22/07/10

Delapan Kebohongan Sang Ibu

Sebuah kisah dari seorang sahabat

Semua orang percaya bahwa kebohongan akan membawa seseorang terjerumus dalam penderitaan. Namun kisah ini melukiskan sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna yang sebenarnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata hati kita dan terbebas dari penderitaaan.

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil, saya terlahir sebagai seorang ank laki laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, sering kali kami kekurangan.

Ketika makan, Ibu sering memberikan porsi nasinya untukku, sambil memindahkan nasi ke dalam mangkukku, Ibu berkata, “Makanlah, nak. Ibu tidak lapar.” (Kebohongan ibu yang pertama).

Saat saya mulai tumbuh dewasa, Ibu yang gigih sering meluangkan waktu yang senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah kami. Ibu berharap dari ikan hasil pancingannya, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan anak yang sangat disayanginya.

Sepulang dari memancing, Ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu saya memakan sup ikan tersebut, Ibu duduk di sampingku dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang, yang merupakan sisa dari tulang ikan yang kumakan.

Melihat Ibu seperti itu, saya terharu dan menggunakan sendokku untuk memberikan daging ikan kepada Ibu. Tetapi Ibu dengan cepat menolaknya, Ia berkata, “Makanlah, nak. Ibu tak suka makan ikan” (Kebohongan Ibu yang kedua).

Ketika saya dududk di bangku SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakak saya, Ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel. Hasil tempelan membuahkan sedikit uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kami.

Di kala musim dingin tiba, saya bangun dari tempat tidurku. Melihat Ibu masih bertumpu pada lilin kecil dengan gigih melanjutkan pekerjaan menempel kotak korek api.

Saya berkata, “Ibu, tidurlah. Sudah malam dan besok pagi Ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata, “Cepatlah tidur, nak, Ibu tidak lelah.” (Kebohongan Ibu yang ketiga).

Ketika ujian tiba, Ibu meminta cuti bekerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Saat hari sudah siang, Ibu yang tegar menunggu saya di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu segera menyambutku dan menuangkan the yang telah disisapka dalam botol yang dingin untukku.

Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang Ibu yang jauh lebih kental.Melihat keringat membasahi sekujur tubuh Ibu, saya segera memberikan gelasku untuk Ibu dan menyuruhnya minum. Ibu berkata, “Minumlah, nak. Ibu tidak haus.” (Kebohongan Ibu yang keeempat).

Setelah kepergian ayah tercinta karena sakit, Ibu yang malang harus berperan sebagai seorang ayah juga. Beban yang harus dipikul Ibu semakin berat. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, Ibu harus dapat membiayai hidup keluarga. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga kami yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hati, yang tingggal dekat rumah kami.

Ia membantu Ibu dalam mengatasi masalah kecil maupun besar. Tetangga yang melihat kehidupan kami yang begitu sengsara, menganjurkan agar Ibuku menikah lagi. Namun Ibu yang keras kepala tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata, “ Saya tak butuh cinta.” (Kebohongan Ibu yang kelima).

Setelah kami semua tamat sekolah dan bekerja, Ibu yang sudah tua telah pensiun. Tetapi Ibu tidak mau. Ia rela pergi ke pasar setiap pagi untuk berjualan sedikit sayur, memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakak dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup Ibu. Tetapi Ibu bersikukuh tidak mau menerima pemberian tersebut. Ibu berkata, “Saya punya uang.” (Kebohongan Ibu yang keenam).

Setelah lulus dari S1, saya melanjutkan ke S2 dan memperoleh gelar master di universitas ternama di Amerika berkat beasiswa dari suatu perusahaan. Akhirnya saya bekerja di perusahaan tersebut dengan gaji ynag lumayan tinggi. Saya bermaksud membawa Ibu untuk menikamti hidup di Amerika. Tetapi Ibu yang baik hati tidak mau mereptkan anaknya. Ia berkata padaku, “ Ibu tidak terbiasa.” (Kebohongan Ibu yang ketujuh).

Setelah memasuki usia tua, Ibu terkena penyakit kanker lambung dan harus dirawat di rumah sakit. Saya yang berada jauh di seberang samudra atlantik segera pulang dan menjenguk Ibunda tercinta. Saya melihat Ibu tua yang terbaring lemah di ranjangnya. Senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya.

Terlihat dengan jelas betapa sakit itu menjamahi tubuh Ibuku sehingga ia kelihatan lemah dan kurus kering. Dengan air mata yang berlinang kutatapi Ibuku. Hati ini tersa perih sakit sekali melihat Ibu yang kusayangi dalam kondisi seperti ini. Tetapi Ibu dengan tegar berkata, “Jangan menangis anakku, Ibu tidak sakit.” (Kebohongan Ibu yang kedelapan). Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, Ibu menutup mata untuk selamanya.

Kisah ini membuat kita tersentuh dan hendak mengucapakan “Terima Kasih, Ibu” Tetapi…sudah berapa lamakah kita tidak menelepon orang tua kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang bincang dengan orang tua kita? Di tengah tengah aktivitas kita yang padat, kita selalu memiliki beribu alas an untuk meninggalkan orang tua kita yang kesepian.

Kita selalu melupakan papa dan mama yang berada di rumah. Pada umumnya kita lebih memperdulikan pacar, suami/istri kita. Kita selalu ingin mengetahui kabar dari pasangan hidup kita.

Mencemaskan apakah dia sudah makan, apakah dia bahagia berada di sisi kita dsb. Namun apakah kita pernah mencenaskan kabar dari orang tua kita? Berusaha menciptakan kebahagiaan dalam sisa sisa hidup mereka? Pada saat kita masih berkesempatan membalas budi orang tua kita, lakukanlah yang terbaik. Percayalah! Kelak kita tak akan menyesalinya. Percayalah! Kelak kita tak akan menyesalinya….

Untuk Teman'' HSG,Semoga Senang Dengan Kiriman Dari Kita,Tetap Semangat,Jangan Pernah Bosan Untuk Terus Belajar & Membaca Bersama Di Heavenly Story Group.
Salam Surgawi.

Posted By: Hong HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-July 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates