Kami berjalan cepat menuju toilet begitu mendapat laporan dari satpam kalau Delia ditemukan pingsan di sana.
Di depan toilet sudah berkerumun beberapa orang pegawai yang berusaha merangsek masuk. Melihat kami datang, mereka menyeruak ke samping untuk memberi jalan.
Di bawah sana, di dekat wastafel, tergeletak sosok Delia dalam keadaan tak sadarkan diri. Sisa-sisa muntahan tampak berceceran, mulai dari wastafel hingga lantai di mana ia tergeletak. Aku berlutut untuk memeriksa keadaannya. Nadinya berdenyut lemah saat kusentuh lehernya.
“Panggilkan ambulans!” seruku, pada kerumunan pegawai di pintu.
Bu Nanik memangku kepala Delia agar posisinya lebih tinggi, supaya ia dapat bernapas dengan baik. Seorang pegawai membawakan minyak angin yang segera kuoleskan pada bagian bawah hidung dan pelipis Delia untuk memberikan rasa dan aroma panas. Kupijat-pijat juga lengan dan kakinya agar ia terjaga. Tetapi, Delia tetap tak sadarkan diri. Dahinya benjol dan berdarah sedikit, mungkin karena terbentur saat jatuh tadi.
Satya –bos kami– datang dengan tiba-tiba di toilet itu. Membuat kerumunan pegawai buyar dalam hitungan detik. Kami menengadah ke arahnya. Wajah lelaki yang juga sepupuku itu kelihatan datar-datar saja memerhatikan bagaimana Delia terkapar. Seakan-akan ia tidak pernah memanggil wanita itu ke ruangannya beberapa saat yang lalu. Memarahinya habis-habisan, lalu menjatuhkan surat peringatan keempat padanya tanpa ampun.
Ya. Delia baru saja menerima vonis yang membuat dirinya harus segera keluar dari perusahaan ini, jika tidak mau dipecat tanpa pesangon. Ini merupakan keputusan final perusahaan terhadap wanita berusia 33 tahun atas segala prestasi yang tidak memuaskan selama bekerja di perusahaan kami.
Sekitar 15 menit kemudian, ambulans datang. Aku berharap Satya akan mengatakan atau menyatakan sesuatu atas perkara ini. Tetapi, seperti yang sudah kuduga, ia diam saja memerhatikan bagaimana kami berjalan tergesa di sisi brankar yang membawa Delia di atasnya. Kami ikut masuk ke dalam ambulans untuk mengurus keperluan Delia.
Aku tidak tahu apakah karena Satya masih menyimpan kekesalan yang begitu luar biasa pada seorang Delia, atau karena memang watak aslinya demikian sehingga Satya tampak begitu tega di mataku. Tapi, kalau dipikir-pikir, Delia memang keterlaluan. Ia telah membuat Satya terlunta-lunta di Lombok pada saat menghadiri undangan kewirausahaan di sana.
Oh, ya, ampun... betapa marahnya dia. Aku bisa mengerti betapa paniknya dia saat meneleponku pada hari Jumat kemarin. Ia sudah sampai di Hotel Grand Emerald pada pukul 8 malam waktu Lombok. Ia terpaksa berangkat hari Jumat malam dari Surabaya karena penerbangan pada Sabtu pagi sudah penuh. Sedangkan esoknya ia harus mengisi acara ceramah pada sesi kedua.
Aku bisa membayangkan kemarahannya. Satya baru saja tiba dari Singapura, belum sempat pulang ke rumah. Ia sudah harus pergi memberikan pengalamannya menjadi pengusaha waralaba yang sukses pada seminar marketing bagi para pemula di Lombok. Ia lelah, tapi masih memiliki semangat untuk menularkan ilmunya. Tetapi, apa yang diperolehnya adalah kekacauan. Delia adalah sumber kekacauannya itu.
Sebenarnya, Satya tidaklah sekasar itu. Ia lebih menjurus untuk selalu bersikap tegas, serius, dan memegang tinggi komitmen. Tak heran, di usianya yang baru 30 tahun, ia sudah memiliki semuanya. Investasi, prestasi, dan prestise. Ia memiliki jaringan waralaba untuk bakso dan bebek goreng yang tersebar di seluruh negeri. Serta sebuah pabrik pengalengan ikan warisan ayahnya yang menjadi cikal bakal perusahaan kami sekarang ini.
Satya bukanlah tipe orang yang cukup sabar. Ia menginginkan semuanya berjalan dengan cepat, tepat, sesuai kesepakatan bersama. Ia tidak akan senang, jika ada sesuatu yang keluar dari komitmen itu. Lebih-lebih, jika tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal.
Dan Delia sudah melewati batas kesabarannya. Bukan sekali ini Satya sudah dibuat keki oleh wanita itu. Tiga bulan lalu, ia hampir gagal menggelar pameran bisnis UKM di Malang karena tidak mengantongi izin dari pihak pemda setempat. Padahal, Satya sudah menandatangani proposalnya tiga bulan sebelumnya. Setelah diselidiki, ternyata file itu masih tersimpan di laci meja Delia, tertumpuk berkas-berkas lain yang tidak berguna.
Kami juga pernah kena denda besar dalam perpajakan karena terlambat setor. Masalahnya, berkas itu tidak sampai ke tangan bagian akunting untuk diserahkan ke kantor pajak. Usut punya usut, Delia menghilangkannya. Ia tidak ingat di mana terakhir kali ia meletakkan berkas itu. Yang jelas, ketika kami bantu mencarinya, amplop itu tidak pernah ada. Jadi, terpaksa kami lembur untuk mengerjakan sekali lagi. Dan kena denda, tentunya.
Dan masih ada beberapa kesalahan yang membuatnya menjadi makin parah di depan kami. Delia kerap menghilang di antara jam kerjanya. Jika melewati hari libur panjang, maka ia akan menambah dua hari ekstra berikutnya dengan alasan tidak mendapat tiket. Jika Satya marah, dengan mudah ia akan bilang pada Bu Nanik untuk memotong jatah cuti tahunannya.
Perangainya itu menjadikan hambatan besar bagi kami rekan sekerjanya. Terutama jika ada hal-hal yang membutuhkan hubungannya dengan Satya yang tidak selalu berada di tempat. Jika Delia sedang ’kumat’ begitu, maka akulah yang akan dijadikan sasaran mereka untuk menghubungkan mereka dengan Satya. Dan mengerjakan pekerjaannya yang amburadul, tentunya.
Aku tidak mengerti apa yang menyebabkan Delia mampu bertahan di sini sedangkan hampir semua rekan kerjanya sudah tidak welcome terhadap kehadirannya. Bagaimana mungkin seseorang yang dihadapkan pada tekanan psikologis seperti itu masih bisa melenggang tenang mengenakan baju kebangsaannya: blus dengan kerah turtle neck, mini skirt, dan blazer-blazer yang modis. Dengan make up yang termasuk menor untuk wanita seumurnya, Delia tampak percaya diri sekali. Seakan tidak ada masalah antara dirinya dengan kantor ini. Kalau bukan bebal, maka pastilah ia bermental baja.
Kami menunggu perawatan Delia cukup lama sampai ia sadar sekitar pukul satu siang. Ia demikian lemah saat membuka matanya yang kelihatan kosong memandang ke arah langit-langit. Delia membisu seakan-akan mulutnya telah terkunci rapat. Aku menghela napas hampir bersamaan dengan Bu Nanik.
Ia pasti sedang mengalami shock yang luar biasa.
Akhirnya aku dan Bu Nanik berbagi tugas. Aku ke rumah Delia untuk mengambil beberapa pakaian dan barang-barang pribadi yang dibutuhkannya, sementara Bu Nanik akan menunggui wanita itu sampai aku kembali.
“Apa pun yang bisa menghubungkan kita dengan keluarganya, Ran, harus kautemukan,“ itu pesan Bu Nanik padaku.
Aku mengerti, oleh sebab itu aku harus bergegas menuju apartemen tempat Delia tinggal. Memang agak mengherankan kalau sekretaris berprestasi kurang baik seperti Delia mampu tinggal pada sebuah apartemen mewah sekelas Apartemen Satelit. Di mana untuk memasuki apartemen itu saja harus melewati barisan pengamanan seperti di hotel-hotel bintang lima. Bukannya berburuk sangka. Sebesar apa pun gaji Delia, rasanya belum cukup layak untuk tinggal di tempat seperti ini.
Apartemen ini mirip dengan hotel. Ada lobi, minimarket, restoran, children ground, salon & spa, juga tempat menjual majalah. Aku menuju resepsionis yang sudah tersenyum padaku saat aku berjalan ke arahnya. Dengan ramah ia memperkenalkan dirinya, lalu menanyakan maksud kedatanganku.
Sudah pasti aku berterus terang mengharapkan bantuan mereka agar dapat masuk ke dalam apartemen Delia. Karena ketidaklaziman ini, aku harus menjalani beberapa prosedur ruwet yang akhirnya mempertemukan aku dengan manajer pengelola yang bertugas saat itu. Aku harus mengulang kembali ceritaku sebelum akhirnya diizinkan membuka pintu apartemen Delia didampingi manajer pengelola itu dan seorang anggota sekuriti.
“Bu Delia sakit apa, Bu?” Pak Harso, manajer yang mengawalku, bertanya ketika kami berada di dalam lift.
“Kurang tahu, ya, karena masih diobservasi. Hasil laboratoriumnya juga belum keluar. Saya diminta mencari keluarganya, Pak.”
“Oh, begitu. Mungkin agak susah juga bagi Ibu,” di luar dugaan, Pak Harso mengatakan sesuatu yang mengejutkanku.
“Mengapa demikian?”
“Selama tinggal di sini, kami hampir tidak pernah melihat Bu Delia kedatangan tamu. Beliau juga tidak pernah bergaul dengan para penghuni apartemen lainnya. Sama seperti teman-temannya yang terdahulu.”
“Teman-temannya terdahulu?” aku mengerutkan alis.
Pak Harso tersenyum sopan seraya mengangguk.
“Para sekretaris almarhum Pak Yudha memang tinggal di sini. Ada tiga seingat saya. Bu Marissa, Bu Nadia, dan Bu Delia.”
Oh, ya, ampun… aku malah baru tahu. Memang ada rumor miring mengenai kehidupan Pak Yudha, ayah Satya itu. Wajahnya memang tampan, bertubuh tinggi tegap. Ia adalah mantan pelaut yang sukses membuka usaha penangkapan, pengalengan, dan pembekuan ikan. Penampilannya flamboyan, dan suka sekali pada wanita-wanita cantik dan bertubuh seksi. Sangat berbeda dengan Satya yang keras, tegas, dan fokus pada segala hal yang membuatnya sukses di usia yang belum mencapai tiga puluh tahun.
Aku tidak tahu mengapa mereka berdua begitu berbeda. Satya sangat bersemangat, sedang ayahnya angin-anginan. Satya penganut klan jomblo, ayahnya adalah seorang casanova. Atau mungkin karena Satya anak angkat Pak Yudha? Tapi, anehnya, kalau memang Satya seorang anak angkat, mengapa wajah dan perawakannya demikian mirip dengan Pak Yudha? Kecuali kulit Satya lebih putih dibandingkan ayahnya yang mantan pelaut itu.
Pintu terbuka. Aroma pengap langsung menyerbu keluar menandakan ruangan ini kurang mendapatkan udara segar, atau jarang dibersihkan. Pak Harso dan aku masuk ke dalam, sedangkan petugas sekuriti itu berdiri di ambang pintu.
Aku berjalan ragu-ragu sambil memperhatikan keadaan yang menurutku tidak nyaman karena keadaan cukup gelap. Pak Harso menyalakan lampu. Sekarang aku bisa melihat jelas pada apartemen yang ditata minimalis ini. Sayangnya, berantakan sekali. Piring dan gelas kotor tergeletak asal saja di atas meja, rak teve, dan meja telepon. Tisu bekas berserakan.
Pak Harso kemudian mengarahkan aku ke ruang tidur Delia. Ternyata sama saja berantakannya, dan terus terang membuatku malu sebagai wanita. Ranjangnya acak-acakan, bantalnya digulung oleh bed cover yang menjuntai ke bawah ranjang. Baju-baju kotornya juga bergantungan di kapstok. Handuk, sandal jepit, dan kimononya berserakan di atas lantai.
“Silakan, Bu, saya menunggu di sini saja,“ dengan sopan Pak Harso keluar. Mungkin ia tidak mau aku terlihat kikuk dengan keadaan yang porak- poranda itu. Aku berterima kasih padanya.
Kupungut handuk dan kimononya, lalu kuletakkan pada sebuah ember di kamar mandi. Demikian juga dengan baju dalamnya yang tergantung pada shower, kupindahkan ke dalam ember yang sama. Kubuka lemari bajunya yang sama berantakan isinya. Sungguh mengherankan, ada seseorang yang sedemikian jorok.
Kuambil pakaian dan baju dalam seperlunya. Lalu kutarik sebuah travel bag dari atas lemari yang segera saja menebarkan debu yang membuatku terbatuk-batuk. Jatuh bersama travel bag itu beberapa berkas yang langsung bertebaran di atas lantai.
“Ibu tidak apa-apa?“ Pak Harso melongok. Ia lalu tersenyum canggung melihatku mengibas-ngibaskan tanganku ke udara untuk menghalau debu. Dengan penuh inisiatif, lelaki itu meraih remote dari atas meja rias dan menyalakan AC untuk menetralkan hawa yang kurang nyaman ini.
Pak Harso kemudian menyodorkan sebuah blister obat yang sudah kosong yang diambilnya dari meja rias. Exelon, itu yang terbaca di antara kepingan bungkus aluminium yang bisa kubaca.
“Barangkali diperlukan, Bu,“ ujarnya, sopan.
Berkas-berkas yang berserakan itu juga kumasukkan kembali dalam sebuah map yang ikut terjatuh, lalu kujadikan satu ke dalam travel bag. Setelah semuanya kupandang cukup, aku dan Pak Harso sama-sama menandatangani surat pernyataan serah terima barang dari apartemen Delia. Sayangnya, aku tidak menemukan laptop atau PC yang dapat kuambil datanya.
Ketika sore itu aku tiba kembali ke rumah sakit, aku dikejutkan oleh laporan Bu Nanik mengenai keadaan Delia saat kutinggal tadi. Katanya, Delia berteriak-teriak histeris seperti orang gila. Delia tidak dapat mengendalikan dirinya sampai ia harus dipegangi banyak orang. Ia tidak mengenali Bu Nanik yang berada di dekatnya. Bahkan, ia tidak mengenali dirinya sendiri.
“Dia terus meminta cermin dan mengatakan ingin kembali... ingin kembali. Tidak tahu mau kembali ke mana. Sudah kayak gini, Ran,“ cerita Bu Nanik, sambil menyilangkan telunjuknya di dahi.
Aku merasa tidak enak seketika. Apakah ia ingin kembali bekerja? Vonis Satya atasnya merupakan pukulan telak yang bisa menghabisi jaminan masa depannya. Bagaimana tidak? Untuk seorang sekretaris dengan kategori lemot begitu, Delia memiliki gaji besar. Hampir setara dengan gaji manajer senior!
Bu Nanik bangkit dari duduknya.
“Mau ke mana, Bu?“ tanyaku tidak enak melihatnya seperti mau kabur begitu. Wanita berusia lima puluh tahun itu tertawa. Ia mengatakan harus kembali ke kantor karena Satya mendesak dibuatkan ini dan itu. Bu Nanik juga mengatakan, Satya akan menyusul ke rumah sakit, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya. Oh, sempurna sekali.
Lalu aku ditinggal sendirian. Aku mulai menyibukkan diri dengan menyelesaikan beberapa masalah Delia. Mengatur bajunya di loker kecil di bawah mejanya, menebus beberapa obat di apotek dan beberapa administrasi lainnya yang cukup melelahkan. Aku harus mondar-mandir ke sana-sini sampai akhirnya semuanya selesai selepas magrib. Aku baru bisa duduk beristirahat pada sebuah kursi di depan kamar Delia.
Kuangkat wajahku saat aku mencium aroma parfum yang amat kukenal menebar harum di sekitarku. Satya berjalan mendekat dengan gayanya yang khas. Tegak, lurus, dan tanpa suara. Jika saja ia tidak mengenakan parfum Bvlgari-nya, pasti aku tidak akan menyadari kehadirannya. Tanpa bicara, diletakkannya sekotak makanan yang dari etiketnya aku tahu itu makanan Jepang kesukaanku. Kemudian ia berjalan menuju ruang perawat. Memberikan kesempatan padaku untuk makan.
Ya, ampun... aku baru sadar betapa perihnya perutku. Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan aku hanya berbuka dengan air mineral untuk membatalkan puasaku. Beef teriyaki ini rasanya benar-benar super. Ebi katsu, tepanyaki dan ekado-nya juga spicy serta crunchy... oh, yummy... yummy!
Saat aku tengah asyik makan, Satya sudah balik lagi dan membuatku buru-buru menyesap jus stroberi dengan float es krim vanilla. Enak, sih. Tapi, akan lebih enak lagi kalau tidak ada Satya berdiri di sana. Dia seakan memberikan tekanan mental manakala berada di sekitarku. Rasanya aku dituntut untuk selalu benar dan beres di hadapannya.
Ia memandangku dengan ekspresi datar saja.
“Makanlah. Jangan berhenti karena aku ada di sini,“ katanya, sambil duduk kembali di sisiku. Aku merasa tidak nyaman memperhatikan beef teriyaki di pangkuanku yang masih separuh itu. Aroma minyak wijen dan saus kikkoman yang bergelimang di antara irisan daging dan bawang bombay.... Oh, tidak!
“Aku membuatmu kehilangan selera, ya?“
Makin tidak menyenangkan saja. Separuh menyesal, kututup kotak untuk menghindari aroma yang menggoda.
“Tidak juga... perutku masih beradaptasi setelah sekian lama kosong,“ jawabku. Betapa munafiknya!
“Puasa?“
Aku mengangguk.
“Kau persis Tante Dian,“ ia menyebut almarhumah ibuku tanpa ekspresi. Rasanya acara makanku memang harus selesai. Seleraku lenyap seketika.
“Aku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin Delia bisa lupa akan segala sesuatu mengenai dirinya?“ Satya bersandar pada bangku, lalu menoleh padaku, “Kau percaya itu?“
Mengapa tidak? Aku membatin. Seseorang yang berada dalam tekanan seperti yang dialami Delia, tidak hanya bisa menjadi histeris karena stres. Mungkin ia bisa juga nekat bunuh diri.
“Keluarganya sudah diberi tahu?“ Satya kembali bertanya. Aku menggeleng. Kuceritakan pengalamanku tadi siang bersama Pak Harso dan menjelaskan keadaan Delia selama bermukim di apartemen itu. Satya mengerutkan alisnya.
“Kau harus kerja keras mencarinya. Aku tidak mau diganggu oleh wanita itu lagi.”
Aku menatapnya takjub. Betapa tidak berperasaan! Celakanya lagi, dia adalah sepupuku!
“Delia sedang sakit…,” aku hanya berusaha menyindirnya karena Delia bisa seperti sekarang mungkin juga akibat dari kekejaman sikapnya.
“Kita harus bisa segera kembali fokus ke pekerjaan. Dan pastikan Bu Nanik mencari penggantinya dalam minggu ini. Atau….”
“Atau apa?”
“Kau yang akan menggantikan Delia.”
Aku tak mau itu terjadi. Menjadi sekretaris Satya? Tidak. Terima kasih. Aku lebih baik mengundurkan diri. Aku beranjak ke tempat perawat untuk pamit dan mengharapkan mereka menghubungiku atau Bu Nanik, apabila terjadi sesuatu pada Delia. Setelah itu, aku menyusul Satya yang sudah berjalan lebih dulu. Itulah Satya, selalu bergerak cepat. Memberikan kesan terburu-buru.
Kami diam sepanjang perjalanan. Aku memang selalu merasa kurang nyaman, bila berada di dekatnya. Mungkin karena ada tekanan dalam diriku. Sebab, di saat yang sama, ia adalah sepupu dan juga bosku. Dan Satya sama sekali tidak pernah menunjukkan perbedaan kapan menjadi saudara dan kapan menjadi bos. Bagiku, ia selalu menunjukkan dirinya bos di mana pun ia berada. Sehingga, aku merasa ada jarak antara dirinya dengan kami semua.
“Pastikan kau mendapatkan sebuah nama untuk bisa didatangkan, Ran,“ ia menatapku dengan pandangan menusuk.
“Tapi... saya harus mengurus gaji staf,“ aku memberi alasan.
“Bu Nanik yang akan menanganinya.“
Sungguh keterlaluan. Ia sudah merencanakannya dengan baik sejak awal. Aku menjadi sebal sekali padanya. Aku hanya bisa memperhatikan bagaimana ia menyetir dengan cepat, seperti ingin segera keluar dari urusan Delia yang kini dibebankan padaku.
Kami tiba di depan rumahku pada pukul 21.30. Mbok Nah, pembantuku, segera berdiri dari duduknya di teras. Ia sedang menungguku. Hanya Mbok Nah yang tinggal bersamaku sekarang setelah Mama tiada. Sedang kedua abangku hidup dengan keluarganya masing-masing di Jakarta dan Makassar.
Satya menyapa Mbok Nah dengan ramah saat kami masuk membawakan pekerjaan rumahku ke dalam. Ia memang sudah akrab dengan wanita tua yang sudah seperti keluargaku sendiri sejak belasan tahun yang lalu. Mbok Nah rupanya sudah membuatkan jamu kunir asem untuknya. Menurut ibuku dulu, Satya kecil sempat sakit-sakitan. Ia bisa menjadi lebih baik setelah diberi jamu kunir asem buatan Mbok Nah.
“Sebaiknya kau tinggal dengan Mama saja, Ran. Jangan sendirian di sini,“ Satya memandang berkeliling memperhatikan betapa sepinya rumah kami.
Aku tidak membalas komentarnya itu. Mbok Nah sudah datang membawakan sebotol kunir asem di dalam kantong kresek. Masih kelihatan dingin karena baru keluar dari kulkas. Satya tersenyum kecil. Kelihatan bagus kalau dia sedang tersenyum, sekalipun sedikit aneh. Lebih baik begitu daripada tegang, dan kelihatan harus meledak saja kepada setiap orang.
Aku mulai mengisi ulang baterai ponsel Delia yang kudapat dari tasnya. Sementara menunggu, aku mulai menyalakan laptop-ku sendiri untuk mengecek e-mail. Karena tidak ada yang penting, aku kemudian mengeluarkan kertas-kertas yang dijejalkan begitu saja ke dalam tas.
Kurapikan dan kususun kertas-kertas yang berjumlah sebelas lembar. Menarik sekali karena semua kertas itu sudah berumur lama. Aku segera memilahnya. Tiga lembar kuasumsikan berasal dari kelompok institusi, dua lembar dari kelompok medis, tiga lembar lainnya adalah billing statement kartu kredit, dua lembar foto, dan empat lembar tanda terima dari Bpk. Heriandi masing-masing antara Rp5 juta - Rp10 juta.
Dua lembar dari kelompok medis adalah hasil sebuah laboratorium terkenal di Surabaya, dan yang lainnya adalah fotokopi sebuah resep dari seorang dokter ahli saraf di kawasan Gubeng, Surabaya. Aku bisa membaca tulisan Exelon di situ, sama dengan bekas blister obat yang diberikan Pak Harso. Resep itu dibuat beberapa bulan yang lalu.
Aku beralih pada tiga lembar berkas lain yang sudah kusam kekuningan. Semuanya adalah salinan ijazah dari Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogyakarta dalam kurung ASMADJY. Menilik dari tanggal kelulusannya, sungguh luar biasa. Angkatan delapan puluhan! Yang lebih hebat lagi, dua dari tiga nama yang tercetak pada fotokopi salinan ijazah itu cukup kukenal, setidaknya dari nama depan mereka. Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti. Nama-nama mantan sekretaris Pak Yudha dulu.
Mereka semua disebutkan oleh Pak Harso tadi siang. Dan mereka berasal dari sekolah yang sama. Betapa menakjubkannya, bahwa keduanya bisa berada di tempat yang sama dalam kurun waktu berbeda.
Rasa penasaran membuatku menjelajah di Google, menulis nama akademi yang dimaksud untuk mencari tahu. Sambil menunggu, aku memperhatikan dua lembar foto. Yang satu adalah foto lama dari Stasiun Tugu Yogyakarta. Aku mendadak ingat, foto yang sama juga tergantung di ruang kerja Pak Yudha. Sungguh sebuah kebetulan berikutnya.
Sedang yang lainnya adalah juga sebuah foto lama. Foto sekelompok wanita yang tengah berpose pada sebuah lesehan makan di kaki lima. Kuperkirakan tempat itu berada di Yogya juga. Pada spanduk yang menempel di belakang tempat makan kaki lima itu tertulis: ’Goedeg Toegoe Jogja’.
Tetapi, buat apa Delia mengumpulkan foto-foto dan salinan ijazah lama? Kuangkat kepalaku karena leherku menjadi demikian kaku. Kembali ke monitor dan aku kecewa. Pencarian atas nama akademi itu tidak berhasil. Kuketik nama ASMADJY untuk dijelajah. Kembali gagal. Aku makin penasaran. Apakah sekolah itu pernah ada atau tidak, ya? Kuketik Dharma Jaya. Yang keluar ternyata nama kelenteng, merek bakso, dan nama sebuah yayasan sosial yang setelah kutelusuri ternyata milik perkumpulan etnis keturunan Cina.
Kok, jadi butek begini, ya? Kalau aku gagal mendapatkan sebuah petunjuk, maka Delia akan mengacau hidupku lebih lama lagi. Kuhirup teh manisku yang sudah dingin. Mbok Nah kedengaran mendengkur halus dari atas dipan. Siaran teve masih menyala dan kubiarkan saja. Jika kumatikan, maka ia akan segera terjaga. Aku sudah tahu kebiasaannya itu.
Satu-satunya harapanku adalah pada ponselnya. Dari jenis smartphone yang cukup andal dan yang pasti mahal harganya. Beruntung pin pembukanya standar saja, 1234, jadi aku bisa masuk ke dalamnya. Yang lebih mengherankan, aku hanya menemukan lima nama dalam phonebook-nya. Untuk seorang sekretaris yang seharusnya memiliki jaringan luas, Delia benar-benar payah. Kelima nama itu adalah nomor Pak Yudha, Bu Yudha, Satya, Bu Nanik, dan aku, Rania. Aneh juga, seorang staf biasa seperti aku bisa masuk ke dalam lima besar orang yang patut dicatatnya.
Lelah menjelajah dan menerka-nerka menyadarkan aku pada waktu yang sudah sangat larut, pukul 01.45. Akhirnya kuputuskan untuk menulis e-mail pada Ardi, sales manager di wilayah Yogya dan Semarang, untuk melacak keberadaan sekolah itu sebelum aku tidur. Aku berharap, Ardi bisa memberikan jawaban dengan segera.
Wajah Bu Nanik tidak kelihatan heran melihatku sudah duduk di mejaku pada pukul 7.30 keesokan harinya. Aku sendiri sudah berada di sana sejak setengah jam lalu. Terus terang, semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena penasaran. Aku perlu datang pagi ke kantor hanya untuk meminta izin Bu Nanik membuka file para sekretaris.
Dengan cepat aku memeriksa berkas-berkas yang tersusun rapi berdasarkan abjad yang segera kucabut dari tempatnya. Marissa, Nadia, Tere, Luisa, dan Delia sendiri. Kelimanya kubawa ke ruanganku agar bisa menghirup udara bersih dari AC berteknologi nano itu.
Tanpa menghiraukan Bu Nanik, aku mulai membuka berkas-berkas itu satu per satu. Dimulai dari Marissa Subyastuti. Lahir di Yogya, 5 Juni 1959. Lulus ASMADJY tahun 1979. Bergabung dengan perusahaan sejak 1982 – 1988. Keluar atas permintaan sendiri. Alamat terakhir di Apartemen Satelite Surabaya.
Theresia Susanti, lahir di Tabing, 15 April 1964. Lulusan YASMI Medan tahun 1986. Bergabung dengan perusahaan sejak tahun 1988 – 1990. Mengundurkan diri setelah mengalami kecelakaan pada September 1990. Alamat terakhir di Perumahan Griya Kencana D/16 Surabaya.
Kemudian Nadia Rahmadhanti. Lahir di Yogya, 5 Juni 1968. Lulusan ASMADJY tahun 1989. Bergabung dengan perusahaan sejak 1990 – 1998. Ia mengundurkan diri untuk menikah. Alamat terakhir yang tercatat, Apartemen Satelite Surabaya.
Yang keempat adalah Luisa Sanjaya, lahir di Pontianak 8 Agustus 1967. Lulusan Lembaga Pendidikan Profesi Surabaya ( LP2S ). Bergabung sejak 1998 – 2001. Kariernya berakhir saat ia meninggal akibat keracunan gas karbondioksida dari mobilnya sendiri. Ada kliping obituarinya pada sebuah koran tanggal 30 Maret 2001. Ia dikremasikan di sebuah krematorium di daerah Malang.
Terakhir, Delia Sumarno. Lahir di Yogya, 5 Juni 1976. Lulusan ASMADJY tahun 1999. Bergabung sejak 2001 sampai sekarang. Apartemen Satelite menjadi tempat tinggalnya dan tidak ada keterangan lain.
Kuluruskan punggungku sambil memikirkan berbagai kebetulan yang kudapati dari data di tanganku ini. Bahwa Marissa, Nadia, dan Delia tinggal di apartemen yang sama, bersekolah di tempat yang sama dan mereka memiliki tanggal lahir yang sama, yaitu 5 Juni. Hanya saja berbeda tahun. Hebat sekali. Jadi, mereka berada dalam naungan bintang yang sama, dan mungkin juga memiliki sifat atau karakter yang sama pula. Betapa sebuah kebetulan!
Bunyi nada panggil dari ponsel mengejutkan kami berdua. Bu Nanik menggeleng setelah memeriksa ponselnya. Aku pun tidak merasa bunyi itu berasal dari ponselku karena nadanya berbeda. Lalu dari ponsel siapa karena kami hanya berdua di ruangan ini? Aku jadi ingat. Ponsel Delia! Aku membawanya di dalam ransel!
Buru-buru kubuka komunikatornya dan berharap ada sebuah informasi baru yang dapat kuperoleh. Ternyata sebuah SMS masuk dari nomor yang tidak terdaftar. Isi pesannya sederhana:
Paket sudah dikirim. Harga TO baru 15 juta.
Aku terdiam dan mulai berpikir. Paket apa dan dari siapa? TO itu apa? Target operasi? Kututup ponsel itu dan kembali ke berkas lima sekretaris yang aneh ini.
Aku mengamati Bu Nanik yang masih memproses data gaji pegawai.
“Bu, maaf mengganggu sebentar.“
“Nggak apa-apa, mau tanya apa, Ran?“ ia menjawabku tanpa menoleh.
Kemudian aku menanyakan seputar keanehan tiga sekretaris Pak Yudha yang berasal dari sekolah yang sama, dan tinggal di tempat yang sama. Kecuali Tere dan Luisa. Bu Nanik mengatakan, mereka bertiga memang direkomendasikan Pak Yudha. Bahkan tinggal di apartemen milik pribadinya.
“Saya memeriksa di internet semalaman, ASMADJY -sekolah para sekretaris itu- tidak ada datanya.“
Baru sekarang kulihat perubahan dari Bu Nanik. wanita itu duduk menegak di kursinya untuk beberapa saat lamanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Dulu ia adalah staf personalia yang terpaksa mengerjakan tugas-tugas sekretaris bagi Pak Yudha untuk sekian belas tahun lamanya. Itu dikarenakan Marissa, Nadia, dan Delia tidak pernah melakukan tugasnya dengan baik. Mereka lebih sibuk mencari perhatian bos yang flamboyan itu. Hanya Tere dan Luisa yang benar-benar menjalankan tugasnya dengan benar. Sayangnya, mereka tidak bertahan lama.
“Sekalipun Pak Yudha tahu betapa menyebalkannya mereka, beliau tidak pernah menegur ketiganya.” Gerutuannya membuatku tercengang. ”Sebenarnya kau direkrut untuk menggantikan Delia. Pak Satya sudah tidak tahan bekerja dengannya, tidak seperti ayahnya.”
“Tapi, lama-kelamaan, aku merasa dibodohi oleh wanita-wanita itu,“ lanjutnya, masam.
Aku merasa tidak enak dengan semua ini.
“Mengenai akademi itu, Bu Nanik tidak pernah memeriksanya?“
Wanita itu menggeleng, ia kembali memunggungiku. Mengerjakan proses cetak slip gaji untuk seratus orang karyawan di sini. Aku menghela napas. “Tere mengalami kecelakaan apa?“
“Dia ditabrak mobil saat keluar dari kantor untuk makan siang. Penabraknya tidak pernah ditemukan. Kabarnya ia lumpuh sekarang.“ Ada kegetiran dalam suaranya yang membuatnya terdiam.
Kalau memang demikian adanya, maka aku memang tidak perlu menemuinya. Kehadiranku bisa jadi melukai perasaannya karena harus mengingat pengalaman terburuk dalam hidupnya. Makin ruwet saja masalah Delia ini. Sebaiknya aku segera keluar dari tempat ini. Aku khawatir bertemu dengan Satya yang akan menanyakan progres pekerjaanku.
Pak Amran, sopir perusahaan kami, sudah siap mengantarku ke rumah sakit. Rupanya ia mendapat perintah langsung dari Satya untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Kembali aku mendengar nada SMS dari ponsel Delia. Aku membukanya, dari nomor yang tadi.
Mana profil TO baru? Cepat balas.
Aq byk order.
Aku penasaran dengan orang ini, karena begitu bersemangat mengejar Delia. Ia pasti memiliki sesuatu yang bisa berguna. Aku minta berhenti pada sebuah wartel saat kami melintas di daerah Praban. Aku ingin tahu, dengan siapa sebenarnya Delia berhubungan.
Aku berdoa semoga ponsel itu tidak dimatikan. Sebab, aku tahu beberapa kasus yang berhubungan dengan kerahasiaan selalu menonaktifkan ponsel mereka agar tidak cepat terlacak. Tapi untungnya tidak. Aku mendengar nada tunggu berupa kicauan burung yang lumayan merdu sebelum akhirnya diangkat oleh seorang lelaki bersuara cempreng.
“Selamat siang, Pak Jono. Saya Diana dari Asuransi….“
“Salah sambung!” sebuah jawaban yang ketus terdengar, kemudian telepon ditutup dengan kasar. Aku tidak menyerah, kutelepon lagi nomor itu.
“Maaf, Pak Jono tadi terputus. Aplikasinya mau dikirim ke Kaliasin, Pak atau…?” dengan asal aku menyebutkan alamat yang segera dipotong orang itu.
“Mbak, dengar, ya… saya ini Heriandi. Bukan Pak Jono!”
“Ini Kaliasin lima satu ?”
“Bukan, Krembangan!” lalu mati.
Jantungku deg-degan. Heriandi. Nama yang sama tertera pada tiga tanda terima Delia. Aku langsung menutup telepon itu. Buru-buru aku keluar dari sana setelah membayar ongkos telepon. Aku kembali ke mobil dengan semangat yang naik karena setidaknya ada seorang yang ‘nyata’ dalam masalah ini. Pertanyaannya adalah apa yang dikerjakan lelaki itu untuk Delia sehingga ia mematok upah begitu tinggi?
Sampai di rumah sakit, aku masih harus menunggu Dokter Aulia yang masih melakukan visit pasien. Aku mengunjungi Delia di kamarnya diantar oleh seorang perawat. Aku melihatnya duduk di atas tempat tidur. Ia tengah berkaca pada sebuah cermin berbingkai plastik murahan yang mungkin dipinjamkan oleh salah seorang perawat.
Delia menyentuh pipi, hidung, dan bibirnya. Ia memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Sorot matanya kosong ke arah cermin, seakan-akan ia tidak melihat bayangan siapa pun di sana. Rambutnya yang kusut masai makin memperparah penampilannya yang menurutku tiba-tiba menjadi sangat aneh. Pipinya kelihatan menggantung pada wajahnya yang tirus. Tubuhnya juga begitu kurus seperti penderita kurang gizi.
“Halo, Del,” kusapa dirinya.
Delia tidak menanggapiku. Ia kembali memiringkan kepalanya ke kiri dan kanan. Sesekali menyentuh kening dan pipinya dengan telunjuknya yang kurus.
“Delia, ini aku, Rania. Kau ingat?“
Ia kembali tidak menghiraukanku. Perawat yang datang bersamaku mengajakku keluar dari sana dan memberikan keterangan bahwa Delia sudah berkelakuan begitu sejak tadi malam. Mereka memperkirakan ia menderita depresi berat. Aduh, mengapa menjadi makin rumit saja masalah ini? Bagaimana jika aku tidak berhasil menemukan keluarganya?
Dokter Aulia datang setengah jam kemudian. Aku diajak ke ruangannya untuk membicarakan masalah kesehatan Delia. Dokter itu menyilakanku duduk di hadapannya, sementara ia membuka-buka file di hadapannya, mencari data Delia. Aku memperhatikan beberapa sertifikat digantung dengan rapi pada dinding berlapis wallpaper bermotif bunga warna kuning dan merah muda dengan dasar hijau muda.
“Sudah bisa menemukan keluarganya?“ itulah yang pertama kali ditanyakannya padaku. Membuat perutku sebah saja. Aku menggeleng.
Dokter Aulia mengetukkan jarinya pada kaca meja dengan cepat.
“Saya harus menyampaikan kalau kondisi Ibu Delia tidaklah baik. Hasil labnya buruk. Gula darahnya lebih dari empat ratus. SGOT-nya tinggi dan saya khawatir paru-parunya juga kena, jadi tadi pagi kami rontgen. Ada indikasi anoreksia juga. Apakah ia melakukan diet ketat selama ini?“
Kugelengkan kepalaku. Pusing oleh kenyataan kalau Delia begitu bermasalah. Aku mengeluarkan blister obat dan fotokopi resep dari dalam tasku, lalu menyerahkan kepada Dokter Aulia. Lelaki itu mengerutkan alisnya.
“Apa ada yang salah, Dok?“ aku merasa jauh dari harapan.
“Dari mana kau peroleh ini?“
Kuceritakan dengan singkat penemuanku kemarin di kamar Delia.
“Resep ini benar, dokter yang mengeluarkan juga benar. Tetapi tidak boleh menebusnya dengan menggunakan salinan resep, apalagi fotokopi.”
Bagaimana aku tahu kalau Delia sudah begitu menyalahi aturan? Dokter Aulia tersenyum. Mungkin ia bisa merasakan kegundahan hatiku.
“Kau mungkin akan terkejut jika mendengar fungsi Exelon.“
Kejutan lain apa yang bisa membuat hariku bertambah buram?
“Exelon adalah obat yang digunakan sebagai terapi Alzheimer.“
Aku terperangah. Alzheimer? Pikun? Delia? Aku menatapnya kaget.
“Mana mungkin? Delia baru berumur tiga puluhan!“ seruku tidak percaya.
Dokter Aulia mengangguk. “Walau jarang terjadi, kasus Alzheimer dapat terjadi di usia tiga puluh limaan. Jadi mungkin saja Delia mengalaminya. Itu pula yang menjelaskan mengapa ia terserang anoreksia karena salah satu efek pemakaian obat ini adalah menurunkan nafsu makan.“
Aku terenyak di hadapan dokter yang menjelaskan panjang lebar mengenai penyakit Delia. Seandainya tidak ada bunyi telepon masuk, mungkin ceramah dokter itu masih terus berlanjut dan membuatku makin bingung.
Dari Ardi. Dokter Aulia menyilakan aku untuk menerima telepon itu. “Ya, Ar? Sudah baca e-mail-ku?”
Kudengar tawa Ardi jauh di sana.
“Jam dua malam? Kau sama gilanya dengan kakakmu ya!”
“Sudahlah... ada info yang bisa kudapat?“
Ia menghela napas dalam-dalam.
“Kebetulan aku lagi di Yogya, sudah cari info sejak pagi tadi. Buruk, Ran.“ Ia terdiam sejenak, membuatku menjadi mulas oleh rasa tegang.
“Akademi Sekretaris dan Manajemen Dharma Jaya Yogya memang pernah ada, tapi itu jadul banget. Menurut cerita, sebenarnya sekolahnya cukup baik, tetapi ada konflik di yayasannya sehingga akhirnya ditutup pada awal ’80-an. Mereka hanya sempat meluluskan satu angkatan saja.“
Satu angkatan? Ini mengejutkan, karena pada ijazah Nadia dan Delia dinyatakan lulus namun berdasarkan tahun kelulusan yang berbeda.
“Kau yakin?“
“Seribu persen. Aku mendapat info ini dari salah seorang agen besar kita, Bu Maryam. Beliau asli sini dan tahu seluk-beluk sekolah itu karena menjadi salah satu almamaternya.“
Perutku terasa kaku. Ada yang salah dengan ketiga sekretaris itu.
“Ar, aku akan kirim beberapa file padamu siang ini dan tolong dikonfirmasikan ke Bu Maryam segera. Kuharap malam ini sudah ada report-nya,“
“Tapi, aku harus balik ke Semarang siang ini.“
“Ar, please... jangan khawatir, nanti aku yang bilang ke Satya.“
Ardi tertawa, “Anything, Bos. Anything!“
Kututup ponselku dengan perasaan mengambang. Aku merasa tidak yakin dengan apa yang sedang kami hadapi sekarang. Dokter Aulia memandangiku. Sepertinya ia sedang memikirkan apa yang barusan aku bicarakan dengan Ardi. Baru saja ia akan membuka mulutnya, tiba-tiba telepon ruangan berdering. Mengabarkan bahwa Delia mulai berulah lagi. Kami bergegas kembali ke ruangan di mana Delia dirawat.
Saat itu, aku melihat sendiri bagaimana Delia berteriak-teriak sembari mencakar-cakar wajahnya. Aku menjadi ngeri bagaimana kukunya yang panjang itu membuat bilur-bilur merah di wajahnya. Dua orang suster yang memeganginya tampak kewalahan. Dokter Aulia memintanya menenangkan diri namun sepertinya sia-sia saja. Aku tidak heran saat mereka memberikan obat penenang padanya agar bisa diam.
Delia terkapar di atas kasurnya dengan lemah, mataya memandang liar ke sana sini. Keringat bercampur dengan darah dari bilur cakaran pada wajahnya menimbulkan kesan menyeramkan. Ia sama sekali tidak kelihatan kesakitan, malah seperti sedang kebingungan. Melupakan bagaimana menyebalkan sikapnya dulu, aku menjadi kasihan melihatnya seperti itu.
Kusentuh bahunya. Ya, ampun, aku baru sadar, jariku menyentuh tulang. Delia begitu kurus dari balik baju rumah sakitnya yang kedodoran. Rambutnya berantakan. Tanpa make up tebal, dia benar-benar seperti orang aneh. Kutelan ludahku yang terasa pahit.
“Del…,” kupanggil namanya.
Delia memandangiku seperti sedang mencari sesuatu pada diriku. Aku sampai merinding karena ngeri dipandangi serupa itu. Aku berharap ia memberikan satu dua patah kata sebagai respons. Tetapi, aku harus kecewa. Delia tidak menghiraukanku. Ia tidak mengenaliku.
“Del… ini aku, Rania. Ingat? Katakan sesuatu....“
Delia menggeleng lemah.
“Cermin… mana cermin… aku ingin pulang. Mana cermin… cermin… aku mau pulang….” Itu saja yang diucapkannya terus-menerus sampai suaranya kemudian makin lama makin lemah. Kepalanya terkulai ke kiri. Ia tidur.
Aku menghela napas dalam-dalam. Dokter Aulia memeriksa denyut nadi Delia, lalu dadanya. Kemudian ia mengatakan sesuatu pada perawat yang mencatat dengan cepat di sebelahnya. Dokter Aulia menoleh padaku.
“Ayo, kutunjukkan sesuatu yang menarik padamu!“ Ia memintaku untuk mendekat ke arahnya. Perawat tadi menggeserkan tubuhnya, memberikanku tempat di sisi Dokter Aulia yang kini mengangkat dagu Delia ke atas. Kami bisa melihat lehernya sekarang.
“Perhatikan kulitnya ini. Kisut, berkerut, dan kendur. Berbeda dari kulit wajahnya yang masih cukup halus.“
Aku tidak pernah memperhatikannya karena Delia selalu mengenakan blus model turtle neck atau scarf sutra yang menutupi lehernya.
Dokter Aulia kemudian memiringkan wajah Delia ke sisi kiri, menyibakkan rambutnya ke atas sehingga kami bisa melihat telinganya. Ada bekas jahitan di belakang telinganya melingkar rapi sepanjang bagian dalam belakang telinga. Dokter Aulia memiringkan sisi kepala yang lain dan menunjukkan bekas jahitan yang sama di telinga itu. Ia kemudian meraba pipi Delia, menekan-nekannya sedikit, lalu menyisir garis rahang dan tulang hidungnya.
“Implan silikon.“ Itu adalah komentar yang sangat mengejutkanku.
Aku mencoba mencerna dari apa yang kusaksikan sekarang. Itulah mengapa pipinya jadi seperti menggantung. Jika Delia sedikit berisi, maka pipinya akan terangkat dan kelihatan bagus. Oh, pantas saja.
Dokter Aulia mengajakku keluar dari ruang perawatan Delia.
“Saya hanya ingin memberitahumu satu hal, Rania.“ Dokter itu menatapku.
“Ada indikasi Delia sudah menjalani operasi plastik, sepertinya lebih dari sekali. Jadi, kau mungkin akan kesulitan untuk mencari wajah aslinya seperti apa.”
Aku terenyak. Aku tahu ini buruk, tapi tidak pernah membayangkan separah ini. Aku terhuyung ke samping dengan pandangan berkunang-kunang. Dokter itu menangkap tanganku dengan cepat.
“Kau baik-baik saja?“ tanyanya.
Setelah semuanya menjadi terang kembali, aku mengangguk sambil melepaskan cekalannya. Aku hanya belum makan, sejak semalam aku begadang dan sampai sekarang belum beristirahat sama sekali. Ditambah dengan kejutan demi kejutan yang membuat semangatku makin merosot saja.
“Saya baik-baik saja, Dok. Terima kasih. Maaf, saya harus bergegas untuk menyelesaikan banyak masalah.“ Kedengarannya sombong sekali, tapi aku memang harus segera pergi dari tempat ini.
Aku meminta Pak Amran mengantarku pulang ke rumah. Aku harus segera melakukan scan tiga salinan ijazah dan foto lama yang disimpan Delia di bawah tasnya, dan mengirimkan kepada Ardi. Sambil menunggu proses scanning, aku menyempatkan makan risoles ayam dan minum teh manis. Pak Amran duduk di teras ditemani Mbok Nah sambil minum kopi.
Dalam hati aku sangat penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga Pak Yudha bisa meloloskan sekretaris dengan ijazah fiktif seperti mereka? Apa yang membuat mereka demikian istimewa hingga memperoleh perlakuan khusus? Tinggal di apartemen mewah, gaji besar, kerja asal-asalan dan mengorbankan rekan-rekannya selama belasan tahun! Hebat sekali!
Aku baru akan menelepon ketika Ardi menghubungiku. E-mail-ku sudah sampai. Alhamdulillah, aku bersyukur sekali dengan kemajuan teknologi wireles yang dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja tanpa terikat kabel. Ardi berpesan agar aku jangan pergi dulu dari rumah karena ia berada dalam perjalanan menuju rumah Bu Maryam. Aku melihat jam, sudah hampir pukul satu. Pas waktunya makan siang.
Sekitar lima belas menit kemudian, ada SMS Ardi yang memintaku menghubungi sebuah nomor telepon rumah di Yogya. Kubawa laptop, berkas-berkas Delia dan catatanku ke ruang tengah. Adrenalinku mulai naik. Ini pasti akan sangat menarik. Kutekan nomor sesuai yang di-SMS Ardi padaku. Ia langsung menyambar telepon begitu nada kedua masuk.
“Ran, ini Bu Maryam, kau bicara sendiri padanya sementara aku akan membuka file-nya.”
“Thanks sekali, Ar.”
Perutku terasa kaku sekarang menunggu perpindahan dari Ardi ke Bu Maryam. Sesaat kemudian kudengar sebuah suara lembut.
“Assalamu’alaikum, Bu Maryam? Saya Rania...,“ aku memperkenalkan diri. Sepatah dua patah kata basa-basi mengawali percakapan yang segera mengalir di antara kami. Beberapa saat kemudian, aku merasa dipaku pada sofa yang kududuki setelah mendengar informasi mengangetkan yang diberikan oleh Bu Maryam.
Ia mengatakan seperti yang diceritakan Ardi beberapa jam sebelumnya. Saat aku minta ia menunjukkan nama-nama dalam foto yang kukirimkan ke Ardi lewat e-mail, dengan lancar ia menyebutkan nama kesepuluh gadis yang berpose di sana. Aku mengikutinya dengan memberi tanda pada foto yang kupegang dengan pensil. Nama-nama yang kukenal: Marissa Subyastuti dan Nadia Rahmadhanti berada di sana sebagai dua orang gadis yang sedang duduk sambil merangkul satu sama lain.
“Delia Sumarno itu nama aslinya Adelia Prabawati, kemudian menikah dengan pilot bernama Teguh Sumarno. Yang pakai kacamata itu orangnya, Mbak.”
Keterangan itu membuatku meradang. Gadis berkacamata yang tampak lugu dan sederhana sedang duduk paling kiri pada foto di warung lesehan gudeg itu. Aku jadi makin puyeng.
“Apakah Ibu memiliki alamat Adelia saat ini?”
“Sayang sekali tidak, Mbak. Adelia sudah meninggal 20 tahun yang lalu karena kanker dan dimakamkan di Temanggung.” Jawabannya membuatku terbelalak.
“Kalau Nadia?” kejarku kemudian.
“Nadia malah sudah meninggal lebih dulu, setahun setelah kami lulus. Beliau dan bayi yang gagal dilahirkannya.”
Makin lama makin aneh, tapi terus terang menjadi menarik sekali.
“Bagaimana dengan Marissa, Bu?“
Bu Maryam tertawa, kedengarannya tidak enak di telinga.
“Ia agak aneh orangnya. Pendiam, tapi sering gonta-ganti pacar. Waktu Nadia wafat, ia datang sambil membawa bayi laki-laki yang baru berumur 40 hari. Kami sempat menegurnya karena tidak baik membawa bayi ke tempat orang mati. Kabarnya, ia menyusul kekasihnya ke Surabaya. Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana kabarnya.“
Aku merasakan peningkatan adrenalin dalam tubuhku.
“Maaf, Bu. Apakah Ibu mengetahui seperti apa kekasih Marissa itu?”
“Wah, saya tidak tahu, Mbak. Kabarnya lelaki itu sudah berkeluarga.”
“Oh, begitu. Maaf, Bu, barangkali Ibu masih ingat, apakah Marissa, Nadia dan Adelia lahir pada tanggal 5 Juni?”
“Saya nggak yakin benar, tapi rasanya mereka tidak lahir di tanggal yang sama. Karena, kalau ada yang ulang tahun bersamaan, pasti traktirannya besar-besaran. Nah, pas di gudeg itu kami sedang merayakan ulang tahunnya Marissa.”
Cukup sudah bagiku keterangannya dan aku sangat berterima kasih pada Bu Maryam. Suara Ardi kembali berada di ujung telepon.
“Bagaimana, Ran? Kamu sudah puas kan sekarang?”
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, Ar. Sungguh-sungguh membantu.“
Ardi tertawa di ujung sana.
“Kau utang padaku, bebek goreng kayu tangan dan rawon setan.”
“Anything, Bos. Anything,” kukutip kata-katanya dulu.
Aku menjadi lemas. Punggungku terasa basah oleh keringat, dan kedua tungkai kakiku gemetaran. Kuperhatikan dengan seksama wajah kesepuluh gadis yang ada di dalam foto itu. Tiga di antaranya sudah pasti menjadi sekretaris perusahaan ini. Tapi, bagaimana Nadia dan Delia bisa melamar pada posisi itu dalam usia yang lebih muda dengan menggunakan ijazah palsu? Siapa yang tidak jujur di sini? Tadinya aku ingin mengonfrontasi Adelia dengan Delia. Tetapi, jelas tidak mungkin, karena yang satu sudah mati, sedangkan yang satunya mulai pikun! Seandainya aku bisa menemukan Marissa. Tetapi, ia tidak jelas ke mana setelah keluar dari sini belasan tahun yang lalu.
Aku mencoba mengurut melalui billing statement dari kartu kredit yang digunakan oleh Delia. Billing statement itu keluaran dua tahun lalu. Dari merchant yang terbaca di sana adalah ada dari sebuah klinik kecantikan dan pelangsingan ternama di Surabaya. Imago Derma. Transaksi yang dikeluarkan juga cukup besar, hampir Rp11 juta.
Aku mencoba mencari nomor klinik itu melalui operator 108. Setelah mendapatkannya, aku segera menelepon melalui ponsel Delia dengan harapan aku tidak akan ditolak saat aku menanyakan beberapa hal. Seorang pelanggan loyal seperti Delia tidak akan ditolak oleh merchant sebesar itu.
“Selamat siang, Mbak Delia? Aduh... lama nggak ke sini, ya....“ Seperti dugaanku, operatornya langsung kedengaran ramah begitu nomor ponsel Delia muncul di ID-record mereka.
“Siang juga, Mbak... siapa ini?“
“Sisil, Mbak.“
“Eh, Sisil... apa kabar?“
“Baik, suaranya, kok, beda, Mbak? Sakit?“
Aku berdehem, mengiyakan. Lalu aku berlagak menjadi Delia yang sedang kena flu. Menyatakan kehilangan kartu anggota sehingga tidak bisa mengontak terapisku. Perempuan bernama Sisil itu percaya saja, mungkin karena Delia adalah seorang klien besar sehingga harus dilayani dengan baik. Jadi, aku mendapat nomor Dokter Frans Siwabessy darinya. Aku juga menanyakan info terkini seputar perawatan kulit.
“Banyak, sih. Botox, dermabrasi, laser-laser sama chemical, gitu. Cuma yang tindakan bedah, seperti biasa dipegang Dokter Frans di rumahnya.“
“Oh, gitu....Sil, kamu tahu nggak kalau yang bedah sekarang sampai berapa, ya?“ iseng-iseng aku bertanya.
“Tergantung tindakannya, sih. Sekitar Rp20 juta - Rp30 jutaan, Mbak.“
Wow! Luar biasa! Buru-buru aku mencatat nomor yang disebutkan dan segera pamit padanya setelah selesai. Rasanya sekarang makin menyesakkan dada. Sepertinya aku mulai tahu ke mana arah permasalahan ini akan menuju.
Ada seseorang yang menggunakan nama ketiga orang alumnus ASMADJY untuk kepentingan pribadinya. Dua di antaranya sudah meninggal, yang berarti mempersempit penyelidikan lebih jauh. Ada seseorang yang bersembunyi di dalam tubuh Delia saat ini. Dan aku yakin, seseorang itu telah mengubah wajahnya sedemikian rupa dengan melakukan operasi plastik. Entah di Imago Derma atau di Dokter Frans. Tetapi, untuk apa dan mengapa?
Mbok Nah tiba-tiba muncul di hadapanku. Ia menanyakan apakah aku balik ke kantor atau tidak. Aku baru sadar, hari sudah hampir pukul tiga sore ketika kudengar azan salat Asar. Aku segera salat, setelah itu kembali ke kantor bersama Pak Amran. Lelaki itu sama sekali tidak menanyakan mengapa aku berlama-lama di rumah. Mungkin ia sudah diinstruksikan demikian.
Di jalan aku menelepon Dokter Aulia, barangkali ia mengetahui informasi mengenai Dokter Frans Siwabessy. Ia mengatakan, dokter itu adalah seorang dokter umum biasa, tetapi istrinya memiliki klinik kecantikan ternama. Dokter Frans adalah konsultan di sana sejak klinik berdiri sekitar 20 tahun lalu.
“Jadi, dia bukan seorang spesialis bedah plastik, Dok?“ tegasku.
“Bukan, aku tahu itu sebab Dokter Frans Siwabessy adalah teman satu angkatan ayahku.“
“Oh, begitu. Pasti, ya, Dok?“
“Ada apa, Ran? Tampaknya ada sesuatu yang begitu mengganggumu?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Terima kasih atas informasinya.”
Aku terdiam, berusaha merangkai semua jawaban yang kuperoleh hari ini. Aku merasa mulai dekat kepada jawabannya.
“Mbak Rania nggak apa-apa?” Pak Amran melirikku dari spion.
“Oh, saya baik-baik saja. Memang kenapa, Pak?”
“Hmm... Mbak pucat sekali. Apa tadi belum makan?”
Aku tertawa tidak menanggapi perhatiannya.
“Mbak Rania jadi repot, ya, mengurusi Mbak Delia.”
“Ini setengah terpaksa, setengah dipaksa,” aku bergurau menjawabnya.
Pak Amran tertawa. Aku ingat sesuatu.
“Pak, apakah pernah mengantar Delia ke daerah Krembangan?”
Pak Amran kelihatan agak terkejut mendengar pertanyaanku. Tetapi, ia mengiyakan bahwa dirinya pernah mengantar Delia ke sana, tapi itu dulu sekali. Sekitar sebulan setelah ia menggantikan Luisa yang mati.
Yang mengherankan menurut Pak Amran adalah Delia begitu mengenal daerah itu dengan baik. Sangat aneh bagi seseorang yang baru menginjakkan kakinya di Surabaya.
Jawaban itu makin meyakinkan aku pada sesuatu yang aku takutkan. Sebenarnya, aku sudah mulai bisa menduga apa yang dilakukannya di daerah Krembangan itu. Tapi, aku perlu menggali lebih banyak dari Pak Amran.
“Mengenai Tere, saya dengar dia ditabrak mobil ya, Pak.“
“Wah, itu mengerikan sekali, Mbak. Mbak Tere itu, biarpun orang kaya, ia sangat merakyat. Kalau makan siang, kami biasa makan di kaki lima depan kantor. Eh, nggak tahu kenapa hari itu dia apes sekali.“ Pak Amran kelihatan menyesal saat menceritakan kejadian beberapa tahun lalu.
Menurutnya, siang itu Tere tidak pergi bersama-sama yang lainnya saat makan siang. Ia harus menerima telepon penting dari seseorang. Saat ia menyusul lima belas menit kemudian, sebuah mobil kijang dengan kecepatan tinggi menabraknya persis di depan warung tempat mereka makan. Tere terpental sampai masuk ke dalam got air, punggungnya patah dan kepalanya retak. Mobil kijang itu langsung kabur begitu saja.
“Kasihan Mbak Tere, sekarang menjadi cacat dan nggak mau ketemu kami lagi. Mungkin ia merasa marah.“
“Saya bisa mengerti. Kata Bu Nanik, Luisa dan Tere adalah sekretaris yang hebat,“ kupancing ia dengan nama Luisa.
“Bukan hanya hebat, Mbak, tapi juga baik hati. Apalagi Mbak Luisa. Dia itu dermawan dan ringan tangan. Dia sering liburan ke luar kota. Kalau pulang, kami semua diberi hadiah. Para pesuruh kantor senang padanya, karena sering diberi tip. Apalagi kalau dia lembur sampai malam-malam.“
Pak Amran menggelengkan kepala dan menghela napasnya dalam-dalam.
“Karena lembur itu juga, kami terlambat menyelamatkan nyawanya.“
Luisa saat itu bekerja keras menyelesaikan laporan akhir bulan karena Pak Yudha sedang ke Singapura untuk menemani istrinya yang menjalani operasi pengangkatan rahim. Petugas keamanan malam itu merasa curiga karena sampai pukul sepuluh malam Luisa belum juga keluar dari kantor, padahal lampu ruangannya sudah padam.
Dua orang petugas keamanan kemudian berkeliling untuk memastikan keberadaannya. Saat tiba di parkir basement, mereka menemukan mesin mobil Luisa masih menyala. Saat mereka melongok lewat kaca jendela, mereka terperanjat. Luisa terkulai di kursinya masih dengan mengenakan sabuk pengaman. Kedua petugas keamanan itu memecahkan kaca untuk mengeluarkan Luisa dari dalam mobil. Bau gas karbon monoksida begitu menyengat. Luisa sudah demikian lemas. Ia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Aku terdiam lama mendengar tragedi malang yang menimpa kedua sekretaris terbaik yang pernah dimiliki oleh kantor ini. Pak Amran juga tidak berkata apa-apa lagi sampai kami tiba di kantor.
“Capek, ya, Ran?“ Bu Nanik menoleh ke arahku saat aku masuk.
Aku tersenyum. Serius, capek sekali badanku. Kuletakkan ranselku di atas meja. Ada selembar post it warna merah yang dilekatkan di teleponku. Dari Pak Harso, aku diminta datang ke apartemen sebelum magrib. Kulirik jam mejaku, hampir setengah lima.
Aku minta izin Bu Nanik untuk pulang lebih awal. Yang menyenangkan, ternyata Satya tidak berada di tempat karena sedang mengantarkan ibunya untuk kontrol ke dokter internis. Kebetulan sekali. Aku bisa langsung kabur. Maka, aku bergegas menuju Apartemen Satelite. Aku mengira-ngira apa yang akan diberikan Pak Harso padaku kali ini. Mengingat sikapnya yang helpful itu, aku yakin ia memiliki sesuatu untuk dibagi padaku.
Dan memang, keyakinanku menjadi kenyataan. Lelaki itu sudah berada di meja resepsionis, seperti sedang menungguku. Dengan ramah ia menyapaku, menanyakan kabarku dan perkembangan Delia sebelum akhirnya ia menyerahkan sebuah amplop cokelat berukuran folio padaku. Dari alamat yang tertera jelas amplop itu ditujukan pada Delia. Dan pengirimnya adalah Heriandi, Surabaya. Mungkinkah ini paket yang dimaksud dalam SMS itu?
“Barangkali Ibu memerlukan,“ kembali kata-kata itu memberikan sugesti besar padaku karena aku yakin, ada sesuatu yang penting di dalam sini. Sekali lagi, aku berterima kasih sekali pada lelaki itu.
Dengan tidak sabar kubuka amplop itu di dalam taksi. Saat isinya kukeluarkan, aku terkesiap. Karena aku mendapatkan sepasang buku nikah yang sudah usang, serta sebuah salinan akta kelahiran atas nama Satya Harjo Prayudha. Tetapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah baik pada salinan akta kelahiran maupun pada buku nikah itu, nama kedua orang tuanya adalah Harjo Prayudha dan Marissa Subyastuti!
Tiga berkas dokumen itu jatuh ke atas pangkuanku. Tubuhku terasa dingin karena pikiranku menjadi terang sekarang. Aku telah menemukan orang yang kucari selama ini. Sosok yang bersembunyi di balik wajah Delia saat ini juga kemungkinan besar pernah menjadi Nadia. Sesungguhnya, mereka adalah orang yang sama. Marissa.
Itu pula yang mampu menjelaskan mengapa ketiga sekretaris itu memiliki hak istimewa karena mereka adalah orang yang sama. Bagaikan seekor ular yang berganti kulit apabila masanya tiba, maka ular itu akan melepas kulit yang lama dan menjadi ular baru dengan kulit baru yang lebih cerah dan indah. Tapi sejatinya, ular itu tetaplah menjadi ular yang lama dan tua. Analogi ular itu adalah Marissa adanya, dan hanya Pak Yudha saja yang mengetahui rahasianya.
Taksi itu kuminta memutar balik ke rumah sakit. Aku ingat pada foto lama Stasiun Yogya yang tergantung di ruang kerja Pak Yudha, sama dengan foto yang berada di dalam ranselku. Foto itu mengambil fokus pada nama stasiun dan jam di atasnya. Seolah-olah ada sebuah pesan yang ingin disampaikan dengan cukup membaca nama Yogyakarta dan waktu yang ditunjukkannya. Pesan yang harus diingat dengan baik oleh seseorang. Dan aku yakin, orang yang dimaksud itu pastilah Pak Yudha.
Kembali ke rumah sakit, aku menemukan kenyataan bahwa Delia atau siapa pun ia telah dipindahkan ke sal perawatan mental. Sebab, jika ia dijadikan satu area dengan orang-orang sakit pada umumnya, dikhawatirkan tingkahnya akan mengganggu ketenangan yang lain. Dan, di ruang perawatan mental, tidak boleh sembarang orang mengunjunginya. Aku mengirim SMS kepada Satya dan Bu Nanik mengenai perubahan status perawatan itu.
Aku hanya bisa memperhatikan wanita itu dari balik kaca. Kembali aku merunut kisah ke belakang dan mulai mereka-reka kejadian yang mungkin telah terjadi di masa lampau berdasarkan bukti yang kumiliki saat ini.
Bahwa Marissa, terdorong oleh rasa cintanya yang telah membutakan mata hatinya, rela melakukan apa saja demi mendapatkan Pak Yudha. Padahal, lelaki yang sempat beberapa minggu mampir di Yogya untuk sekadar iseng itu tak pernah serius menanggapinya. Tapi, tidak bagi Marissa. Ia demikian serius dengan cintanya hingga rela menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat pada lelaki itu. Ia mengandung, melahirkan, dan menanggung malu yang amat sangat.
Kenekatannya membawanya ke Surabaya, menyusul Pak Yudha setahun kemudian. Betapa hancur rasa hatinya melihat lelaki yang dicintainya ternyata telah menikah dengan seorang perempuan berdarah ningrat, kaya raya, dan sakit-sakitan. Marissa kemudian menyusun rencana agar dirinya dan anak lelakinya bisa masuk ke dalam kehidupan Pak Yudha. Ia mulai mengancam melalui istri lelaki itu, akan membongkar semua rahasia mereka tanpa ampun.
Pak Yudha, sekalipun seorang lelaki berkategori playboy, sangat mencintai istrinya. Ia tidak mau kehilangan wanita yang mampu memahami jiwa petualangnya itu. Maka, sejak Marissa muncul dengan segala ancamannya, ia bersedia mengikuti permainan wanita itu. Ia menurut untuk mengambil bayi yang seolah-olah berada di panti asuhan itu. Kemudian ia memberinya nama Satya dan mengangkatnya sebagai anak. Di luar dugaannya, ternyata kelak Satya akan menjadi penghibur dan anak kesayangan bagi istrinya yang sakit-sakitan itu.
Setelah kehidupan anaknya terjamin, Marissa menuntut jaminan tempat tinggal yang nyaman dan pribadi sifatnya. Pak Yudha menuruti. Ia menempatkan Marissa di Apartemen Satelite miliknya sendiri.
Marissa berupaya masuk makin jauh dalam kehidupan Pak Yudha dengan menjadi sekretaris pribadinya. Dengan segala cara dan upaya ia selalu berusaha menjerat Pak Yudha agar kembali ke dalam pelukannya. Namun, makin ia berusaha, lelaki itu makin menjauhinya dengan cara menjalin cinta di sana-sini bersama beberapa wanita lain yang lebih muda darinya.
Marissa menyadari bahwa ia tidak bisa bertempur melawan umur. Maka, satu-satunya cara agar bisa membawa kembali Pak Yudha padanya adalah ia harus mengubah total penampilannya. Ia harus menjadi orang yang berbeda sehingga mendapat penilaian yang berbeda pula. Maka, nafsu yang telah membutakan mata hatinya menuntun Marissa menemukan orang-orang seperti Heriandi, yang mampu mengubah identitasmya menjadi orang lain, dan juga (mungkin) Dokter Frans Siwabessy yang sanggup mengubah wajahnya.
Dalam beberapa waktu lamanya Marissa menghilang dari kehidupan Pak Yudha. Mengubah wajah dan penampilan, mengganti identitas diri dan selanjutnya menjadi orang lain. Dengan sengaja ia mengambil nama teman-temannya di ASMADJY yang sudah meninggal dunia, seperti Nadia dan Delia. Ia kemudian masuk kembali ke perusahaan dalam sosok yang berbeda.
Marissa menekan Pak Yudha untuk menerima dirinya sebagai Nadia, untuk menjadikan sekretaris baru menggantikan Tere. Semula Pak Yudha menolaknya. Ia sudah cocok memiliki sekretaris seterampil dan seahli Tere dalam mengelola pekerjaan. Tere sangat membantunya. Marissa terus menekannya melalui telepon, tapi Pak Yudha tidak menggubris. Sebenarnya, lelaki itu bersyukur telah terbebas dari Marissa selama beberapa waktu. Ia tetap mempekerjakan Tere sampai terjadi kecelakaan yang mengerikan di depan kantor.
Marissa mengulang kesuksesannya memasuki kehidupan Pak Yudha kembali. Namun, ia harus menelan kenyataan pahit bahwa lelaki itu memang tidak pernah menerima perubahannya, sekalipun ia sudah berusaha kuat. Pak Yudha selalu berhubungan dengan orang lain, bukan dengan dirinya. Seberat apa pun selama bertahun-tahun menjadi Nadia, Pak Yudha tidak pernah menanggapinya lebih dari sekadar pegawai biasa.
Begitu besar keinginan untuk merebut hati lelaki itu, sampai-sampai ia tidak memperhatikan bagaimana anaknya telah dirawat dengan baik oleh istri Pak Yudha yang sungguh-sungguh menyayanginya. Anak bukan lagi menjadi prioritasnya. Satu-satunya keinginan Marissa adalah dinikahi oleh lelaki itu.
Sekali lagi, ia menghilang untuk mengubah dirinya menjadi orang lain. Kali ini ia menjadikan dirinya sebagai Delia Semarno. Marissa juga belajar meningkatkan kemampuannya untuk dapat meraih kepercayaan Pak Yudha atas dirinya. Ia belajar banyak hal. Meninggalkan kemahiran mengetik steno yang dimilikinya, lalu mulai belajar komputer, juga memperdalam pengetahuan tentang hukum perdagangan.
Tetapi, Pak Yudha telanjur menyayangi Luisa. Marissa dibuat cemburu hebat oleh kedekatan lelaki yang dikasihinya itu dengan wanita workaholic bernama Luisa. Di matanya, ambisi Luisa sungguh kelewatan. Ia mampu bekerja dua belas jam sehari. Keandalannya membanggakan, karena ia mampu menangani masalah administratif dan manajemen. Terlebih pada masa itu, istri Pak Yudha berada dalam kondisi paling kritis dalam hidupnya sehingga membutuhkan perawatan intensif di Singapura. Di situlah peranan Luisa sangat menonjol.
Marissa tidak membiarkan kehebatan itu berlangsung lama. Melalui bantuan Heriandi, ia berhasil kembali ke dalam posisinya sebagai sekretaris setelah Luisa meninggal dunia akibat keracunan gas karbon monoksida yang memenuhi mobilnya. Sekali lagi, ia berhasil.
Tetapi, kesuksesannya kali ini membuat Pak Yudha makin membencinya. Lelaki itu bahkan menunjuk Bu Nanik untuk merangkap beberapa tugasnya yang makin dibatasi. Marissa diperlakukan sebagai boneka di kantornya dan tidak diberi kepercayaan oleh lelaki itu. Pak Yudha bahkan menyebutnya sakit dan menyarankannya untuk segera mengonsultasikan dirinya ke seorang ahli jiwa.
Marissa begitu marah disebut sakit. Bertahun-tahun ia berjuang memperoleh kebahagiaannya bersama lelaki itu, tetapi tidak berhasil digapainya. Yang ia terima selama itu hanyalah perubahan drastis pada wajahnya yang dua kali menjalani operasi plastik menjadi Nadia dan Delia. Selain itu, tidak ada. Apartemen yang ia huni saat itu pun adalah milik Pak Yudha yang hanya boleh ia tempati selama ia bekerja padanya. Dan, itu bisa saja berakhir setiap saat, terutama setelah lelaki itu meninggal dunia.
Marissa mendapatkan kenyataan pahit selain kematian lelaki yang tidak pernah memberinya apa-apa, kecuali seorang anak yang tidak pernah mengenalinya. Ternyata, tubuhnya pun mulai lelah melawan waktu. Bertambahnya umur membuatnya tidak mampu menahan lajunya hukum alam. Ia menderita penyakit degeneratif, seperti diabetes dan hipertensi.
Kedua penyakit itu membuatnya bekerja ekstra keras agar penampilannya tetap seperti wanita yang berusia awal tiga puluhan. Amatlah sulit menjaga diri dari diet dan obat-obatan agar penampilannya terjaga. Akhirnya situasi yang mengerikan itu muncul juga. Ketatnya diet membuat penampilannya berantakan. Marissa dipaksa mengganti blus-blus seksinya dengan blus turtle neck agar lehernya yang mengendur bisa tertutup. Ia juga mengecilkan rok dan celananya yang makin lama makin longgar.
Marissa terpaksa menerapkan make up tebal untuk menyiasati wajahnya yang berubah karena tubuhnya makin kurus. Implan silikon yang disisipkan pada pipi dan dagunya menjadi semacam bantal yang menggayut, yang membuat wajahnya menjadi aneh. Ia tidak berani mengutak-atik wajahnya lagi karena diabetes. Sedikit kesalahan bisa membuat wajahnya luka dan membusuk oleh gangrene.
Penyakitnya telah menjadi momok yang memaksanya untuk sering bercermin. Ia berharap akan ada perubahan dalam dirinya yang bisa membuatnya bahagia. Tetapi, makin lama ia bercermin, makin ia sadar bahwa hidupnya menuju kehancuran. Dengan penampilan seperti itu, masa depannya bisa berakhir segera. Maka, ia meminta bantuan Heriandi sekali lagi untuk membuatkan buku nikah dan akta kelahiran palsu. Tujuannya jelas, ia akan memaksa Satya memberikan warisan ayahnya kepada dirinya untuk menjamin hari tuanya.
Tetapi sayang, di saat rencana itu baru dijalankan, Satya ternyata membuat rencana lain terhadap perusahaan. Demi efisiensi dan efektivitas, maka ia telah menggabungkan perusahaan ayahnya dan dirinya berada dalam satu atap di bawah kendalinya. Sifat dan gaya kepemimpinan yang cepat, tegas, dan keras membuat Marissa pontang-panting. Pertama, karena sejak awal ia tidak terbiasa dengan tugas-tugas berat. Kedua, kondisi fisiknya mulai menurun.
Marissa terpukul oleh keadaan itu. Ia bagaikan seekor siput dalam dunia hewan berkaki dan bersayap yang dapat bergerak dengan lepas dan bebas. Ia begitu lambat, tak bertenaga dan tidak bisa diandalkan. Dalam beberapa hal ia menjadi begitu menyebalkan dan dicap sebagai trouble maker. Tetapi, ia bertahan untuk tetap berada dalam posisi itu sampai Heriandi dapat membawakan surat-surat yang akan menyelamatkan hidupnya dari kehancuran.
Malang baginya, tekanan yang diberikan Satya dengan gaya kepemimpinannya itu membuatnya terpuruk dalam waktu singkat. Ia mulai kehabisan napas, tidak memiliki ruang gerak, miskin ide dan kehilangan harga diri di mata anaknya yang tidak pernah mengenalinya itu. Ketegasan sikap anak muda itu dengan memberikan satu demi satu surat peringatan membuatnya tertekan. Begitu tertekannya, sampai ia sama sekali tidak bisa berpikir dengan jernih. Dan, suatu ketika malah menjadi blank sama sekali.
Marissa linglung. Ia mendadak kehilangan kemampuan mengenali apa pun, siapa pun, dan apa yang sedang dihadapinya. Sesaat setelah ia bisa kembali sadar, ia menjadi khawatir akan kondisinya itu. Segera ia mencari dokter untuk membantu masalah yang dihadapinya. Ia kemudian menjalani sejumlah tes untuk memastikan kondisi tubuhnya. Beberapa waktu kemudian ia menerima vonis yang begitu menakutkan.
Dokter spesialis saraf itu menjelaskan kondisi kepalanya. Beberapa hal tentang bagian-bagian otaknya yang mulai mengecil, juga simpul-simpul saraf yang menyusut. Semuanya berujung pada satu hal: Alzheimer dementia alias pikun. Dokter itu merasa tertarik padanya karena Marissa yang menjadi Delia mencatatkan usianya 33 tahun.
Dokter itu menyarankan agar dirinya rajin melakukan kontrol untuk memulihkan kesehatannya dengan segera. Tetapi, Marissa atau Delia tidak pernah kembali kepada dokter itu. Ia mengendalikan penyakitnya dengan terus minum obat yang dibelinya melalui pasar gelap. Ia mencemaskan keadaan akan makin memburuk, jika makin banyak orang tahu akan penyakitnya.
Dan, apa yang ditakutkannya itu terjadi. Siapa pun tidak akan pernah melupakan kejadian siang itu saat Satya menjatuhkan vonis atas Delia.
Kuusap wajahku dan mendadak tubuhku lemas menyadari kisah yang kurangkai tadi. Saat kuluruskan punggungku, kulihat Satya berjalan cepat ke arahku. Aku harus mengatakan semua teori ini padanya.
“Kau masih di sini?“ tanyanya, biasa saja.
Aku hanya mengangguk. Satya kemudian melongok ke dalam melalui jendela yang terbuka. Ia tidak berkata apa-apa selain duduk di sisiku. menyebarkan aroma Bvlgari yang menjadi favoritnya. Sesaat kemudian aku menanyakan tanggal lahirnya. Dengan separuh heran ia menjawabnya: 5 Juni.
“Aku akan menunjukkan keajaiban tanggal 5 Juni padamu.“
Satu per satu berkas ijazah palsu itu kuberikan kepadanya. Foto lama Stasiun Yogya yang sama tergantung di dinding ruang kerja ayahnya dulu juga membuatnya kelihatan terkejut. Belum lagi ketika sepasang buku nikah kubuka untuknya, dan terakhir yang membuatnya terdiam lama: salinan akta kelahiran atas namanya.
Keheningan menyekap kami dari segala arah beberapa saat lamanya. Aku bersandar lelah, benar-benar lelah setelah beberapa hari bekerja keras untuk mencari keluarga Delia. Ya, aku memang berhasil menemukannya. Ternyata, ia begitu dekat denganku.
“Jadi, kaupikir... mereka ini...,“ suara Satya menggantung, kedengarannya tidak yakin dan lemah untuk seorang yang keras dan otoriter seperti dirinya. Aku mengangguk tegas. Satya tampak bimbang.
“Sama. Satu orang yang sama untuk tiga masa yang berbeda.“
“Tapi, bagaimana mungkin ini terjadi. Bagaimana ia bisa begitu kejam?“ ia memandangku tak mengerti.
“Untuk seorang wanita yang sudah menyerahkan segalanya dan berjuang habis-habisan untuk mendapatkan cintanya.“
Kemudian aku mengulang cerita penemuanku di apartemen Delia. Bagaimana aku mencari data pada malam itu. Lalu tentang pembicaraanku dengan Bu Maryam. Aku juga menghubungkan dengan kisah tragis dua sekretaris yang malang itu. Kupertegas dengan analisis Dokter Aulia dan bukti billing statement yang menyatakan adanya tindakan atas wajah wanita itu. Dan SMS-SMS itu. Satya menarik napasnya dalam-dalam.
“Jika semua ini benar, apa yang diinginkannya dariku?“ tanyanya, ragu.
“Rasa aman,“ jawabku, santai.
Ya, hanya itu yang diharapkan Delia atau Nadia atau Marissa. Rasa aman untuk menjamin hari tuanya. Ia sudah gagal memperoleh kebahagiaan dalam merebut kembali Pak Yudha. Sekalipun segala cara sudah dilakukannya, ia tidak dapat meraih cinta yang dulu pernah membahagiakannya. Harga sebuah cinta sejati tidak dapat dinilai dari bentuk dan keindahan fisik yang diperjuangkannya habis-habisan. Hanya ketulusan yang dapat menjaga sebuah cinta menjadi abadi. Seperti yang dilakukan Pak Yudha terhadap istrinya yang rapuh.
Satya termenung dalam waktu yang lama. Mungkin ia sedang berpikir keras mencerna apa yang barusan kusampaikan. Berkas-berkas itu aku ambil kembali, lalu kumasukkan ke dalam ransel. Seorang perawat datang kepada kami dan mengatakan bahwa Delia kembali gelisah. Kami bergegas masuk untuk melihat keadaannya.
Wanita itu terbaring dengan kedua tangannya terikat pada tepi ranjang. Mungkin ditujukan agar ia tidak mencakari wajahnya lagi seperti sebelumnya. Ia memperhatikan kami tanpa ekspresi apa pun saat melihat kami masuk. Padahal, aku berharap ia akan berteriak histeris melihat kedatangan Satya.
Kengerian menapaki diriku melihat bilur luka yang makin merah dan bengkak. Mungkin, karena ia menderita diabetes, membuat lukanya tak kunjung kering. Wajah Delia makin lama membulat seperti bola yang mau meletus. Sekalipun naif, aku khawatir kalau-kalau wajah Delia akan robek.
Robek? Apakah itu yang diinginkan Delia? Merobek wajahnya saat ini untuk memperoleh wajah lamanya kembali? Dengan keterbatasan kemampuan otaknya dalam menggali memori yang perlahan-lahan menghilang dari dalam benaknya, apakah ia ingin sekali saja melihat dirinya yang pernah dikenalinya dulu? Bukan sebagai siapa-siapa, tapi sebagai seorang Marissa saja.
Satya bergeming, wajahnya datar tanpa ekspresi dan kelihatan menjaga jarak. Sekarang aku mengerti, aku tahu dari mana ia memperoleh sikap yang demikian tidak berperasaan.
Delia makin gelisah, ia meronta-ronta di atas ranjangnya sambil terus meminta cermin. Satya membisu.
Kuhela napasku dalam-dalam. Aku memberanikan diri untuk menyapanya agar teoriku sejauh ini memberikan bukti yang nyata.
“Apa kabarmu, Marissa?“ sapaku, hati-hati.
Delia tersentak. Kelihatan kalau ia terkejut mendengar panggilanku. Sesaat kemudian ia menoleh perlahan ke arahku. Tanpa sadar aku mundur selangkah. Perutku mulas melihat caranya memandangku dengan aneh. Jantungku berdegup kencang. Bibirnya yang kering bergerak dengan sedikit gemetar.
“Kau menemukanku,“ suaranya terbata, seperti sedang mengeja. Terdengar asing di telingaku, seperti bukan suara manusia biasa. Bola matanya berputar dengan sorot yang membuatku meradang oleh rasa takut yang mendadak datang.
Kini aku mengerti mengapa namaku tercantum dalam ponselnya. Itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi memang telah direncanakannya! Aku adalah orang yang akan menggantikan kedudukannya sebagai sekretaris yang diharapkan Satya. Aku adalah TO berharga Rp15 juta itu, yang harus dieliminasi seperti Tere dan Luisa!
Aku terjajar ke belakang. Kakiku goyah oleh rasa ngeri. Wanita itu mulai tersenyum. Makin lama senyum itu makin melebar sehingga giginya kelihatan dan wajahnya makin mengerikan. Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang membuat bulu kuduk meremang.
Satya menarik tanganku untuk segera berlalu dari situasi yang mencekam itu. Wajahnya pucat, bibirnya terkatup rapat. Aku terseok-seok mengikutinya dari belakang. Tangannya terasa dingin dan gemetar dalam genggamanku.
Posted By: Steven J. Linardi
Copyrights: ©HSG-April 2011
0 komentar:
Posting Komentar