru di sebuah sekolah ternama. Mengajar adalah hidupku, seperti Bu Mutia. Ternyata indah, membuat mahluk lain memahami arti sebuah hidup.

Aku kembali mengurai ar mata. Rahasia kesedihan kembali bergema. Aku terlambat. Bu Mutia, kawanku, rumah singgah, dan kenangan itu telah terkubur. Rumah ini telah disita. Pun penghuninya tidak terjamah lagi. Entah kemana. Serpihan itu luluh lantah…tetap bisu, seperti desa yang telah mati ini. Desa dengan senja pilu.

Salam Surgawi,

Tsn.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates