Wanita Paruh Baya dengan Separuh Nyawa
(True Story)
Aku merinding mendengarnya bercerita. Bahkan pohon-pohon di sekelilingku ikut mengangguk-angguk dengan seksama. Entah menyimak atau menahan kantuk, aku tak dapat menerka. Perempuan paruh baya di hadapanku itu enggan untuk berhenti. Seakan ada luapan beban di jiwanya yang ingin dia tumpahkan dengan segera.Dia berumur 25 tahun ketika seorang laki-laki yang 5 tahun lebih muda meminangnya. Sungguh sebuah kebahagiaan yang tak terhingga. Sebuah janji suci terucap mengikat sepasang muda mudi yang memnuhi setengah bagian agamanya. Dunia riuh, langit tersenyum, mentari berbinar berebut mengucap selamat kepadanya.
Tepat 1 tahun setelahnya, seorang bayi mungil lahir dari rahimnya. Anak laki-laki yang begitu diimpikannya. Dia merasa hidupnya begitu sempurna. Sebagai ibu dan istri yang tak kurang suatu apa. Hari semakin berganti, rupanya kebahagiaan membuatnya alpa kepada sang Pencipta. Tak dihiraukan seruan Tuhan untuk segera menemuinya. Acuh, seakan tak butuh.
Tragedi dimulai ketika anak keduanya lahir. Entah mengapa Tuhan memberikan teguran kepadaNya. Anak keduanya mengidap suatu penyakit yang entah dokter sendiri belum mampu mendiagnosanya. Ketika berumur tiga bulan, sang anak keluar masuk rumah sakit hampir tiap minggu dengan keluhan yang berbeda- beda. Kadang muntah, kejang, panas lengkap semuanya. Dia mulai mengeluh. Di tambah lagi suaminya jadi jarang pulang. Uang semakin menipis dan suami jarang mengirimi. Pulang seminggu sekali hanya memberi jatah 100 ribu. Padahal dia sendiri tak bekerja.
Ketika mendapat uang jatah, dia memberikan kebutuhan rumah dan makanan untuk anak-anaknya. Sedangkan dia sendiri hanya sanggup menelan nasi bercampur garam. Tetangga sekitar menduga suaminya mungkin menikah lagi. Tapi dia tak percaya sebelum mendengar dari bibir suaminya. Kepercayaan terhadap suaminya melebihi segalanya. Di tambah lagi, ketika pulang, suaminya begitu mesra memanjakan dia dan anak-anaknya. Semua mimpi buruk kata orang pun dia hiraukan.
Siang terik, bercampur jelaga kehitaman di langit yang mulai mendung. Dia menatap nanar daun-daun di pelataran rumah sakit. Seakan mengajaknya bercerita dan berbagi suka duka. Anaknya keduanya sakit lagi dan seperti biasa suaminya ke luar kota. Tak sengaja seorang anak duduk di sampingnya, seperti menunggu seseorang sembari menggenggam mukena. Makhluk mungil itu sungguh bersahaja. Dari wajahnya tak nampak sedikitpun raut gelisah ataupun gundah..
Wanita itu terketuk, entah mengapa dia mengikuti langkah sang anak menuju mushola. Matanya mengalir melihat sang anak dengan khusyuk berdialog dengan Sang Pencipta. Untuk pertama kalinya akhirnya setelah 4 tahun lamanya, dia kembali menghadapNya. Memenuhi janj-janji nya untuk bertemu dengan Tuhannya 5 kali sehari. Bahkan tak jarang dia mengajak bertemu ketika malam tiba.
Di suatu malam. Satu setengah tahun setelah perisitiwa itu, dia sedang larut dalam lantunan doa yang dia persembahkan kepadaNya. Air matanya mebuncah, mengoyak ke segala arah. Diadukannya semua beban yang menggelayuti jiwa kepada Sang Maha Kuasa. Entah darimana, tiba-tiba dirinya tergerak untuk masuk ke kamar. Saat itu suaminya sedang pulang. Dia ambil celana suaminya yang tergantung di belakang pintu dan dia buka dompetnya.
Hatinya terkoyak. Jantungnya terasa berhenti memompakan darah ke seluruh tubuh. Nafasnya tertahan. Berulangkali disebutnya asma Tuhan. Sebuah surat nikah siri dia temukan di belakang fotonya dan anak-anaknya. Air matanya mengalir begitu deras, tetapi ajaibnya air matanya habis dalam waktu kurang dari 5 menit. Dia tak mampu menangis lagi.
Perceraian pun tak dapat terelakkan. Tepat di saat musibah itu datang, anak pertamanya terkena penyakit yang menyebabkannya tak bisa berjalan. Hatinya bimbang, berbagai usaha dia lakukan. Akhirnya dia putuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya di kota kecil Jawa Tengah bagian utara.
Orang tua nya semula menerima dengan tangan terbuka. Siapapun orangnya tak akan bisa melihat anaknya hidup terlunta-lunta. Namun, semua itu hanya terjadi sementara. Anaknya yang sakit dan dirinya yang tak bekerja hanya dianggap parasit saja. Dia dihina, diremehkan, dianggap sebagai babu yang tak tahu malu oleh orang tuanya sendiri.
Kepahitannya tak habis sampai di situ. Anaknya yang kedua tak dapat berbicara, dan itu baru disadarinya setelah anaknya berumur 2 tahun. Panas, kejang, juga masih saja menjadi langganannya. Wanita itu limbung, tak tahu kemana dia harus melangkah.
Namun ternyata Tuhan memang tak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya. Saudaranya yang tertua, kakak perempuannya. Bersedia membiayai pengobatan kedua anaknya. Dari mulai terapi hingga obat-obatan yang lainnya. Kakaknya juga memberinya modal untuk berusaha. Dan dengan modal yang tak seberapa itu akhirnya dia membuka toko kelontong di depan rumah.
Aku kadang menahan iba, melihat wanita itu memandikan kedua anaknya yang tak bisa berlaku seperti kebanyakan anak normal. Anak pertamanya sudah mampu berjalan, namun sepertinya mengalami suatu gangguan kejiwaan. Dia tumbuh menjadi anak yang hiperaktif, super nakal, dan sukar untuk berkonsentrasi. Dokter memvonisnya sebagai ADHD ( Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Suatu keadaan di mana terjadi gangguan pemusatan perhatian, sikap yang hiperaktif, dan sering gelisah sehingga sukar baginya untuk menyelesaikan pekerjaan atau tugas sampai tuntas. Dua kali juga dia dinyatakan tak naik kelas. Anak keduanya sudah menunjukkan sedikit kemajuan. Dia dapat berbicara sepatah dua patah kata walaupun hanya memanggil “mama” dengan suara sengaunya.
Wanita itu tak patah semangat, dengan penghasilan dari toko kelontongnya dia sekolahkan anak-anaknya. Tak cukup memang, tetapi Tuhan tak membiarkannya sendirian. Banyak pihak yang menolongnya. Tawaran kerja dari sebuah perusahaan dia tolak karena dia tahu kedua anaknya butuh perawatan ekstra.
Banyak alasan untuk dia menyerah, meninggalkan anak-anaknya, mencari suami baru dan memulai kehidupan baru penuh mimpi. Tapi dia tetap melangkah walaupun terseok dan melemah. Dia yakin, biarpun gerimis menghujani hidupnya saat ini, akan ada pelangi jika dia mau bersabar menanti.
Wanita paruh baya dengan separuh nyawa, yang perlahan mulai digerogoti oleh paitnya kehidupan itu diam termangu. Dialah orang sukses di mataku. Bukan seorang pejabat, bukan seorang berpangkat, bukan pengusaha, bukan kaya raya, bukan pula wanita dengan kasih sayang di sekitarnya. Namun dia mampu berdiri dan melangkah menantang masa depan, di saat dia terpuruk dalam kubang penderitaan. Bagiku, itulah kesuksesan yang sejati.
Salam Surgawi
0 komentar:
Posting Komentar