JANGAN MENANGIS LAGI, MAMA...
Salam Surgawi,
Untuk memperingati Hari Ibu yang jatuh pada hari Rabu, 22 Desember 2010, dalam beberapa hari ini HSG akan mengirimkan artikel dan bacaan yang semuanya bertemakan tentang Ibu.
Kaz pun ikut menyumbangkan sebuah cerpen karyanya sendiri yang bertemakan: lika-liku kehidupan seorang ibu dengan putra tunggalnya yang ditinggal pergi oleh ayahnya.
Cerpen ini rencananya akan diposting di HSG selama 3 hari: Senin 20 Desember 2010 s/d Rabu 22 Desember 2010.
Selamat membaca.
Salam HSG
JANGAN MENANGIS LAGI, MAMA...
Bagian 1
Ufuk merah mulai membelah di langit timur, menggantikan dinginnya pagi dan menyingkap tabir kegelapan dengan sinar mentari. Kehidupan pun dimulai kembali. Walau waktu baru menunjukkan jam 5 pagi, namun sang fajar seperti tak ingin kalah dengan manusia yang mulai bangun dan melakukan aktivitas dan rutinitas sehari-harinya.
Kesibukan yang terjadi juga tak luput dilakukan oleh penghuni sebuah rumah sederhana di sebuah gang kecil yang hanya dipenuhi oleh beberapa rumah saja. Tepatnya sebuah rumah sederhana berlantai satu, tak berloteng, dengan halaman berukuran kecil namun bersih terawat.
"Mama, aku berangkat ya..." Terdengar sebuah suara dari dalam rumah. Suara seorang lelaki.
"Suryanto, kunci pintu sudah dibawa?" Sebuah suara seorang wanita menyahut.
"Sudah, Ma." Pemilik suara pertama yang bernama Suryanto menjawab.
"Dagangannya?"
"Sudah kubawa juga, Ma."
"Hati-hati di jalan ya, Nak."
"Iya, Ma." Sahut Suryanto. "Aku berangkat ya, Ma."
Mamanya mengangguk. Seorang wanita berusia 38 tahun, bertubuh sedang dan berkulit putih. Rambutnya hitam bergelombang dengan kecantikan yang masih terpancar dari wajahnya.
Mata wanita itu menatap Suryanto, anak lelaki satu-satunya dan sekaligus anak tunggal yang didapatnya dari almarhum suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu akibat kecelakaan. Semasa suaminya masih hidup, keluarga mereka hidup serba berkecukupan. Suaminya bekerja sebagai seorang pegawai di sebuah percetakan.
Suatu hari, karena bekerja terlalu lelah mengejar target yang diberikan atasan, tanpa sengaja mesin berukuran besar telah merenggut nyawanya. Itu kejadian dua tahun yang lalu, saat dimana Suryanto baru saja lulus SD dan mulai melanjutkan ke jenjang SMP.
Sepeninggal suaminya, praktis, Maya, nama wanita ini, kerepotan karena harus menjadi tulang punggung menghidupi keluarganya, yang kini hanya tersisa berdua saja. Maya yang bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan menengah, tidak mencukupi gajinya bila harus mengandalkannya untuk kebutuhan hidup sehari-harinya.
Kini Suryanto telah berumur 15 tahun dan telah duduk di bangku kelas 3 SMP. Suryanto tergolong murid yang rajin, karena dia tak pernah membolos selama belajar. Nilainya pun selalu bagus karena dia selalu menyempatkan diri belajar di waktu malam.
Sepeninggal ayahnya, Suryanto memutuskan untuk menolong ibunya setiap pulang sekolah. Karena ekonomi yang kurang mencukupi, mereka pun harus pindah dari rumah kontrakan mereka ke rumah petak yang letaknya jauh dari sekolah Suryanto.
Setiap harinya, Suryanto selalu pulang pergi sekolah dengan berjalan kaki. Menempuh perjalanan sekitar 1,5 kilometer jauhnya dari rumahnya sekarang, Suryanto pun harus berangkat dari rumah jam 5 pagi agar bisa tiba di sekolah jam 6.30 setiap harinya. Di tengah perjalanannya ke sekolah, Suryanto mampir ke pasar dan menitipkan kue buatan mamanya kepada seorang wanita tua untuk dijual. Saat pulang sekolah, Suryanto kembali mampir ke pasar dan uang hasil penjualan kue-kue yang dititipkan. Sebelum pulang ke rumahnya, Suryanto mampir ke sebuah toko kelontong untuk membeli perlengkapan membuat kue untuk keesokan harinya.
Hampir setiap hari kehidupan Suryanto harus seperti itu. Berangkat sekolah jam 5 pagi, bersekolah dari jam 6.30 hingga jam 1 siang. Mampir ke pasar setiap pergi dan pulang sekolah. Membeli bahan untuk kue di perjalanan pulang. Di rumahnya Suryanto mengerjakan tugas sambil menunggu mamanya pulang bekerja. Lalu bersama mamanya menyiapkan kue untuk dijual keesokan harinya. Kadang keduanya harus bekerja sampai larut malam menunggu hasil kue mereka selesai dan jam 3 pagi sudah harus bangun kembali untuk merebus kue yang telah selesai dibuat itu.
Walaupun hidupnya seperti itu, namun Suryanto tak pernah sekalipun mengeluh akan keadaan yang dialaminya. Dia merasa bahagia hidup dengan seorang mama yang sangat mencintainya.
Setelah Suryanto tak lagi terlihat, Maya bersiap-siap untuk berangkat kerja ke kantornya. Jarak rumahnya dengan kantornya cukup jauh, jadi Maya harus berangkat sekitar jam 6 kurang untuk bisa tiba di kantor sebelum jam 8 pagi.
Sekitar setengah jam berlalu, Suryanto tiba di tempat dimana dia biasa menitipkan kue dagangannya kepada seorang ibu tua di pasar.
"Oh, Dek Surya." Terdengar sebuah suara memanggil namanya di antara hiruk pikuk pedagang yang mulai bersiap-siap itu. "Mau cari Bu Tarmi?"
"Pagi, Bu Sakih. Iya, apa Bu Tarmi ada?" Suryanto menjawab panggilan tersebut.
"Bu Tarmi hari ini gak jualan, Dek." Jawab wanita yang bernama Bu Sakih itu.
"Kenapa, Bu?"
"Masih sakit." Sahut Bu Sakih kembali.
"Wah, masih sakit ya?" Suryanto memandang pada kantong plastik yang ada di genggamannya. Kue-kue hasil buatan mama dan dirinya berada di bungkusan tersebut.
"Iya..." Bu Sakih menjawab singkat sambil kembali mempersiapkan dagangannya, sayur-sayuran hijau segar.
"Ya sudahlah kalau begitu." Kata Suryanto sambil membalikkan badannya. "Aku pergi dulu. Terima kasih."
"Ya..." Tanpa menengok, Bu Sakih menjawab. Sementara Suryanto berlalu dari pasar itu.
"Hari ini gagal jualan lagi." Suryanto berkata kepada dirinya sendiri. "Kemarin juga begitu. Kalau begini terus, bisa-bisa mama rugi."
Langkahnya terhenti dan dibukanya kantong plastik hitam itu. Dilihatnya kue-kue yang masih terasa hangat itu.
"Banyak begini, mau dititip kemana?" Gumamnya. "Kue kemarin saja sampai rumah tak bisa lagi dimakan, dibuang begitu saja. Masa ini harus dibuang lagi?"
Suryanto terdiam sejenak seperti sibuk berpikir.
"Oh ya, aku bawa saja ke sekolah. Aku tawarin pada teman-teman. Siapa tahu ada yang mau beli..."
Berpikir kesana, Suryanto tersenyum dan meneruskan langkahnya dengan penuh keyakinan menuju ke sekolahnya. Sambil tersenyum, anak itu berjalan dengan riangnya menuntut ilmu.
Setiba di sekolah, jam sudah menunjukkan pukul 6.20 pagi, masih tersisa waktu sepuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai.
"Hei, Surya, kamu bawa apa?" Seorang teman yang duduk di samping meja Suryanto bertanya saat melihat Suryanto meletakkan bungkusan yang dibawanya ke atas meja.
"Oh, Herman, ini kue buatan mamaku. Tadinya mau kujual di pasar, tapi ibu penjualnya tidak datang."
"Oh, kamu jualan kue juga ya?" Teman lainnya menghampiri Suryanto dan melihat bungkusannya.
"Iya, Jeff, kecil-kecilan." Suryanto tersenyum. "Beli dong. Bantu aku ya..."
"Kalau yang ini berapa?" Jeffry mengambil sebuah kue yang terbungkus daun pisang.
"Seribu saja."
"Wah, Suryanto jualan kue ya?" Terdengar suara lainnya. Suara tersebut cukup keras untuk memanggil teman-teman yang lainnya mendekat.
"Iya, bantu-bantu mama." Jawab Suryanto. Matanya terbelalak saat melihat teman-teman yang menggerubunginya melihat dan memilih kue-kue yang dibawanya di dalam kantong plastik tersebut. Sambil bertanya harga, semua yang berkumpul disana tidak ada yang tidak membeli kue-kue tersebut.
"Enak, Sur." Kata salah seorang temannya sambil mengunyah. "Buat sendiri ya?"
Suryanto mengangguk sambil tersenyum. "Ya, aku bantu mama membuatnya."
"Wah, kamu bisa buat kue, Sur?"
"Enak banget. Satu lagi dong..."
"Sur, besok bawa lagi ya, enak lho..."
"Iya, pagi-pagi gini kan kita belum sempat sarapan. Apalagi kuemu enak... besok bawa lagi ya..."
Suryanto melihat kue-kue yang dibawanya habis dalam sekerjapan mata. Tak butuh waktu lama. Sebelum pelajaran dimulai, kue-kue yang dibawanya tak bersisa satupun.
"Ya, Tuhan, mimpi apa aku semalam?" Suryanto bergumam sambil menghitung lembaran uang yang didapat dari teman-teman sekelasnya.
"Empat puluh ribu Rupiah. Laku terjual semua. Terima kasih, Tuhan..." Anak itu memasukkan uangnya ke dalam kantong celananya. Hatinya tampak senang."Terima kasih, teman-teman. Berkat kalian, kue-kue ini habis semua..."
"Aku tak sabar ingin cepat-cepat pulang dan cerita kepada Mama tentang hal ini..." Suryanto tersenyum. "Mama pasti akan senang mendengarnya..."
Waktu terus berjalan. Di saat Suryanto sedang belajar di sekolah, Maya harus menempuh perjalanan dengan menyambung angkot tiga kali sebelum tiba di tempat kerjanya.
"Mudah-mudahan hari ini Bu Tarmi sudah berjualan, jadi kue-kue kami takkan terbuang percuma lagi..." Maya membathin dalam hatinya. Saat itu Maya sudah turun dari busway untuk melanjutkan perjalanannya.
Maya pun tiba di kantor setelah melanjutkan perjalanan dengan mikrolet. Pekerjaannya yang menumpuk telah menunggu seperti biasanya. Satu persatu pekerjaannya diselesaikannya hingga menjelang jam makan siang.
"Maya, tolong setor uang ini ke bank ya." Kata manajer di kantor tempat Maya bekerja. "Tiga puluh juta Rupiah."
"Iya, Pak." Jawab Maya. "Sekalian saya makan siang ya?"
"Oh silakan." Jawab manajer.
"Saya naik mikrolet saja ya, gimana?"
"Kenapa tidak minta diantar Pak Mamat?"
"Kan Pak Mamat hari ini masih cuti, Pak."
"Oh iya, saya lupa. Kalau begitu ikut saya saja, gimana?"
"Jangan, merepotkan Bapak saja. Saya bisa pergi sendiri, Pak." Kata Maya. "Lagipula Bapak kan ada janji mau ketemu klien habis makan siang."
"Oh iya, ya. Saya lupa lagi." Sahut manajer. "Ya sudahlah, kalau begitu hati-hati."
"Iya, Pak. Permisi."
Setelah bersiap-siap, Maya pun berangkat ke bank untuk menyetor uang yang dititipkan kepadanya tersebut. Uang tersebut dimasukkannya ke dalam tas tangan yang dibawanya kerja. Setelah menunggu sesaat, mikrolet pun datang.
Penumpang yang cukup padat membuat suasana di angkot menjadi sesak. Namun begitu, Maya masih beruntung bisa mendapatkan duduk di bagian dalam.
Tidak seperti biasanya, siang itu suasana tampak macet berkepanjangan karena perbaikan jalan membuat perjalanan menjadi tersendat. Situasi mikrolet yang sesak ditambah kemacetan yang sedang terjadi, membuat Maya harus rela berhimpit-himpitan dengan penumpang lainnya.
"Jakarta, tiada hari tanpa macet..." Maya membathin.Karena keadaan yang cukup panas dan sesak, Maya tak menyadari lagi kalau saat itu tas tangannya tak lagi menyampir di pundaknya, namun tali tas sudah jatuh ke lengannya.
CKITTT!!!
Seketika sopir mikrolet mengerem mendadak, membuat semua penumpang di dalamnya tersentak dan terguncang ke depan. Beberapa penumpang mengumpat kesal. Beberapa di antaranya memilih turun saat itu juga.
"Turun aja deh semua. Mau muter nih, macet." Si sopir mikrolet berkata tiba-tiba. "Bayar setengah aja!"
Karena tak tahan dengan kemacetan yang nyaris membuat kendaraan tidak berjalan, sopir mikrolet memilih untuk menurunkan penumpang. Maya dan beberapa penumpang lainnya akhirnya turun. Namun, saat wanita itu turun dari mikrolet, mendadak kedua matanya terbelalak.
"Ahhh! Tasku... Kemana tasku?" Maya menjerit panik. Dilihatnya ke sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda mencurigakan sedikitpun. Kecuali hanya penumpang-penumpang yang sibuk membayar dan berlalu dari tempat itu.
"Ba... Bagaimana aku..." Maya tampak kebingungan karena semua uangnya berada di dalam tas tangannya yang kini telah hilang entah kemana itu.
"Heh, Nyonya, mana uangnya?" Sopir mikrolet menjulurkan lengannya meminta bayaran dari Maya. "Bayar dong!"
"Ba.. Bayaran?" Maya seperti tersadar saat itu. "Uang... Uang..."
"Iya, buruan, macet nih. Udah mau jalan."
"Ma... Maaf... Aku... Uangku... Uangku baru saja di... diambil..." Terbata-bata Maya mencoba menjawab supir mikrolet itu.
"Gue gak mau denger itu! Pokoknya bayar!" Suara sopir mikrolet mulai keras dan menghardik Maya.
"Aku... Aku..." Maya tak bisa melanjutkan kata-katanya. Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Huh! Brengsek!! Sial!!" Sopir mikrolet yang kesal itu melempar botol Aqua kosong yang diambilnya dari dashboard ke arah Maya. Maya terkejut mendapat perlakuan seperti itu dari si sopir, namun selebihnya dia hanya terdiam tak bisa memprotes.
"Makan tuh botol!" Ejek sang sopir mikrolet lagi. "Lain kali kalo gak punya duit, jalan kaki aja!"
Mikrolet berputar dan si sopir berlalu sambil mengumpat. Maya sendiri berdiri dengan sikap panik dan tidak bisa tenang. Uang perusahaan yang dititipkan kepadanya hilang dicopet bersama dengan tasnya. Maya hanya bisa terpaku dengan kedua kaki bergetar.
"Mati aku," Kata Maya dengan mata masih berkaca-kaca. "Uang tiga puluh juta hilang dicopet. Bagaimana ini??"
Maya tampak kebingungan beberapa saat lamanya. Wajahnya menunjukkan kepanikan. Berkali-kali wanita itu menghela nafasnya yang terasa berat.
"Uang dicopet, hape diambil. Habislah semuanya..." Maya mengomel. Beberapa pengguna jalan yang melihatnya tampak tersenyum seperti mengejeknya.
"Aku balik saja ke kantor." Gumam Maya. "Apa yang akan terjadi, terjadilah."
Tak ada pilihan yang bisa diambil oleh Maya kecuali berjalan kaki hingga ke kantornya. Sepanjang perjalanan, pikirannya berkecamuk dan kacau. Berbagai pikiran yang tidak baik melintas di kepalanya tak henti-hentinya.
"Pasti aku dicopet pada waktu mikrolet direm mendadak..." Kata Maya dalam hati. "Biarlah, hape dan uang masih bisa dicari. Yang penting nyawaku selamat."
Setibanya di kantor, Maya yang masih berdegup kencang jantungnya itu, tak bisa menunggu lebih lama untuk menumpahkan kegundahan hatinya kepada teman-teman sekantornya. Rekan-rekan sekantornya menanggapinya dengan menghiburnya, sebelum akhirnya Maya dipanggil oleh atasannya ke dalam ruangannya.
"Maaf, Pak. Saya bersedia mengganti kehilangan uang tiga puluh juta itu dengan gaji saya." Kata Maya di depan atasannya setelah menceritakan peristiwa yang terjadi padanya.
"Tiga puluh juta dan kau akan menggantinya dengan gajimu?" Tahu-tahu atasannya membentak. "Kau kira gajimu besar hingga kau bisa melunasinya semudah itu?"
"Iya, Pak, saya tahu..." Maya menjawab sambil menunduk. "Tapi saya rela dipotong gaji sampai semua uang yang hilang itu terganti..."
"Hmm. Gaji satu juta mau mengganti?" Atasannya melihat Maya. "Mau berapa lama baru lunas hah?!"
"Ma... Maaf, Pak..." Maya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca saat itu. Pikirannya teringat bila nanti permintaannya dikabulkan, maka dia akan kehilangan uang satu juta Rupiah setiap bulannya dan akibatnya dia harus mengandalkan uang hasil menjual kue untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, termasuk uang sekolah Suryanto.
"Tiga puluh bulan? Hampir tiga tahun?!" Kata sang atasan lagi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Maya menunduk dan terdiam, tak bersuara. Sepasang matanya semakin basah oleh air mata yang siap menetes sewaktu-waktu.
"Saya bisa saja memecatmu saat ini juga dan membiarkan uang perusahaan hilang sebanyak itu." Kata atasannya lagi. "Tapi bila saya melakukan hal itu, apa perusahaan bisa mencari ganti rugi tiga puluh juta dengan mendapatkan klien baru?"
"Terlebih menimbang kami harus membayarmu tiga kali lipat bila kami memecatmu. Yang mana berarti kami harus kembali kehilangan tiga juta Rupiah lagi."
'Belum tentu pula, pegawai baru mau digaji dengan bayaran satu juta Rupiah sebulan, Maya.' Atasannya melanjutkan perkataannya dalam hati. 'Lama-lama perusahaan ini bisa bangkrut kalau begitu caranya.'
"Ma... Maaf, Pak. Saya janji akan mengembalikan semuanya." Maya menjawab dengan suara bergetar. "Beri saya waktu, Pak."
"Berapa lama?" Kedua mata atasannya melotot memandang Maya.
"Potong saja gajiku setiap bulannya, Pak." Sahut Maya. Dua bulir air mata mulai menitik membasahi pipinya. "Asalkan saya tetap diperbolehkan bekerja disini sampai hutang saya lunas."
"Saya rela hanya menerima uang makan dan transport mingguan selama uang gaji saya setiap bulannya dipotong sampai tiga puluh bulan. Sampai terlunaskan semuanya. Tolong mengerti saya, Pak."
"Saya butuh pekerjaan ini. Anak saya masih sekolah. Dia juga masih butuh makan. Saya tak mau dia berhenti di tengah-tengah, Pak. Biarlah saya yang menanggung semua ini. Biarlah uang tiga puluh juta itu menjadi tanggung jawab saya. Akan saya lunasi setiap bulannya sebesar gaji bersih saya, Pak."
Sang atasan terdiam seperti sedang menimbang permintaan Maya. Matanya berputar dan raut wajahnya menampakkan keseriusan.
"Baik. Tiga puluh juta selama tiga puluh bulan, satu juta setiap bulannya." Kata atasannya. "Tuliskan perjanjianmu di atas kertas bermeterai."
"I... Iya... Terima kasih, Pak. Permisi." Maya berdiri sambil menghapus derai air mata di pipinya sebelum membuka pintu dan kembali ke ruangannya.
"Bagaimana?" Begitu Maya kembali ke ruangannya, rekan-rekannya bertanya dengan penuh rasa ingin tahu. Namun Maya hanya bisa menceritakannya kepada mereka, karena tidak mungkin berharap bantuan kepada mereka.
Selama sisa waktu di hari itu, pikiran Maya menjadi kalut. Pekerjaan yang dilakukannya banyak terdapat kesalahan. Saat teringat kembali dia harus menghidupi kebutuhannya dan anaknya hanya dengan mengandalkan uang makan dan transport serta uang penghasilan menjual kue, air mata Maya kembali menetes.
"Disini aku bisa mendapatkan seratus ribu Rupiah selama lima hari kerja. Kalau kue laku semua, aku bisa mendapatkan sepuluh ribu setiap hari. Satu minggu seratus tujuh puluh ribu. Kalau satu bulan, enam ratus delapan puluh ribu, belum sampai tujuh ratus ribu Rupiah." Maya membathin sambil menghitung dengan kalkulator di mejanya.
"Uang sekolah Suryanto dua ratus lima puluh ribu. Sisanya empat ratus tiga puluh ribu. Untuk empat minggu, jadi satu minggu paling banyak seratus ribu."
Air mata Maya semakin menetes membayangkan hal itu. "Suryanto sudah kelas 3 SMP. Sekolahnya juga banyak minta uang ini itu. Uang segitu takkan cukup untuk membiayaimu, Nak..."
Maya menggelengkan kepalanya. "Aku harus cari kerja lagi Sabtu dan Minggu. Dengan begitu, aku bisa punya penghasilan tambahan."
Bagi Maya saat itu waktu seperti berjalan merambat. Semuanya terasa lama, sangat lama. Bahkan Maya sampai lupa ketika waktu kerja telah selesai jam 5 sore. Lamunannya tersadar saat teman kantornya memanggilnya.
"May, gak pulang?" Tanya salah seorang temannya yang wanita.
"Eh. Iya. Kau duluan deh, Ita. Aku masih mau membereskan pekerjaan sedikit lagi..." Maya menjawab.
"Kalau begitu kami duluan ya," Sahut temannya yang bernama Ita itu.
Maya mengangguk pelan. Diselesaikannya pekerjaannya sore itu beberapa lama lagi sebelum akhirnya dia bersiap-siap untuk pulang. Saat menjejakkan kakinya di luar kantornya, suara adzan Magrib pun terdengar.
Suryanto menutup buku yang dibacanya dan melirik ke jam dinding yang hanya satu-satunya di rumahnya itu. Saat itu dia baru saja menyelesaikan pekerjaan dan tugas sekolah yang diberikan guru-gurunya dan menyambungnya dengan membaca pelajaran untuk keesokan harinya.
"Hampir jam 9. Kok Mama belum pulang juga ya?" Kata Suryanto. "Gak biasanya Mama telat begini."
Suryanto berdiri dan menghampiri lantai dimana ponsel Nokia 3210 yang masih diisi baterainya itu dan menekan beberapa tombol.
"Maaf, pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Silakan isi ulang pulsa Anda." Terdengar jawaban dari saluran ponsel setelah hubungan tersambung.
"Aduh... Gak cukup pulsanya." Suryanto menghela nafas.
"Aku sms Mama aja deh." Gumamnya lagi. Tangannya bergerak menekan tombol di ponselnya.
BIPP. BIPP. BIPP.
"Ahh... Mati lagi." Suryanto mengomel kesal. "Batere bocor gini lagi."
Suryanto terduduk dengan menyandar pada dinding. Tangannya yang memegang ponsel terkulai lemas di samping.
"Aduh. Mama, Mama dimana, kok jam segini belum sampai?"
"Mama, pulang Ma. Aku mau cerita ke Mama tentang kue kita."
Suryanto menunggu dan menunggu, namun bunda yang ditunggunya tak kunjung tiba di rumah. Sementara sepasang matanya semakin terasa berat dan badannya pun terasa semakin lelah. Mulutnya pun telah menguap berkali-kali. Tanpa disadarinya, kedua matanya mulai mengatup.
Saat Suryanto terlelap dalam tidurnya, Maya pun tiba di rumah. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat. Pandangan Maya langsung tertuju kepada Suryanto yang saat itu sudah tertidur di lantai dingin dengan tubuh terlipat.
"Anakku, kamu pasti menunggu Mama pulang." Maya mendekati Suryanto yang tertidur dengan tenang itu. "Maafkan Mama ya, Sayang. Mama pulang jalan kaki, karena tak ada ongkos lagi. Mama sangat capek, lapar."
Lengan Maya terjulur membelai pelan rambut Suryanto. Pikirannya teringat akan beban yang semakin berat ditanggungnya. Tanpa terasa, dua tetes air mata menitik membasahi pipi dan bergulir ke lantai.
"Surya. Kamu harus tetap bersekolah. Jangan berhenti di tengah jalan! Mama ingin kamu berhasil. Walaupun Mama harus berjuang siang malam, tujuh hari seminggu, Mama ingin melihat kamu tersenyum bahagia nantinya."
"Kamu tidak boleh hidup seperti Mama begini. Tidak boleh. Kamu harus berhasil. Mama akan berjuang untukmu."
"Maafkan Mama kalau Mama tak bisa jujur kepadamu tentang semua ini. Juga maafkan Mama kalau Mama tak lagi bisa berbicara banyak denganmu. Waktu Mama semakin sedikit."
Maya beringsut berdiri dan mengambil selimut yang tersampir di pinggir sebuah kursi. Dengannya dia menyelimuti tubuh putranya yang tertidur pulas itu.
Waktu semakin bergulir. Walaupun badannya merasa lelah, namun Maya masih menyempatkan diri mandi dan makan dengan lauk dan sayur yang sudah dingin. Disisakannya nasi untuk Suryanto dan Maya hanya memakan sedikit saja dari nasi yang sudah dingin itu.
Karena lelahnya, Maya menyempatkan dirinya duduk beristirahat dan menyandarkan keningnya di lengannya yang ditaruh di atas meja makan. Rasa lelah membuat Maya segera tertidur.
Pikiran yang berkecamuk di siang hari membuat Maya tak bisa tidur dengan tenang. Wanita itu terbangun dan mengangkat kepalanya hanya untuk menemukan bahwa saat itu telah jam 1 pagi.
"Astaga! Aku masih belum membuat kue." Desis Maya sambil berdiri dan segera mencari bahan-bahan untuk membuat kue agar bisa dijual di pagi harinya.
Maya berusaha bekerja sepelan mungkin. Dia tidak ingin membangunkan tidur Suryanto. Dimulai dari meramu bahan dan membuatnya hingga menjadi kue. Semua dilakukannya tanpa bantuan putranya.
Sekitar tiga jam berlalu ketika kue buatannya telah matang dan siap untuk dijual. Mersa tugasnya telah selesai, Maya mengistirahatkan badannya di lantai yang beralaskan tikar.
"Hanya sekedar mengistirahatkan badan yang lelah. Setengah jam pun tak mengapa." Gumamnya sambil menutup matanya.
Namun dia hanya bisa memejamkan matanya sekitar 15 menit ketika sebuah suara membangunkannya. Rupanya Suryanto telah bangun dari tidurnya dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah lagi.
"Nak, makan dulu sebelum berangkat ya," Maya berkata kepada Suryanto yang sedang mandi itu.
"Iya, Ma." Sahut Suryanto dari balik pintu kamar mandi kayu yang sederhana. "Mama pulang jam berapa semalam? Kok pulangnya malam?"
"Emmm..." Maya terpaku saat teringat dia tidak boleh menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada anaknya itu.
"Semalam Mama lembur, pulang jam 8." Maya memberi alasan, hanya untuk menutupi fakta sebenarnya.
"Ma..." Suryanto memanggil mamanya saat keluar dari kamar mandi dengan tubuh masih tertutup handuk. "Bu Tarmi masih sakit, jadi kue gak bisa dititip."
"Jadi kuenya dibuang lagi?" Maya mengernyitkan keningnya.
"Tidak, Ma. Aku bawa ke sekolah dan ternyata teman-teman suka. Kuenya langsung habis dalam sekejap."
"Oh ya?" Terbelalak mata Maya seperti sulit mempercayai perkataan anaknya.
Suryanto mengangguk. "Iya, Ma. Uangnya tidak beda dengan dititip jual ke Bu Tarmi, bahkan kadang Bu Tarmi aja masih ada sisa. Ini habis, Ma. Habis tak bersisa."
"Syukurlah kalau begitu." Maya tersenyum.
"Ma, bagaimana kalau kue-kue ini kita titip ke kantin?" Tanya Suryanto tiba-tiba.
"Nanti saja." Sahut Maya. "Justru Mama berpikiran, kamu tawarkan saja ke teman-temanmu dulu. Sambil titipan ke Bu Tarmi berjalan terus. Bagaimana?"
"Boleh, Ma. Aku setuju! Ide Mama bagus sekali. Jadi kita bisa dapat keuntungan dari dua arah."
Maya mengangguk dan menerima uang hasil penjualan kue dari Suryanto. Setelah menyisihkan selembar uang sepuluh ribuan, Maya memberikan kepada putranya.
"Ini untuk ongkos dan jajanmu ya." Kata Maya. "Karena kue terjual, kamu bisa pergi naik kendaraan. Tak perlu banyak berjalan."
"Ma, aku sudah terbiasa berjalan, jadi..."
"Jangan membantah, Mama!" Maya memotong perkataan anaknya. "Kamu belajar, butuh energi. Di sekolah kamu harus makan. Mengerti?"
Suryanto mengangguk. "Iya, Ma. Tapi Mama?"
"Surya, keuntungan menjual kue kita tidak banyak, hanya sepuluh ribu. Lagipula, Mama masih ada kok."
"Yang penting," Lanjut Maya. "Mulai besok kita mencoba membuat kue lebih banyak lagi agar hasil penjualan juga akan semakin besar."
"Mama, terima kasih." Suryanto mengecup kening mamanya. "Jadi kue ini dititip ke Bu Tarmi atau kutawarkan kepada teman-temanku?"
"Hari ini tawarkan kepada teman-temanmu saja. Besok Mama akan buatkan lebih banyak lagi kue, jadi bisa dititip jual di Bu Tarmi dan juga kamu bisa menjual di sekolah."
"Iya, Ma. Terima kasih."
"Makanlah dulu, baru berangkat." Kata Maya menasehati anaknya.
Setelah siap, Suryanto pun berangkat ke sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya, Suryanto menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Walaupun dia mendapatkan uang dari Mamanya, namun anak itu tidak mempergunakan semuanya untuk ongkos, melainkan dia hanya memakai sebagian kecil dan sisanya disimpan olehnya.
Sepeninggal Suryanto, Maya mengambil uang tabungan di kamarnya. "Aku terpaksa memakai uang tabungan ini dulu. Tidak mungkin aku berjalan kaki pergi bekerja dengan kaki yang sudah mulai tua dan semakin lelah ini. Uang makan minggu ini akan kugantikan ke tabungan ini."
Begitulah. Hari itu, hari dimana Maya tak lagi bisa sesantai dulu bila pergi bekerja, hari dimana Maya harus siap berjalan lebih jauh lagi, dimulai. Di atas segala beban yang harus ditanggungnya. Beban yang tidak diceritakannya kepada putranya, sementara waktu terus berlalu...
Waktu berlalu dengan cepat. Tanpa terasa hampir dua minggu Maya menjalani kehidupan barunya. Setiap harinya waktu untuk bertemu dengan putranya semakin lama semakin berkurang. Hampir setiap malamnya, Maya pulang larut dan tak jarang Suryanto sudah tertidur menunggunya. Pagi harinya, keduanya hanya bertemu sesaat dan lalu berpisah lagi untuk menjalani aktivitas masing-masing.
Bahkan hari Sabtu dan Minggu pun Maya sudah jarang berada di rumah lagi, dikarenakan dia telah mendapatkan pekerjaan tambahan sebagai akuntan di sebuah restoran yang mempekerjakannya selama dua hari setiap pekannya.
Waktu yang semakin banyak terbuang untuk bekerja, fisik yang semakin terkuras staminanya, ditambah perjalanan jarak jauh yang harus ditempuh, membuat Maya menjadi lebih kurus dibanding biasanya. Kelelahan mulai terpancar di wajahnya.
Sementara Suryanto yang hampir setiap malam jarang menemui mamanya, merasa semakin rindu dengan kepulangannya yang hingga larut setiap kalinya. Namun anak itu tidak menuntut lebih jauh dari mamanya dan dalam hatinya dia berharap agar mamanya bisa kembali pulang awal seperti dulu lagi.
Malam itu, Maya kembali pulang larut malam dan menjumpai putranya telah tertidur seperti biasanya. Tak ingin membangungkan tidurnya, Maya bergerak dengan suara pelan. Perbuatannya mungkin masih bisa dihindarinya agar tidak bersuara, tapi tidak yang satu ini.
"Uhhhuuuukkk... Uhuuukkkk..." Suara batuk yang keluar dari mulutnya membuat Suryanto terbangun dan membuka matanya.
"Mama?" Suryanto membuka matanya perlahan dan mendengar suara batuk mamanya yang masih belum berhenti.
Perlahan anak itu bangun dan mendapati mamanya terduduk di bangku dapur dengan tangan menutupi mulutnya. Spontan didekatinya mamanya dan mengelus pelan punggung wanita yang melahirkannya itu.
"Mama sakit ya?" Sambil mengelus punggung mamanya, Suryanto menatap kedua mata orang tuanya.
"Mama gak apa-apa, Sur." Maya menjawab namun batuk kembali menyerangnya. Suryanto bergegas mengambil gelas dan diisi dengan air yang dituang dari teko. Diserahkannya gelas berisi air putih itu kepada mamanya.
"Minum dulu, Ma..." Kata Suryanto sambil memberikan gelas kepada mamanya yang langsung menerima dan meminumnya.
"Mama pulang malam lagi? Ada lembur lagi ya, Ma?"
Maya mengangguk pelan. Diletakkannya gelas yang masih terisi air itu ke atas meja. "Kamu sudah bayar uang sekolah bulan ini?"
"Belum, Ma..." Suryanto menggeleng.
"Dua ratus lima puluh ribu ya?" Maya merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa uang puluhan ribu dan menghitungnya. "Pas dua ratus lima puluh ribu..."
"Mama..." Suryanto menatap mamanya lekat-lekat.
"Ya?"
"Mama lembur lagi ya?" Tanya Suryanto.
Tercengang Maya mendengar pertanyaan mendadak putranya itu. Namun tekadnya sudah bulat untuk tidak bercerita lebih jauh kepada anaknya tentang beban yang ditanggungnya selama ini.
"Iya, Mama banyak sekali kerja di kantor belakangan ini. Ada pegawai yang berhenti dan pekerjaannya terbengkalai, jadi Mama diminta melakukan tugasnya sampai didapat pegawai baru..." Sahut Maya berbohong.
"Mama... Aku kangen sama Mama. Tiap malam Mama pulang, aku sudah tidur..." Suryanto menatap mata mamanya. "Belakangan ini aku jarang sekali berbicara dengan Mama seperti ini."
"Maafkan Mama, Nak..." Maya memegang pundak anaknya. "Mama harus tetap bekerja."
Batuk kembali menyerang Maya, hingga wanita itu harus menutup mulutnya kembali.
"Mama... Mama istirahat, Ma. Jangan capek." Suryanto memegang lengan mamanya, berharap untuk membantu mamanya.
"Iya... Mama mandi dulu ya..." Kata Maya mencoba tersenyum. "Nanti baru Mama istirahat..."
"Oh ya, Ma... Kok hape Mama sudah tak bisa dihubungi lagi ya?"
Terbelalak mata Maya mendengar pertanyaan yang mendadak itu lagi.
"Itu... Oh iya, hapenya jatuh dan rusak. Mama taruh di kantor, belum sempat diservis..." Lagi-lagi Maya berbohong.
"Oh, sayang ya, Ma. Andai saja masih bisa dihubungi..."
Maya berdiri dan membelai rambut Suryanto. "Kamu tidur dulu. Besok kan mau sekolah..."
"Besok kan Sabtu, Ma... Aku libur..."
"Oh iya, wah, Mama lupa..." Maya tersenyum sambil melangkah ke kamar mandi.
"Mama, kenapa Mama sekarang harus kerja tiap Sabtu dan Minggu? Ada apa, Ma?"
Langkah Maya terhenti di depan pintu kamar mandi. Pertanyaan anaknya lagi-lagi membuatnya tercekat.
"Ka... Karena..." Maya terdiam. Bathinnya yang kini bersuara. 'Mama tak mungkin menceritakannya padamu, Nak. Mama tak ingin kamu terbeban. Kamu masih harus belajar. Jalanmu masih panjang...'
"Kenapa, Ma?"
"Karena... ngg... Karena Mama dimintai tolong oleh teman Mama. Mama tidak enak menolak, jadi Mama terima aja..." Lagi-lagi Maya berbohong.
"Tapi Mama kan harus istirahat. Sabtu Minggu pun Mama harus kerja..."
"Mama kan bisa beristirahat malam hari..." Maya berdalih. "Sudah ya, Mama mandi dulu..."
Tanpa menunggu jawaban dari putranya, Maya bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintunya. Di dalamnya, wanita itu berdiri menyandarkan punggungnya ke tembok dan matanya berkaca-kaca.
"Maafkan Mama, Surya..." Air mata menetes di pipi Maya. "Semua ini Mama lakukan untukmu..."
"Andai saja aku tidak kecopetan waktu itu, semua ini tak perlu terjadi..."
Maya membasuh badannya dengan pikiran yang berkecamuk di benaknya. Air mata tak henti-hentinya mengalir, seakan ingin bersaing dengan air yang mengalir membasuh badannya itu.
Saat Maya selesai mandi, Suryanto masih belum tidur. Rupanya anak itu menunggu mamanya selesai mandi. Dengan duduk di depan meja makan sederhana dan dua piring nasi berada di depannya.
"Mama, makan dulu, Ma..." Sahut Suryanto saat melihat mamanya. "Mama belum makan kan?"
"Aku ingin makan bersama Mama lagi... Sudah lama kita tidak makan bersama begini..."
Maya mengikuti permintaan putranya dan setelah selesai makan dan mencuci piring, keduanya pun merebahkan badan di alas tikar tipis.
"Selamat malam, Mama. Terima kasih malam ini sudah menemaniku..." Kata Suryanto sebelum menutup matanya.
"Selamat malam, Nak." Maya menjawab dengan lirih.
Tengah malam, Suryanto terbangun karena ingin ke belakang. Pada saat kembali ke tempat tidurnya, matanya tanpa sengaja melihat sesuatu yang membuatnya terbelalak.
"Mama? Kenapa kaki Mama jadi seperti ini?" Gumam Suryanto yang terpana melihat telapak kaki mamanya tampak ada luka gores di beberapa tempat dan masih ada yang siap berdarah sewaktu-waktu.
"Kaki Mama kan halus, kok sekarang jadi begini?" Suryanto terheran. "Apa mungkin ya Mama banyak berjalan?"
Karena kantuk yang masih menghinggapinya, Suryanto pun tak berpikir lebih jauh lagi. Dia pun melanjutkan tidurnya kembali.
Ketika sedang bekerja di hari Minggu siangnya, Maya merasakan pandangannya mendadak berkunang-kunang. Kepalanya terasa pusing dengan tiba-tiba. Batukpun kembali menghinggapinya.
"Uhuuukkk... Uhuuukkk...." Maya terbatuk beberapa saat lamanya.
Namun batuknya tak kuasa berhenti walaupun Maya telah meminum beberapa teguk air.
"Uhhhuuukkk..."
"Hah?!" Maya terbelalak saat melihat segumpal darah segar tertumpah di telapak tangannya. "Da.. Darah?"
"Maya, kamu baik-baik saja?" Tanya sebuah suara yang saat itu melintas di depan Maya.
"Oh, iya, Pak. Hanya batuk biasa..." Maya menyembunyikan tangannya di balik meja sambil mengeluarkan saputangan dari dalam tasnya. Tanpa diketahui oleh lelaki yang berada di depannya, Maya membersihkan tangannya yang tertumpah darah itu.
"Baiklah kalau begitu." Ujar lelaki yang adalah atasannya tersebut.
Maya berdiri dengan maksud hendak mengambil air dari dispencer yang disediakan. Namun baru dua langkah dia gerakkan kakinya, kepalanya terasa semakin pusing. Pada saat bersamaan, matanya menjadi nanar.
Saat berikutnya tak lagi diketahui oleh Maya. Tubuhnya dengan lunglai jatuh terkulai tak jauh dari meja kerjanya...
Ketika sadarkan dirinya, Maya mendapatkan dirinya terbaring dan bau obat-obatan segera menyeruak masuk ke hidungnya.
"Ini..." Maya memandang ke sekeliling.
"Ibu sudah sadar?" Terdengar suara seorang wanita yang membuat Maya berpaling.
"Suster?" Terperanjat Maya saat menyadari siapa wanita yang memanggilnya itu. "Berarti ini..."
"Ya, Ibu berada di rumah sakit..." Kata Suster sambil tersenyum. "Beberapa jam yang lalu, Ibu pingsan di tempat kerja..."
"Kerja... Aku harus kerja..." Maya mencoba bangun dari tidurnya, namun tindakannya dicegah oleh perawat yang menjaganya.
"Sabar, Bu. Ibu sedang berobat, tak boleh bekerja dulu..."
"Tapi Surya..."
"Ibu... Fisik Ibu masih lemah, belum boleh banyak bergerak..." Terdengar suara lembut suster lagi.
"Kalau aku sakit, siapa yang mencari uang untuk anakku?"
"Biar tidak sakit jadi Ibu harus diobati dulu ya..."
"Aku harus pulang, Surya..."
"Tenang, Bu..." Suster mencoba menghibur Maya. "Ibu masih sakit... Jangan banyak bergerak..."
Pada saat itu pintu membuka. Seorang perawat lain masuk ditemani oleh seorang anak laki-laki.
"Maaa... Mama gimana?" Anak itu yang bukan lain adalah Suryanto segera mendekati Maya dan memeluknya.
"Biarkan Ibumu beristirahat dulu ya, Nak..." Kata suster yang merawat Maya. "Setengah jam lagi nanti setelah mamamu agak segar, baru masuk lagi ya."
Suryanto menurut. Dengan suster lainnya, dia melangkah keluar dan di luar dia telah ditunggu oleh seorang lelaki berkacamata.
"Kamu Suryanto ya?" Sapa lelaki itu.
"Iya, Pak." Sahut Suryanto.
"Saya Pak Rahman. Mamamu bekerja di tempat saya setiap Sabtu dan Minggu." Kata lelaki itu lagi. "Bisa ada waktu sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan."
Pak Rahman mengajak Suryanto berbicara dua pasang mata di lobi ruang tunggu. Disana Pak Rahman menceritakan alasan Maya yang bekerja kepadanya.
Suryanto tak dapat menahan tangisnya mendengar derita yang ditanggung oleh mama yang disayanginya. Sementara Pak Rahman masih terus bercerita.
"Mamamu ingin kamu tetap bersekolah. Walaupun penghasilannya banyak berkurang, namun dia tak pernah menyerah mencari uang untuk bisa membiayaimu. Beliau tidak ingin kamu terhenti di tengah jalan..."
"Walau penyakit lamanya kembali kambuh, tapi beliau masih ingin terus bekerja. Tak pernah putus asa dan menyerah begitu saja."
"Walau harus berjalan kaki puluhan kilo untuk bekerja, walau harus mengorbankan kesehatannya dengan kurang makan dan tidur."
"Semua itu demi kamu..."
"Mama... Pantas saja Mama tak mau jujur... Ternyata ini semua dirahasiakannya..." Suryanto terisak dalam tangisnya.
"Kenapa? Kenapa Bapak menceritakannya kepadaku?"
"Karena saya tidak tega melihat keadaan mamamu. Dia masih teman sekolah saya semasa SMA dulu. Jadi saat saya mendengarnya memnutuhkan pekerjaan, saya mencoba membantunya."
"Papamu sudah meninggal kan?"
Suryanto mengangguk.
"Pernahkah rindu pada Papamu?"
"Sering, Pak. Aku masih ingin merasakan kasih sayang dari Papa. Tapi Papa terlalu cepat pergi."
"Aku... Aku ingin Mama sehat kembali. Aku tak ingin Mama sakit dan menangis lagi." Kata Suryanto lagi sambil terisak. "Aku ingin bisa membantu Mama bekerja..."
'Anak baik.' Kata Pak Rahman dalam hati. 'Anakmu anak yang berbakti, May.'
"Aku bisa bantu Mama jualan kue." Sambung Suryanto. "Walaupun kecil, tapi aku ingin Mama tidak berjalan kaki lagi pergi bekerja..."
Pada saat itu sayup-sayup terdengar suara lagu dari speaker yang terhubung ke ruang lobi. Didahului oleh suara musik dan kemudian lirik lagu yang dinyanyikan oleh salah seorang musisi dan penyanyi tenar Indonesia.
"Ribuan kilo,
jalan yang kau tempuh,
lewati rintang,
untuk aku anakmu.
Ibuku sayang,
masih terus berjalan,
walau tapak kaki,
penuh darah penuh nanah.
Seperti udara,
kasih yang kau berikan,
tak mampu ku membalas,
Ibu, Ibu.
Ingun kudekap,
dan menangis di pangkuanmu,
sampai aku tertidur,
bagai masa kecil dulu.
Lalu doa-doa,
baluri sekujur tubuhku,
dengan apa membalas,
Ibu, Ibu."
Mendengar lagu yang berkumandang itu, air mata Suryanto semakin deras mengalir. Di depan Pak Rahman, anak itu menangis sesesugukan.
"Pak, aku ingin membantu Mama, sangat ingin. Tapi aku tak tahu harus bagaimana." Kata Suryanto di antara isak tangisnya.
Pak Rahman menghela nafas dan menepuk pundak Suryanto.
"Maya pasti akan bangga padamu. Walaupun hidup kalian serba berkecukupan, tapi kamu sangat berbakti pada Mamamu."
"Kalau kamu memang berniat membantu Mamamu meringankan bebannya, saya bersedia membantu."
Suryanto mengangkat kepalanya dan menatap Pak Rahman. "Maksud Bapak?"
"Kamu bisa menjajakan kuemu di restoran saya. Jadi kamu tak perlu lagi berkeliling menjualnya." Kata Pak Rahman. "Saya juga akan meminta pegawai-pegawai saya membantu kalian membuat kuenya. Tempat tak perlu bayar, kalian boleh memakainya."
"Tapi, Pak..."
Pak Rahman tersenyum. "Kamu ingin membantu Mamamu kan?"
Suryanto mengangguk.
"Kalau begitu, tunggu apalagi?" Pak Rahman tersenyum. "Bagaimana?"
"Pak, aku... Aku... Aku tak tahu harus berkata apa..." Sahut Suryanto dengan terbata-bata. "Te... Terima kasih..."
Pak Rahman tersenyum menatap Suryanto. 'Anak ini luar biasa. Kamu beruntung bisa menjadi mamanya, Maya.'
"Tengoklah Mamamu... Dia pasti sedang menunggumu..."
Mendengar hal itu, Suryanto bergegas ke dalam ruangan dimana mamanya sedang dirawat. Begitu bertemu mamanya yang sedang terduduk bersandar di ujung ranjang, Suryanto segera memeluknya.
"Mama... Mama capek kerja sampai sakit begini..."
"Mama tidak apa-apa, Nak..." Maya mencoba menghibur putranya.
"Maafkan aku, Ma... Tapi Pak Rahman sudah bercerita semua." Suryanto terdiam. "Kenapa Mama diam tak ingin aku tahu kalau Mama kecopetan dan harus membayar hutang setiap bulannya?"
Maya terdiam seperti sedang berpikir. Dua bulir bening mengalir ke pipinya saat itu. Satu lengannya membelai rambut putranya.
"Surya, Mama tak ingin kamu terganggu belajarnya. Maaf kalau Mama tak cerita, tapi bagi Mama, lebih baik kamu tidak tahu daripada menjadi beban pikiranmu dan terganggu belajarmu."
Surya mengangkat kepalanya dan menatap mamanya.
"Mama, aku sudah janji akan membantu Mama jualan kue. Pak Rahman akan membantu kita. Jadi Mama tak perlu lagi pergi kerja berjalan kaki dan pulang malam."
"Papa sudah tidak ada. Orang tuaku hanya tinggal Mama seorang. Aku rindu ingin kasih sayang Mama." Air mata Suryanto kembali mengalir. "Aku ingin setiap malam Mama ada di sampingku."
"Aku tidak mau apa-apa. Aku hanya mau Mama menemaniku. Itu saja, Ma."
Semakin menetes air mata Maya mendengar perkataan putranya itu.
"Aku akan membantu Mama. Walau aku tak bisa membantu banyak, setidaknya beban Mama bisa berkurang..."
"Anakku..." Maya memeluk Suryanto dalam dekapan hangat penuh kasih sayang. Air matanya semakin deras mengalir saat itu.
"Jangan menangis lagi, Mama... Aku sayang Mama..." Kata Suryanto pelan.
TAMAT
Cerita sederhana ini dibuat untuk memperingati Hari Ibu Nasional. Mama adalah pahlawan dari segala pahlawan. Selama 9 bulan kita dijaga dan dirawatnya. Lalu mama mempertaruhkan nyawanya untuk kelahiran kita di dunia ini. Hanya demi sebuah nafas kecil dari tubuh yang lemah. Hanya demi sebuah tangisan pertama yang menjadi kebahagiaan mama. Hari-hari yang tak pernah kenal siang dan malam dalam membesarkan kita. Mama yang rela sakit demi kita. Mama yang mengajar kita berkata memanggil "Mama", "Papa". Mama yang selalu mengganti popok kita saat kita ngompol. Mama yang menyuapi kita makan dengan penuh kasih sayang. Mama yang mengajari kita berjalan. Mama yang selalu mengantar kita bersekolah. Mama yang memberi kita uang jajan. Mama yang menyiapkan sarapan kita setiap paginya. Mama yang dengan setia menunggu kita pulang sekolah. Memandikan kita dan memanjakan kita dengan pakaian yang bersih dan harum. Mama yang mengajari kita akan arti hidup ini. Mama yang selalu memberi nasehat kepada kita. Mama yang menangis diam-diam di belakang kita.
Tapi apa balasan kita? Kata-kata makian bila kita kesal. "Mama kuno. Tidak mengerti aku." "Mama bego. Tidak sekolah tinggi." Dan lain-lain makian. Kita merengut kesal kala tidak diberikan ini itu oleh mama. Kita yang egois tidak mau mengantar mama ke pasar. "Pergi aja sendiri. Kan masih bisa jalan. Saya gak sempat. Mau kuliah. Mau kerja." Mama yang kita jelek-jelekkan di depan teman-teman kita.
Itukah balasan kita kepada orang yang telah berjuang dan berkorban lahir bathin dari tubuh rentan kita sampai kita yang dewasa sekarang?
Ingatlah! Kita adalah darah dan daging mama. Semua makanan yang dimakan kita semasa masih janin adalah berasal dari mama. Daging yang tumbuh adalah dari mama. Darah yang mengalir di tubuh kita adalah darah mama yang dibagikan kepada kita.
Renungkanlah. Mama tak pernah meminta balasan apapun. Semua yang dilakukannya adalah tulus ikhlas.Tak perlu mewah-mewah untuk membalas budi baik mama, bila hati tak ikhlas. Walaupun tak bisa membalas banyak, sepatah kata yang diucapkan dengan tulus ikhlas, "Terima kasih. Aku mencintai mama." Itu sudah cukup dan membuat mama bahagia. Tidak sulit kan mengucapkannya?
Kasih ibu sepanjang jaman. Takkan bisa terbalaskan oleh anaknya sampai kapanpun.
Selamat Hari Ibu untuk semua Mama-Mama di Indonesia.
Cerita dan karya asli: Kaz Felinus Li.
Posted By: Kaz HSG
This story is the property of Heavenly Story Group.
Copyrights: ©HSG-December 2010
(Dilarang meng-copy dan memperbanyak tanpa ijin langsung dari penulis: Kaz Felinus Li. Pelanggar akan dikenakan tindak pidana).
0 komentar:
Posting Komentar