09/10/10




Pangeran Kodok dan Putri Paus





Post : Hong Sulaiman 

Pada suatu masa di sebuah belantara sudut bumi hiduplah seekor kodok di sungai Mempesona. Di sungai ini ia konon hidup bahagia. Tidak ada yang kurang dari hidupnya. Ia menyukai saat-saat berenang di sungai, menggoyangkan otot-otot tubuhnya, melompat-melompat ke sana kemari sepanjang daratan.

Memandang setiap keindahan yang terpancar oleh alam. Ia emang seorang pangeran di sungai Mempesona, ia penguasa daerah itu. Tutur perkataannya selalu didengar dan diikuti.

Hingga suatu hari, ia melompat jauh dari biasanya dan terdampar di sebuah pantai.

Saat ia terdampar pada pantai itu, ia melihat seekor paus. Seekor binatang yang besar tapi terlihat lemah, sedih dan tak berdaya. Ia beranikan diri untuk menghampiri dan bertanya.

“paus kamu kenapa?”

Paus itu menengok, mencari sumber suara itu berasal. Ia melihat seekor kodok. Berani sekali kodok menyapanya, pikirnya begitu. Tapi keteduhan dan ketulusan pandangan kodok membuatnya menjawab.

“aku terluka, manusia itu telah melukai siripku.”
“paus izinkan aku mengobati lukamu, agar kau berenang lagi ke laut lepas”

Ketulusan kodok telah mengugah hati paus. Ini awal berkenalan Kodok dan Paus. Mereka akhirnya saling tahu bahwa mereka adalah seorang pangeran dan seorang putri. Putri paus memiliki panggilan kesayangan “Pope”.

Suatu hari, puteri pope mencium pangeran kodok, seketik menjadi seekor cumi-cumi. Sekarang pangeran kodok sudah dapat berenang di lautan bersamanya. Luka pada siripnya berangsur pulih. Kebahagiaan mulai merasuki relung hatinya.

Mereka berdua menjadi begitu bahagia. Menikmati keindahan lautan. Putri paus senang memiliki teman untuk berbagi. Sedangkan Pangeran Kodok seakan menemukan cahaya baru dari diri Putri Paus. Pangeran Kodok menemukan kebahagian yg utuh di lautan bersama pope. Ini kebahagiaan yg sesungguhnya ia cari, bukan yg di sungai Mempesona. Bersama Pope ia tidak perlu menjaga wibawa, ia dapat menjadi dirinya apa-apa tanpa harus memikirkan orang lain.

Kebahagiaan yang ia miliki yang ia yang dapat rasakan tidak orang untuk orang lain. Bahkan pope pun tidak tahu kebahagiaan dia seperti apa. Tidak ada bentuk nyata seperti halnya di Kerajaan Mempesona.

Tak ingin lagi ia ubah dirinya menjadi kodok, ia tetap ingin menjadi cumi-cumi. Akan tetapi kerajaan Mempesona mulai kehilangan sang pangeran. Tidak ada lagi titah2 yang mengatur.

Pope pun tak ingin melepaskan pangeran kodok kembali ke daratan. Kembali memerintah sungai. Ia ingin merenggut kebahagian ini secara utuh. Pangeran mengatakan akan sanggup hidup di darat dan di laut. Akan menjadi cumi-cumi untuk pope dan akan tetap jadi pangeran kodok bagi sungai Mempesona.

Luka pada puteri pope mulai sirna. Ia mulai dapat mengepakkan sirip. Pangeran Kodok telah mengajarkan dia untuk mampu melepaskan diri dari jeratan manusia. Agar Pope tidak lagi terjaring dan akhirnya terluka. Pope sadar, ia adalah mahluk yg besar, seharusnya ia bisa menjadi mahluk yg kuat. Tapi ia hanya buah ciptaan Yang Maha Kuasa, pasti memiliki kelemahan. Kenaifannya telah sering membuatnya celaka, hingga tertipu dalam jeratan manusia yang ingin membunuhnya.

Tak ia sangka, yang menolongnya dan membantunya hanya seekor kodok. Mahluk yang lebih kecil darinya. Ia sadar tak selamanya besar akan selalu kuat menghadang cobaan dan rintangan. Terkadang setiap mahluk memerlukan bantuan mahluk lainnya dalam mengarungi hidup. Tak selamanya ia menjadi hebat.

Ia bahagia dalam kesederhanaan yang ditawarkan Pangeran Kodok.
Bermain-main diantara trumbu karang yang sudah dinodai manusia bisa menjadi begitu membahagiakan. Dulu ia selalu mengumpat ulah manusia yang telah mengubah laut yang indah menjadi rusak.
Argh,Pope semakin ingin mengecap kebahagiaan itu.

Meski pangeran sering meninggalkan kerajaan, semua tetap berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada yang menyadari bahwa saat itu pangeran sedang berasyik masyuk mengarungi lautan sebagai cumi-cumi. Justru mereka merasakan perubahan yang lebih baik. Pangeran menjadi lebih tenang dalam memerintah, ia semakin menyadari kebesaran Tuhan, ia semakin bijaksana. Ia mulai mengumpulkan kekuatan untuk mewujudkan impian dan mimpi-mimpinya

Pangeran kembali bersemangat menatap hidupnya. Mungkin ini terpengaruh dari kata-katanya sendiri saat menyemangati Puteri Paus. Ia sadar Puteri Paus berada di lain kehidupan dengannya. Tapi tidak ingin ia melepaskan Pope sendiri mengarungi samudera lautan. Ia ingin mendampingi pope.

Setiap hari Pangeran memikirkan cara yang terbaik bagi dirinya, pope dan kerajaannya. Tapi hingga detik ini ia belum jua menemukan. Yang ia sanggup lakukan hanya melakukan kehidupan di dua tempat, kerajaannya yang notabene adalah kewajiban dan laut bersama pope yg merupakan kebahagiaannya.
Pangeran kodok benar-benar merasa bingung, bimbang ia untuk memutuskan untuk kembali menjadi kodok. Baginya sungguh menyenangkan menjadi seekor cumi-cumi. Tak mungkin ia menyalahkan takdir yang telah ditoreh padanya menjadi seorang Pangeran Kodok. Ia harus memerintah kerajaannya. Itu takdir. Tak sungguh sulit ia enyahkan pesona laut yang baru ia lihat. Magnet yang menyedot dirinya untuk selalu bertemu dan menemani Putri Paus.

Pada suatu hari yang cukup cerah, matahari bersinar dengan bersahabat, semilir angin menggoyangkan pohon-pohon kelapa di pinggir pantai. Pangeran Kodok terpaku di bibir pantai, memandang tanpa batas pada laut lepas. Tak ada yang menolak bila dikatakan laut itu memiliki keindahannya sendiri. Tak kalah indah dengan kesegaran air yang mengalir di sungai. Dengan syahdu ia memanggil Putri Paus, hanya dalam hati ia memanggil, ia yakin putri pasti mendengarnya.

“Pope…pope…pope…” panggilnya dalam hati
“Pope aku merindukanmu.”

Seiring dengan panggilan itu ia memanjatkan doa kepada Sang Penguasa Alam, Sang Pemegang Takdir, agar ia dapat terus mencintai Putri Paus. Cinta yang tulus tanpa pengharapan.

Ombak laut bergemuruh seakan mengungkapkan kemarahan. Muncul di permukaan laut wajah Putri Paus yang ia rindukan. Seketika itu Pangerang Kodok berubah kembali menjadi cumi-cumi.

“Cumi, mengapa kamu selalu merindukanku.” Tanya Pope.
“Entahlah.”
“Duniamu sudah indah, mengapa masih terus mencariku.”
“Entahlah.”
“Ah kamu selalu saja menjawab dengan entah.”
“Rindu itu tak kunjung pudar Pope.”
“Tapi rindu itu dapat dikendalikan. Dunia kita lain Cumi. Kamu di daratan aku di lautan.”
“Selama aku bisa menjalankan kedua dunia ini, aku akan terus menjalankannya. Selama mantramu tidak hilang.”
“Apakah orang-orang di kerajaanmu tidak mencarimu?”
“Tidak. Mereka enjoy aja dengan semua keadaan saat ini.”

Di sisi lain Putri Paus merasa heran dengan tindakan Pangeran Kodok. Dia bingung dengan hatinya sendiri. Aneh rasanya bisa mencintai seekor Kodok yang bukan berasal dari bangsanya. Cinta itu benar-benar misteri. Entah pada siapa cinta itu akan berlabuh. Hanya sampai disitu yang mampu Putri Paus terjemahkan dari segala rasa yang ada. Tak sampai akalnya mampu berpikir akankah cinta mereka mampu bersatu.

Mungkin kalau ini sebuah cerita dongeng mereka akan bersatu dan hidup bahagia selamanya. Tapi ini bukan cerita dongeng Cinderella. Ini hanya sebuah kejanggalan hidup, keanehan bagi dunia, seekor paus jatuh cinta pada seekor kodok.

“Cumi, tinggalkanlah aku.” Pinta Pope dengan berat hati.
“Kenapa? Kamu tidak suka dengan keberadaanku disampingmu?”
“Bukan itu. Kamu punya kehidupan lain, dunia lain. Bukan disini tempatmu.”
“Aku tidak mampu meninggalkanmu.”
“Bukan…bukan tidak mampu Pope, tapi belum mampu. Rindu itu sering menyiksaku.”
“Pasti di duniamu sudah hadir seekor Putri Kodok yang cantik jelita?”
“Iya. Tapi apa yang aku rasakan terhadapmu sungguh berbeda dengan apa yang aku rasakan terhadapnya.
“Tapi dia yang nyata bagimu Cumi.”

Pun Pangeran Kodok tak mampu memutuskan untuk meninggalkan Putri Paus. Ia tidak ingin melihat Putri Paus bersedih, kesepian tidak bahagia seperti pertama kali ia bertemu. Tapi segala sesuatu harus ada ujungnya.

“Pope, aku pamit ya. Ada beberapa hal yang harus aku urus di kerajaanku.”
“Iya cumi.”
“I love you.”
“Iya.”
“I’m gonna miss you a lot.”
“hehehehe.”
“Selama aku tidak ada menemanimu, carilah kesenanganmu yah. Jangan merenung aja.”
“Tentu Cumi. Aku akan berenang-renang mengarungi samudera.”
“I’m gonna miss you too.”

Lalu Pangeran Kodok pun kembali ke peradabannya, Sungai Mempesona.

Begitu banyak kesibukan yang harus dilakukan oleh Pangeran Kodok. Ia terus menerus menahan diri untuk tidak datang di pantai dan memanggil Putri Paus. Kerajaan ini sedang tidak dapat ia tinggalkan. Ia sadar harus belajar mengendalikan rasa rindunya. Ia harus bisa memberi kesempatan kepada Putri Paus agar ia bertemu dengan Pangeran Paus.

Dalam doanya ia selalu panjatkan agar Putri Paus selalu sehat, dan segera dipertemukan dengan Pangeran Paus yang akan membahagiakannya. Tak juga rindu itu memudar, semakin kuat dan semakin mendebarkan hati Pangeran Kodok. Ia hanya belajar menahan rasa. Ia sadar tak selamanya cinta itu harus saling memiliki.

Putri Paus tidak sadar kali itu adalah kali terakhir dia bertemu dengan Pangeran Kodok. Sudah berbulan-bulan ia tidak mendengar panggilan Pangeran Kodok di bibir pantai. Ia merindukannya. Tapi apa daya ia tidak bisa ke daratan. Ia hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu. Berharap ada panggilan sayang dari Pangeran Kodok.

Setelah sekian lama, Putri Paus sadar bahwa Pangeran Kodok telah mampu mengambil keputusan untuk meninggalkannya. Ada rasa sedih menyergap hatinya, tapi ia sadar semua akan berlalu karena takdir telah memisahkan cinta mereka.

Putri Paus tetap merasa bahagia karena ia tahu pernah ada sebuah cinta yang indah hinggap di hatinya. Bahwa ia pernah mencintai dan dicintai dengan cara yang paling indah. Ia tidak lagi putus asa dan yakin suatu hari nanti akan ada cinta untuk dirinya sendiri. Akan ada kehidupan baru yang ditakdirkan untuknya.

“Selamat tinggal Cumi-cumiku. Aku akan selalu merindukanmu.” Batin Putri Paus.

Pada belahan bumi yang lain, tempat Pangeran Kodok berada, sayup-sayup ia mendengar perkataan Putri Paus. Pelan dalam hati ia menjawab.

“Aku tidak pergi Pope, tapi membiarkan dirimu menemukan kebahagiaan lain, kebahagiaan yang sepadan dan yang ditakdirkan untukmu. Aku akan selalu mencintaimu.”

( T A M A T )


Salam Surgawi

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates