08/09/10


Rhe




Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk hidup dengan layak. Lahir di keluarga yang utuh dan berkecukupan, bersekolah sampai jenjang yang tinggi, mendapat pekerjaan dengan masa depan yang cerah, berkeluarga, hidup bahagia, dan meninggal dengan sewajarnya. 


Namun bagaimana jika terjadi hal yang sebaliknya pada diri kita? Lahir di keluarga serba kekurangan, tidak dapat bersekolah apalagi mendapat pekerjaan yang layak, kemudian meninggal dengan kondisi sakit karena kita tidak memiliki uang untuk berobat. Lalu kita mulai menawar kepada Tuhan. Kita mulai mempertanyakan kekuasaan Tuhan dalam mengubah nasib seseorang. Dan jika kematian datang, kita mulai marah. Kita mulai menyalahkan Tuhan. Kita mulai saling membenci satu sama lain. 


Kita membenci orang-orang yang ada di sekeliling kita yang tidak membantu meskipun mereka bisa. Kita menjauh. Kita menganggap mereka tidak ada dan kita mulai hidup di dunia kita sendiri. Dunia yang hanya diri kita sendiri yang mampu mengerti. Ali hanyalah seorang remaja yang hidup di dunianya sendiri: motor. Dia lahir di keluarga yang berantakan. Dia tidak dapat bersekolah karena kondisi ekonomi. Masa depannya suram (mungkin tanpa sadar dia sendiri yang membuatnya menjadi begitu). Ibunya meninggal saat dia berusia lima tahun. Setelah itu ayahnya menikah lagi dengan seorang janda beranak lima. Tak lama kemudian beliau meninggal karena sakit. 


Tinggallah Ali dengan ibu tiri dan lima orang saudara tirinya. Sejak saat itulah dia memulai hidup yang keras. Ali tidak bersekolah karena biayanya habis untuk membiayai kelima adiknya. Namun Ali tidak menyerah. Dia mulai mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dan akhirnya dia bisa mencicipi bangku sekolah sampai tingkat menengah atas. Ali adalah anak yang berprestasi, setidaknya sebelum dia bertemu dengan Alan cs, para pembalap motor liar. Alan mengajaknya bergabung dengan kelompoknya karena dia melihat bakat Ali dalam menggeber motor. Ali mulai terjun ke arena balap liar yang biasanya dilakukan pada malam hari saat jalanan sepi dan polisi sedang terkantuk-kantuk di pos masing-masing. 


Namun kegiatan tersebut memiliki sisi positif: dia dapat terus sekolah. Sebelumnya tidak ada yang tahu Ali sering mengikuti balap liar pada malam hari, sampai pada suatu hari ibu tirinya memergokinya sedang melakukan transaksi jual beli motor dengan salah satu teman Alan. Uang yang Ali terima dari memenangi balap liar memang lumayan. Apalagi jika Alan dan kawan-kawannya taruhan. Terbayar lunas biaya uang gedung sekolahnya. Ibu menerjang maju dan langsung memaki-maki mereka dengan kata-kata yang tidak pantas. Ali mengambil sebilah kayu dan dipukulkannya tepat di mulut ibunya yang sedang mengoceh tidak keruan. Seketika itu pula darah membanjir. Dia tertawa. Tiba-tiba ibunya tidak sadarkan diri. Pingsan. Atau mati? Mereka langsung memeriksa denyut nadinya dan saling berpandangan. Masih ada denyut nadi meskipun hampir tidak teraba. 


Mereka membawanya ke sebuah rumah sakit dan meninggalkannya disana. Ali terus hidup dalam dunianya selama beberapa tahun sampai dia bertemu dengan Asih, seorang suster yang bekerja di sebuah rumah sakit. Dia tidak cantik. Juga tidak jelek. Yah, lumayan lah, untuk dijadikan isteri. Asih bukanlah orang yang memandang status sosial orang lain. Dia begitu terbuka pada siapa saja, termasuk pada Ali. Sifatnya yang keibuan bak oase bagi Ali yang kekurangan kasih sayang dari ibu kandungnya. Nasibku tidak begitu berbeda dengan Ali, tokoh imajiner dalam novel terbaruku. Kami sama-sama hidup di dunia kami sendiri. Ali dengan dunia motornya dan aku dengan dunia menulisku. Aku sulit berkomunikasi dengan orang lain karena aku mengidap penyakit. 


Kami sama-sama kehilangan ibu saat berumur lima tahun. Bedanya, keluargaku adalah keluarga yang serba berkecukupan. Ayah adalah seorang anggota dewan di kota dan ibu adalah seorang diplomat. Ibu tewas saat bertugas. Sampai sekarang tidak ada satu anggota keluargapun yang memberitahukan penyebabnya padaku. Aku beruntung ayahku tidak menikah lagi dengan wanita lain. Cinta ayah yang sangat besar kepada ibu menahannya untuk kembali mencari pendamping hidup yang baru. Selain itu ayah juga cukup sibuk dengan tugasnya sebagai wakil rakyat. Aku? Lagi-lagi aku hanya dapat menuangkan semua isi hatiku di depan laptop. Aku menulis. 


Apapun yang bisa kutulis akan aku tulis. Tidak ada yang dapat mengerti betapa asyiknya menulis. Aku bisa lupa segalanya saat ide-ide brilian muncul di otakku. Semua temanku menjauh. Tidak masalah. Aku punya banyak teman imajiner yang bisa kuciptakan sendiri di setiap cerpen-cerpenku. Bahkan aku bisa menciptakan sosok ibu yang kuidam-idamkan! Aku bukanlah anak yang menderita kelainan. Ini hanyalah penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya jika aku mulai mencoba berinteraksi kembali dengan teman-temanku. Teman di sekolah, tempat les, bahkan tempat ibadah. Namun lagi-lagi mereka tidak mengerti dengan keadaanku. Aku adalah remaja pendiam yang lebih sering berimajinasi. 


Akhirnya mereka menjauh kembali sedangkan aku hanya bisa tersenyum kecut. Masa depanku cerah. Aku dapat memiliki apapun yang kuinginkan karena ayah selalu membanjiri rekening bankku dengan uang. Terkadang aku memanfaatkannya untuk mendapatkan teman. Kubawa teman-temanku ke sebuah restoran mewah dan membiarkan mereka memesan ini-itu. Aku yang akan membayar semua makanan yang masuk ke perut mereka. Biasanya mereka menjadi akrab kepadaku, namun beberapa hari kedepan mereka mulai menjauh lagi. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kecut. Aku sangat idealis. Sangat sulit bagi orang lain untuk mengubah pendirianku, atau hanya sekedar membujukku. Aku akan mendebat semua opini orang lain karena merasa pendapatku paling benar. 


Namun aku tidak dapat berkutik saat berhadapan dengan Rhe, teman sekelasku. Rhe bukan anak yang pandai. Dia tidak pernah menduduki ranking di kelas. Namun kemampuannya dalam berdebat terbukti hebat. Dia bisa melawan opini-opiniku dan membujukku untu melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Rhe adalah gadis feminim namun selalu penuh dengan kejutan. 
Matanya bulat dan sangat cantik jika dia mulai menggodaku dengan kedipan matanya. Tubuhnya cenderung mungil jika dibandingkan denganku, namun jangan meremehkannya jika sedang bertanding basket. Tingkahnya sedikit kekanak-kanakan dan manja. Itulah sebabnya mengapa aku selalu ingin melindunginya. Apakah aku jatuh cinta kepada Rhe?
 Tidak. Aku hanya menganggapnya sebagai adikku. Tidak lebih. Lagipula aku tidak ingin berpacaran sebelum menamatkan studiku. Aku tidak pernah memberikan perhatian khusus padanya; hanya sekedar mengetahui keadaannya sudah membuatku tenang. Aku adalah teman curhatnya; itulah sebabnya aku mengetahui beberapa rahasia Rhe. Rhe lebih sering memberikan perhatiannya padaku. Dialah yang membujukku untuk lebih bersosialisasi dengan teman-teman yang lain. Dia juga sering menggodaku dengan celotehan riang dan kedipan matanya yang terkadang membuatku jengah. Tanggal lahir kami sama; itulah mengapa kami sering bertukar kado. 


Tahun lalu aku memberinya sepasang sepatu yang kubeli di Australia sedangkan Rhe memberiku sebuah jam tangan lokal yang selalu kupakai hingga sekarang. Apakah aku pernah merasakan cemburu? Tidak. Tepatnya belum. Atau mungin tanpa kusadari aku sudah pernah merasakannya? Saat itu aku dan Rhe berencana pergi ke toko buku bersama. Aku menelepon sopirku untuk menjemputku dan Rhe di sekolah. Tiba-tiba terdengar alunan musik dari saku rok Rhe. “Halo,” sapa Rhe dengan suara manja seperti saat dia menerima teleponku. Tak lama kemudian terdengar gelak tawa dari seberang. Entah apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya membuat Rhe ikut tertawa.


Mereka tampak akrab. “Siapa Rhe?” tanyaku saat dia mengembalikan ponselnya di tempat semula. Rhe menggelengkan kepalanya.
 “Bukan siapa-siapa. Lagian kamu tidak akan tahu meskipun kujelaskan,” jawab Rhe. Seketika itu aku merasa ada yang berbeda dengan Rhe. 
Dia merahasiakan sesuatu yang tidak penting, namun dengan mudahnya dia menceritakan rahasia besarnya padaku. Sekali lagi aku bertanya padanya, kali ini dengan sedikit nada memaksa. “Dia teman masa kecilku. Namanya Alvin. 


Aku… aku pernah mempunyai hubungan dengannya, tapi… ah, sudahlah. Aku ingin melupakannya,” kata Rhe. Saat itu perasannku berubah menjadi aneh. Perasaan tidak rela jika Rhe berhubungan lagi dengan teman masa kecilnya dan ingin melindungi Rhe agar tidak disakiti bercampur menjadi satu. Apakah itu yang dinamakan cemburu? Aku dan Rhe memiliki hobi yang sama: menulis. Bedanya, aku lebih tertarik dengan dunia fiksi sedangkan Rhe lihai dalam membuat essay. Dia sering memenangi kontes-kontes yang membuat lemarinya penuh dengan trophy penghargaan. 


Namanya sering tercantum dalam koran harian bergengsi di kotaku. Aku pernah ditantangnya untuk menulis essay. Hasilnya? Nihil. Gagal. Aku sama sekali tidak pandai dalam menggunakan diksi yang tepat untuk mengemukakan gagasanku. Aku menulis hanya sekedar untuk mengisi waktu luangku. Tidak pernah terpikir olehku untuk mengirimkan karya-karyaku ke penerbit atau majalah. 


Sampai suatu hari diam-diam Rhe mengumpulkan semua cerpen yang pernah kubuat dan mengirimkannya ke sebuah penerbit. Hasilnya? Namaku mulai dikenal karena kumpulan cerpenku diterbitkan. Aku sungguh berterimakasih kepada Rhe atas usahanya membantu menerbitkan cerpen-cerpenku. 
Sebenarnya aku tidak terlalu suka jika ada orang lain yang membacanya. Aku banyak menumpahkan kisah kelamku disana. 
Namun aku tidak bisa mendebat lagi saat Rhe mengatakan, “Tidakkah kau senang jika ada orang yang terinspirasi dengan karyamu?” dengan matanya memandangku dengan tajam. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. 


Aku tidak dapat berkutik lagi. Benar juga apa kata Rhe. Siapa tahu ada orang yang terinspirasi dengan karyaku dan dapat mengambil pelajaran darinya. Tiba-tiba tangan Rhe mendarat di lenganku. Sebuah cubitan kecil kurasakan. “Bukan itu yang kumaksudkan. Siapa tahu ada orang yang terinspirasi dengan karyamu kemudian berminat untuk menjadikannya sebuah film!” kata Rhe. Mulutku membulat. Oh, begitu rupanya. “Dengan begitu aku bisa memintamu untuk menraktirku ice cream setiap hari dengan honormu!” Aku memandang matanya yang berkedip dengan nakal. Dia tertawa. Manis sekali. Aku ikut tertawa. “Aku akan melakukannya kalau itu maumu,” jawabku. Rhe mengacungkan kedua ibu jarinya. Saat itu aku seperti ingin meledak karena senangnya. 


Rhe sangat tulus bersahabat denganku. Dengan sekali tarikan aku merengkuhnya dalam pelukanku. “Terimakasih, Rhe. Terimakasih karena kau mau bersahabat denganku,” kataku. Rhe sama sekali tidak menolak pelukanku. Dia hanya mengangguk-angguk. Sejak saat itu aku selalu berdoa setiap malam agar Tuhan menjaganya. Aku tidak ingin Rhe-ku bersedih. Aku ingin melihat senyumnya selalu terkembang. Aku akan selalu melindunginya. Tidak ada seorangpun yang mampu menyakiti Rhe-ku sayang. Rhe tidak berangkat sekolah setelah aku memeluknya kemarin. Aku langsung menghubunginya. Kelegaan kurasakan saat mendengarnya baik-baik saja. Hanya sedikit kelelahan menuntutnya untuk beristirahat sementara. Tidak ada yang mampu membuatku tersenyum pada hari itu. Tidak seorangpun. Konsenterasiku menghilang entah kemana. 


Pikiranku hanya tertuju pada Rhe. Tuhan, tegakah Kau membuat Rhe-ku sakit setelah semua perbuatan baiknya yang dia lakukan untukku? Aku pulang lebih awal. Tidak kupedulikan lagi mata pelajaran yang akan diajarkan selepas istirahat kedua nanti. Aku harus bertemu dengan Rhe sekarang juga. Tapi betapa kagetnya aku saat mendapati rumahnya kosong. Kedua pembantunyapun tidak ada. Firasat buruk mulai menghantuiku. Aku segera menghubungi Rhe. “Halo.” “Rhe?” “Ini siapa ya?” Aku heran sejenak. “Ini Rhe?” “Maaf, saya Ria, adiknya. Ini siapa?” “Saya teman Rhe.” “Maaf mengejutkanmu, Mas. Tapi mbak Rhe baru saja meninggal.” “Apa? Bukankah tadi dia baik-baik saja? Bukankah tadi dia masih mengangkat telepon saya?” “Ya, Mas. Mbak Rhe memang sempat menerima telepon dari Mas. Tapi setelah itu kondisi mbak Rhe semakin menurun. 


Denyut nadinya tidak teraba lagi. Usaha dokter untuk melakukan resusitasi nihil.” Kepalaku seperti dipukul dengan godam. Tuhan… apa sebenarnya yang terjadi pada Rhe-ku? Kenapa Kau mengambilnya dariku? Aku segera menanyakan lokasi pemakaman dan meluncur kesana. Pikiranku kacau. Tidak perlu waktu lama untuk menemukan lokasi pemakaman Rhe yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumahnya. Aku mengedarkan pandanganku. Tidak ada satupun orang di pemakaman itu. Kulangkahkan kakiku dengan cepat, secepat mataku mencari nama Rhe di batu nisan yang berjajar. Aku terus mencari, namun hasilnya nihil. Aku terduduk di tanah dengan kedua tangan menutupi wajahku. Air mataku menetes tanpa sanggup kutahan. 


Tuhan… kenapa aku tidak menemukan makam Rhe? Apakah Kau juga tidak mengijinkanku untuk bertemu dengannya untuk terakhir kali? Bahuku terguncang karena tangis. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. “Yo…” Aku masih menangis. “Rio… Jangan menangis lagi. Aku masih disini.” Seketika itu pula aku mengangkat kepalaku. Kudapati Rhe sedang berjongkok di sampingku. Mata bulatnya menatapku. Bibirnya terulas senyum. Di belakangnya berdiri Ria, adik Rhe. Mulutku kontan menganga. Apa-apaan ini? “Dengan begini aku yakin kalau kau benar-benar menyayangiku, Yo,” kata Rhe. Mulutku masih menganga. Rhe menyerahkan sebuah kotak berpita biru padaku. “Selamat ulang tahun Rio-ku sayang,” katanya. Aku mengusap air mataku dan memeluk Rhe dengan erat. Ah… Ka-Rhe-nina-ku sayang… Kau memang penuh dengan kejutan!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates