25/11/10


Mary Somers, Peneliti Politik Peranakan.

Untuk anggota Heavenly Story - Cerita Surgawi
Tisana Wong 23 November 2010 ~ jam 19:42
Mary Somers, Peneliti Politik Peranakan.

Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata tahun 1955. Adapun Perang Dingin masih berkecamuk pada tahun 1958. Karena itu, seorang mahasiswi Universitas Cornell, Amerika Serikat, terpaksa mengalihkan studi doktoral tentang Tiongkok Daratan dengan meneliti Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara.

Itulah ”kecelakaan sejarah” yang mengantar seorang Mary Frances Somers-Heidhues menjadi guru besar bidang studi Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara. ”Saya tidak bisa menembus Tiongkok yang berseberangan dengan Amerika Serikat secara ideologi. Waktu itu Tiongkok juga sangat tertutup. Para pembimbing saya pun menyarankan untuk melanjutkan penelitian di Indonesia,” kenang Mary yang fasih berbahasa Indonesia. Ia ditemui akhir tahun lalu di Jakarta.

Mary pun membuat penelitian untuk disertasi tentang Peranakan Politic’s in Indonesia. Penelitian itu membawanya pada kehidupan Tionghoa totok dan peranakan di Indonesia sejak masa Tiong Hoa Hui Kuan (THHK), masa revolusi fisik (1945-1949), tahun 1950-an, hingga awal 1960-an.

Disertasi yang diselesaikan tahun 1965 itu merupakan karya paling lengkap pertama dalam bahasa Inggris tentang politik kaum peranakan Tionghoa di Indonesia sejak awal abad ke-20 hingga tahun 1960-an. Dadu pun bergulir, hingga tahun 2008 Mary menghasilkan tak kurang dari 60 karya ilmiah yang sebagian besar adalah kajian tentang Tionghoa di Asia Tenggara.

Kecintaan pada studi Tionghoa di Indonesia dan Asia Tenggara semakin kuat akibat hijrah ke Jakarta untuk penelitian awal tahun 1960-an yang memberi kesan mendalam bagi Mary. Realitas Tionghoa di Indonesia membuat mata keilmuan Mary tercelik. Tionghoa di Indonesia, seperti bangsa Indonesia secara keseluruhan yang Bhinneka Tunggal Ika, ternyata sangat plural dilihat dari segala aspek.

Terlebih, ketika itu, kelompok masyarakat Tionghoa yang didominasi kelompok peranakan, terbelah dalam dua kubu pandangan politik, yakni asimilasi dan integrasi.

PK Ojong

Kubu asimilasi yang (antara lain) didukung Yap Tiam Hien, Ong Hok Ham, dan PK Ojong, mendorong pembauran Tionghoa ke tiap suku di Indonesia di daerah mereka tinggal. Salah satu bentuk asimilasi adalah kebijakan ganti nama. Sebaliknya, kubu integrasi yang dimotori Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat mendorong koeksistensi masyarakat peranakan di dalam negara Indonesia, atau kini lazim dikenal sebagai pluralisme.

Demi mempertajam penelitian, pelbagai tokoh nasional ditemui Mary, seperti sejarawan Ong Hok Ham, tokoh Baperki Siauw Giok Tjhan, pakar hukum Yap Tiam Hien, politisi Oei Tjoe Tat, Roeslan Abdulgani, tokoh PNI Sartono yang membela Soekarno, Mohammad Roem, hingga Ali Sastroamidjojo.

Selama dua tahun (1961-1963) dihabiskan Mary di Jakarta yang kala itu masih ”terbelakang”. ”Jalan rusak dan berlubang. Anak miskin kelaparan di sana-sini. Saya sering keliling naik becak untuk menemui narasumber. Sambungan telepon masih buruk sehingga sulit membuat janji,” ujarnya.

Ketika itu Hotel Indonesia tengah dibangun, sedangkan Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta Pusat baru diperlebar. Selain menggunakan becak, dia terkadang bisa menggunakan mobil milik Universitas Cornell yang dipakai bergiliran bersama dua mahasiswa dan seorang profesor yang juga berada di Jakarta.

Penelitian awal yang tuntas tahun 1965 itu berlanjut hingga akhirnya Mary dianugerahi Nabil Award tahun 2008 atas upayanya mendorong saling pengertian antarkaum di Republik Indonesia.

Mary Somers kemudian selama 10 tahun lebih hijrah ke Jerman setelah menikah dengan teman kuliah di Cornell, yakni Profesor Theodor Heidhues asal Gottingen (kala itu Republik Federal Jerman). Theodor Heidhues (meninggal tahun 1978) adalah pakar ekonomi agrikultur. Dari perkawinan itu Mary dikaruniai dua putra dan seorang putri.

Meski hijrah ke Jerman, dia tetap melanjutkan penelitian demi penelitian tentang Tionghoa di Asia Tenggara dan di Indonesia. Jamie Mc Key dari Australia National University (ANU) pada tahun 1970 meminta Mary menyunting buku tentang Tionghoa di Asia Tenggara. Karya berjudul South East Asia’s Chinese Minorities itu hingga kini kerap dijadikan acuan.

Membaca karya itu, tampak betapa Mary memiliki kecermatan dalam melihat keterkaitan sebuah studi kawasan. Dia mampu membandingkan dan menarik benang merah hubungan Tionghoa di Malaya, Jawa, Siam, dan negara-negara ASEAN secara umum dan khusus. Perbandingan politik peranakan di Jawa dan Malaya, misalnya, dengan gamblang dia jelaskan.

Afiliasi politik

Pandangan lebih luas tentang afiliasi politik peranakan terhadap kubu nasionalis Guo Min Dang (baca: Kuomintang) yang berpusat di Taiwan ataupun kelompok komunis (Gong Zhan Dang) serta kaitan dengan kelompok peranakan atau totok yang prokiri, seperti perlawanan Komunis Malaya (Malaya Emergency 1948-1960) dan Partai Komunis Indonesia (PKI), dipahami dengan baik oleh Mary.

Setelah Theodor Heidhues meninggal, atas dorongan keluarga besarnya di Jerman, Mary kembali ke Jakarta untuk melanjutkan kajian tentang Tionghoa. Dia kembali bertemu teman-teman lama dan menjumpai sinolog Myra Sidharta serta Melly G Tan. Kali ini, langkah Mary semakin mengerucut pada studi mendalam tentang kelompok peranakan dari subsuku Hakka (Mandarin: Ke Jia) yang dominan di Kalimantan Barat dan Bangka Belitung.

Dia mengakui, penelitian di Bangka dan Kalbar dilakukan karena di dua wilayah itu orang Tionghoa peranakan masih menggunakan dialek Hakka secara luas. Kondisi itu berbeda dengan peranakan di Jawa yang umumnya bercakap dalam bahasa Indonesia dialek Jawa atau Sunda.

Selama 10 tahun dihabiskan untuk studi Hakka di Kalbar dan 7 tahun untuk meneliti Hakka di Bangka Belitung. Jadilah dua karya besar yang dibukukan dalam Bangka Tin and Mentok Peppers (1992) oleh ISEAS, Singapura, dan Goldiggers, Farmers and Traders in the ”Chinese Districts” of West Kalimantan terbitan Cornell University Press (2003). Kedua buku itu tahun 2008 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, setelah genap 50 tahun Mary F Somers Heidhues meneliti Tionghoa dan peranakan di Indonesia serta Asia Tenggara.

”Meski kecil dalam jumlah, pengaruh secara ekonomi dan politik kaum peranakan sangat penting. Penelitian saya mudah-mudahan dapat memberikan pengertian yang lebih baik untuk semua pihak di Indonesia,” ungkap Mary.

Salam HSG.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates